“Lo tahu Deril kaya apa. Kalau dia nggak serius, dia nggak bakalan ngedekatin lo, dan beresiko ngerusak pertemanan kita.” Reksa mengangkat tangannya ragu, tapi kemudian dia menepuk pundak Anira lembut.
Selama dia bisa melihat senyum Anira, rasanya dia bisa melakukan apa saja. Melihat wanita itu bahagia sudah lebih dari cukup untuknya. Dia tidak akan merusak kebahagiaan Anira, dengan perasaannya.
“Ah, itu Deril udah datang. Lo jangan bilang apa-apa ke dia!” ancam Anira cepat, ketika melihat sosok Deril berjalan ke arah mereka.
“Hmm.”
Deril menghampiri keduanya, menggandeng Anira, sembari berpamitan dengan Reksa, kemudian menuju ke mobilnya sendiri.
“Kamu tadi bicara apa sama Reksa?” tanya Deril di dalam mobil. Sebelah tangannya terjulur menggenggam tangan Anira erat.
Anira memilih mengangkat bahunya, sebagai jawaban. Deril juga tidak melihat ada yang aneh dengan jawaban itu. Dua orang itu juga sudah bersahabat sedemikian lama, apa saja bisa jadi pembicaraan di antara keduanya.
“Kamu cantik banget malam ini,” ujarnya.
Anira tersipu malu. “Kamu baru sadar? Dari tadi kemana saja!” gerutunya berpura-pura kesal.
Deril tersenyum kecil, dia mengecup punggung tangan Anira lembut, kemudian mendekatkan tangan itu di dadanya. “Dari tadi aku ngucapinnya dalam hati aja.”
Anira tertawa kecil. “Oh, gitu? Jadi hari biasanya aku nggak cantik?”
Jebakan batman apalagi ini? Deril berdeham, berpura-pura gugup. “Biasanya cantik, malam ini cantiknya spesial.”
“Hmmh, kamu emang paling bisa kalau ngomong.”
Deril tersenyum. “Aku jadi nggak pengen nganterin kamu pulang,” gumamnya. Rasanya waktu berlalu sangat cepat, setiap kali dia bersama kekasihnya ini.
“Kamu udah janji sama papa, mau nganterin aku jam sembilan, pak Deril yang terhormat,” goda Anira sembari mengusap punggung tangan pria itiu dengan ujung ibu jarinya. “Gimana? Mau ingkar janji?”
Deril menatap ke arah jam digital yang tertera di monitor mobilnya, sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Umur mereka mungkin sudah dewasa, tapi Anira masih tinggal dengan kedua orangtuanya, dan jam malam gadis itu cukup ketat.
“Pengennya sih gitu, tapi aku takut kehilangan restu dari calon papa mertua, jadi mau nggak mau harus pulangin anaknya tepat waktu.”
Mulut Anira terbuka lebar, dia menatap Deril terkejut, tidak menyangka apa yang keluar dari mulut Deril. “Dih pede, emangnya aku udah setuju,” elaknya, mencoba terlihat biasa saja, tapi binar di matanya sama sekali tidak bisa berbohong.
Deril terdiam, dia menepikan mobilnya ke pinggir, kemudian menoleh ke Anira. “Kamu nggak setuju? Hmm?” sebelah tangannya yang masih bebas mengusap pipi Anira lembut.
Anira berusaha mengelak malu, tapi Deril semakin erat menggenggam tangan kekasihnya itu. “Anira,” panggilnya lembut.
Suara bariton pria itu menggema di telinga Anira, membuat jantungnya terasa semakin berdegup kencang. “Mana ada orang ngelamar kaya gini!” gerutunya sedikit tergagap.
Dia sangat tergoda untuk mengiyakan perkataan Deril itu, tapi untungnya di saat terakhir dia masih mampu mempertahankan diri.
Deril tertawa gemas, dia menarik gadis itu ke pelukannya, kemudian mengecup puncak kepala Anira penuh sayang. “Anira, aku serius sama kamu.” Dengan lembut dia membimbing wanita itu untuk mendongak.
