Ibu Deril, dengan ragu, membela Velma. “Ini semua kecelakaan Ril. Velma juga nggak nyangka kejadiannya bakal kaya gini.”
Velma menganggukkan kepalanya cepat. “Iya, Kak. Aku Cuma iseng.” Bagaimana mungkin sebuah keisengan itu, berakir seperti ini?
“Iseng? Vel, kamu mengurung Anira di tempat asing, malam-malam sendirian! Kalau nggak ada kejadian ini, sampai kapan kamu mau mengurung dia di sana?!”
Velma mengkerut, gemetar. Deril tidak pernah semarah ini, padanya. “Toh, dia bisa keluar juga kan.” Dia tidak akan pernah mengakui, kalau dia berniat membiarkan Anira semalaman di sana.
Seorang temannya bekerja di perpustakaan itu, dan dia sudah meminta, temannya itu untuk datang pagi sekali, dan mengeluarkan Anira dari sana.
“Dia beruntung ketemu orang baik! Gimana kalau orang itu jahat? Kamu nggak mikir sama sekali!”
“Ril, udah jangan marahi adik kamu lagi. Marah nggak akan menyelesaikan apapun.”
“Ma, coba kalau Velma diperlakukan kaya gitu! Apa mama masih bisa seperti ini?”
Ibu Deril terdiam. Dia juga menyadari kalau anaknya salah, tapi dia tidak tega melihat Velma sampai menangis seperti itu.
“Deril! Jangan ngomong seperti itu ke mama kamu!” Tidak tahan lagi, ayah Deril juga ikut menyela. “Daripada berdebat di sini, sekarang yang terpenting adalah melihat keadaan ayah Anira! Kamu juga, sebelum ini tidak pernah mengatakan apapun, tentang hubungan kamu dengan Anira.”
Mulut Deril langsung bagai terkunci, mengingat kembali alasan kenapa dia tidak ingin mengatakan semuanya pada keluarganya, apakah itu kesalahan?
Namun, apa yang dikatakan ayahnya itu benar, dia tidak bisa hanya berdebat di sini. Anira saat ini pasti sedang sangat terpukul. Dia ingin menemui dan menenangkan gadis itu. Namun, apakah kehadirannya dibutuhkan saat ini?
Apa dia tidak hanya menambah luka gadis itu saja?
“Tunggu apa lagi! Kita pergi sekarang!”
“Pa, aku nggak ikut!” Velma menggelengkan kepalanya, dia tidak mau menemui Anira sekarang! Dia tidak berani.
“Ya sudah, kamu di sini saja dulu, biar mama sama papa dan kakak kamu ke sana.”
“Nggak! Velma harus ikut! Dia harus minta maaf!”
“Pa ....”
Raut memelas anaknya, tidak menyentuh hati ayah Deril sama sekali. Velma sudah kelewatan kali ini, dan dia tidak bisa lewat dari masalah ini begitu saja.
“Pa, jangan gitu. Biarkan Velma tenang dulu.” Ibu Deril memegang lengan suaminya itu dengan pandangan tidak setuju.
“Kali ini, mama jangan ikut campur. Velma akan mematuhi perkataan papa!”
Dari awal sampai akhir, Reksa sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia hanya menatap pertengkaran itu berlangsung. Meski beberapa kali Velma melempar pandangan ke arahnya, Reksa seolah tidak melihat itu semua.
“Kak, please. Kakak nggak akan maksa aku ke sana kan? Aku bener-bener nggak tahu kalau kejadiannya akan kaya gini.”
Velma mencoba memohon pada Reksa, saat ini hanya pria ini harapannya. “Bilang sama Papa, Kak.”
Reksa mendorong tangan Velma yang mencengkram lengannya perlahan. “Kenapa, kamu melakukan hal seperti itu?” tanyanya.
Velma tertegun, kenapa semua orang bersikap seperti ini padanya? Dia sama sekali tidak sengaja! Kenapa juga ayah Anira harus keluar mencari anaknya? Pria itu yang tidak berhati-hati di jalanan!
Bukan dia yang menabrak ayah perempuan itu. Kenapa semuanya bersikap kalau dia baru saja membunuh orang!
“Aku kan sudah bilang, Kak! Aku nggak tahu kejadiannya akan seperti ini! Aku Cuma mau bikin perempuan itu kapok!” serunya frustrasi. Memangnya karena siapa dia melakukan ini semua?
