Setelah berjanji akan menghubungi orang tua Anira, kalau dia mendapatkan kabar, Deril mengakhiri panggilan itu.
Dia tidak ingin menimbulkan kecemasan yang berlebihan, tapi ternyata malah sebaliknya. Dia sama sekali belum mendapatkan informasi tentang keberadaan Anira.
Tidak lagi tertarik meneruskan semua rencananya, Deril segera pergi dari sana, menghubungi semua teman Anira yang dia tahu, mencari Anira ke tempat biasa dia pergi.
Tempat Gym, cafe favorit, sampai klinik kecantikan tempat Anira biasa perawatan, semua dia datangi, tapi masih nihil.
Hingga tengah malam, mereka belum mendapatkan kabar mengenai Anira. Kecemasan itu semakin meningkat saja.
Reksa bahkan sudah hendak melapor semuanya ke polisi, tapi karena belum sampai 24 jam, mereka masih belum bisa melaporkan itu sebagai kehilangan.
“Anira nggak pernah kaya gini sebelumnya. Kalau pun dia nggak bawa hp, dia pasti akan coba kasih tahu keluarganya dengan cara lain!”
Reksa tidak menanggapi, tapi dia tidak menyangkal juga. Rasanya otak mereka buntu, kemana lagi mereka harus mencari Anira?
Sampai akhirnya satu panggilan memecah kebingungan dua orang itu.
“Nyokap Anira!” ujar Deril, sambil mengangkat panggilan itu.
“Halo! Halo! Nak Deril? Papanya Anira kecelakaan!”
Anira melihat ke arah jam. Waktu sudah semakin larut, dan dia sama sekali belum punya cara untuk keluar dari tempat ini. Keisengan Velma menurutnya sudah melewati batas.
Dia kira satu dua jam, adik kekasihnya itu akan kembali menjemputnya. Sudah nyaris tengah malam, dia mulai panik, sendirian di tempat tua yang penuh dengan buku ini, mulai terasa menakutkan.
Suasannya terlalu hening, dia juga lapar dan haus. Sejak tadi dia berharap akan ada yang mendengar suaranya, tapi ternyata harapan itu semu. Tidak ada bantuan yang datang padanya.
“Tolonglah siapapun,” gumamnya setengah putus asa. Dia tidak ingin menghabiskan malam di tempat ini, tapi sepertinya dia tidak punya pilihan lain.
Mengingat hari sudah malam, dia takut, suara teriakannya tadi malah diasosiasikan dengan sesuatu yang mistis, dan malah semakin takut mendekat ke tempat ini.
“Mama sama papa, pasti cemas banget.” Sebagai perempuan dewasa yang masih tinggal dengan orang tuanya, dia masih punya jam malam yang cukup ketat yang harus dia patuhi. Dan jam itu sudah lewat lama.
Dia tidak tahu, betapa paniknya orangtuanya sekarang. Dia lelah, takut, cemas, merasa sendirian di tempat yang sama sekali asing baginya.
Rasa kesal tadi, perlahan berubah menjadi kengerian yang pertama kali dia rasakan.
Di tengah kekalutannya, Anira tiba-tiba, memdengar langkah kaki samar. Pandangannya secara otomatis langsung tertuju ke arah jam tua yang terus berjalan, kemudian ke arah pintu.
Anira berusaha menajamkan pendengarannya, memastikan kalau dia tidak salah dengar. Suddah lewat tengah malam, apa mungkin masih ada orang yang datang ke tempat ini? Setelah berharap berjam-jam, ketika muncul harapan, Anira jadi sedikit pesimis juga.
Tetapi, mungkin juga kalau Velma kembali ke sini kan? Anira akhirnya melangkahkan kakinya, mendekat ke arah pintu itu, kemudian mengintip dari sela-sela kecil yang ada di depannya.
Deg! Dia nyaris berteriak, ketika bertemu pandang mata seseorang di luar sana. “Apa ada orang di luar?” tanyanya hati-hati. “Bisa tolong bukakan pintunya? Saya terkunci di dalam sini.”
“Beneran ada orang di dalam?” samar-samar dia mendengar gumaman di luar sana.
“Ada Pak, di dalam ada orang!” seru Anira cepat, mulutnya lebih cepat bergerak daripada otaknya.
Setelah mengucapkan itu, dia jadi cemas sendiri. Anira benar-benar ingin keluar dari sini, tapi di sisi lain dia mulai takut, kalau-kalau laki-laki di luar sana, bukan orang baik-baik.
Semua perasaan itu campur aduk, membuat keringat dingin, membasahi punggungnya. Setelah menunggu sekian lama, tidak mungkin dia melepaskan bantuan yang mungkin akan menjadi satu-satunya, sampai pagi menjelang.
