🌼🌼🌼🌼
Sudah seminggu sejak si manusia aneh itu mengatakan bahwa aku dengannya telah resmi jadian, yang langsung membuat kehidupan SMA-ku berantakan dalam sekejap. Semua usaha yang aku bangun, hancur seketika akibat ulahnya. Baru seminggu aku jadian, aku sudah menjadi target perudungan dari banyak siswi di sekolah ini.
Ini gila! Benar-benar gila! Hal yang aku takutkan terjadi, padahal aku sudah bersusah payah untuk menjaga jarak dengan banyak orang termasuk lawan jenis. Aku membentengi diriku agar kokoh dan tak tersentuh. Namun, teganya Langit menghancurkan semuanya dalam sekejap. Murid pindahan yang baru tiga hari bersekolah itu meruntuhkan benteng yang sudahku susun selama satu semester.
Aku menghela napas panjang, merutuki kesialanku setelah bertemu dengan Langit.Setelah kejadian itu, aku belum bertemu kembali dengannya karena itu aku tidak bisa meminta penjelasannya mengenai kejadian tempo hari dan ingin Langit berhenti melakukan aksi konyolnya itu. Aku ingin melakukan aksi protes. Karena aku telah dirugikan. Awas saja kalau dia muncul di hadapanku! akan kubuat Langit menyesali ucapannya yang sembarangan itu dan aku tidak setuju dengan pernyataannya, jadian delapan bulan. Aku sama sekali tidak setuju dan tertarik. Kalau serius seharusnya bukan delapan bulan tapi sampai habis usia!
"Meg, gue harus ke ruang guru, nih. Lo gapapa ke kantin sendiri? Atau mau ikut gue aja ke sana?"
Aku menoleh ke arah Sani, tersadar akan lamunanku barusan. Lantas kembali menatap ke depan mengabaikan ucapan Sani.
"Meg ..." Sani menggoyang-goyang lenganku.
Aku menatap Sani malas, moodku saat ini sedang buruk sekali.
"Gue mau ke ruang guru, Meg. Tadi, pak Budi katanya nyariin," jelas Sani padaku.
"Oh, yaudah ke sana aja!"
"Lo ikut juga, ya?"
Aku menggeleng. "Eh, e-enggak ... gausah, San. Gue mau ke perpus aja. Udah lama juga nggak ke sana."
Sani menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, aku balas menatapnya dengan senyuman lebar. Sani tampak berpikir sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Oh, oke, tapi lo hati-hati, ya!"
"Kabarin gue kalau ada apa-apa," sambungnya lagi.
Aku mengangguk. Lantas melihatnya yang sudah berjalan keluar.
Satu,
Dua ...
Tiga!
"Beneran, nggak mau ikut?" Sani berbalik menatapku penuh kekhawatiran.
"Lo bisa ke sana sendiri? Atau gue antar lo dulu aja gimana?"
Aku hanya tersenyum lantas mengangguk. Mencoba meyakinkannnya lewat tatapan mata bahwa tidak ada yang perlu Sani khawatirkan.Sani memang seperti ini terhadapku. Ini sudah sering terjadi, perlakuan itu sudah tidak asing lagi. Walaupun terkadang aku merasa Sani terlalu berlebihan. Bukan, bukan berarti aku tidak suka. Tapi, aku tidak ingin membuat Sani berlaku begitu. Jujur, itu membuatku tidak enak hati.
Sebenarnya, hal ini juga terjadi karena kejadian pada masa lalu, yang tidak bisa aku ceritakan sekarang dan juga karena ulah Langit! Aku benar-benar jadi target perudungan sekarang akibat ulahnya tempo hari, jadian dengannya membuat beberapa siswi geram dan tak suka. Walaupun aku tidak mau mengakuinya, karena aku jelas tidak menganggapnya begitu. Itu hanya anggapan Langit dan orang-orang saja. Bagaimanapun persoalan ini harus selesai sekarang. Sebelum semuanya bertambah buruk.
Seperti kejadian tempo lalu di kantin, tepat ketika Langit mengatakan aku dan dia telah bersama. Aku di siram air teh. Untung saja hangat coba kalau panas?
🌼🌼🌼🌼
Perpustakaan di depanku tampak lengang. Bukan hal aneh kalau di sini sepi. Hanya ada beberapa orang yang mau merelakan istirahat yang berharganya di sini, termasuk aku. Katanya tempat terbaik saat istirahat itu, ya ... kantin. Tidak ada yang lain.
Aku mulai melengang masuk. Dinginnya AC langsung menyambut kulitku. Selain itu, suasana di sini begitu tenang sekali. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mataku awas meneliti. Hanya ada beberapa orang di sini dengan buku-buku digenggaman dan itulah alasanku memilih untuk ke tempat ini jika tidak dengan Sani.
Karena di sini, sepi.Kalaupun ada beberapa orang mereka tidak mengerikan. Kebanyakan kutu buku. Jadi, mereka tidak akan tertarik denganku menoleh saja pun tidak. Mereka lebih tertarik dengan buku-buku yang menenggelamkan dan membawa mereka ke dimensi yang lain, jelas saja aku kalah dengan buku-buku itu. Aku sama sekali tidak menarik untuk mereka.