Pandangan keduanya bertemu. Anira bisa melihat keseriusan di mata pria itu. “Sebentar lagi, kamu mau kan nunggu aku sebentar lagi?”
Dia ingin memberikan semua yang terbaik untuk gadis itu. Dia ingin hubungan mereka sudah direstui oleh keluarganya juga, jadi dia bisa melamar gadis itu dengan restu semuanya. Anira layak mendapatkan itu.
Anira menggigit bibirnya, kemudian menganggukkan kepalanya.
Perlahan Deril menundukkan kepalanya, menyapu bibir gadis itu lembut. Anira menutup matanya, menyambut sentuhan itu dengan hati terbuka.
Telapak tangan Deril pindah ke belakang leher Anira, menopangnya seraya memperdalam kecupan mereka. Sentuhan itu sama sekali tidak cukup untuknya, perlahan dia melumat bibir lembut itu dengan penuh perasaan.
Anira merasakan perutnya bergolak, bagai ada ribuan kupu-kupu memberontak di sana, dia mencengkram sisi jas Deril, menahan gejolak perasaannya sendiri.
Keduanya hanyut, membiarkan gejolak itu berubah jadi ombak dan menyeret mereka semakin jauh. Sampai akhirnya sebelah tangan Deril mulai bergerak meraba bagian punggungnya, dan terus merambat ke bawah.
Anira seketika tersadar, dengan cepat dia menahan tangan Deril untuk terus menjelajah di tempat yang tidak seharusnya, matanya terbuka menatap Deril cemas.
Mata itu masih sedikit berkabut, sehingga penolakan Anira bahkan terasa ambigu di mata Deril. Hasrat tertahan terpampang jelas di mata pria itu. Penuh tuntutan, mendesak ingin dilampiaskan.
Wajah Anira terasa panas, dia tahu, pria itu menginginkannya, tapi masih ada penghalang di antara mereka berdua.
“Ra?” Suara parau itu penuh tuntutan sekaligus permohonan di saat yang sama. “My apartment?”
Genggaman Anira di lengan pria itu semakin kuat, matanya menunjukkan pergolakan. Penolakan dan hasrat, berperang di sana. Pandangan Deril hanya membuatnya semakin galau saja.
“No! Kita nggak bisa melakukan ini. Kamu udah janji sama aku!” tolaknya tegas. Dia mundur ke belakang, hingga punggungnya menempel di bagian pintu.
Deril terdiam, bagai tersadarkan, kemudian dia menepuk wajahnya sendiri dengan keras. “Kamu benar! Sorry aku kelepasan,” gumamnya.
Dia lalu mengusap wajahnya gusar, berusaha menghilangkan semua bara yang tersulut itu. Bukan hal yang mudah, berpacaran dan masih menjaga batasan yang tidak boleh dilewati.
Keduanya manusia muda normal, yang memiliki hasrat menggebu, bukan sekali dua kali, keduanya main api dan nyaris keterusan, tapi mereka masih berhasil berhenti sebelum mencapai tahap akhir.
Deril hanya laki-laki biasa, punya hasrat apalagi terhadap perempuan yang dia cintai. Namun, dibanding nafsunya, dia lebih mencintai Anira, dia tidak ingin merusak gadis itu, dengan sesuatu yang pasti akan mereka sesali.
Deril memeluk Anira erat, mengusap lembut surai halus itu. Semuanya akan indah, kalau mereka melakukannya di waktu yang tepat, dan itulah yang ingin dia berikan untuk gadis kesayangannya itu.
“Aku akan antar kamu pulang, sekarang!” Ucapan itu lebih terdengar seperti janji, dan upaya Deril untuk menguasai dirinya sendiri.
Dengan tergesa dia menyalakan mesin mobil, dan melajukannya kembali ke jalan raya. Anira di dalam mobil itu masih terasa aneh, dan sangat canggung. Anira meremas tangannya bergantian, dan memilih untuk menatap pemandangan yang ada di luar.
“Maaf.”
Anira dan Deril menoleh, ketika menyadari kalau mereka mengucapkan kata itu bersamaan, ketika pandangan keduanya bertemu, keduanya langsung tertawa kecil. Merasa kalau diri mereka sangat konyol.
