“Velma, mau sampai kapan lo keras kepala kaya gini? Apa harus banget lo buat semuanya jadi rumit?”
Velma menatap kakaknya itu tajam. “Gue yang bikin semua rumit? Dari semua perempuan, kenapa harus dia sih, memangnya?”
Deril mulai capek, dia tidak pernah menyukai perdebatan. Dibanding Velma, dia akan selalu kekurangan kosakata untuk meladeni adiknya itu. “Jadi, lo lebih milih Anira sama Reksa dibanding sama gue?” tanyanya tajam.
Seketika itu juga, air mata yang sejak tadi masih menumpuk di mata Velma, mulai jatuh mengalir ke pipinya. “Lo bilang apa?” suaranya yang keluar dari mulutnya sampai bergetar.
Nyaris saat itu juga, Deril langsung menyesali apa yang dia ucapkan tadi. “Bukan apa-apa! Gue balik ke apartemen dulu, kayanya kita nggak bisa ngomong sekarang.”
Tadinya dia datang ke sini hendak membicarakan tentang semuanya ke keluarganya, tapi sepertinya dia harus menerima kegagalan.
“Nggak! Lo nggak boleh pergi, sebelum jawab gue! Lo bilang apa? Cincin itu? Punya siapa sebenarnya?”
Deril berbalik, dia memegangi kedua sisi tubuh adiknya itu. “Vel, gue tahu lo suka sama Reksa, tapi lo juga tahu kan kalau dia Cuma nganggep lo adik aja?”
Velma menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Kasih tahu gue, cincin itu, bukan punya Kak Reksa kan?”
Perasaan itu bagai misteri, tidak ada yang bisa menentukan kepada siapa dia akan berlabuh. Kalau dia bisa memilih, tentu saja dia ingin agar Reksa dan adiknya bisa bersama. Mereka adalah dua orang yang sangat berarti untuknya.
Sayangnya, hidup seringkali bergerak ke arah yang tidak diinginkan. Dia dan Reksa harus terjebak mencintai perempuan yang sama, dan dengan perasaan Velma, keempatnya semakin berputar di hubungan yang menyakitkan.
“Cincinnya punya gue, lo tenang aja.” Deril pada akhirnya menjawab dengan enggan. Dia lalu melepaskan adiknya itu dan melangkah mundur. “Gue balik dulu, lo pikirin kata-kata gue tadi.”
Velma terdiam, dia tidak lagi menahan kepergian Deril, dia tidak menyangka kalau jadinya akan seperti ini. Jawaban Deril tadi sama sekali tidak membuatnya lega. Matanya bergerak liar, panik.
Butuh beberapa menit, sampai akhirnya Velma bisa bergerak dari tempatnya. Melupakan semua rencana awalnya untuk pergi ke kampus. Dia mengambil ponselnya, berlari keluar, dan naik taksi menuju ke suatu tempat.
***
Di tempat lain, Reksa sedang makan bersama dengan Anira.
“Deril sibuk apa sih? Akhir-akhir ini susah banget ketemu dia,” gumamnya sembari
“Nggak usah mikir aneh-aneh! Nih makan aja, daging favorit lo. Biar nggak overthinking.” Reksa dengan cepat meletakkan sepotong daging yang baru saja matang di atas piring Anira.
Hari ini, keduanya memutuskan untuk makan di sebuah korean barbeque yang baru buka di Jakarta. Harusnya Deril ikut, tapi di detik-detik terakhir pria itu memutuskan untuk membatalkan secara sepihak.
Anira mengambil potongan daging itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya, matanya sedikit menyipit, merasakan lumernya daging itu di mulutnya. “Hahh, gue Cuma mikir aja, sesibuk apa sih dia, sampai nggak punya waktu sedikit pun buat gue? Lo yang sekantor aja, masih ada di sini kan?”
Reksa dan Deril memang merintis usaha bersama semenjak mereka lulus kuliah. Dengan jurusan yang sama sebenarnya keduanya juga mengajak Anira, tapi dengan cepat Anira menolak, dan memilih kerja di perusahaan lain yang lebih stabil.
“Kerjaan gue sama dia beda.”
Anira memutar bola matanya kesal. “Terus aja lo belain dia!” Anira kembali memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya. Protes itu hanya sekedar untuk menghilangkan kekesalannya saja, dia tidak benar-benar marah pada Deril.
Reksa tersenyum tipis. “Lo protesnya jangan sama gue, ngomong langsung sama Deril,” ejeknya.
“Nanti gue bakal omelin dia, tapi sekarang adanya lo doang, jadi terima aja.”