Aku melangkah, mendekati beberapa rak di hadapanku sambil melirik buku yang berjejer rapi. Sesekali malah bersin karena terkena debu yang menempel di sana. Setelah mendapat buku yang di rasa menarik aku memilih duduk di pojokkan. Di sana tempat kesukaanku, alasannya karena aku kira tidak banyak yang mau duduk di situ. Yang mana letaknya di belakang, di pojok dan jauh dari pintu keluar. Lalu karena pernah ada berita tidak mengenakan jadi tak banyak orang yang mau duduk atau menginjakkan kaki ke sana.
Namun ternyata aku salah. Tepat ketika aku berada di sana, entah siapa sudah duduk dengan nyaman. Wajahnya tertutup buku. Aku tidak bisa melihat parasnya itu dan juga tidak bisa menebaknya siapa. Perlahan lahan aku menarik kursi yang langsung bercedit pelan lalu mendudukinya. Dia tampak menoleh, mengintip lewat celah bukunya.Aku belum bisa menebak siapa. Tanpa memedulikannya aku segera duduk. Toh, aku tidak akan mengganggunya. Hanya ingin duduk di sini. Sudah hanya itu saja. Tanpa merasa mengganggu, aku duduk dengan tenang lantas mengeluarkan earphone dari saku kemudian memasangkannya. Alunan lagu mulai terdengar. Aku menirukan gayanya, menutupi wajah dengan buku yang sedari tadi aku genggam.
Lima menit berlalu. Semuanya masih normal.
Enam menit,
Tujuh menit.
Buku yang sedari ku genggam tiba-tiba ada yang menekuk.
Seseorang dihadapannku tersenyum ramah. Aku mendengkus sebal. Moodku langsung hancur seketika saat megetahui siapa orang di depanku sekarang."Lho, kok ada di sini Meg? mau ngapain ke sini?" tanyanya sambil menopang dagu dan tersenyum ramah.
Basa-basi sekali!
Aku menatap ke arahnya dengan dongkol sambil berkata. "Ya, lo pikir aja sendiri gue ke perpus mau ngapain. Masa iya gue mau senam, sih!"
Dia terkekeh pelan. Entah ini keberuntungan atau kesialan karena bertemu dengannya. Namun, mengingat ada hal yang harus aku luruskan dengannya, mungkin ini bisa disebut keberuntungan. Karena dengan begitu aku tidak perlu repot-repot mencarinya. Ya, benar aku harus segera meluruskan masalah itu sekarang juga. Kalau tidak, kehidupan masa SMA-ku tidak bisa terselamatkan.
Kalian pasti bisa menebaknya kan? Siapa yang ada di hadapanku sekarang. Ya, benar, itu Langit! Manusia menyebalkan yang telah berani masuk ke dalam kehidupanku dan menghancurkannya begitu saja!
"Sengaja duduk di sini? Hm," ucapnya sambil menatap nertraku dengan lekat. "Tahu aku di sini dari siapa?" ulangnya lagi.
Mataku mendelik lantas mengembuskan napas kasar. Niatku untuk membicarakan kejadian tempo hari batal, moodku hancur seketika ketika mendengar pertanyaan yang Langit ajukan dengan penuh percaya diri itu. Padahal aku sudah bertemu secara kebetulan seperti ini. Tidak perlu repot-repot mencari. Namun, jika dia begini aku jadi malas untuk membahasnya."Diamnya perempuan berarti iya," katanya sambil tersenyum jahil.
Idih! Amit-amit."Jadi beneran sengaja, ya?" ucap Langit penuh percaya diri sekali.
Aku mendengkus sebal dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun."Lo, tuh ya!" kataku setengah berteriak sambil menatapnya galak.
Sadar akan suaraku yang hampir saja mengundang penjaga perpus ke sini, langsung cepat-cepat kubungkam. Tidak berniat melanjutkan kalimatku barusan."Lo tuh apa? Hmm," katanya seperti berusaha menggodaku.
"Ganteng? Baik? Lucu? Tidak sombong dan rajin menabung?" sambungnya lagi tak lupa dengan kekehan di akhirnya.
Bulu kudukku merinding mendengar penuturannya itu.
"Diam berarti iya, Meg. Itu berarti dari tadi kamu mengiyakan ucapan aku lho."
Aku mendelik lantas beranjak. Niatku untuk meluruskan dan membicarakan kejadian tempo benar-benar gugur. Jika begini aku tidak sudi untuk berbicara dengannya lagi! Kalau saja sedari tadi aku tahu dia di sini lebih baik aku diam saja di kelas menunggu Sani. Di banding harus terjebak dengannya. Hih! Persetan soal masalah itu, aku sudah membencinya dan tidak ingin berurusan dengannya lebih jauh.
"Eh, eh mau kemana?" ucapnya sambil ikut beranjak.