Perjalanan sepanjang menuju ke rumah Anira itu kembali normal. Keduanya asyik berbicara hingga tidak terasa kalau mereka sudah sampai.
Deril menggenggam erat tangan Anira, enggan berpisah dengan kekasihnya itu. “Kita udah sampai,” gumamnya.
Berpisah dengan Anira di akhir hari selalu jadi hal yang berat untuknya. Rasanya waktu tidak pernah cukup kala mereka sedang berdua.
“Aku turun ya, kamu juga hati-hati di jalan. Kabari aku kalau udah sampai.”
“Hmm.” Deril mencondongkan tubuhnya ke arah Anira, mengecup kening wanita itu lembut.
“Kamu ke apart, atau ke rumah kamu?” tanya Anira, membiarkan pria itu terus menggenggam dan memainkan tangannya.
“Ke rumah,” jawab Deril ambigu. Mata Anira melebar, tapi dengan cepat dia menahan dirinya sendiri, tidak ingin terlalu berharap dan jatuh kecewa.
Deril juga tidak lagi mengatakan apa-apa, dia tidak ingin berjanji terlalu banyak, sebelum dia bahkan memulai apa-apa.
***
Deril sedang mengamati cincin yang baru dibelinya. Pikirannya melayang, tentang semua rencana yang sudah dia susun. Sampai dia tidak menyadari, pintu Reksarnya terbuka.
Brak!
“Kak, lo lagi di rumah? Anterin gue ke kampus ya, mobil gue lagi diservis!” pinta Velma adiknya.
Terkejut, cincin itu terlepas dari tangan Deril, lepas dari kotaknya, dan tergeletak begitu saja, di atas lantai.
“Itu apa?” Velma menyipitkan matanya, melihat cincin mungil yang nyaris tidak kelihatan karena sinar yang terpantul dari lantai Reksar Deril itu. “Cincin? Punya lo, Kak?”
“Bukan apa-apa!” Dengan cepat Deril membungkuk, mengambil cincin itu dan memasukkannya ke dalam sakunya. “Lo biasain kek, ketuk pintu dulu kalau mau masuk! Kalau gue lagi ganti baju gimana?”
“Dih, lebai!” Velma mengibaskan tangannya tidak sabar. “Itu cincin apaan? Emangnya lo punya cewek?” tanyanya.
Pertanyaan yang sudah tidak seharusnya lagi ditanyakan oleh keluarga Deril, mengingat hubungan keduanya sudah berjalan dua tahun. Namun, kenyataannya demikian. Keluarga Deril sama sekali tidak mengetahui hubungan Anira dan Deril.
Semua hanya tahu kalau Anira adalah teman dekat pria itu. Karena sebelum mereka jadian, Deril sudah memutuskan tinggal di apartemennya sendiri, yang lebih dekat dengan kantor tempat dia bekerja.
Velma mengerutkan keningnya. “Bukan sama Anira kan?” tanyanya sambil memicingkan matanya curiga.
“Apa sih dek? Memangnya ada apa sama Anira?”
“Beneran Anira? Gue nggak setuju! Gue nggak akan pernah setuju lo sama cewek modelan kaya gitu!” bantahnya keras kepala.
Deril memegang kepalanya yang mulai terasa panas. Ini adalah salah satu halangan terbesar, yang harus dia lewati sebelum memutuskan untuk melamar kekasihnya itu. Dan alasan utama, kenapa keluarganya tidak mengetahui hubungannya dengan gadis itu.
“Nggak usah teriak-teriak. Ini bukan hutan! Gue tanya baik-baik, kenapa lo nggak suka sama Anira?”
Velma adalah adik perempuan satu-satunya, dan jarak usia mereka terpaut sampai lima tahun. Semenjak kecil, Deril dan keluarganya, sudah terbiasa memanjakan gadis itu, dan nyaris tidak pernah menolak permintaannya.
Saat ini, Deril merasakan kalau mungkin itu adalah suatu kesalahan, karena Velma tumbuh menjadi gadis manja, yang sangat keras kepala. Adiknya itu bisa sangat manis, tapi bisa langsung berubah 180 derajat apabila ada sesuatu yang tidak dia sukai.