Reksa membuka mulutnya, kemudian menutupnya kembali. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Anira, saat ini tanpa membongkar rencana Deril.
Keduanya diam, makan apapun yang ada di atas panggangan itu. Lebih tepatnya, Reksa sibuk membakar dan, Anira sibuk menghabiskan daging itu, sampai ponsel Reksa berbunyi nyaring. Reksa melihat nama pemanggil itu, mengerutkan keningnya, kemudian menerimanya. “Halo?”
Anira menatap dengan pandangan bertanya.
“Velma,” gumam Reksa tanpa suara. Anira mengangguk, membiarkan pria itu melanjutkan pembicaraannya.
“Gue lagi di sudirman, kenapa emangnya?” tanya Reksa, kemudian keningnya berkerut, mendengar jawaban dari penelepon itu. “Lagi sama Anira.” Dia lalu menyebutkan nama restoran tempat mereka makan.
Anira tidak tahu apa yang dikatakan oleh Velma, tapi dia bisa melihat kerutan di kening Reksa, semakin dalam. “Gue rasa, itu sama sekali nggak ada hubungannya sama lo!” ujarnya datar.
Setelah mengatakan itu, dia langsung memutuskan panggilan itu tanpa mendengarkan apapun yang diucapkan oleh Velma.
“Kenapa?” tanya Anira.
“Bukan apa-apa, nggak begitu penting, makan lagi.”
Dia tidak mungkin mengatakan pada Anira, kalau Velma salah mengira, dia yang hendak melamar Anira, karena itu berarti dia membocorkan rencana Deril.
“Yakin?”
“Hmm, dia Cuma lagi kesal sama Deril, terus curhat.”
Mendengar jawaban itu akhirnya Anira hanya bisa mengangkat bahunya, dan tidak lagi bertanya. Dia tidak begitu dekat dengan adik kekasihnya itu, jadi tidak banyak yang bisa dibicarakan juga.
Tetapi, sepertinya hari itu, Reksa terlalu mengentengkan masalah, karena kira-kira setengah jam kemudian, Velma sudah menghampiri mereka.
Reksa ingin sekali meringis, ketika melihat Velma berjalan ke arah mereka. Wajah gadis itu menunjukkan dengan jelas apapun yang dirasakannya saat ini. Semua yang melihat bisa langsung menyadari kalau Velma sedang dalam keadaan marah.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Reksa terkejut.
“Lo belum jawab pertanyaan gue, Kak!” jawabnya ketus.
Dia menatap Anira yang duduk di seberang Reksa dengan pandangan sinis. “Lo mau ikut gue, atau gue harus bicara di sini?” tanyanya.
Reksa menatap Velma marah. “Nggak usah cari gara-gara.”
“Ini sebenarnya ada apa?” Anira kebingungan, dari yang dia lihat, Velma bukan bermasalah dengan Deril, tapi dengan Reksa. “Vel, lo bisa duduk dulu, kan? Semua bisa dibicarakan baik-baik. Nggak enak juga dilihatin orang.”
“Diem! Gue nggak ngomong sama lo!”
Anira langsung terdiam, tidak menyenangkan rasanya dibentak oleh orang lain, apalagi itu adalah gadis yang berusia lima tahun lebih muda daripada dirinya. Dia menghembuskan napas panjang, berusaha menahan diri, agar tidak tersulut.
“Gue pergi duluan, ya?” Reksa menyadari, suasana sama sekali tidak baik. Dia tidak tahu apa yang bisa diucapkan dari sana. Sebelum pergi, Velma masih sempat menoleh ke belakang, menatapnya dengan pandangan tajam.
Anira hanya bisa menghela napas panjang. Dia hanya berniat untuk keluar dan sejenak menikmati sedikit waktu luang yang dia punya, bersama dengan teman terdekat dan kekasihnya, tapi apa daya, keadaan sedang tidak berpihak padanya.
Anira menatap daging daging yang masih masih terletak begitu saja di atas meja, makanan yang sudah diinginkannya sejak seminggu lalu, mendadak tidak lagi menggugah seleranya.
Dia memutuskan untuk berusaha menghabiskan semua yang sudah mereka pesan, karena takut mubazir, tapi pada akhirnya dia harus meninggalkan sepertiga daging itu tanpa disentuh sama sekali.
Dengan langkah gontai, dia meninggalkan tempat itu, berjalan setengah hati dengan pikiran melayang jauh. Dia tidak tahu, kenapa Velma, tidak menyukainya. Adik Deril itu sudah seperti itu, semenjak mereka pertama kali bertemu.