“Be-beneran orang kan?”
Anira tertawa pahit, sedikit terhibur, ternyata bukan hanya dia orang yang takut, saat ini.
“Iya, Pak. Saya terkunci di dalam. Apa bapak bisa bukakan pintunya?” Suara Anira, semakin percaya diri, dia mengintip dari lubang vertikal yang ada di pintu itu, melihat samar wajah pria paruh baya di luar yang masih sedikit takut, membuatnya bertambah yakin, untuk meminta bantuan.
“Sebentar, Mbak. Saya ambil kuncinya dulu.”
Anira mendengar langkah kaki orang itu menjauh. Dengan hati tidak sabar, hatinya sudah sangat waswas. Perasaannya tidak enak sedari tadi.
Beberapa saat kemudian, orang itu kembali dan membukakan pintu untuk Anira. “Oalah, Mbak. Kok bisa toh, kekunci di dalam? Untung saya patroli malam, kalau nggak bisa sampai besok pagi, mbaknya di sini.”
Anira hanya bisa meringis, kemudian mengucapkan terima kasih ke pria itu, dari pembicaraan mereka, dia tahu kalau pria itu adalah satpam yang tinggal di dekat situ. “Maaf, Pak. Apa saya bisa pinjam hp bapak?” tanyanya hati-hati.
Pria itu dengan ramah menyerahkan ponselnya. Anira menekan nomor ibunya yang sudah dia hafal luar kepala. “Halo, ma. Ak―”
“Anira, kamu dimana? Papa kecelakaan di rumah sakit Persada!” suara ibunya bercampur tangis, tapi Anira masih bisa menangkap apa yang diucapkan ibunya itu.
“A-apa, Ma? Papa kecelakaan? A-aku ke sana sekarang, Ma!” Anira merasa lututnya lemas. Namun, dia masih berusaha menguatkan diri.
Dia menyerahkan ponsel itu, dan beberapa lembar uang kepada pria itu sebagai tanda terima kasih, lalu berpamitan dan langsung menuju rumah sakit.
***
“Gimana keadaan Papa?” Napasnya terengah, tapi Anira langsung bertanya kepada ibunya. “Papa lagi dioperasi, kata dokter keadaannya kritis.”
Tubuh Anira jatuh ke lantai. Kali ini seluruh tenaganya terasa hilang begitu saja. Dunianya gelap. Bagaimana mungkin ini terjadi. Tadi pagi, dia masih berpamitan pada ayahnya. Semua masih baik-baik saja. Kenapa sekarang semuanya jadi seperti ini?
Anira dan ibunya berpelukan di lantai rumah sakit itu, dengan mata bercucuran air mata. Harap dan doa terus terucap dalam hati. Berdoa untuk keselamatan ayah Anira.
“Ra,” panggil Deril hati-hati. Hatinya ikut teriris melihat kesedihan Anira. Tangannya terjulur menyentuh bahu gadis itu.
Dengan mata masih merah, dia bangkit berdiri, menatap pria itu. “Kenapa papa bisa kecelakaan Ril?” tanyanya sesenggukan.
Deril terdiam, hanya memeluk erat gadis itu. “Papa kamu tertabrak truk, waktu dia naik motor keluar, mau nyari kamu.”
Deg! Saat itu juga Anira merasa telinganya berdengung. Pijakannya terasa amblas ke bawah. Jadi, ayahnya seperti ini karena dirinya?
“Ra, ini semua kecelakaan. Bukan salah kamu.” Deril mengeratkan pelukannya, di tubuh kaku Anira.
Tetapi, tiba-tiba, Anira mendorong keras pria itu. Matanya penuh kemarahan menatap Deril. “Ini semua karena kamu! Karena adik kamu! Kalau bukan karena dia, ini semua tidak akan terjadi!” teriaknya histeris.
Bukan hanya Deril, ibunya dan juga Reksa yang berada di tempat itu, ikut terkejut mendengar amukan Anira yang begitu tiba-tiba.
“A-apa maksud kamu Nir? Apa hubungannya ini semua sama Velma?”