Namun, setelah itu Langit diam sambil tangannya berpegangan pada kursi yang di dudukinya tadi. Aku mengernyitkan dahi melihat kejadian barusan. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi dengannya.
Langit masih berpegangan pada kursinya.
Hening.
Aku dan Langit saling diam. Keheningan perpustakaan jadi terasa.
Langit kenapa? Jangan-jangan kerasukan! Mengingat perpustakaan ini pernah digosipkan angker dan katanya tempat terangker itu, ya ... di sini. Di tempat aku dan Langit berada.Glek!
Aku menelan saliva kasar.
Langit masih diam. Aku terus mengamatinya. Karena kalau sampai terjadi apa-apa bisa-bisa aku tersalahkan. Kan sejak tadi dia bersamaku. Namun, bagaimana jika dia kerasukan betulan, ya?
Mampus gue! Bisa-bisa kena cekik, nih!Nggak gue nggak mau! Apalagi sampai digodain setan perpustakaan! Sama manusia aja gue enek apalagi kalau sama setan, ya kalau sama setan, sih, serem. Hiyyy! Nggak mau!
"Kenapa? Lo sakit? Ke UKS aja sana!" Aku memberanikan diri untuk berbicara terlebih dulu.
Langit tidak bereaksi sama sekali, hanya diam mematung. Aku yang sudah mulai kesal dan sedikit takut memilih untuk melangkah pergi. Dibanding dia kerasukan betulan, kan? Mending kabur.
"Jangan-jangann lo kerasukan, ya?" cetusku pada Langit.
"Astagfirullah, buruan nyebut! Doa buru, berdoa!" perintahku pada Langit setelah itu aku segera membalikkan badan, membelakangi Langit. Lantas berniat pergi.
Glek!
Baru saja aku berkata begitu, tiba-tiba aku merasa ada yang menahan tanganku dan benar saja, Langit sedang mencekal tanganku erat.
Ini dia tidak akan mencekikku, kan?Engga! Engga! Dia tidak akan melakukan apa-apa. Aku segera mensugestikan pikiran positif. Bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa dia hanya bercanda.
Setelah mengambil napas dalam-dalam aku memberanikan diri menatapnya walaupun sambil memicing karena tak suka saat ia mencekal lenganku erat.
Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya. "Lo tuh apa-apa, sih! Lo mau nge-drama?"
Aku berusaha untuk tidak takut. Terserah, deh, kalaupun dia memang kerasukan. Nanti aku tinggal teriak saja. Dibanding tanganku dicekal terus, nanti ke-enakan lagi dianya. Hih! Enak saja.
"Gue bacain juga lo ayat kursi, mau? Biar lo kepanasan!"
Aku kira dia tidak akan bereaksi ternyata dia menoleh sekilas lantas duduk kembali. Padahal aku sudah bersiap untuk membaca ayat kursi."Khawatir?" tanyanya masih saja cecengesan.
Buku yang berada di atas meja segera kuambil yang langsung melayang ke arah Langit.
Bugh!
Langit meringis tertahan.
Tuh kan! Dia pasti sedang bercanda!
Aku menatapnya dengan galak. Lantas berkata ketus, "siapa juga yang khawatir!"
"Kaget nggak?"
Mataku mengerlirng mendengar ucapannya.
Tahu gitu, mending tadi aku tinggalkan saja dia! Dibanding begini. Meskipun memang lebih baik bercanda dibandingkan dia kerasukan tapi tetap saja membuatku kesal. Lagi pula mengapa dia melakukan hal itu? Untuk apa, sih?
Baru saja aku hendak bersungut-sungut, sesuatu mencuri perhatianku.
Mataku mendadak terbuka lebar ketika melihatnya. Lantas mengerjap berkali-kali, berusaha meyakinkan apa yang aku lihat itu benar dan tidaknya.
Deg!
Cairan itu kembali menetes tepat di depan mataku. Aku bergeming, menatap tidak percaya apa yang ada di depan mataku sekarang.
Deg! Deg! Deg!
Darah.
Dengan perasaan takut aku mendongak melihat ke arah Langit. Benar saja. Cairan kental berwarna merah itu mulai menetes lagi, terus keluar dari hidungnya. Lumayan banyak. Bau amis seketika menguar, tercium oleh rongga hidungku. Napasku tersengal-sengal sedangkan mulutku terkunci rapat. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, karena kelu.
Lengang.
Perpustakaan jadi terasa sunyi bahkan aku mampu mendengar detak jantungku yang berdegup tiga kali lebih cepat. Belum lagi peluh di dahi mulai terasa bergerak turun.Tubuhku mendadak lemas seketika.
"Kenapa Meg?"
Aku memegang meja di depanku kuat-kuat sambil masih menunduk. Tidak berani menatapnya. "Mending lo pergi dari hadapan gue, sekarang!" ucapku setengah parau. Rasanya tenggorokannku tercekik. Suara yang keluarpun terasa berat.
Mataku masih terpejam, aku tak berani membuka mata. Langit diam tidak merespons ucapanku barusan. Apa jangan-jangan dia sudah pergi, ya?