Itu membuat Anira malas bertemu, dan menimbulkan masalah. Dia sudah tahu itu, tapi tiap kali dia mengalami sendiri perlakuan itu, dia tidak bisa menahan rasa kecewanya. Bagaimana juga, Velma adalah keluarga Deril.
“Apa karena itu, Deril tidak kunjung melamarnya?” batinnya dalam hati.
***
Sementara itu, Anira tidak tahu, Reksa pergi, karena berusaha menjaga kejutan Deril, tentang jawaban yang sudah lama dia nantikan.
“Lo takut banget, gue bongkar rencana lo ngelamar dia, kak?” cecar Velma sinis.
Reksa langsung melepas tangan Velma, sembari menoleh marah ke arah adik sahabatnya itu. “Lo ngomong apa sih? Memangnya Deril bilang apa sama lo?”
“Jawab aja pertanyaan gue!”
“Mau gue ngelamar dia, atau siapapun itu, apa hubungannya sama lo? Kenapa lo jadi marah gini?” tanya Reksa blak-blakan.
Dia kesal, tapi nada suaranya tidak banyak berubah. Bahkan kalimat pedas itu bisa keluar dari mulutnya dengan nada datar.
“Kenapa harus perempuan itu sih? Apa nggak ada perempuan lain di luar sana?”
Reksa tidak tahu apa yang dikatakan Deril pada adiknya itu sehingga Velma jadi bersikap seperti ini. “Vel, gue udah nganggep lo kaya adik gue sendiri, tapi bukan berarti lo bisa ikut campur urusan pribadi gue. Siapa yang gue suka, sama siapa gue berhubungan, itu sama sekali bukan urusan lo!”
Velma melotot kesal, ingin sekali dia menghentakkan kakinya, tapi dia menahan diri. Tidak ingin terlihat kekanakan di depan pria yang disukainya itu. “Siapa yang mau jadi adek lo! Lo tahu gimana perasaan gue!”
Reksa menggelengkan kepalanya. “Gue bakal anterin lo pulang!”
Dia sama sekali menolak untuk menyinggung mengenai topik itu.
“Kak, apa sih kurangnya gue, dibanding dia?”
Reksa menatap Velma tajam, seolah menilai gadis itu. “Gue nggak tertarik sama anak kecil.”
“Reksa!” Wajah Velma merah padam, marah bercampur malu, membuatnya menghilangkan sebutan kakak yang sudah lebih dari 10 tahun dia sematkan pada Reksa.
Reksa menatap Velma dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, hubungan Reksa dan Velma sangat baik. Reksa juga menganggap gadis itu sebagai adiknya sendiri. Namun, semua itu berubah semenjak dia mengetahui kalau gadis itu memendam perasaan lebih padanya.
Meskipun berusaha tidak memperlihatkan, tapi Reksa mulai menjaga jarak dari Velma, tidak ingin memberikan harapan yang salah.
“Lo tadi ke sini naik apa?” tanyanya, seakan tidak mendengar teriakan itu.
“Reksa!”
Reksa menghembuskan napas gusar. Kesabarannya mulai menipis. Dengan kesal dia menelepon Deril. “Lo ngomong apa sama Velma?”
“Memangnya Velma kenapa?”
Reksa menceritakan dengan singkat apa yang dilakukan gadis itu.
“What?! Sorry, Kam. Gue nggak nyangka dia bakalan salah paham gitu. Sebentar, gue ke sana!”
Reksa memutus panggilan itu, kemudian menatap Velma. “Sebentar lagi Deril datang, apa yang lo mau tahu, lo tanya aja sama dia.”
Reksa bukan orang yang memiliki kesabaran lebih. Dia paling benci diteriaki, dan dia paling benci jadi perhatian banyak orang, hari ini dia mengalami dua kejadian itu di waktu yang bersamaan.
Kalau ini orang lain, dia sudah akan pergi tanpa memperhatikan lagi. Sayangnya, terhadap Velma, dia sama sekali tidak bisa melakukan itu.
“Salah paham darimana. Gue tahu, lo sama Kak Deril suka sama dia. Apa lo mau ngehancurin persahabatan kalian hanya karena satu perempuan?”
“Pertemanan gue sama Deril nggak akan hancur karena hal kaya gitu.” Reksa tersenyum pahit. Anira sudah memilih, dan dia berusaha menghargai pilihan itu.
Velma ingin sekali menjambak rambutnya frustrasi. Kenapa Reksa tidak juga mengerti apa yang dia maksud.
