“Gue bakal melamar Anira.” Deril menatap Reksa lekat sembari mengucapkan kalimatnya itu. Tidak ingin melewatkan sedikitpun reaksi sahabatnya itu.Wajah Reksa masih tetap datar, tapi dia menatap Deril tajam. “Om sama tante sudah tahu tentang ini? Velma gimana?” Tangan Reksa yang terselip di sakunya, mengepal kuat, berusaha menahan perasaannya sendiri.Dua pria tampan itu bertatapan lama, sampai pada akhirnya Deril yang kalah, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia menatap ke pemandangan malam kota Jakarta terlihat dengan sangat jelas dari restoran itu. “Belum,” gumamnya sedikit merasa bersalah. “Gue bakal bilang secepatnya ke mereka, untung sekarang, masih lo yang tahu tentang ini sekarang.”Reksa menghela napas panjang, sekuat tenaga dia menepuk punggung Deril sampai menimbulkan suara nyaring. Plak!!Deril mengernyitkan keningnya merasakan perih di punggungnya, tapi dia sama sekali tidak marah ke Reksa. “Sorry Rek,” gumamnya.Reksa memukul punggung Deril sekali lagi.
“Lo tahu Deril kaya apa. Kalau dia nggak serius, dia nggak bakalan ngedekatin lo, dan beresiko ngerusak pertemanan kita.” Reksa mengangkat tangannya ragu, tapi kemudian dia menepuk pundak Anira lembut.Selama dia bisa melihat senyum Anira, rasanya dia bisa melakukan apa saja. Melihat wanita itu bahagia sudah lebih dari cukup untuknya. Dia tidak akan merusak kebahagiaan Anira, dengan perasaannya.“Ah, itu Deril udah datang. Lo jangan bilang apa-apa ke dia!” ancam Anira cepat, ketika melihat sosok Deril berjalan ke arah mereka.“Hmm.”Deril menghampiri keduanya, menggandeng Anira, sembari berpamitan dengan Reksa, kemudian menuju ke mobilnya sendiri.“Kamu tadi bicara apa sama Reksa?” tanya Deril di dalam mobil. Sebelah tangannya terjulur menggenggam tangan Anira erat. Anira memilih mengangkat bahunya, sebagai jawaban. Deril juga tidak melihat ada yang aneh dengan jawaban itu. Dua orang itu juga sudah bersahabat sedemikian lama, apa saja bisa jadi pembicaraan di antara keduanya.“Ka
“Velma, mau sampai kapan lo keras kepala kaya gini? Apa harus banget lo buat semuanya jadi rumit?”Velma menatap kakaknya itu tajam. “Gue yang bikin semua rumit? Dari semua perempuan, kenapa harus dia sih, memangnya?”Deril mulai capek, dia tidak pernah menyukai perdebatan. Dibanding Velma, dia akan selalu kekurangan kosakata untuk meladeni adiknya itu. “Jadi, lo lebih milih Anira sama Reksa dibanding sama gue?” tanyanya tajam.Seketika itu juga, air mata yang sejak tadi masih menumpuk di mata Velma, mulai jatuh mengalir ke pipinya. “Lo bilang apa?” suaranya yang keluar dari mulutnya sampai bergetar.Nyaris saat itu juga, Deril langsung menyesali apa yang dia ucapkan tadi. “Bukan apa-apa! Gue balik ke apartemen dulu, kayanya kita nggak bisa ngomong sekarang.”Tadinya dia datang ke sini hendak membicarakan tentang semuanya ke keluarganya, tapi sepertinya dia harus menerima kegagalan.“Nggak! Lo nggak boleh pergi, sebelum jawab gue! Lo bilang apa? Cincin itu? Punya siapa sebenarnya?”D
“Vel, Kakak mau, kita bicara baik-baik. Apa yang bikin lo anti banget sama Anira? Terlepas dari semua prasangka buruk kamu?” Velma terdiam. “Itu bukan prasangka buruk, Kak! Gue juga perempuan, gue tahu modelan cewek kaya dia itu.” Deril tidak senang, adiknya menjelek-jelakkan kekasihnya sendiri, tapi dia mencoba sabar. Tadi dia terlalu emosi, dan malah meninggalkan Velma begitu saja. Hasilnya, malah muncul masalah baru. “Kaya apa? Coba jelasin ke kakak.” “Kaya gitu. Licik, ganjen. Hobi tebar jaring di mana-mana. Terus pura-pura polos.” Deril mengacak rambut Velma gemas. “Lo kebanyakan nonton drama. Sekarang gue tanya, tujuan Anira kaya gitu apa? Kalau memang semisal yang lo bilang itu benar?” “Ya, mana gue tahu, lo tanya aja sama dia.” “Vel, gue jauh lebih dulu kenal Anira daripada lo. Dia sama sekali nggak kaya gitu. Gue pacar pertama dia. Dan dia juga nggak pernah ngasih sinyal aneh-aneh ke cowok lain.” Velma masih cemberut, terlihat jelas kalau dia tidak percaya penjela
Setelah berjanji akan menghubungi orang tua Anira, kalau dia mendapatkan kabar, Deril mengakhiri panggilan itu.Dia tidak ingin menimbulkan kecemasan yang berlebihan, tapi ternyata malah sebaliknya. Dia sama sekali belum mendapatkan informasi tentang keberadaan Anira.Tidak lagi tertarik meneruskan semua rencananya, Deril segera pergi dari sana, menghubungi semua teman Anira yang dia tahu, mencari Anira ke tempat biasa dia pergi.Tempat Gym, cafe favorit, sampai klinik kecantikan tempat Anira biasa perawatan, semua dia datangi, tapi masih nihil.Hingga tengah malam, mereka belum mendapatkan kabar mengenai Anira. Kecemasan itu semakin meningkat saja.Reksa bahkan sudah hendak melapor semuanya ke polisi, tapi karena belum sampai 24 jam, mereka masih belum bisa melaporkan itu sebagai kehilangan.“Anira nggak pernah kaya gini sebelumnya. Kalau pun dia nggak bawa hp, dia pasti akan coba kasih tahu keluarganya dengan cara lain!”Reksa tidak menanggapi, tapi dia tidak menyangkal juga.
