Beranda / Fiksi Remaja / Langit & Mega / 2. Si Manusia Aneh Bagian Pertama

Share

2. Si Manusia Aneh Bagian Pertama

"Bagiku kamu adalah malapetaka, bukan hanya kehidupanku yang akan hancur tapi diriku pun akan hancur jika aku terus-menerus bersama denganmu."

🌼🌼🌼🌼

Sudah seminggu sejak si manusia aneh itu mengatakan bahwa aku dengannya telah  resmi jadian, yang langsung membuat kehidupan SMA-ku berantakan dalam sekejap. Semua usaha yang aku bangun, hancur seketika akibat ulahnya. Baru seminggu aku jadian, aku sudah menjadi target perudungan dari banyak siswi di sekolah ini.

Ini gila! Benar-benar gila! Hal yang aku takutkan terjadi, padahal aku sudah bersusah payah untuk menjaga jarak dengan banyak orang termasuk lawan jenis. Aku membentengi diriku agar kokoh dan tak tersentuh. Namun, teganya Langit menghancurkan semuanya dalam sekejap. Murid pindahan yang baru tiga hari bersekolah itu meruntuhkan benteng yang sudahku susun selama satu semester. 

Aku menghela napas panjang, merutuki kesialanku setelah bertemu dengan Langit.

Setelah kejadian itu, aku belum bertemu kembali dengannya karena itu aku tidak bisa meminta penjelasannya mengenai kejadian tempo hari dan ingin Langit berhenti melakukan aksi konyolnya itu. Aku ingin melakukan aksi protes. Karena aku telah dirugikan. Awas saja kalau dia muncul di hadapanku! akan kubuat Langit menyesali ucapannya yang sembarangan itu dan aku tidak setuju dengan pernyataannya, jadian delapan bulan. Aku sama sekali tidak setuju dan tertarik. Kalau serius seharusnya bukan delapan bulan tapi sampai habis usia!

 "Meg, gue harus ke ruang guru, nih. Lo gapapa ke kantin sendiri? Atau mau ikut gue aja ke sana?"

Aku menoleh ke arah Sani, tersadar akan lamunanku barusan. Lantas kembali menatap ke depan mengabaikan ucapan Sani.

"Meg ..." Sani menggoyang-goyang lenganku.

Aku menatap Sani malas, moodku saat ini sedang buruk sekali.

"Gue mau ke ruang guru, Meg. Tadi, pak Budi katanya nyariin," jelas Sani padaku.

"Oh, yaudah ke sana aja!"

"Lo ikut juga, ya?"

Aku menggeleng. "Eh, e-enggak ... gausah, San. Gue mau ke perpus aja. Udah lama juga nggak ke sana."

Sani menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, aku balas menatapnya dengan senyuman lebar. Sani tampak berpikir sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Oh, oke, tapi lo hati-hati, ya!"

"Kabarin gue kalau ada apa-apa," sambungnya lagi.

Aku mengangguk. Lantas melihatnya yang sudah berjalan keluar.

Satu,

Dua ...

Tiga!

"Beneran, nggak mau ikut?"  Sani berbalik menatapku penuh kekhawatiran.

"Lo bisa ke sana sendiri? Atau gue antar lo dulu aja gimana?"

Aku hanya tersenyum lantas mengangguk. Mencoba meyakinkannnya lewat tatapan mata bahwa tidak ada yang perlu Sani khawatirkan.

Sani memang seperti ini terhadapku. Ini sudah sering terjadi, perlakuan itu sudah tidak asing lagi. Walaupun terkadang aku merasa Sani terlalu berlebihan. Bukan, bukan berarti aku tidak suka. Tapi, aku tidak ingin membuat Sani berlaku begitu. Jujur, itu membuatku tidak enak hati.

Sebenarnya, hal ini juga terjadi karena kejadian pada masa lalu, yang tidak bisa aku ceritakan sekarang dan juga karena ulah Langit! Aku benar-benar jadi target perudungan sekarang akibat ulahnya tempo hari, jadian dengannya membuat beberapa siswi geram dan tak suka. Walaupun aku tidak mau mengakuinya, karena aku jelas tidak menganggapnya begitu. Itu hanya anggapan Langit dan orang-orang saja. Bagaimanapun persoalan ini harus selesai sekarang. Sebelum semuanya bertambah buruk.

Seperti kejadian tempo lalu di kantin, tepat ketika Langit mengatakan aku dan dia telah bersama. Aku di siram air teh. Untung saja hangat coba kalau panas?

🌼🌼🌼🌼

Perpustakaan di depanku tampak lengang. Bukan hal aneh kalau di sini sepi. Hanya ada beberapa orang yang mau merelakan istirahat yang berharganya di sini, termasuk aku. Katanya tempat terbaik saat istirahat itu, ya ... kantin. Tidak ada yang lain.