“Anira nggak seburuk itu. Belajarlah untuk membuka hati lo ke dia. Lo akan sadar, dia itu baik.” Anira akan menjadi bagian keluarga Deril, dan Velma harus mulai menerima itu suka atau tidak.
Sayangnya, panik dan kalut membuat Velma overthinking. Dia menggelengkan kepalanya. “Sampai kapan pun, gue nggak akan pernah nerima dia!”
Reksa merasa dia buang-buang waktu, berbicara pada Velma, ketika gadis itu sama sekali tidak mendengarkannya. Velma terlalu emosi untuk mendengarkan apapun pendapat orang lain saat ini.
Untungnya, tidak lama kemudian Deril datang menghampiri mereka. “Lo ngapain sih Vel!” serunya.
Velma melotot marah ke Deril. “Nggak usah sok peduli!”
Deril menatap Reksa dengan pandangan penuh tanya. Kenapa adiknya bisa sampai semarah ini? “Gue yang akan ngejelasin semuanya ke Velma, lo bisa pergi sekarang. Thank you, Kam.”
Reksa mendengus. “Hmm ....” Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia berubah pikiran. “Gue pergi dulu.”
Apa yang dia ucapkan, bisa jadi melewati batas yang dimilikinya sebagai teman. Reksa tidak ingin itu.
“Gue kan udah bilang, Vel. Cincin itu punya gue. Kenapa lo masih datang ke Reksa?”
“Punya kakak? Perempuan itu, masih asyik tebar pesona dan keluar sama Kak Reksa. Itu perempuan yang kalian berdua terus bela?”
Deril tidak mengerti, bagaimana menjelaskan pada adiknya itu, hingga Velma mengerti. “Anira bukan tebar pesona, mereka Cuma makan bareng.” Demi Tuhan, bagian sebelah mana yang begitu sulit dimengerti.
“Bullshit!”
“Iya, gue berencana ngelamar Anira dalam waktu dekat.”
Velma menatap tajam Deril. “Sampai kapan pun gue nggak akan pernah setuju, perempuan itu jadi kakak ipar gue!”
“Vel, Kakak mau, kita bicara baik-baik. Apa yang bikin lo anti banget sama Anira? Terlepas dari semua prasangka buruk kamu?” Velma terdiam. “Itu bukan prasangka buruk, Kak! Gue juga perempuan, gue tahu modelan cewek kaya dia itu.” Deril tidak senang, adiknya menjelek-jelakkan kekasihnya sendiri, tapi dia mencoba sabar. Tadi dia terlalu emosi, dan malah meninggalkan Velma begitu saja. Hasilnya, malah muncul masalah baru. “Kaya apa? Coba jelasin ke kakak.” “Kaya gitu. Licik, ganjen. Hobi tebar jaring di mana-mana. Terus pura-pura polos.” Deril mengacak rambut Velma gemas. “Lo kebanyakan nonton drama. Sekarang gue tanya, tujuan Anira kaya gitu apa? Kalau memang semisal yang lo bilang itu benar?” “Ya, mana gue tahu, lo tanya aja sama dia.” “Vel, gue jauh lebih dulu kenal Anira daripada lo. Dia sama sekali nggak kaya gitu. Gue pacar pertama dia. Dan dia juga nggak pernah ngasih sinyal aneh-aneh ke cowok lain.” Velma masih cemberut, terlihat jelas kalau dia tidak percaya penjela
Setelah berjanji akan menghubungi orang tua Anira, kalau dia mendapatkan kabar, Deril mengakhiri panggilan itu.Dia tidak ingin menimbulkan kecemasan yang berlebihan, tapi ternyata malah sebaliknya. Dia sama sekali belum mendapatkan informasi tentang keberadaan Anira.Tidak lagi tertarik meneruskan semua rencananya, Deril segera pergi dari sana, menghubungi semua teman Anira yang dia tahu, mencari Anira ke tempat biasa dia pergi.Tempat Gym, cafe favorit, sampai klinik kecantikan tempat Anira biasa perawatan, semua dia datangi, tapi masih nihil.Hingga tengah malam, mereka belum mendapatkan kabar mengenai Anira. Kecemasan itu semakin meningkat saja.Reksa bahkan sudah hendak melapor semuanya ke polisi, tapi karena belum sampai 24 jam, mereka masih belum bisa melaporkan itu sebagai kehilangan.“Anira nggak pernah kaya gini sebelumnya. Kalau pun dia nggak bawa hp, dia pasti akan coba kasih tahu keluarganya dengan cara lain!”Reksa tidak menanggapi, tapi dia tidak menyangkal juga.