“Velma!” Suara ayahnya naik beberapa oktaf, bahu Velma berjengit, kaget.
Tidak ada lagi yang berani melawan, meski wajahnya pucat pasi, Velma akhirnya berjalan mengikuti orang tuanya. Deril menghela napas panjang. Dia menatap Velma kecewa, dia tidak ingin berbicara dengan adiknya itu saat ini.
Dia hanya bisa berharap, semoga ayah Anira segera sadar, dan mereka bisa melewati badai ini, atau dia tidak akan pernah mampu lagi menatap kekasihnya itu. Reksa mengikuti di sebelah Deril.
Sesampainya di rumah sakit, mereka tidak menemukan Anira dan ibunya, karena mereka masih di rumah.
“Anira dan Tante masih istirahat di rumah. Semalaman mereka nunggu di rumah sakit.”
Semuanya menatap Reksa. Kalau memang begitu, kenapa Reksa tidak mengatakan semuanya sejak awal? Namun, tidak ada yang membuka mulut, menanyakan hal itu.
Velma diam-diam menghembuskan napas lega. Dan reaksinya itu tidak luput dari pandangan Reksa. Pria itu menatap sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Lo juga udah semalaman nemenin mereka di sini. Mending sekarang, lo balik buat istirahat. Biar gue yang di sini, nungguin Om.”
Reksa melihat jam tangannya, menghitung kemungkinan Anira dan ibunya kembali ke rumah sakit. Baru kemudian dia menganggukkan kepalanya. Reksa berpamitan pada orangtua Deril, lalu pergi dari sana.
Sekarang hanya tersisa Deril dan keluarganya yang berdiri canggung tanpa tahu harus melakukan apa. Mau pulang, mereka tidak enak. Akhirnya semuanya hanya bisa menunggu di depan ruang ICU, tempat ayah Anira dirawat.
“Kenapa kamu nggak pernah jujur tentang hubungan kamu dan Anira?” Ayah Deril memecah kesunyian itu.
“Karena aku takut kejadiannya akan seperti ini,” gumam Deril lirih. “Velma tahu, aku mau melamar Anira, karena itu dia melakukan hal itu.”
Pria paruh baya itu menghela napas panjang, dengan sifat Velma, dia bisa melihat kalau itu adalah sesuatu yang mungkin dilakukan anak perempuannya itu.
“Kalau dia nggak ganjen sama kakak dan kak Reksa, aku juga nggak akan melakukan semua ini!”
“Pelankan suara kamu! Ini rumah sakit!”
Velma buru-buru menundukkan kepalanya, mendengar amarah ayahnya, dia memang paling takut pada ayahnya itu.
Deril sudah lelah menjelaskan pada Velma, kalau Anira sama sekali tidak seperti itu. Velma memiliki pandangan buruk tentang Anira, dan itu bukan sesuatu yang bisa berubah dalam semalam.
Deril terlalu malas, membenarkan persepsi keliru itu.
Hampir satu jam mereka menunggu di sana, barulah Anira dan ibunya kembali. Deril buru-buru menghampiri kekasihnya itu, tapi Anira melengos, menghindari sentuhan Deril.
“Untuk apa kalian ke sini?” tanyanya murka.
“Nir, aku ....”
“Bicara dari situ saja! Lo nggak lihat, Anira sama sekali nggak mau ketemu lo!” Seorang pria tinggi besar, berdiri di depan Anira, siap pasang badan, untuk menjauhkan Deril dari Anira.
“Leo, please. Gue perlu ngomong sama Anira!”
“Tapi, adek gue, nggak mau ngomong sama lo!” Leo sama sekali tidak bisa menahan amarahnya. Wajah kakak Anira itu terlihat bengis, menahan amarah.
Kakak Anira itu baru saja sampai, karena itu pula, Anira dan ibunya kembali lebih cepat ke rumah sakit. Leo benar-benar naik darah, ketika mendengar apa yang terjadi dari Anira.
Kalau bukan karena mereka di rumah sakit, mungkin tinju Leo saat ini sudah bersarang di wajah Deril saat ini.
“Leo, jangan kasar!”
Leo menahan diri menuruti perkataan ibunya itu, meski begitu mataya masih menatap tajam Deril.
Sebelum suasana menjadi semakin buruk, ayah Deril bergegas maju. “Kami sudah mendengar semua yang terjadi. Kami ke sini, hendak minta maaf, atas kelakuan Velma.” Ayah dan ibu Deril menundukkan kepalanya. Velma yang dipaksa juga ikut menundukkan kepalanya, meski setengah terpaksa.