“Kamu harusnya tanya adik kamu itu! Kalau bukan dia mengurungku dan meninggalkankanku dalam keadaan terkunci, aku nggak akan pulang terlambat! Papa nggak akan perlu keluar mencariku! Papa nggak perlu berbaring di dalam sana!” tunjukknya ke arah ruang operasi dengan mata nyalang. Deril terkejut bukan main. “Ta-tapi Velma bilang dia sama sekali nggak ketemu kamu di kantormu.”“Aku sudah heran, kenapa adikmu yang biasanya ketus, mau berinisiatif menjemputku! Harusnya aku tidak ikut dengannya! Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!” Kakinya lemas, dia merasa seluruh tulangnya dilolosi dari tubuhnya.Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk, tapi kenapa dia tidak kunjung terbangun. Warna merah di ruang operasi yang tidak kunjung padam membuat Anira semakin putus asa. Penyesalan itu makin menggunung bagai bola salju.Beribu tanya kenapa, bermunculan di kepalanya. Kenapa harus ayahnya? Kenapa dia tidak berteriak lebih awal tadi, kenapa dia harus berusaha mendekatkan diri ke Velma? Dia tidak b
Ibu Deril, dengan ragu, membela Velma. “Ini semua kecelakaan Ril. Velma juga nggak nyangka kejadiannya bakal kaya gini.” Velma menganggukkan kepalanya cepat. “Iya, Kak. Aku Cuma iseng.” Bagaimana mungkin sebuah keisengan itu, berakir seperti ini?“Iseng? Vel, kamu mengurung Anira di tempat asing, malam-malam sendirian! Kalau nggak ada kejadian ini, sampai kapan kamu mau mengurung dia di sana?!”Velma mengkerut, gemetar. Deril tidak pernah semarah ini, padanya. “Toh, dia bisa keluar juga kan.” Dia tidak akan pernah mengakui, kalau dia berniat membiarkan Anira semalaman di sana.Seorang temannya bekerja di perpustakaan itu, dan dia sudah meminta, temannya itu untuk datang pagi sekali, dan mengeluarkan Anira dari sana.“Dia beruntung ketemu orang baik! Gimana kalau orang itu jahat? Kamu nggak mikir sama sekali!”“Ril, udah jangan marahi adik kamu lagi. Marah nggak akan menyelesaikan apapun.”“Ma, coba kalau Velma diperlakukan kaya gitu! Apa mama masih bisa seperti ini?”Ibu Deril
“Nir, dengar dulu. Papa nggak bermaksud bicara seperti itu.” Panik, Deril buru-buru menjelaskan. Dia tidak mengerti, kenapa ayahnya malah menambah buruk keadaan?“Keluarga kami masih mampu! Kami tidak butuh belas kasihan kalian!” Menusuk suara Leo, pandangannya dingin menatap keluarga pacar adiknya itu. “Pergi!”“Leo, please jangan kaya gini. Dengerin dulu, penjelasan gue.” Anira benar-benar merasa malu pada ibu dan kakaknya saat itu. Dia marah, sedih, dan benar-benar kecewa. Namun, dia tidak ingin terus-menerus berlindung di belakang pundak kakaknya. Anira menghapus kasar air matanya.“Saya berterima kasih, atas kesediaan Om sekeluarga untuk datang ke sini. Om sudah menyampaikan semuanya! Apa bisa kalian pergi sekarang?” Tenggorokannya tercekat. Bukan permintaan maaf seperti ini yang dia harapkan. Kalau seperti ini, dia juga tidak butuh.“Nak, Anira. Jangan begini, Kami semua juga ikut sedih dengan keadaan ayah kamu. Biarkan. Kami bertanggung jawab, dengan begini, tante dan
Anira menatap kakaknya cemas, mulutnya kaku, tidak bisa bersuara. Bahkan ibunya yang tadi mulai tertidur di kursi, segera terbangun, mendengar teriakan panik Leo itu.“Papa kamu kenapa?”“Papa sadar, Ma!”Tidak lama setelah Leo berkata demikian, seorang suster jaga, datang menghampiri mereka.“Ada apa?” tanya perawat itu. Dia datang karena panggilan tombol nurse call yang ditekan Leo di ruangan tadi.“Ayah saya, sadar, Sus.”“Sebentar! Saya panggil dokter dulu.” Menyadari kalau itu di luar wewenangnya, perawat itu segera menelepon dokter. Kemudian masuk ke dalam ruang ICU itu. “Jangan ada yang masuk dulu!” ujarnya.Anira dan keluarganya, menunggu dalam keadaan tidak tenang di luar.“Papa kamu benar-benar sadar?” Mata ibu Anira berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk, ada bahagia yang membuncah, tapi ada ketakutan kalau itu hanya harapan semu.Anira lekat menatap ruangan tempat ayahnya berbaring lemah itu. Ketika dokter datang dan masuk ke ruangan itu, Anira memanfaatkan celah ke