Dari tadi kalau saja bisa, aku ingin lari dari sini. Tapi badanku terasa kaku, rasanya jadi sulit untuk menggerakan kaki juga anggota tubuh lainnya.
Keadaanku sekarang persis seperti patung.
Dua menit,
Tiga menit.
"Kakak!"
"Engga, gaboleh kak! Kakak nggak boleh kenapa-kenapa! darahnya kenapa nggak bisa berhenti, sih?! "
"Kakak, bangun! Nggak boleh tidur. Ayok kakak bangun!"
"BERHENTI, DARAHNYA HARUS BERHENTI!!"
"Kak!"
"Kakak harus bangun nggak boleh tidur! Hiks,"
Tubuhku langsung ambruk. Pertahananku runtuh. Aku tidak bisa berdiri dengan tegap. Beruntungnya seseorang langsung sigap menangkapku. Sepertinya itu Langit. Tidak apa-apalah kali ini aku membiarkannya berlaku begitu. Hanya kali ini.
Ingatan tentangnya kembali menyeruak begitu saja, tubuhku lemas seketika. Dadaku juga sesak seperti ada yang menghimpit. Sakit sekali. Aku menggigit bibir. Mengapa ingatan ini muncul kembali?
Aku memegangi dada, sesak. Sesak sekali. Kepalaku juga berdenyut, saat ini tangangku bergetar hebat. Ingatan itu benar-benar membuatku terguncang apalagi di tambah kejadian sebelumnya."Hemophobia?" tanyanya sambil membantuku berdiri dan menduduki tubuhku di tempat semula dengan hati-hati.
Aku masih diam tidak mengidahkan pertanyaannya barusan. Memilih fokus untuk mengumpulkan diriku yang hampir saja kehilangan kesadaran.
Langit masih menatapku dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Belum lagi, ekspresinya terlihat seperti khawatir, mungkin. Aku tidak tahu.
Setelah itu tak ada pembicaraan apapun, baik aku maupun Langit bungkam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Aku mencoba mengatur pernapasan. Mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Terus mengulangi hal itu hingga perasaanku sedikit tenang.
Tatapanku beralih melihat arloji di tangan. Tinggal sebentar lagi waktu istirahat usai. Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Sudah tidak ada darah segar yang mengalir dari hidungnya. Entah kapan ia membersihkannya.
Kenapa juga dia harus mimisan di depan mataku? Kenapa tidak saat aku pergi saja? Lalu mengapa ingatan masa lalu itu muncul kembali tepat saat aku di depan Langit. Aku tidak menyangka dia akan melihat sisi lemahku begini. Aku benci hal ini! Aku benci ketika orang asing melihatku lemah. Mengapa rass takutku selalu muncul saat bersama dengannya?
Ini bahaya. Ingatan ini nggak boleh muncul lagi. Nggak! Aku menggigit bibir. Semua hal yang terjadi bukan salahku! Ya, bukan salahku!
Rasa takut ini tidak boleh ada yang tahu. Ya, tidak boleh ada yang tahu lagi!
Dia mengibas-ngibas tangannya tepat di wajahku. "Baik-baik aja kan, Meg?" kata Langit yang mulai bersuara kembali.
Mataku terbuka perlahan yang langsung menangkap sosok Langit. Sontak membuatku menatapnya sinis. "Lupain apa yang terjadi hari ini dan jangan coba-coba untuk menyebarkan apa yang lo lihat tadi!"
Energiku terkuras habis gara-gara kejadian barusan. Aku menghela napas dalam, lalu beranjak. Meskipun masih lunglai. Kalau tidak memaksakan diri begini aku takut Langit kembali mimisan dan fobiaku kambuh lagi. Kan tidak lucu jika aku sampai pingsan.
Sudah cukup seminggu ini aku jadi korban perudungan, aku tidak ingin lagi perudungannya bertambah parah karena mereka mengetahui kelemahanku. Aku meletakkan buku cepat-cepat. Lantas terburu-buru keluar. Semoga saja Langit tidak berniat menyusulku dan dia mendengarkan ucapanku sebelum aku pergi tadi.Bruk!
"Lo, gapapa kan?" Sani mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku mengangguk lemah sebagai respons atas pertanyaannya.
"Lo mau kemana, sih? buru-buru amat?"
"Sampai nabrak gue lagi," sambung Sani sambil menatapku penuh keheranan dan terlihat sedikit khawatir.
Aku akui, aku memang salah karena terlalu terburu-buru. Sampai tidak memperhatikan jalan. Tapi, beruntung Sani yang aku tabrak. Setidaknya, kalau orang lain aku malas menanggapinya. Pasti nanti dia akan mencak-mencak atau malah bersungut-sungut karena aku menabraknya.
"Muka lo kenapa pucet gitu? Sakit?" Sani bertanya padaku penuh selidik.
Aku menoleh kearah lain berusaha menghindari tatapan matanya. "Eh? Nggak!" kataku dengan gelagapan sambil berusaha meredam kekhawatirannya.