“Velma hanya berniat menjahili Anira, sama sekali tidak menduga kalau kecerobohannya akan menyebabkan semua ini, tapi dia sama sekali tidak memiliki niat jahat.” Dengan tenang, ayah Deril mulai berbicara. “Tapi, Anira, kamu tenang saja, kami akan bertanggung jawab, dan menanggung semua biaya pengobatan papa kamu sampai sembuh.”
“Ya, kalian tenang saja, kami akan menanggung biayanya, meskipun bukan Velma yang menyebabkan ayah kamu kecelakaan!”
Raut wajah semuanya langsung berubah mendengar kalimat yang diucapkan ibu Deril itu. Bahkan ibu Anira yang sejak semalam masih berusaha sabar, kini wajahnya berubah pias.
Apa itu adalah kalimat yang harus diucapkan saat ini? Jadi, menurut keluarga Deril, Velma sama sekali tidak bersalah, dan mereka harus berterima kasih, karena kemurahan hati keluarga Deril untuk bertanggung jawab?
“Pergi! Kalian pergi dari sini!”
“Nir, dengar dulu. Papa nggak bermaksud bicara seperti itu.” Panik, Deril buru-buru menjelaskan. Dia tidak mengerti, kenapa ayahnya malah menambah buruk keadaan?“Keluarga kami masih mampu! Kami tidak butuh belas kasihan kalian!” Menusuk suara Leo, pandangannya dingin menatap keluarga pacar adiknya itu. “Pergi!”“Leo, please jangan kaya gini. Dengerin dulu, penjelasan gue.” Anira benar-benar merasa malu pada ibu dan kakaknya saat itu. Dia marah, sedih, dan benar-benar kecewa. Namun, dia tidak ingin terus-menerus berlindung di belakang pundak kakaknya. Anira menghapus kasar air matanya.“Saya berterima kasih, atas kesediaan Om sekeluarga untuk datang ke sini. Om sudah menyampaikan semuanya! Apa bisa kalian pergi sekarang?” Tenggorokannya tercekat. Bukan permintaan maaf seperti ini yang dia harapkan. Kalau seperti ini, dia juga tidak butuh.“Nak, Anira. Jangan begini, Kami semua juga ikut sedih dengan keadaan ayah kamu. Biarkan. Kami bertanggung jawab, dengan begini, tante dan
Anira menatap kakaknya cemas, mulutnya kaku, tidak bisa bersuara. Bahkan ibunya yang tadi mulai tertidur di kursi, segera terbangun, mendengar teriakan panik Leo itu.“Papa kamu kenapa?”“Papa sadar, Ma!”Tidak lama setelah Leo berkata demikian, seorang suster jaga, datang menghampiri mereka.“Ada apa?” tanya perawat itu. Dia datang karena panggilan tombol nurse call yang ditekan Leo di ruangan tadi.“Ayah saya, sadar, Sus.”“Sebentar! Saya panggil dokter dulu.” Menyadari kalau itu di luar wewenangnya, perawat itu segera menelepon dokter. Kemudian masuk ke dalam ruang ICU itu. “Jangan ada yang masuk dulu!” ujarnya.Anira dan keluarganya, menunggu dalam keadaan tidak tenang di luar.“Papa kamu benar-benar sadar?” Mata ibu Anira berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk, ada bahagia yang membuncah, tapi ada ketakutan kalau itu hanya harapan semu.Anira lekat menatap ruangan tempat ayahnya berbaring lemah itu. Ketika dokter datang dan masuk ke ruangan itu, Anira memanfaatkan celah ke
“Nia, kenapa kamu di luar?”“Kak.” Mata Anira kembali berkaca-kaca, melihat ibu dan kakaknya tiba. “Papa sudah tahu,” gumamnya.“Sudah tahu apa?”“Semuanya.” Anira menundukkan kepalanya, dia merasa ini semua terjadi karenanya. Dengan suara lirih dia menceritakan apa yang terjadi.“Kenapa mereka harus sampai seperti ini. Kita bahkan belum mengatakan apapun tentang melaporkan tindakan adik Deril itu, tapi mereka sudah tidak sabar mencari pembenaran sendiri.” Leo benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah keluarga pacar adiknya itu.Karena keadaan ayah mereka, tidak ada satu pun yang berniat membahas apa yang terjadi. Selain kemarahan Anira di hari pertama, tidak sekalipun mereka mengatakan akan menuntut Velma.Namum, keluarga Deril terus-menerus mengganggu dan menyampaikan pembenaran diri mereka. Tidak peduli sebaik apa niat mereka, dengan segala sikap itu, keluarga Deril lebih terlihat seperti pengecut yang ingin dengan cepat melepaskan diri dari tanggung jawab.“Aku juga nggak ta
