Anira menatap kakaknya cemas, mulutnya kaku, tidak bisa bersuara. Bahkan ibunya yang tadi mulai tertidur di kursi, segera terbangun, mendengar teriakan panik Leo itu.“Papa kamu kenapa?”“Papa sadar, Ma!”Tidak lama setelah Leo berkata demikian, seorang suster jaga, datang menghampiri mereka.“Ada apa?” tanya perawat itu. Dia datang karena panggilan tombol nurse call yang ditekan Leo di ruangan tadi.“Ayah saya, sadar, Sus.”“Sebentar! Saya panggil dokter dulu.” Menyadari kalau itu di luar wewenangnya, perawat itu segera menelepon dokter. Kemudian masuk ke dalam ruang ICU itu. “Jangan ada yang masuk dulu!” ujarnya.Anira dan keluarganya, menunggu dalam keadaan tidak tenang di luar.“Papa kamu benar-benar sadar?” Mata ibu Anira berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk, ada bahagia yang membuncah, tapi ada ketakutan kalau itu hanya harapan semu.Anira lekat menatap ruangan tempat ayahnya berbaring lemah itu. Ketika dokter datang dan masuk ke ruangan itu, Anira memanfaatkan celah ke
“Nia, kenapa kamu di luar?”“Kak.” Mata Anira kembali berkaca-kaca, melihat ibu dan kakaknya tiba. “Papa sudah tahu,” gumamnya.“Sudah tahu apa?”“Semuanya.” Anira menundukkan kepalanya, dia merasa ini semua terjadi karenanya. Dengan suara lirih dia menceritakan apa yang terjadi.“Kenapa mereka harus sampai seperti ini. Kita bahkan belum mengatakan apapun tentang melaporkan tindakan adik Deril itu, tapi mereka sudah tidak sabar mencari pembenaran sendiri.” Leo benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah keluarga pacar adiknya itu.Karena keadaan ayah mereka, tidak ada satu pun yang berniat membahas apa yang terjadi. Selain kemarahan Anira di hari pertama, tidak sekalipun mereka mengatakan akan menuntut Velma.Namum, keluarga Deril terus-menerus mengganggu dan menyampaikan pembenaran diri mereka. Tidak peduli sebaik apa niat mereka, dengan segala sikap itu, keluarga Deril lebih terlihat seperti pengecut yang ingin dengan cepat melepaskan diri dari tanggung jawab.“Aku juga nggak ta
Anira menatap nanar kotak cincin yang berada di tangannya itu. Kalau ini beberapa hari yang lalu, mungkin dia akan jadi orang paling bahagia, menerima lamaran dari kekasihnya itu. Takdir benar-benar sebercanda itu.“Semuanya masih bisa diperbaiki. Kamu percaya sama aku kan?”“Ril, maaf, maaf, maaf.” Deril sama sekali tidak melakukan apa-apa, ini tidak adil untuk pria itu, tapi dia harus melakukan ini. Dia tidak tahu bagaimana dia harus berhadapan dengan keluarganya kalau dia masih meneruskan hubungannya dengan Deril.Anira berusaha memberikan kotak cincin itu kembali ke Deril, tapi pria itu menolak.“Aku akan kasih kamu waktu, sebanyak yang kamu mau. Cincin itu, kamu simpan dulu, kamu nggak harus langsung menerima aku.”Deril tidak bisa menerima, kalau hubungan mereka berakhir begitu saja. Dia tidak pernah membayangkan akhir seperti ini, dari mereka berdua. “Ril, maaf.” Anira beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Deril. Dia tidak bisa menahan air matanya. Namun, Deril m
Reksa menatap Anira terkejut, dia nyaris tidak mempercayai telinganya. “Lo ...?”Mulutnya kelu, untuk beberapa saat, otaknya terasa kosong, tidak tahu harus mengatakan apa. Dia ingin bertanya, kenapa. Namun, dia juga mengerti, kenapa Anira melakukan itu.Anira tersenyum simpul, reaksi Reksa itu sudah bisa ditebaknya. “Tadi, ayah Deril datang lagi, dan langsung menyodorkan uang ke papa untuk ganti rugi.” Sebuah senyum getir, tersungging di bibir gadis itu. “Saat itu, gue langsung nggak bisa membayangkan, seperti apa jadinya hubungan kami.”Reksa menelan ludahnya, untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Dia kira, dia akan senang kalau hubungan keduanya berakhir, tapi saat ini hanya hampa yang memenuhi dadanya. Kesedihan di wajah Anira sama sekali tidak bisa disembunyikannya, meski gadis itu mencoba untuk bersikap santai. “Lo nggak mau nanya? Atau menghibur gue mungkin?”“Apa itu akan membantu lo sekarang ini?” Anira tertegun, kemudian dia menggelengkan kepalanya. Dia ha