“Kamu harusnya tanya adik kamu itu! Kalau bukan dia mengurungku dan meninggalkankanku dalam keadaan terkunci, aku nggak akan pulang terlambat! Papa nggak akan perlu keluar mencariku! Papa nggak perlu berbaring di dalam sana!” tunjukknya ke arah ruang operasi dengan mata nyalang. Deril terkejut bukan main. “Ta-tapi Velma bilang dia sama sekali nggak ketemu kamu di kantormu.”“Aku sudah heran, kenapa adikmu yang biasanya ketus, mau berinisiatif menjemputku! Harusnya aku tidak ikut dengannya! Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!” Kakinya lemas, dia merasa seluruh tulangnya dilolosi dari tubuhnya.Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk, tapi kenapa dia tidak kunjung terbangun. Warna merah di ruang operasi yang tidak kunjung padam membuat Anira semakin putus asa. Penyesalan itu makin menggunung bagai bola salju.Beribu tanya kenapa, bermunculan di kepalanya. Kenapa harus ayahnya? Kenapa dia tidak berteriak lebih awal tadi, kenapa dia harus berusaha mendekatkan diri ke Velma? Dia tidak b
Ibu Deril, dengan ragu, membela Velma. “Ini semua kecelakaan Ril. Velma juga nggak nyangka kejadiannya bakal kaya gini.” Velma menganggukkan kepalanya cepat. “Iya, Kak. Aku Cuma iseng.” Bagaimana mungkin sebuah keisengan itu, berakir seperti ini?“Iseng? Vel, kamu mengurung Anira di tempat asing, malam-malam sendirian! Kalau nggak ada kejadian ini, sampai kapan kamu mau mengurung dia di sana?!”Velma mengkerut, gemetar. Deril tidak pernah semarah ini, padanya. “Toh, dia bisa keluar juga kan.” Dia tidak akan pernah mengakui, kalau dia berniat membiarkan Anira semalaman di sana.Seorang temannya bekerja di perpustakaan itu, dan dia sudah meminta, temannya itu untuk datang pagi sekali, dan mengeluarkan Anira dari sana.“Dia beruntung ketemu orang baik! Gimana kalau orang itu jahat? Kamu nggak mikir sama sekali!”“Ril, udah jangan marahi adik kamu lagi. Marah nggak akan menyelesaikan apapun.”“Ma, coba kalau Velma diperlakukan kaya gitu! Apa mama masih bisa seperti ini?”Ibu Deril
“Nir, dengar dulu. Papa nggak bermaksud bicara seperti itu.” Panik, Deril buru-buru menjelaskan. Dia tidak mengerti, kenapa ayahnya malah menambah buruk keadaan?“Keluarga kami masih mampu! Kami tidak butuh belas kasihan kalian!” Menusuk suara Leo, pandangannya dingin menatap keluarga pacar adiknya itu. “Pergi!”“Leo, please jangan kaya gini. Dengerin dulu, penjelasan gue.” Anira benar-benar merasa malu pada ibu dan kakaknya saat itu. Dia marah, sedih, dan benar-benar kecewa. Namun, dia tidak ingin terus-menerus berlindung di belakang pundak kakaknya. Anira menghapus kasar air matanya.“Saya berterima kasih, atas kesediaan Om sekeluarga untuk datang ke sini. Om sudah menyampaikan semuanya! Apa bisa kalian pergi sekarang?” Tenggorokannya tercekat. Bukan permintaan maaf seperti ini yang dia harapkan. Kalau seperti ini, dia juga tidak butuh.“Nak, Anira. Jangan begini, Kami semua juga ikut sedih dengan keadaan ayah kamu. Biarkan. Kami bertanggung jawab, dengan begini, tante dan
Anira menatap kakaknya cemas, mulutnya kaku, tidak bisa bersuara. Bahkan ibunya yang tadi mulai tertidur di kursi, segera terbangun, mendengar teriakan panik Leo itu.“Papa kamu kenapa?”“Papa sadar, Ma!”Tidak lama setelah Leo berkata demikian, seorang suster jaga, datang menghampiri mereka.“Ada apa?” tanya perawat itu. Dia datang karena panggilan tombol nurse call yang ditekan Leo di ruangan tadi.“Ayah saya, sadar, Sus.”“Sebentar! Saya panggil dokter dulu.” Menyadari kalau itu di luar wewenangnya, perawat itu segera menelepon dokter. Kemudian masuk ke dalam ruang ICU itu. “Jangan ada yang masuk dulu!” ujarnya.Anira dan keluarganya, menunggu dalam keadaan tidak tenang di luar.“Papa kamu benar-benar sadar?” Mata ibu Anira berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk, ada bahagia yang membuncah, tapi ada ketakutan kalau itu hanya harapan semu.Anira lekat menatap ruangan tempat ayahnya berbaring lemah itu. Ketika dokter datang dan masuk ke ruangan itu, Anira memanfaatkan celah ke