“Perempuan baik-baik, nggak akan ngegantungin lo sama Kak Reksa sebegitu lama!” ujarnya ketus.
“Siapa yang ngegantungin siapa?” Deril terheran. “Lo salah paham, gue dan Reksa memang suka sama Anira, tapi Anira sama sekali nggak tahu, soal Reksa.”
Berbanding terbalik dengan Deril yang sangat vokal menunjukkan perasaannya kepada Anira, Reksa memilih diam, dan memendam semuanya sendirian. “Lagian lo, dari mana tahu tentang ini sih?”
“Gue tahu semuanya! Lo berdua pernah nyaris berantem kan karena dia juga? Sampai mabuk segala!”
Deril menggaruk kepalanya sedikit kikuk, semua yang dikatakan adiknya itu memang pernah terjadi, tapi itu sudah dua tahun lalu, mereka mabuk saat Deril mengatakan pada Reksa hendak menyatakan perasaan pada Anira. Siapa sangka, hari itu akan menjadi sesuatu yang sangat diingat oleh Velma.
“Antara gue dan Reksa, itu Cuma persaingan sehat biasa. Anira sama sekali nggak ada kaitannya, toh pada akhirnya gue sama dia baik-baik saja kan?”
“Dan lo percaya gitu aja, kalau perempuan itu nggak tahu apa-apa, lo bodoh, Kak! Perempuan kaya dia itu manipulatif! Di depan aja sok polos nggak ngerti apa-apa.”
“Velma!”
Velma terkejut, hingga bahunya terangkat, mendengar teriakan itu, tidak pernah sekalipun Deril membentaknya sampai seperti itu.
“Kak, lo bentak gue untuk perempuan kaya dia?”
Deril mengacak rambutnya frustrasi. “Sorry, gue nggak maksud. Gue Cuma nggak suka lo ngomong kasar, kaya orang nggak pernah diajarin!”
Mata Velma sudah berkaca-kaca, seumur dia hidup, baru kali ini dia mendapatkan perlakuan seperti ini dari kakaknya itu.
“Pokoknya, sampai kapan pun gue nggak akan pernah setuju, lo sama dia! Lo tahu, mama dan papa nggak akan pernah nerima dia, kalau gue nggak setuju!”
“Velma, mau sampai kapan lo keras kepala kaya gini? Apa harus banget lo buat semuanya jadi rumit?”Velma menatap kakaknya itu tajam. “Gue yang bikin semua rumit? Dari semua perempuan, kenapa harus dia sih, memangnya?”Deril mulai capek, dia tidak pernah menyukai perdebatan. Dibanding Velma, dia akan selalu kekurangan kosakata untuk meladeni adiknya itu. “Jadi, lo lebih milih Anira sama Reksa dibanding sama gue?” tanyanya tajam.Seketika itu juga, air mata yang sejak tadi masih menumpuk di mata Velma, mulai jatuh mengalir ke pipinya. “Lo bilang apa?” suaranya yang keluar dari mulutnya sampai bergetar.Nyaris saat itu juga, Deril langsung menyesali apa yang dia ucapkan tadi. “Bukan apa-apa! Gue balik ke apartemen dulu, kayanya kita nggak bisa ngomong sekarang.”Tadinya dia datang ke sini hendak membicarakan tentang semuanya ke keluarganya, tapi sepertinya dia harus menerima kegagalan.“Nggak! Lo nggak boleh pergi, sebelum jawab gue! Lo bilang apa? Cincin itu? Punya siapa sebenarnya?”D
“Vel, Kakak mau, kita bicara baik-baik. Apa yang bikin lo anti banget sama Anira? Terlepas dari semua prasangka buruk kamu?” Velma terdiam. “Itu bukan prasangka buruk, Kak! Gue juga perempuan, gue tahu modelan cewek kaya dia itu.” Deril tidak senang, adiknya menjelek-jelakkan kekasihnya sendiri, tapi dia mencoba sabar. Tadi dia terlalu emosi, dan malah meninggalkan Velma begitu saja. Hasilnya, malah muncul masalah baru. “Kaya apa? Coba jelasin ke kakak.” “Kaya gitu. Licik, ganjen. Hobi tebar jaring di mana-mana. Terus pura-pura polos.” Deril mengacak rambut Velma gemas. “Lo kebanyakan nonton drama. Sekarang gue tanya, tujuan Anira kaya gitu apa? Kalau memang semisal yang lo bilang itu benar?” “Ya, mana gue tahu, lo tanya aja sama dia.” “Vel, gue jauh lebih dulu kenal Anira daripada lo. Dia sama sekali nggak kaya gitu. Gue pacar pertama dia. Dan dia juga nggak pernah ngasih sinyal aneh-aneh ke cowok lain.” Velma masih cemberut, terlihat jelas kalau dia tidak percaya penjela