Aku mulai melengang masuk. Dinginnya AC langsung menyambut kulitku. Selain itu, suasana di sini begitu tenang sekali. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mataku awas meneliti. Hanya ada beberapa orang di sini dengan buku-buku digenggaman dan itulah alasanku memilih untuk ke tempat ini jika tidak dengan Sani.

Karena di sini, sepi.

Kalaupun ada beberapa orang mereka tidak mengerikan. Kebanyakan kutu buku. Jadi, mereka tidak akan tertarik denganku menoleh saja pun tidak. Mereka lebih tertarik dengan buku-buku yang menenggelamkan dan membawa mereka ke dimensi yang lain, jelas saja aku kalah dengan buku-buku itu. Aku sama sekali tidak menarik untuk mereka. 

Aku melangkah, mendekati beberapa rak di hadapanku sambil melirik buku yang berjejer rapi. Sesekali malah bersin karena terkena debu yang menempel di sana. Setelah mendapat buku yang di rasa menarik aku memilih duduk di pojokkan. Di sana tempat kesukaanku, alasannya karena aku kira tidak banyak yang mau duduk di situ. Yang mana letaknya di belakang, di pojok dan jauh dari pintu keluar. Lalu karena pernah ada berita tidak mengenakan jadi tak banyak orang yang mau duduk atau menginjakkan kaki ke sana.

Namun ternyata aku salah. Tepat ketika aku  berada di sana, entah siapa sudah duduk dengan nyaman. Wajahnya tertutup buku. Aku tidak bisa melihat parasnya itu dan juga tidak bisa menebaknya siapa. Perlahan lahan aku menarik kursi yang langsung bercedit pelan lalu mendudukinya. Dia tampak menoleh, mengintip lewat celah bukunya.

Aku belum bisa menebak siapa. Tanpa memedulikannya aku segera duduk. Toh, aku tidak akan mengganggunya. Hanya ingin duduk di sini.  Sudah hanya itu saja. Tanpa merasa mengganggu, aku duduk dengan tenang lantas mengeluarkan earphone dari saku kemudian memasangkannya. Alunan lagu mulai terdengar. Aku menirukan gayanya, menutupi wajah dengan buku yang sedari tadi aku genggam.

Lima menit berlalu. Semuanya masih normal.

Enam menit,

Tujuh menit.

Buku yang sedari ku genggam tiba-tiba ada yang menekuk.

Seseorang dihadapannku tersenyum ramah. Aku mendengkus sebal. Moodku langsung hancur seketika saat  megetahui siapa orang di depanku sekarang.

"Lho, kok ada di sini Meg? mau ngapain ke sini?" tanyanya sambil menopang dagu dan tersenyum ramah.

Basa-basi sekali! 

Aku menatap ke arahnya dengan dongkol sambil berkata. "Ya, lo pikir aja sendiri gue ke perpus mau ngapain. Masa iya gue mau senam, sih!"

Dia terkekeh pelan. Entah ini keberuntungan atau kesialan karena bertemu dengannya. Namun, mengingat ada hal yang harus aku luruskan dengannya, mungkin ini bisa disebut keberuntungan. Karena dengan begitu aku tidak perlu repot-repot mencarinya. Ya, benar aku harus segera meluruskan masalah itu sekarang juga. Kalau tidak, kehidupan masa SMA-ku tidak bisa terselamatkan.

Kalian pasti bisa menebaknya kan?  Siapa yang ada di hadapanku sekarang. Ya, benar, itu Langit! Manusia menyebalkan yang telah berani masuk ke dalam kehidupanku dan menghancurkannya begitu saja!

"Sengaja duduk di sini? Hm," ucapnya sambil menatap nertraku dengan lekat. "Tahu aku di sini dari siapa?" ulangnya lagi.

Mataku mendelik lantas mengembuskan napas kasar. Niatku untuk membicarakan kejadian tempo hari batal, moodku hancur seketika ketika mendengar pertanyaan yang Langit ajukan dengan penuh percaya diri itu. Padahal aku sudah bertemu secara kebetulan seperti ini. Tidak perlu repot-repot mencari. Namun, jika dia begini aku jadi malas untuk membahasnya.

"Diamnya perempuan berarti iya," katanya sambil tersenyum jahil. 

Idih! Amit-amit.

"Jadi beneran sengaja, ya?" ucap Langit penuh percaya diri sekali.

Aku mendengkus sebal dengan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun.

"Lo, tuh ya!" kataku setengah berteriak sambil menatapnya galak.

Sadar akan suaraku yang hampir saja mengundang penjaga perpus ke sini, langsung cepat-cepat kubungkam. Tidak berniat melanjutkan kalimatku barusan.

"Lo tuh apa? Hmm," katanya seperti berusaha menggodaku.

"Ganteng? Baik? Lucu? Tidak sombong dan rajin menabung?" sambungnya lagi tak lupa dengan kekehan di akhirnya.

Bulu kudukku merinding mendengar penuturannya itu.  

"Diam berarti iya, Meg. Itu berarti dari tadi kamu mengiyakan ucapan aku lho."