“Nia, kenapa kamu di luar?”“Kak.” Mata Anira kembali berkaca-kaca, melihat ibu dan kakaknya tiba. “Papa sudah tahu,” gumamnya.“Sudah tahu apa?”“Semuanya.” Anira menundukkan kepalanya, dia merasa ini semua terjadi karenanya. Dengan suara lirih dia menceritakan apa yang terjadi.“Kenapa mereka harus sampai seperti ini. Kita bahkan belum mengatakan apapun tentang melaporkan tindakan adik Deril itu, tapi mereka sudah tidak sabar mencari pembenaran sendiri.” Leo benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah keluarga pacar adiknya itu.Karena keadaan ayah mereka, tidak ada satu pun yang berniat membahas apa yang terjadi. Selain kemarahan Anira di hari pertama, tidak sekalipun mereka mengatakan akan menuntut Velma.Namum, keluarga Deril terus-menerus mengganggu dan menyampaikan pembenaran diri mereka. Tidak peduli sebaik apa niat mereka, dengan segala sikap itu, keluarga Deril lebih terlihat seperti pengecut yang ingin dengan cepat melepaskan diri dari tanggung jawab.“Aku juga nggak ta
Anira menatap nanar kotak cincin yang berada di tangannya itu. Kalau ini beberapa hari yang lalu, mungkin dia akan jadi orang paling bahagia, menerima lamaran dari kekasihnya itu. Takdir benar-benar sebercanda itu.“Semuanya masih bisa diperbaiki. Kamu percaya sama aku kan?”“Ril, maaf, maaf, maaf.” Deril sama sekali tidak melakukan apa-apa, ini tidak adil untuk pria itu, tapi dia harus melakukan ini. Dia tidak tahu bagaimana dia harus berhadapan dengan keluarganya kalau dia masih meneruskan hubungannya dengan Deril.Anira berusaha memberikan kotak cincin itu kembali ke Deril, tapi pria itu menolak.“Aku akan kasih kamu waktu, sebanyak yang kamu mau. Cincin itu, kamu simpan dulu, kamu nggak harus langsung menerima aku.”Deril tidak bisa menerima, kalau hubungan mereka berakhir begitu saja. Dia tidak pernah membayangkan akhir seperti ini, dari mereka berdua. “Ril, maaf.” Anira beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Deril. Dia tidak bisa menahan air matanya. Namun, Deril m
Reksa menatap Anira terkejut, dia nyaris tidak mempercayai telinganya. “Lo ...?”Mulutnya kelu, untuk beberapa saat, otaknya terasa kosong, tidak tahu harus mengatakan apa. Dia ingin bertanya, kenapa. Namun, dia juga mengerti, kenapa Anira melakukan itu.Anira tersenyum simpul, reaksi Reksa itu sudah bisa ditebaknya. “Tadi, ayah Deril datang lagi, dan langsung menyodorkan uang ke papa untuk ganti rugi.” Sebuah senyum getir, tersungging di bibir gadis itu. “Saat itu, gue langsung nggak bisa membayangkan, seperti apa jadinya hubungan kami.”Reksa menelan ludahnya, untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Dia kira, dia akan senang kalau hubungan keduanya berakhir, tapi saat ini hanya hampa yang memenuhi dadanya. Kesedihan di wajah Anira sama sekali tidak bisa disembunyikannya, meski gadis itu mencoba untuk bersikap santai. “Lo nggak mau nanya? Atau menghibur gue mungkin?”“Apa itu akan membantu lo sekarang ini?” Anira tertegun, kemudian dia menggelengkan kepalanya. Dia ha
“Papa? Yah, papa sudah jauh lebih baik sekarang.” Deril menunggu, tapi Anira tidak lagi mengatakan apa-apa. Untuk kesekian kalinya, pria itu harus menelan pil pahit. Dia bukan lagi orang yang menjadi tempat Anira menceritakan kehidupannya.Gadis itu hanya memberikan jawaban basa-basi padanya. Deril juga tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Rasanya ada begitu banyak hal yang ingin dia sampaikannya, tapi di saat yang sama dia merasa tidak ada topik yang bisa membukan pembicaraan itu.Anira terlalu menutup diri. Sudah terlalu lama, Deril sadar dia tidak bisa terlalu terburu-buru. Keduanya berjalan ke mobil yang ada di parkiran. Deril memasukkan semua koper Lamira ke bagasi belakang mobil itu.Keduanya lalu masuk ke dalam mobil. Reksa dan Sisi sudah menunggu di dalam, sedang memakan donat yang baru mereka makan.“Ini gue harus antar kalian kemana?”“Ke rumah lama gue.” “Oke.” Reksa menghidupkan mesin mobilnya, mengemudikannya pelan, keluar dari lahan parkir itu. “Itu di maka