Setelah berjanji akan menghubungi orang tua Anira, kalau dia mendapatkan kabar, Deril mengakhiri panggilan itu.Dia tidak ingin menimbulkan kecemasan yang berlebihan, tapi ternyata malah sebaliknya. Dia sama sekali belum mendapatkan informasi tentang keberadaan Anira.Tidak lagi tertarik meneruskan semua rencananya, Deril segera pergi dari sana, menghubungi semua teman Anira yang dia tahu, mencari Anira ke tempat biasa dia pergi.Tempat Gym, cafe favorit, sampai klinik kecantikan tempat Anira biasa perawatan, semua dia datangi, tapi masih nihil.Hingga tengah malam, mereka belum mendapatkan kabar mengenai Anira. Kecemasan itu semakin meningkat saja.Reksa bahkan sudah hendak melapor semuanya ke polisi, tapi karena belum sampai 24 jam, mereka masih belum bisa melaporkan itu sebagai kehilangan.“Anira nggak pernah kaya gini sebelumnya. Kalau pun dia nggak bawa hp, dia pasti akan coba kasih tahu keluarganya dengan cara lain!”Reksa tidak menanggapi, tapi dia tidak menyangkal juga.
“Kamu harusnya tanya adik kamu itu! Kalau bukan dia mengurungku dan meninggalkankanku dalam keadaan terkunci, aku nggak akan pulang terlambat! Papa nggak akan perlu keluar mencariku! Papa nggak perlu berbaring di dalam sana!” tunjukknya ke arah ruang operasi dengan mata nyalang. Deril terkejut bukan main. “Ta-tapi Velma bilang dia sama sekali nggak ketemu kamu di kantormu.”“Aku sudah heran, kenapa adikmu yang biasanya ketus, mau berinisiatif menjemputku! Harusnya aku tidak ikut dengannya! Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!” Kakinya lemas, dia merasa seluruh tulangnya dilolosi dari tubuhnya.Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk, tapi kenapa dia tidak kunjung terbangun. Warna merah di ruang operasi yang tidak kunjung padam membuat Anira semakin putus asa. Penyesalan itu makin menggunung bagai bola salju.Beribu tanya kenapa, bermunculan di kepalanya. Kenapa harus ayahnya? Kenapa dia tidak berteriak lebih awal tadi, kenapa dia harus berusaha mendekatkan diri ke Velma? Dia tidak b
Ibu Deril, dengan ragu, membela Velma. “Ini semua kecelakaan Ril. Velma juga nggak nyangka kejadiannya bakal kaya gini.” Velma menganggukkan kepalanya cepat. “Iya, Kak. Aku Cuma iseng.” Bagaimana mungkin sebuah keisengan itu, berakir seperti ini?“Iseng? Vel, kamu mengurung Anira di tempat asing, malam-malam sendirian! Kalau nggak ada kejadian ini, sampai kapan kamu mau mengurung dia di sana?!”Velma mengkerut, gemetar. Deril tidak pernah semarah ini, padanya. “Toh, dia bisa keluar juga kan.” Dia tidak akan pernah mengakui, kalau dia berniat membiarkan Anira semalaman di sana.Seorang temannya bekerja di perpustakaan itu, dan dia sudah meminta, temannya itu untuk datang pagi sekali, dan mengeluarkan Anira dari sana.“Dia beruntung ketemu orang baik! Gimana kalau orang itu jahat? Kamu nggak mikir sama sekali!”“Ril, udah jangan marahi adik kamu lagi. Marah nggak akan menyelesaikan apapun.”“Ma, coba kalau Velma diperlakukan kaya gitu! Apa mama masih bisa seperti ini?”Ibu Deril