Anira menatap nanar kotak cincin yang berada di tangannya itu. Kalau ini beberapa hari yang lalu, mungkin dia akan jadi orang paling bahagia, menerima lamaran dari kekasihnya itu. Takdir benar-benar sebercanda itu.“Semuanya masih bisa diperbaiki. Kamu percaya sama aku kan?”“Ril, maaf, maaf, maaf.” Deril sama sekali tidak melakukan apa-apa, ini tidak adil untuk pria itu, tapi dia harus melakukan ini. Dia tidak tahu bagaimana dia harus berhadapan dengan keluarganya kalau dia masih meneruskan hubungannya dengan Deril.Anira berusaha memberikan kotak cincin itu kembali ke Deril, tapi pria itu menolak.“Aku akan kasih kamu waktu, sebanyak yang kamu mau. Cincin itu, kamu simpan dulu, kamu nggak harus langsung menerima aku.”Deril tidak bisa menerima, kalau hubungan mereka berakhir begitu saja. Dia tidak pernah membayangkan akhir seperti ini, dari mereka berdua. “Ril, maaf.” Anira beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Deril. Dia tidak bisa menahan air matanya. Namun, Deril m
Reksa menatap Anira terkejut, dia nyaris tidak mempercayai telinganya. “Lo ...?”Mulutnya kelu, untuk beberapa saat, otaknya terasa kosong, tidak tahu harus mengatakan apa. Dia ingin bertanya, kenapa. Namun, dia juga mengerti, kenapa Anira melakukan itu.Anira tersenyum simpul, reaksi Reksa itu sudah bisa ditebaknya. “Tadi, ayah Deril datang lagi, dan langsung menyodorkan uang ke papa untuk ganti rugi.” Sebuah senyum getir, tersungging di bibir gadis itu. “Saat itu, gue langsung nggak bisa membayangkan, seperti apa jadinya hubungan kami.”Reksa menelan ludahnya, untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Dia kira, dia akan senang kalau hubungan keduanya berakhir, tapi saat ini hanya hampa yang memenuhi dadanya. Kesedihan di wajah Anira sama sekali tidak bisa disembunyikannya, meski gadis itu mencoba untuk bersikap santai. “Lo nggak mau nanya? Atau menghibur gue mungkin?”“Apa itu akan membantu lo sekarang ini?” Anira tertegun, kemudian dia menggelengkan kepalanya. Dia ha
“Papa? Yah, papa sudah jauh lebih baik sekarang.” Deril menunggu, tapi Anira tidak lagi mengatakan apa-apa. Untuk kesekian kalinya, pria itu harus menelan pil pahit. Dia bukan lagi orang yang menjadi tempat Anira menceritakan kehidupannya.Gadis itu hanya memberikan jawaban basa-basi padanya. Deril juga tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Rasanya ada begitu banyak hal yang ingin dia sampaikannya, tapi di saat yang sama dia merasa tidak ada topik yang bisa membukan pembicaraan itu.Anira terlalu menutup diri. Sudah terlalu lama, Deril sadar dia tidak bisa terlalu terburu-buru. Keduanya berjalan ke mobil yang ada di parkiran. Deril memasukkan semua koper Lamira ke bagasi belakang mobil itu.Keduanya lalu masuk ke dalam mobil. Reksa dan Sisi sudah menunggu di dalam, sedang memakan donat yang baru mereka makan.“Ini gue harus antar kalian kemana?”“Ke rumah lama gue.” “Oke.” Reksa menghidupkan mesin mobilnya, mengemudikannya pelan, keluar dari lahan parkir itu. “Itu di maka