“Papa? Yah, papa sudah jauh lebih baik sekarang.” Deril menunggu, tapi Anira tidak lagi mengatakan apa-apa. Untuk kesekian kalinya, pria itu harus menelan pil pahit. Dia bukan lagi orang yang menjadi tempat Anira menceritakan kehidupannya.Gadis itu hanya memberikan jawaban basa-basi padanya. Deril juga tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Rasanya ada begitu banyak hal yang ingin dia sampaikannya, tapi di saat yang sama dia merasa tidak ada topik yang bisa membukan pembicaraan itu.Anira terlalu menutup diri. Sudah terlalu lama, Deril sadar dia tidak bisa terlalu terburu-buru. Keduanya berjalan ke mobil yang ada di parkiran. Deril memasukkan semua koper Lamira ke bagasi belakang mobil itu.Keduanya lalu masuk ke dalam mobil. Reksa dan Sisi sudah menunggu di dalam, sedang memakan donat yang baru mereka makan.“Ini gue harus antar kalian kemana?”“Ke rumah lama gue.” “Oke.” Reksa menghidupkan mesin mobilnya, mengemudikannya pelan, keluar dari lahan parkir itu. “Itu di maka
“Tante Anira punya pacar!” Anira nyaris tersedak, mendengar omong kosong Sisi itu. Malam itu, mereka sudah berada di tempat tidur, dan Sisi sedang video call dengan kedua orangtuanya yang masih berada di Singapura.“Hush! Kamu ngomong apa!”“Kan bener. Tadi, tante nyuruh Sisi pergi, karena dia mau berduaan dengan Om ganteng itu.”“Oh, jadi Omnya ganteng?” Sebelah alis Leo terangkat, dia menatap ke arah adiknya itu dengan pandangan penuh selidik.“Ganteng, Pa.”“Gante mana sama Papa?” Anira memegang jidatnya, pusing sendiri dengan kelakukan saudara laki-lakinya itu. Kenapa Sisi bisa bersikap seperti ini, juga tidak terlepas dari pengaruh kakaknya itu. “Hmm.” Sisi tampak kesulitan menjawab. “Ganteng Om Reksa!” elaknya cepat. Dia lalu tersenyum lebar, menampakkan giginya yang ompong di bagian depan.“Memangnya siapa sih?” Leo mulai penasaran. Kenapa dia tidak pernah tahu kalau adiknya itu sedang dekat dengan laki-laki lain? “Kok, kamu nggak bilang ke kakak?”Anira melirik s
Reksa yang sedang mendengarkan celotehan Sisi, langsung menoleh. Dengan wajah datar, dia menunggu Velma. “Deril di ruangannya. Lo bisa langsung ke sana.” Velma cemberut, bibirnya mengerucut manja. “Emangnya, gue ke sini, Cuma mau lihat Kak Deril doang.” Dia lalu menyodorkan tote bag mini berwarna hijau ke Deril. “Tadi gue habis masak cumi cabe hijau favorit lo.” Reksa mengerutkan keningnya, tidak langsung menerima tas itu. “Gue udah makan, mending lo kasih ke Deril, kayanya dia belum sarapan.” Dia bahkan baru sampai di kantor, darimana dia tahu kalau Deril sudah sarapan atau belum? “Kan! Gue udah tahu lo bakal ngomong gitu.” Dengan wajah bangga, gadis itu mengangkat satu tote bag lain yang ada di tangan satunya. “Kali ini, gue bawa dua.” Velma mendorongkan tote bag itu ke tangan Reksa, akhirnya Reksa menerima tas itu. “Thanks.” Wajah Velma berseri seketika, melihat hal itu. Saat itu barulah dia menyadari keberadaan Sisi yang sejak tadi berada di sebelah Reksa. “Ini
“Kak!”Deril mengacak rambutnya lelah. “Vel, selama ini, gue nggak pernah terlalu melarang kan? Mama dan papa juga sangat memanjakan kamu. Lo bebas melakukan apapun yang lo mau, tapi setidaknya, Lo harus bertanggung jawab terhadap hidup lo kan?”Velma adalah anak bungsu, keluarganya hanya ingin adiknya itu bahagia, tidak ada ekspektasi yang terlalu tinggi. Bahkan tanpa bekerja pun, adiknya itu tidak akan hidup susah. Hanya saja, adiknya itu terlalu fokus pada Reksa, hingga mengabaikan dirinya sendiri.“Itu urusan gue! Ini semua bikin gue bahagia!”Deril menghela napas frustrasi, sekali lagi, pembicaraan ini berakhir sia-sia. Dia tidak bisa mengubah pikiran adiknya itu. “Whatever!”“Gue nggak mau lihat perempuan ada di kantor lo! Pecat saja dia!”Saking kesalnya, Deril bahkan tidak bisa marah lagi, dia hanya ingin tertawa miris, dengan permintaan tidak masuk akal Velma itu. “Dia bukan karyawan gue, dia partner bisnis. Gue nggak berhak mecat dia.”“Kalau gitu, nggak usah kerja