“Nia, kenapa kamu di luar?”“Kak.” Mata Anira kembali berkaca-kaca, melihat ibu dan kakaknya tiba. “Papa sudah tahu,” gumamnya.“Sudah tahu apa?”“Semuanya.” Anira menundukkan kepalanya, dia merasa ini semua terjadi karenanya. Dengan suara lirih dia menceritakan apa yang terjadi.“Kenapa mereka harus sampai seperti ini. Kita bahkan belum mengatakan apapun tentang melaporkan tindakan adik Deril itu, tapi mereka sudah tidak sabar mencari pembenaran sendiri.” Leo benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah keluarga pacar adiknya itu.Karena keadaan ayah mereka, tidak ada satu pun yang berniat membahas apa yang terjadi. Selain kemarahan Anira di hari pertama, tidak sekalipun mereka mengatakan akan menuntut Velma.Namum, keluarga Deril terus-menerus mengganggu dan menyampaikan pembenaran diri mereka. Tidak peduli sebaik apa niat mereka, dengan segala sikap itu, keluarga Deril lebih terlihat seperti pengecut yang ingin dengan cepat melepaskan diri dari tanggung jawab.“Aku juga nggak ta
Anira menatap nanar kotak cincin yang berada di tangannya itu. Kalau ini beberapa hari yang lalu, mungkin dia akan jadi orang paling bahagia, menerima lamaran dari kekasihnya itu. Takdir benar-benar sebercanda itu.“Semuanya masih bisa diperbaiki. Kamu percaya sama aku kan?”“Ril, maaf, maaf, maaf.” Deril sama sekali tidak melakukan apa-apa, ini tidak adil untuk pria itu, tapi dia harus melakukan ini. Dia tidak tahu bagaimana dia harus berhadapan dengan keluarganya kalau dia masih meneruskan hubungannya dengan Deril.Anira berusaha memberikan kotak cincin itu kembali ke Deril, tapi pria itu menolak.“Aku akan kasih kamu waktu, sebanyak yang kamu mau. Cincin itu, kamu simpan dulu, kamu nggak harus langsung menerima aku.”Deril tidak bisa menerima, kalau hubungan mereka berakhir begitu saja. Dia tidak pernah membayangkan akhir seperti ini, dari mereka berdua. “Ril, maaf.” Anira beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Deril. Dia tidak bisa menahan air matanya. Namun, Deril m
Ia hanya bisa menatap Velma tersenyum sembari menyantap makanannya. Zeva akhirnya memilih memendam sisanya di hatinya.Gadis itu memutuskan akan berusaha bersikap senetral mungkin. Keadaan sudah cukup ricuh tanpa ia harus ikut berkecipung di air keruh itu. Mereka hampir selesai makan, ketika ponsel Velma berbunyi. Ekspresi di wajah gadis itu menjadi semakin ceria, ketika melihat siapa yang mengiriminya pesan itu.“Kak Reksa nge-chat gue!” Ini semua bagai mimpi, sesuatu yang tidak akan berani dia harapkan lagi setelah kejadian beberapa tahun lalu. Untuk sejenak, Velma menjadi semakin yakin, kalau usahanya selama ini membuahkan hasil.Reksa pada akhirnya melunak dengan persistensinya dan bersedia membuka hati terhadapnya sekali lagi. Velma merasa dia nyaris melayang saat ini.Secepat kilat dia mengambil ponselnya dan membuka pesan yang dikirim Reksa itu. Namun, begitu matanya melihat, seluruh senyum di wajahnya lenyap seketika.Reksa [Sorry, Vel. Tadi gue nggak sempat bilang, gu