“Tante Anira punya pacar!” Anira nyaris tersedak, mendengar omong kosong Sisi itu. Malam itu, mereka sudah berada di tempat tidur, dan Sisi sedang video call dengan kedua orangtuanya yang masih berada di Singapura.“Hush! Kamu ngomong apa!”“Kan bener. Tadi, tante nyuruh Sisi pergi, karena dia mau berduaan dengan Om ganteng itu.”“Oh, jadi Omnya ganteng?” Sebelah alis Leo terangkat, dia menatap ke arah adiknya itu dengan pandangan penuh selidik.“Ganteng, Pa.”“Gante mana sama Papa?” Anira memegang jidatnya, pusing sendiri dengan kelakukan saudara laki-lakinya itu. Kenapa Sisi bisa bersikap seperti ini, juga tidak terlepas dari pengaruh kakaknya itu. “Hmm.” Sisi tampak kesulitan menjawab. “Ganteng Om Reksa!” elaknya cepat. Dia lalu tersenyum lebar, menampakkan giginya yang ompong di bagian depan.“Memangnya siapa sih?” Leo mulai penasaran. Kenapa dia tidak pernah tahu kalau adiknya itu sedang dekat dengan laki-laki lain? “Kok, kamu nggak bilang ke kakak?”Anira melirik s
Reksa yang sedang mendengarkan celotehan Sisi, langsung menoleh. Dengan wajah datar, dia menunggu Velma. “Deril di ruangannya. Lo bisa langsung ke sana.” Velma cemberut, bibirnya mengerucut manja. “Emangnya, gue ke sini, Cuma mau lihat Kak Deril doang.” Dia lalu menyodorkan tote bag mini berwarna hijau ke Deril. “Tadi gue habis masak cumi cabe hijau favorit lo.” Reksa mengerutkan keningnya, tidak langsung menerima tas itu. “Gue udah makan, mending lo kasih ke Deril, kayanya dia belum sarapan.” Dia bahkan baru sampai di kantor, darimana dia tahu kalau Deril sudah sarapan atau belum? “Kan! Gue udah tahu lo bakal ngomong gitu.” Dengan wajah bangga, gadis itu mengangkat satu tote bag lain yang ada di tangan satunya. “Kali ini, gue bawa dua.” Velma mendorongkan tote bag itu ke tangan Reksa, akhirnya Reksa menerima tas itu. “Thanks.” Wajah Velma berseri seketika, melihat hal itu. Saat itu barulah dia menyadari keberadaan Sisi yang sejak tadi berada di sebelah Reksa. “Ini
Ia hanya bisa menatap Velma tersenyum sembari menyantap makanannya. Zeva akhirnya memilih memendam sisanya di hatinya.Gadis itu memutuskan akan berusaha bersikap senetral mungkin. Keadaan sudah cukup ricuh tanpa ia harus ikut berkecipung di air keruh itu. Mereka hampir selesai makan, ketika ponsel Velma berbunyi. Ekspresi di wajah gadis itu menjadi semakin ceria, ketika melihat siapa yang mengiriminya pesan itu.“Kak Reksa nge-chat gue!” Ini semua bagai mimpi, sesuatu yang tidak akan berani dia harapkan lagi setelah kejadian beberapa tahun lalu. Untuk sejenak, Velma menjadi semakin yakin, kalau usahanya selama ini membuahkan hasil.Reksa pada akhirnya melunak dengan persistensinya dan bersedia membuka hati terhadapnya sekali lagi. Velma merasa dia nyaris melayang saat ini.Secepat kilat dia mengambil ponselnya dan membuka pesan yang dikirim Reksa itu. Namun, begitu matanya melihat, seluruh senyum di wajahnya lenyap seketika.Reksa [Sorry, Vel. Tadi gue nggak sempat bilang, gu
Setelah Deril mengatakan itu, ia menatap Velma lama, memastikan kalau adiknya itu tidak akan berteriak lagi barulah dia melepas mulut adiknya itu.Velma menarik napas serakah, lalu memukul Deril keras. “Kalau lo teriak, gue beneran bakal blacklist lo dari kantor ini!”Velma yang tadinya hendak membentak Deril jadi sedikit ciut juga mendengar ancaman kakaknya itu. “Reksa nggak pernah ngasih gue harapan? Tapi, dia juga nggak pernah punya pacar, Kak!”“Jadi, kalau Reksa punya pacar, lo bakal mundur?” selidik Deril tajam. Dalam hati, ia harap-harap cemas saat menanyakan itu. Hatinya condong menginginkan Velma akan menjawab ya.Ia benar-benar ingin adiknya itu berhenti terobsesi pada Reksa. Kemungkinan sahabatnya itu akan membalas perasaan Velma, lebih rendah daripada nol.“Nggak usah membicarakan hal yang belum terjadi!” elak Velma langsung. Nada suaranya meninggi tatapannya berubah murka.Saat itu, Deril menyadari kalau keputusannya menyuruh Reksa menyembunyikan hubungannya d