“Nir, dengar dulu. Papa nggak bermaksud bicara seperti itu.” Panik, Deril buru-buru menjelaskan. Dia tidak mengerti, kenapa ayahnya malah menambah buruk keadaan?“Keluarga kami masih mampu! Kami tidak butuh belas kasihan kalian!” Menusuk suara Leo, pandangannya dingin menatap keluarga pacar adiknya itu. “Pergi!”“Leo, please jangan kaya gini. Dengerin dulu, penjelasan gue.” Anira benar-benar merasa malu pada ibu dan kakaknya saat itu. Dia marah, sedih, dan benar-benar kecewa. Namun, dia tidak ingin terus-menerus berlindung di belakang pundak kakaknya. Anira menghapus kasar air matanya.“Saya berterima kasih, atas kesediaan Om sekeluarga untuk datang ke sini. Om sudah menyampaikan semuanya! Apa bisa kalian pergi sekarang?” Tenggorokannya tercekat. Bukan permintaan maaf seperti ini yang dia harapkan. Kalau seperti ini, dia juga tidak butuh.“Nak, Anira. Jangan begini, Kami semua juga ikut sedih dengan keadaan ayah kamu. Biarkan. Kami bertanggung jawab, dengan begini, tante dan
Anira menatap kakaknya cemas, mulutnya kaku, tidak bisa bersuara. Bahkan ibunya yang tadi mulai tertidur di kursi, segera terbangun, mendengar teriakan panik Leo itu.“Papa kamu kenapa?”“Papa sadar, Ma!”Tidak lama setelah Leo berkata demikian, seorang suster jaga, datang menghampiri mereka.“Ada apa?” tanya perawat itu. Dia datang karena panggilan tombol nurse call yang ditekan Leo di ruangan tadi.“Ayah saya, sadar, Sus.”“Sebentar! Saya panggil dokter dulu.” Menyadari kalau itu di luar wewenangnya, perawat itu segera menelepon dokter. Kemudian masuk ke dalam ruang ICU itu. “Jangan ada yang masuk dulu!” ujarnya.Anira dan keluarganya, menunggu dalam keadaan tidak tenang di luar.“Papa kamu benar-benar sadar?” Mata ibu Anira berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk, ada bahagia yang membuncah, tapi ada ketakutan kalau itu hanya harapan semu.Anira lekat menatap ruangan tempat ayahnya berbaring lemah itu. Ketika dokter datang dan masuk ke ruangan itu, Anira memanfaatkan celah ke
“Nia, kenapa kamu di luar?”“Kak.” Mata Anira kembali berkaca-kaca, melihat ibu dan kakaknya tiba. “Papa sudah tahu,” gumamnya.“Sudah tahu apa?”“Semuanya.” Anira menundukkan kepalanya, dia merasa ini semua terjadi karenanya. Dengan suara lirih dia menceritakan apa yang terjadi.“Kenapa mereka harus sampai seperti ini. Kita bahkan belum mengatakan apapun tentang melaporkan tindakan adik Deril itu, tapi mereka sudah tidak sabar mencari pembenaran sendiri.” Leo benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah keluarga pacar adiknya itu.Karena keadaan ayah mereka, tidak ada satu pun yang berniat membahas apa yang terjadi. Selain kemarahan Anira di hari pertama, tidak sekalipun mereka mengatakan akan menuntut Velma.Namum, keluarga Deril terus-menerus mengganggu dan menyampaikan pembenaran diri mereka. Tidak peduli sebaik apa niat mereka, dengan segala sikap itu, keluarga Deril lebih terlihat seperti pengecut yang ingin dengan cepat melepaskan diri dari tanggung jawab.“Aku juga nggak ta