Setelah Deril mengatakan itu, ia menatap Velma lama, memastikan kalau adiknya itu tidak akan berteriak lagi barulah dia melepas mulut adiknya itu.Velma menarik napas serakah, lalu memukul Deril keras. “Kalau lo teriak, gue beneran bakal blacklist lo dari kantor ini!”Velma yang tadinya hendak membentak Deril jadi sedikit ciut juga mendengar ancaman kakaknya itu. “Reksa nggak pernah ngasih gue harapan? Tapi, dia juga nggak pernah punya pacar, Kak!”“Jadi, kalau Reksa punya pacar, lo bakal mundur?” selidik Deril tajam. Dalam hati, ia harap-harap cemas saat menanyakan itu. Hatinya condong menginginkan Velma akan menjawab ya.Ia benar-benar ingin adiknya itu berhenti terobsesi pada Reksa. Kemungkinan sahabatnya itu akan membalas perasaan Velma, lebih rendah daripada nol.“Nggak usah membicarakan hal yang belum terjadi!” elak Velma langsung. Nada suaranya meninggi tatapannya berubah murka.Saat itu, Deril menyadari kalau keputusannya menyuruh Reksa menyembunyikan hubungannya d
Deril mengangkat bahunya, seakan dia baik-baik saja. “Gue nggak pernah berpikir gitu. Lo yang terlalu overthinking. Mungkin lo ngerasa bersalah?”“Lo yang bilang, gue bisa ngejar Anira!” Reksa memperingatkan. “Jangan bilang, sekarang lo nyesal?” “Gue nggak nyesal!” Cepat Deril membantah. Namun, penyangkalan itu terjadi terlalu cepat, seolah dia hendak menutupi sesuatu. “Gue Cuma mau tahu, itu saja.”“Sekarang lo udah tahu, kan? Kayang gue bilang tadi, tidak usah sampaikan ini ke Anira dulu.”Setelah menyampaikan itu, Reksa langsung berbalik badan, mendahului Deril menjauh dari sana. Deril termenung, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Perasaannya berkecamuk hebat. Sejujurnya, tidak ada pria yang lebiih dia percaya selain Reksa.Kalau memang dia tidak bisa bersama Anira, ia ingin gadis itu tetap berada di tangan yang tepat. Namun, merelakan wanita yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya bukan hal mudah ternyata. Melihat Reksa sudah berjalan semakin jauh, Deril
Reksa menghela napas panjang. Apa lagi memangnya yang bisa dia katakan. Ia hanya bisa membiarkan Anira melakukan sesukanya.Anira menahan senyumnya, cukup puas melihat ekspresi pasrah di wajah kekasihnya itu. Sekarang, ia tahu daripada malu-malu dan terus digoda Reksa. Bersikap sama beraninya dengan pria itu dan membalas Reksa, jauh lebih efetif ternyata.Dia bersandar di bahu pria itu, mengusap pipinya lembut, dan bahkan sesekali mengusap lengan Reksa lembut.Tentu saja, dia berani seperti ini, hanya ketika dia tahu kalau mereka sedang berada di jalan dan Reksa tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.Dengan Anira terus menempel rapat mengganggu Reksa dan pria itu yang setengah hati berusaha menghindar, mereka akhirnya tiba di kantor.Begitu mobil itu terparkir rapi di parkiran, secepat kilat Anira langsung melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu. “Kita sudah sampai!Anira tahu kalau Reksa tidak akan melepaskannya begitu saja begitu mobil itu berhenti. Jadi, dia h
Terlebih ketika dia mengatakan semua itu di depan orangtua Anira. Dia tidak ingin mendapatkan skor negatif di awal hubungannya dengan Anira.“Ckk!” Anira mendecakkan lidahnya kesal, kaerna tidak ada satu orang pun yang ada di pihaknya kali ini.“Perempuan jangan berdecak gitu! Nggak sopan!” Anira ingin sekali mengacak rambutnya frustrasi. Kedua orangtuanya cepat sekali berubah, termasuk mengontrol perilaku yang biasa juga dia tunjukan di depan Reksa, jadi terkesan kurang ‘perempuan’ di mata ibunya dan mungkin juga ayahnya.“Iya, Ma.” Tahu dia tidak akan pernah menang berdebat dengan ibunya, Anira langsung mengiyakan saja. Reksa menahan tawanya, dan memilih lanjut berbicara dengan ayah Anira. Hingga selesai sarapan. Saat makan, ia melirik Anira dan menemukan ujung bibir gadis itu masih cemberut, meski sembari menyantap makanannya.Reksa menyentuh lutut gadis itu lembut, di saat kedua orangtua Anira tidak memperhatikan dan menepuknya lembut. “Kalau kamu mau, kita bisa nai