Deril mengangkat bahunya, seakan dia baik-baik saja. “Gue nggak pernah berpikir gitu. Lo yang terlalu overthinking. Mungkin lo ngerasa bersalah?”“Lo yang bilang, gue bisa ngejar Anira!” Reksa memperingatkan. “Jangan bilang, sekarang lo nyesal?” “Gue nggak nyesal!” Cepat Deril membantah. Namun, penyangkalan itu terjadi terlalu cepat, seolah dia hendak menutupi sesuatu. “Gue Cuma mau tahu, itu saja.”“Sekarang lo udah tahu, kan? Kayang gue bilang tadi, tidak usah sampaikan ini ke Anira dulu.”Setelah menyampaikan itu, Reksa langsung berbalik badan, mendahului Deril menjauh dari sana. Deril termenung, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Perasaannya berkecamuk hebat. Sejujurnya, tidak ada pria yang lebiih dia percaya selain Reksa.Kalau memang dia tidak bisa bersama Anira, ia ingin gadis itu tetap berada di tangan yang tepat. Namun, merelakan wanita yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya bukan hal mudah ternyata. Melihat Reksa sudah berjalan semakin jauh, Deril
Reksa menghela napas panjang. Apa lagi memangnya yang bisa dia katakan. Ia hanya bisa membiarkan Anira melakukan sesukanya.Anira menahan senyumnya, cukup puas melihat ekspresi pasrah di wajah kekasihnya itu. Sekarang, ia tahu daripada malu-malu dan terus digoda Reksa. Bersikap sama beraninya dengan pria itu dan membalas Reksa, jauh lebih efetif ternyata.Dia bersandar di bahu pria itu, mengusap pipinya lembut, dan bahkan sesekali mengusap lengan Reksa lembut.Tentu saja, dia berani seperti ini, hanya ketika dia tahu kalau mereka sedang berada di jalan dan Reksa tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.Dengan Anira terus menempel rapat mengganggu Reksa dan pria itu yang setengah hati berusaha menghindar, mereka akhirnya tiba di kantor.Begitu mobil itu terparkir rapi di parkiran, secepat kilat Anira langsung melepaskan sabuk pengamannya dan membuka pintu. “Kita sudah sampai!Anira tahu kalau Reksa tidak akan melepaskannya begitu saja begitu mobil itu berhenti. Jadi, dia h
Terlebih ketika dia mengatakan semua itu di depan orangtua Anira. Dia tidak ingin mendapatkan skor negatif di awal hubungannya dengan Anira.“Ckk!” Anira mendecakkan lidahnya kesal, kaerna tidak ada satu orang pun yang ada di pihaknya kali ini.“Perempuan jangan berdecak gitu! Nggak sopan!” Anira ingin sekali mengacak rambutnya frustrasi. Kedua orangtuanya cepat sekali berubah, termasuk mengontrol perilaku yang biasa juga dia tunjukan di depan Reksa, jadi terkesan kurang ‘perempuan’ di mata ibunya dan mungkin juga ayahnya.“Iya, Ma.” Tahu dia tidak akan pernah menang berdebat dengan ibunya, Anira langsung mengiyakan saja. Reksa menahan tawanya, dan memilih lanjut berbicara dengan ayah Anira. Hingga selesai sarapan. Saat makan, ia melirik Anira dan menemukan ujung bibir gadis itu masih cemberut, meski sembari menyantap makanannya.Reksa menyentuh lutut gadis itu lembut, di saat kedua orangtua Anira tidak memperhatikan dan menepuknya lembut. “Kalau kamu mau, kita bisa nai