"Perasaan lo tadi baik-baik aja deh, Meg. Lo kenapa? Habis liat setan?"
Iya, Langit setannya!
"Soalnya di perpustakaan ini kan pernah ada gosip aneh," timpal Sani kemudian.
"Mending bawa Mega ke UKS aja, San."
Aku dan Sani menoleh ke arah sumber suara.
Anak ini sering sekali datang dengan tiba-tiba. Belum lagi selalu saja ikut pembicaraan kami!
"Lo abis mojok?" tanya Sani dengan memicing, mengabaikan perkataan Langit barusan.
"Dia habis liat darah, San. Lo pasti tau dia takut darah, kan?" adu Langit pada Sani sambil melangkah mendekati kami berdua.
Mataku melotot tajam ke arahnya. Sialan! Langit tidak mendengarkan ucapanku dan tidak menangkap kode yang aku berikan.
Dasar tidak peka!
Setelah mendengar kalimatnya, Sani memandangiku dengan jeli. Seakan lupa dengan pertanyaannya barusan.
Aku menoleh ke arah Langit dan menatapnya dengan galak. Kenapa juga dia harus berbicara seperti itu? lihat, sekarang Sani menatapku dengan tatapan memicing seolah ada yang aku sembunyikan darinya.
Glek!
Aku menghela napas, menyadari sesuatu. Mode kepo Sani sedang on dan dari tatapannya, sepertinya dia ingin aku menjelaskan sesuatu.
Ah, sial! Langit benar-benar menyebalkan! Satu hal yang aku tahu sekarang, bagiku Langit adalah malapetaka! jika aku tidak segera menghindar bukan hanya kehidupan SMA-ku yang hancur tapi diriku sendiri pun bisa hancur jika bersama dengannya.Aku menatap Sani dengan takut lantas beralih menatap Langit. Napasku seketika tertahan.
"Bagiku, menghindarimu adalah sebuah keharusan dan tidak ada kompromi tentang hal itu. Berlarilah, menjauh pergi. Jangan pernah mendekat atau berniat menetap." 🌼🌼🌼🌼 "Mega ..." Aku berdecak pelan, mendengar namaku dipanggil lagi. Lagi? Kenapa lagi? Karena sejak tadi Langit berusaha memanggilku yang entah keberapa kalinya dan tak ada satupun dari panggilannya yang aku respons. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan sapaan yang ramah itu, seharusnya. Tapi, aku tetap tidak terbiasa dan karena aku tahu kenapa dia mengejarku seperti ini. Apalagi kalau bukan karena aku bilang kita tidak pernah jadian dan aku memintanya untuk mengakhiri aksi konyolnya ini. Kalian pasti bisa menebaknya sendiri reaksi Langit seperti apa. Ya, tepat seperti yang kalian duga, Langit tidak menyetujuinya! Langit tidak mau hubungan aneh ini berakhir dan Langit malah merengek dan mengejarku seperti ini. Dasar bocil! Maka dari itu aku memilih untuk kabur. Mendenga
"Kamu seharusnya sadar, kisah kita memang tidak pernah di mulai. Mungkin juga tak akan ada kata selesai." 🌼🌼🌼🌼 "Jadi alasannya karena ... " Langit menggantungkan kalimatnya. Aku menoleh ke arahnya sambil menahan napas. Aku dan Langit sama-sama terkejut, ketika mendapati wajah kami yang jaraknya dekat, sangat dekat. Deg! Mataku membulat. Ini terlalu dekat! Napasku pun terhenti dalam beberapa detik. Cepat-cepat aku segera palingkan ke arah lain. Hening. Ah, sial! Suasananya jadi tidak nyaman. Agaknya, Langit juga tersentak kaget. Karena mungkin aku tiba-tiba menoleh ke arahnya tanpa permisi. Kami berdua saling diam dalam beberapa saat hingga perasaan canggung langsung menyelimuti. Langit berderham pelan sebelum berbicara kembali. "Kamu memang tidak bisa menebaknya?" Langit malah bertanya balik sambil mencairkan suasa yang sempat aneh. Aku mengembuskan napas kasar, sudah tadi dia menggantungkan kalimatnya,
"Berhenti keras kepala, jika kamu terus memaksa bukan hanya kamu yang akan terluka tapi aku juga." 🌼🌼🌼🌼 Ini gila! "Aku nggak gila, Meg. Otakku masih berfungsi dengan baik. Jadi berhenti mengatakan aku ini gila," ucap Langit seolah mendengar suara hatiku. "Lo ..." jariku menunjuk ke arahnya sambil berkata, "nggak waras!"Ya, meskipun nggak waras sama gila sama saja, sih, ya? Aku menatap tajam ke arah Langit, masih tidak habis pikir dengan permintaannya. Karena aksiku tadi, dia memintaku untuk melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf. Alih-alih meminta hal yang normal Langit malah meminta yang aneh. Apa tidak bisa di ganti, ya? "Lo, nggak usah aneh, deh!" Langit tampak keberatan dengan ucapanku. Terlihat sekali dari ekspresi wajah yang dia tunjukkan. Langit memintaku untuk tetap jadi pacarnya dan malah memperpanjang waktu dari delapan bulan hingga aku dan dia lulus. Aku menatap ke arahnya t
Melihatmu lagi adalah suatu kemustahilan, namun jika aku bertemu lagi denganmu aku tidak tahu apakah itu sebuah keberuntungan atau malah suatu kesialan?" 🌼🌼🌼🌼 "Meg, aku mau bicara." Aku menoleh ke arah Langit dengan malas. Deg! Keningku mengernyit. Mengapa wajah Langit serius sekali?Kali ini ada apa? Tatapanku beralih memandangi sekitar. Kenapa suasana rumahku tiba-tiba ikut berubah? Apa berganti genre menjadi horor, ya? Aku bergidik ngeri, nggaklah, nggak mungkin! "Meg." Langit memandangiku dengan serius. Tidak ada muka tengil menyebalkan yang biasa dia tampilkan. Napasku tertahan seperti ada sesuatu yang menyedot pasokan oksigen di sini. Sebenarnya ada apa, sih? Terdengar suara denting jarum jam. Kami sempat bertatapan dalam beberapa detik. "Meg?" "Hmm ..." aku merespons seadanya. Sekarang perasaanku mendadak tidak enak. Sebenarnya, ada apa?