“Bicara apa?” Anira mengerutkan keningnya. Namun, sebelum Reksa menjawab, dia langsung teringat. “Tadi, Deril sempat mau bicara, tapi nggak jadi. Terus tadi, dia juga nelepon tapi aku nggak tahu apa yang mau dia bicarakan.”“Kamu udah telepon balik?”Dengan polos Anira menggelengkan kepalanya. “Tapi, pesannya udah gue bales, tenang saja.” Reksa masih merasa mengganjal dengan perubahan panggilan Anira padanya yang terus berubah-ubah. Namun dia tidak lagi berkomentar. “Kamu tahu apa yang mau dibicarakan Deril?”Anira menggeleng. “Lo pikir, dia curiga tentang hubungan kita? Lo sih terlalu blak-blakan!” omelnya. “Ah, tapi mungkin juga nggak. Mungkin dia Cuma mau bilang ke kita kalau Velma menyusul ke Puncak?”Reksa tersenyum geli. “Kamu sebenarnya sedang berusaha meyakinkan siapa?”“Meyakinkan diri sendiri!” balas Anira gemas. “Hh, nggak tahulah. Gue bingung.”“Bingung kenapa?” “Nggak tahu, bingung saja.”Selain perubahan hubungan mereka, dan cara menghadapi Deril dia juga masih b
“Nggak!” Anira sedikit terkejut dengan insting tajam ayahnya. “Kalau terjadi sesuatu, aku nggak akan bilang not bad?”Ia tidak mengatakan apa-apa, kenapa ayahnya bisa menebak? Apa ada yang salah dengan ekspresi di wajahnya?Anira tidak ingin menceritakan kejadian buruk yang terjadi padanya. Menurutnya, semua itu sudah selesai ketika dia meninggalkan kantor polisi tadi. Kedua orangtuanya tahu hanya akan membuat mereka jadi ikut cemas dan sedih untuknya.“Kalau memang liburannya menyenangkan, kamu nggak akan berhenti di kalimat ‘not bad’ itu!” Ibu Anira ikut menimpali. Anira mengerutkan kening bingung, tapi hatinya sedikit ketar-ketir. Ternyata sulit juga memiliki orang tua yang sangat paham dengannya. Sedikit saja tingkahnya yang aneh tidak bisa lolos dari mata elang keduanya.“Well, puncak ramai banget karena akhir pekan. Jadi macetnya juga luar biasa!” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.Ibu Anira mengusap kepala anaknya lembut. “Dari dulu juga puncak memang g
“Velma?” Reksa ikut menoleh. “Ngapain dia di sini?” Anira menggelengkan kepala. “Mungkin gue yang salah lihat?”Reksa memicingkan matanya, kaca yang agak gelap memang menghalangi pandangannya. Karena penasaran, dia membuka kaca mobil, hingga dia bisa lebih mudah menatap keluar.“Itu benar-benar Velma.”“Mau tanya dulu?” Anira tetap mengusulkan walau dia enggan. Reksa menatap lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu. Mungkin dia ada keperluan lain. Di sekitar sini.”“Yakin?”Anira masih melihat ke mobil itu, kalau melihat ekspresi di wajah Velma, dia tidak bisa seyakin Reksa. “Lo yakin dia nggak ada masalah?”Velma adalah manusia yang mengenakan perasaannya di wajahnya. Seluruh emosi yang dirasakan oleh gadis itu terteraa jelas di wajahnya.Kening berkerut, bibir cemberut, dan tangan yang terus-menerus menekan klakson hingga menambah suara bising di tengah kepadatan yang sudah cukup ramai itu.“Hmm, nggak usah terlalu dipikirkan.”“Menurut lo, apa mungkin Velma ke pun
Anira menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Dia lalu menoleh ke arah Zeva. Zeva, gadis itu hanya diam saja. Dia memperhatikan keduanya dengan seksama.“Oke, bicara saja kalau gitu.”Deril menatap Zeva. “Di sini?” Anira mengangguk. “Memangnya kenapa? Apa yang mau lo bicarakan sampai nggak boleh didengar orang?”Meski dia bertanya berani seperti itu, tapi jantungnya berdebar kencang. Dia tidak siap dengan pertanyaan yang akan ditanyakan Deril.“Kamu yakin?”Anira menguatkan hatinya, lalu menganggukkan kepalanya percaya diri. “Tentu saja. Memangnya mau bicara apa sih? Segala penuh rahasia gitu?”Deril menatap Zeva, berharap gadis itu akan peka dan memberikannya waktu berdua dengan Anira. Namun, Zeva memilih menatap ke arah lain dan bersikap seolah dia tidak menyadari itu. Setelah berpikir sejenak, Deril akhirnya mengurungkan niatnya. “Nanti saja kalau begitu.” Anira mengerutkan keningnya. Namun, dia tidak berani mendesak lagi. “Oke?” jawabnya ragu.Pria itu menatap Anira beberapa