“Kamu harusnya tanya adik kamu itu! Kalau bukan dia mengurungku dan meninggalkankanku dalam keadaan terkunci, aku nggak akan pulang terlambat! Papa nggak akan perlu keluar mencariku! Papa nggak perlu berbaring di dalam sana!” tunjukknya ke arah ruang operasi dengan mata nyalang. Deril terkejut bukan main. “Ta-tapi Velma bilang dia sama sekali nggak ketemu kamu di kantormu.”“Aku sudah heran, kenapa adikmu yang biasanya ketus, mau berinisiatif menjemputku! Harusnya aku tidak ikut dengannya! Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!” Kakinya lemas, dia merasa seluruh tulangnya dilolosi dari tubuhnya.Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk, tapi kenapa dia tidak kunjung terbangun. Warna merah di ruang operasi yang tidak kunjung padam membuat Anira semakin putus asa. Penyesalan itu makin menggunung bagai bola salju.Beribu tanya kenapa, bermunculan di kepalanya. Kenapa harus ayahnya? Kenapa dia tidak berteriak lebih awal tadi, kenapa dia harus berusaha mendekatkan diri ke Velma? Dia tidak b
Ibu Deril, dengan ragu, membela Velma. “Ini semua kecelakaan Ril. Velma juga nggak nyangka kejadiannya bakal kaya gini.” Velma menganggukkan kepalanya cepat. “Iya, Kak. Aku Cuma iseng.” Bagaimana mungkin sebuah keisengan itu, berakir seperti ini?“Iseng? Vel, kamu mengurung Anira di tempat asing, malam-malam sendirian! Kalau nggak ada kejadian ini, sampai kapan kamu mau mengurung dia di sana?!”Velma mengkerut, gemetar. Deril tidak pernah semarah ini, padanya. “Toh, dia bisa keluar juga kan.” Dia tidak akan pernah mengakui, kalau dia berniat membiarkan Anira semalaman di sana.Seorang temannya bekerja di perpustakaan itu, dan dia sudah meminta, temannya itu untuk datang pagi sekali, dan mengeluarkan Anira dari sana.“Dia beruntung ketemu orang baik! Gimana kalau orang itu jahat? Kamu nggak mikir sama sekali!”“Ril, udah jangan marahi adik kamu lagi. Marah nggak akan menyelesaikan apapun.”“Ma, coba kalau Velma diperlakukan kaya gitu! Apa mama masih bisa seperti ini?”Ibu Deril
“Nir, dengar dulu. Papa nggak bermaksud bicara seperti itu.” Panik, Deril buru-buru menjelaskan. Dia tidak mengerti, kenapa ayahnya malah menambah buruk keadaan?“Keluarga kami masih mampu! Kami tidak butuh belas kasihan kalian!” Menusuk suara Leo, pandangannya dingin menatap keluarga pacar adiknya itu. “Pergi!”“Leo, please jangan kaya gini. Dengerin dulu, penjelasan gue.” Anira benar-benar merasa malu pada ibu dan kakaknya saat itu. Dia marah, sedih, dan benar-benar kecewa. Namun, dia tidak ingin terus-menerus berlindung di belakang pundak kakaknya. Anira menghapus kasar air matanya.“Saya berterima kasih, atas kesediaan Om sekeluarga untuk datang ke sini. Om sudah menyampaikan semuanya! Apa bisa kalian pergi sekarang?” Tenggorokannya tercekat. Bukan permintaan maaf seperti ini yang dia harapkan. Kalau seperti ini, dia juga tidak butuh.“Nak, Anira. Jangan begini, Kami semua juga ikut sedih dengan keadaan ayah kamu. Biarkan. Kami bertanggung jawab, dengan begini, tante dan