"Kebersamaan ini hanya inginmu bukan inginku atau kehendak kita bersama. Karena kamupun tau, kamu mendekat lalu hinggap bukan karena terperangkap namun karena terpikat." 🌼🌼🌼🌼 Sani kamu dimana? Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari Sani tapi nihil. Di sini dia tidak ada. Selama seminggu pikranku terganggu oleh banyak hal. Kantung mata tercetak jelas, mukaku kusut dan tak bergairah. Sungguh mengenaskan. Aku menoleh ke ambang pintu saat mendengar desas-desus yang teman-teman layangkan lalu mengembuskan napas kasar. Karena malah menemukan sosok laki-laki yang akhir-akhir ini masuk ke kehidupannku. Sering membuatku jadi termenung, merenungkan baik-baik apa langkah yang harus aku ambil. Kehadirannya benar-benar membuat hidupku berantakan. Memang benar aku tidak menyukai mereka. Karena mereka tetap mengerikan bagiku. Meskipun aku tahu, laki-laki itu tidak sama. Tidak semua mengerikan dan berbahaya. Namun, tidak ada salahnya un
"Tidak ada yang menyenangkan dari kenangan. Hadirnya pun begitu menyiksa. Jika rindu pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena kenangan bersamamu memang bukan untuk diulang hanya dikenang." 🌼🌼🌼🌼 Aku berusaha untuk menenangkan diri. Wajahku pucat masai. Bahkan tanganku sampai gemetaran. Beruntungnya teman-teman kelasku tidak ada yang menyadari hal ini, semoga saja. Karena yang aku lihat mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Atau lebih tepatnya tidak mau peduli. Sani di sampingku melihatku dengan khawatir--terlihat dari wajahnya. Aku masih tidak mampu mengatakan apapun. Karena kejadian barusan masih membuatku terkejut. Aku melangkah dengan gontai ke arah bangku mejaku setelah tadi diam mematung selama beberapa menit. Beruntung tanganku langsung ditarik oleh Sani, jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Perlakuan itu ... aku tidak mau merasakannya lagi! Tidak. Cukup. Aku tidak mau lagi merasakan perlakuan yang
"Nggak apa-apa kalau kita nggak baik-baik aja, kita cuma manusia biasa. Akui dan terima bukan menyangkal dan pura-pura bahagia!" 🌼🌼🌼🌼 Sudah seminggu sejak kejadian itu berlalu. Aku masih ingat saat Langit tertidur di sampingku, di ruangan UKS. Tidak mengira kalau dia akan datang disaat Sani kembali ke kelas. Langit benar-benar keras kepala sekali! Padahal Sani sudah menyuruh Langit agar tidak menemuiku dulu tapi tidak didengarkan olehnya. Meskipun setelah Langit bangun tak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Baik aku maupun Langit hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Mungkin, karena suasana yang begitu canggung atau mungkin karena Langit mengerti dengan keadaanku yang tidak ingin berinteraksi dulu dengan siapapun. Entahlah aku tidak tahu pastinya. Satu hal yang aku ingat betul, ekspresi wajahnya yang terkejut ketika melihat diriku yang sudah terbangun terlebih dulu. Saat itu, aku sempat bersitatap dengannya selama beberapa deti
"Bagiku hujan yang membangkitkan masa lalu itu saat hujan turun dari mataku. Saat di mana aku tak kuat lagi menahan sakit juga rindu." 🌼🌼🌼🌼 Aku menghela napas lega. Akhirnya beban dalam diriku sedikit berkurang. Meski tidak semua hal aku ceritakan pada Sani. Tapi, aku sudah cukup merasa lega. Sekarang, perasaanku jauh lebih baik daripada sebelumnya dan juga terbebas dari lebah. Ya, yang jatuh itu sarang lebah. Bisa kalian tebak bagaimana takutnya kami melihat kawanan lebah yang seperti menemukan pelaku kejahatan padahal jelas bukan kami yang menjatuhnya sarangnya. Kami berdua lari terbirit-terbirit dengan kondisi wajah yang bisa dibilang mengenaskan. Setelah menangis hingga mata bengkak, aku pergi ke toilet untuk membasuh wajah, tak memedulikan tatapan orang-orang yang keheranan. Ekspresinya, mengisyaratkan tanda tanya. Mereka seperti sedang menebak-nebak mengenai apa yang terjadi padaku. Penampilan Sani tidak lebih buruk dariku. Ma