“Bicara apa?” Anira mengerutkan keningnya. Namun, sebelum Reksa menjawab, dia langsung teringat. “Tadi, Deril sempat mau bicara, tapi nggak jadi. Terus tadi, dia juga nelepon tapi aku nggak tahu apa yang mau dia bicarakan.”“Kamu udah telepon balik?”Dengan polos Anira menggelengkan kepalanya. “Tapi, pesannya udah gue bales, tenang saja.” Reksa masih merasa mengganjal dengan perubahan panggilan Anira padanya yang terus berubah-ubah. Namun dia tidak lagi berkomentar. “Kamu tahu apa yang mau dibicarakan Deril?”Anira menggeleng. “Lo pikir, dia curiga tentang hubungan kita? Lo sih terlalu blak-blakan!” omelnya. “Ah, tapi mungkin juga nggak. Mungkin dia Cuma mau bilang ke kita kalau Velma menyusul ke Puncak?”Reksa tersenyum geli. “Kamu sebenarnya sedang berusaha meyakinkan siapa?”“Meyakinkan diri sendiri!” balas Anira gemas. “Hh, nggak tahulah. Gue bingung.”“Bingung kenapa?” “Nggak tahu, bingung saja.”Selain perubahan hubungan mereka, dan cara menghadapi Deril dia juga masih b
“Nggak!” Anira sedikit terkejut dengan insting tajam ayahnya. “Kalau terjadi sesuatu, aku nggak akan bilang not bad?”Ia tidak mengatakan apa-apa, kenapa ayahnya bisa menebak? Apa ada yang salah dengan ekspresi di wajahnya?Anira tidak ingin menceritakan kejadian buruk yang terjadi padanya. Menurutnya, semua itu sudah selesai ketika dia meninggalkan kantor polisi tadi. Kedua orangtuanya tahu hanya akan membuat mereka jadi ikut cemas dan sedih untuknya.“Kalau memang liburannya menyenangkan, kamu nggak akan berhenti di kalimat ‘not bad’ itu!” Ibu Anira ikut menimpali. Anira mengerutkan kening bingung, tapi hatinya sedikit ketar-ketir. Ternyata sulit juga memiliki orang tua yang sangat paham dengannya. Sedikit saja tingkahnya yang aneh tidak bisa lolos dari mata elang keduanya.“Well, puncak ramai banget karena akhir pekan. Jadi macetnya juga luar biasa!” keluhnya sambil menyandarkan kepala di pundak ibunya.Ibu Anira mengusap kepala anaknya lembut. “Dari dulu juga puncak memang g
“Velma?” Reksa ikut menoleh. “Ngapain dia di sini?” Anira menggelengkan kepala. “Mungkin gue yang salah lihat?”Reksa memicingkan matanya, kaca yang agak gelap memang menghalangi pandangannya. Karena penasaran, dia membuka kaca mobil, hingga dia bisa lebih mudah menatap keluar.“Itu benar-benar Velma.”“Mau tanya dulu?” Anira tetap mengusulkan walau dia enggan. Reksa menatap lagi, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak perlu. Mungkin dia ada keperluan lain. Di sekitar sini.”“Yakin?”Anira masih melihat ke mobil itu, kalau melihat ekspresi di wajah Velma, dia tidak bisa seyakin Reksa. “Lo yakin dia nggak ada masalah?”Velma adalah manusia yang mengenakan perasaannya di wajahnya. Seluruh emosi yang dirasakan oleh gadis itu terteraa jelas di wajahnya.Kening berkerut, bibir cemberut, dan tangan yang terus-menerus menekan klakson hingga menambah suara bising di tengah kepadatan yang sudah cukup ramai itu.“Hmm, nggak usah terlalu dipikirkan.”“Menurut lo, apa mungkin Velma ke pun
Anira menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Dia lalu menoleh ke arah Zeva. Zeva, gadis itu hanya diam saja. Dia memperhatikan keduanya dengan seksama.“Oke, bicara saja kalau gitu.”Deril menatap Zeva. “Di sini?” Anira mengangguk. “Memangnya kenapa? Apa yang mau lo bicarakan sampai nggak boleh didengar orang?”Meski dia bertanya berani seperti itu, tapi jantungnya berdebar kencang. Dia tidak siap dengan pertanyaan yang akan ditanyakan Deril.“Kamu yakin?”Anira menguatkan hatinya, lalu menganggukkan kepalanya percaya diri. “Tentu saja. Memangnya mau bicara apa sih? Segala penuh rahasia gitu?”Deril menatap Zeva, berharap gadis itu akan peka dan memberikannya waktu berdua dengan Anira. Namun, Zeva memilih menatap ke arah lain dan bersikap seolah dia tidak menyadari itu. Setelah berpikir sejenak, Deril akhirnya mengurungkan niatnya. “Nanti saja kalau begitu.” Anira mengerutkan keningnya. Namun, dia tidak berani mendesak lagi. “Oke?” jawabnya ragu.Pria itu menatap Anira beberapa