Seharusnya aku tahu diri, mengingat kebaikan dirimu yang senantiasa selalu mengiringi langkah kaki. Melihatmu yang dengan setia menemani. Namun, mengapa smapai saat ini aku tetap menutup hati. Bukankah kamu sudah cukup untuk menjadi arti?" 🌼🌼🌼🌼 Aku merebahkan diriku di atas tempat tidur yang beberapa hari ini tidak kutempati karena harus menginap di rumah sakit. Jika dipikir berulang kali, selama ini Langitlah yang menemani diriku mengingat mamah harus bekerja meski sesekali dia menemuiku namun tidak menginap karena harus bekerja esok paginya. Sani pun ikut menemani hanya saja tak bisa menginap atau terlalu lama, hanya bisa sampai sore. Selama ini hanya dengan Langit. Dia yang rela menunggu dan menemani meski berulang kali aku menyakiti. Rasanya aku tidak tahu diri, ya? "Mega, ini aku. Boleh masuk nggak?" "Boleh," kataku dengan sedikit berteriak. Aku belum mengubah posisi, hanya saja atensiku mengarah pada Langit yang baru saja masuk. Dia datang d
Berkali-kali aku mendapat kesempatan setelah mendorong dirimu menjauh pergi. Berkali-kali aku mendapatkan kebaikan padahal beribu-ribu kali menyakiti. Haruskah aku mulai membuka hati atau belajar tahu diri?" 🌼🌼🌼🌼 Mataku mengerjap perlahan-lahan. Deg! Ini bukan rumahku. Tanpa mengedarkan pandanganpun aku tahu ini di mana. Karena bau yang khas menguar masuk ke dalam hidung. Rumah sakit. Entah bagaimana bisa aku berujung di sini. Aku mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang memeluk lengan kananku sedang kepalanya menunduk sepertinya ia terlelap. Ah, sekarang aku tahu. Dia adalah pelaku yang membawaku ke sini. Selalu saja, dia menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana dan menjadi orang pertama yang aku lihat jika berujung di rumah sakit. Entahlah, kali ini aku tidak tahu harus bersyukur atau malah harus merasa senang. Mengapa dia selalu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika aku berada di rumah sakit? L
"Kalau boleh mengeluh, aku lelah. Lelah dengan semua drama dalam hidup yang tak ada hentinya. Boleh 'kan jika aku menyerah dan pasrah?" 🌼🌼🌼🌼 Ah, ingatan itu kembali muncul. Aku memegangi kepalaku yang berdenyut sambil meringis karena kesakitan. Napasku tak beraturan lalu sesak. Setelah itu aku merasa seperti tercekik. Tubuhku ambruk. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Sakit sekali rasanya. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Aku sering merasa seperti ini ketika berhadapan dengan ingatan masa lalu. Dalam dadaku terasa nyeri dan sesak. Seakan dihimpit dan oksigen disekitar direbut paksa. Selalu saja seperti ini jika ingatan mengenai kak Bima dan papah lewat dikepala. Entah sejak kapan aku seperti ini, sering kesakitan dan kehabisan napas hingga terasa seperti mau mati. Tidak mungkin kan ini simulasi meninggal? Helaan napas lega keluar dari mulutku, setelah berhasil membuat napasku kembali teratur. Lenganku terulur ke arah botol minum
"Kalau sedang kasmaran, bahagia rasanya gampang. Dengar suaranya saja sudah bikin jantungan dan senyum di wajah seketika mengembang. 🌼🌼🌼 "Mah .." aku berkata lirih. Kemungkinan-kemungkinan terburuk terus menyerang di dalam kepala. Hadir begitu saja. Membuatku sedikit kewalahan dan berpikir negatif. Kak Bima pasti baik-baik saja kan? Lalu, mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku? Bukankah aku sedang menemani kak Bima menunggu ambulans? Mengapa aku sampai tidak sadarkan diri dan berakhir di rumah sakit juga? Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada hal yang aku ingat selain hal itu. "Temanmu? Ada. Kondisinya masih belum baik." Ada perasaa lega, setidaknya kak Bima masih ada dunia. Semoga keadaanya tidak separah seperti yang terlitas di kepala. Apalagi sampai kehilangan nyawa, entah bagaimana jadinya. Mengingat kejadian semalam benar-benar mengerikan. Aku masih ingat dengan jelas perbuatan mereka. Si
"Takdir senang sekali mempermainkan. Sebentar senang, tertawa riang semenit kemudian terduduk sambil menangis disudut ruangan." 🌼🌼🌼🌼 Deg! Kak Bima mencondongkan tubuhnya padaku dan menempelkam dagunya pada pundak. Aku bergeming. Kaget dengan aksinya yang begitu tiba-tiba. Meski bukan pertama kali tetap saja mampu membuatku terkejut. Kak Bima memang senang sekali membuatku jantungan. "Sebentar gini dulu." Aku mengangguk. Membiarkannya seperti ini dulu, barangkali kak Bima juga sedang membutuhkan sebuah sandaran. Tanganku hanya diam menggantung tak mampu untuk sekadar mendekap atau mengelus punggungnya seperti yang sering ia lakukan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa. Namun jika diingat, pertanyaan kenapa kadang kala tak dibutuhkan. Seperti sekarang. Apa mungkin suasana hatinya sedang buruk sama sepertiku? Tak bisa dipungkiri setiap orang menyimpan rapat segala luka-lukanya. Bermain dengan apik, bersandiwara b
"Atas semua luka dan duka yang datang menerpa. Mengapa kamu selalu menjadi orang pertama yang melihatnya?" 🌼🌼🌼🌼 Takut. Itulah yang aku rasakan saat ini. Setelah dua hari nekat kabur dari rumah dan sebelumnya terjadi pertengkaran. Belum lagi Ponsel kumatikan. Entah bagaimana jika aku sampai pulang. Mungkin aku akan benar-benar hancur di tangan papahku. Atau aku tidak pulang saja sekalian? Tapi bagaimana dengan sekolah? Aku juga tidak ingin jadi pengemis dan tinggal di pinggir jalan. Namun, bagaimana caranya pulang? Ketika aku tidak benar-benar pulang saat menujunya. Rasanya rumah itu asing. Lalu bagaimana aku menjelaskannya terkait pertengkaran tempo lalu? Aku yakin saat ini aku sedang dalam masalah besar. Lagi-lagi aku hanya mampu mendengkus kasar. Rasanya frustrasi sekali. Entahlah bagaimana nasibku selanjutnya. Malam itu aku sangat lelah dan muak. Emosiku memuncak bahkan aku tak pernah mengira opsi kabur dari rumah akan dilakukan
"Menemukanmu adalah hal istimewa. Entah bagaimana caranya kamu dikirim semesta. Satu hal yang aku ingin, mengubah hadirmu menjadi takdir."🌼🌼🌼🌼Jalanan di hadapanku tampak lengang. Aku melirik arloji yang melingkar pada pergalangan tangan. Pukul 10 malam. Helaan napas panjang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku menunduk dalam.Sekarang harus pergi ke mana? Sudah 10 menit aku berada di sini.Aku melarikan diri dari rumah. Dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuh. Tak ada barang yang aku bawa, hanya ponsel dan beberapa lembar uang yang berada di saku. Itupun cuma ada 30 ribu.Apa aku pulang saja?Tapi bagaimana mungkin aku pulang.Tubuhku rasanya lengket dan sakit sekali. Terpaan angin malam pun mampu membuatku menggigil karena hanya berbalut seragam yang tebalnya tak seberapa. Telapak tangan kugosok-gosok demi menciptakan sedikit kehangatan."Mega?"Aku menoleh menatap seseorang yang berada tiga met
"Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah lebih dari itu; ialah tempat untuk pulang segala resah, sesak juga rindu. Dan mungkin wujudnya ialah kamu." 🌼🌼🌼🌼 "Jrengg! Nyanyi kuy! Sudahi belajarmu mari bergalau bersamaku."Itu Andi, teman sekelasku. Semua orang bersorak saat ia berbicara seperti itu. "Sadboy lo, Ndi!" "Tau tuh!" "Mantan dibuang jangan dikenang!" timpal temanku yang lain. "Wadidaw! Kerad banget ucapanmu." "Nampar nggak Ndi?" Gelak tawa terdengar. Saat ini jam kosong. Sudah bukan hal yang aneh jika di isi dengan hal-hal random. Andi yang ditertawakan terlihat tak terima. "Teman-temanku yang budiman, lebih baik saya sadboy, dibanding dia yang fakboi!" Raden yang mengatakan mantan dibuang, mengumpat ke arah Andi. "Bangsat lo!" Hari ini aku memaksakan diri untuk sekolah. Karena telah absen selama 3 hari. Meski aku akui badanku masih terasa ngilu dan sakit. Menu
"Kadang kala aku membenci takdir atas diriku. Lain waktu aku bersikukuh ingin menukarnya. Namun hari ini aku ingin berdamai dengan semuanya." 🌼🌼🌼🌼 Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku. "Mega." Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku. "Ada yang kerasa sakit nggak?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars? Apa yang terjadi? Bukankah tadi aku baik-baik saja? "Kenapa gue di sini?" Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku. "Kamu nggak ingat?"