Aku mendelik lantas beranjak. Niatku untuk meluruskan dan membicarakan kejadian tempo benar-benar gugur. Jika begini aku tidak sudi untuk berbicara dengannya lagi! Kalau saja sedari tadi aku tahu dia di sini lebih baik aku diam saja di kelas menunggu Sani. Di banding harus terjebak dengannya. Hih! Persetan soal masalah itu, aku sudah membencinya dan tidak ingin berurusan dengannya lebih jauh.

"Eh, eh mau kemana?" ucapnya sambil ikut beranjak.

Namun, setelah itu Langit diam sambil tangannya berpegangan pada kursi yang di dudukinya tadi. Aku mengernyitkan dahi melihat kejadian barusan. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi dengannya.

Langit masih berpegangan pada kursinya.

Hening.

Aku dan Langit saling diam. Keheningan perpustakaan jadi terasa. 

Langit kenapa? Jangan-jangan kerasukan! Mengingat perpustakaan ini pernah digosipkan angker dan katanya tempat terangker itu, ya ... di sini. Di tempat aku dan Langit berada.

Glek!

Aku menelan saliva kasar.

Langit masih diam. Aku terus mengamatinya. Karena kalau sampai terjadi apa-apa bisa-bisa aku tersalahkan. Kan sejak tadi dia bersamaku. Namun, bagaimana jika dia kerasukan betulan, ya?

Mampus gue! Bisa-bisa kena cekik, nih!

Nggak  gue nggak mau! Apalagi sampai digodain setan perpustakaan! Sama manusia aja gue enek apalagi kalau sama setan, ya kalau sama setan, sih, serem. Hiyyy! Nggak mau!

"Kenapa? Lo sakit? Ke UKS aja sana!" Aku memberanikan diri untuk berbicara terlebih dulu.

Langit tidak bereaksi sama sekali, hanya diam mematung. Aku yang sudah mulai kesal dan sedikit takut memilih untuk melangkah pergi. Dibanding dia kerasukan betulan, kan? Mending kabur. 

"Jangan-jangann lo kerasukan, ya?" cetusku pada Langit.

"Astagfirullah, buruan nyebut! Doa buru, berdoa!" perintahku pada Langit setelah itu aku segera membalikkan badan, membelakangi Langit. Lantas berniat pergi.

Glek!

Baru saja aku berkata begitu, tiba-tiba aku merasa ada yang menahan tanganku dan benar saja, Langit sedang mencekal tanganku erat.

Ini dia tidak akan mencekikku, kan?

Engga! Engga! Dia tidak akan melakukan apa-apa. Aku segera mensugestikan pikiran positif. Bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa dia hanya bercanda. 

Setelah mengambil napas dalam-dalam aku memberanikan diri menatapnya walaupun sambil memicing karena tak suka saat ia mencekal lenganku erat. 

Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya. "Lo tuh apa-apa, sih! Lo mau nge-drama?"

Aku berusaha untuk tidak takut. Terserah, deh, kalaupun dia memang kerasukan. Nanti aku tinggal teriak saja. Dibanding tanganku dicekal terus, nanti ke-enakan lagi dianya. Hih! Enak saja.

"Gue bacain juga lo ayat kursi, mau? Biar lo kepanasan!" 

Aku kira dia tidak akan bereaksi ternyata dia menoleh sekilas lantas duduk kembali. Padahal aku sudah bersiap untuk membaca ayat kursi.

"Khawatir?" tanyanya masih saja cecengesan.

Buku yang berada di atas meja segera kuambil yang langsung melayang ke arah Langit. 

Bugh!

Langit meringis tertahan. 

Tuh kan! Dia pasti sedang bercanda!

Aku menatapnya dengan galak. Lantas berkata ketus, "siapa juga yang khawatir!"

"Kaget nggak?" 

Mataku mengerlirng mendengar ucapannya. 

Tahu gitu, mending tadi aku tinggalkan saja dia! Dibanding begini. Meskipun memang lebih baik bercanda dibandingkan dia kerasukan tapi tetap saja membuatku kesal. Lagi pula mengapa dia melakukan hal itu? Untuk apa, sih? 

Baru saja aku hendak bersungut-sungut, sesuatu mencuri perhatianku.

Mataku mendadak terbuka lebar ketika melihatnya. Lantas mengerjap berkali-kali, berusaha meyakinkan apa yang aku lihat itu benar dan tidaknya.

Deg!

Cairan itu kembali menetes tepat di depan mataku. Aku bergeming, menatap tidak percaya apa yang ada di depan mataku sekarang.

Deg! Deg! Deg!

Darah.

Dengan perasaan takut aku mendongak melihat ke arah Langit. Benar saja. Cairan kental berwarna merah itu mulai menetes lagi, terus keluar dari hidungnya. Lumayan banyak. Bau amis seketika menguar, tercium oleh rongga hidungku. Napasku tersengal-sengal sedangkan mulutku terkunci rapat. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, karena kelu.

Lengang.

Perpustakaan jadi terasa sunyi bahkan aku mampu mendengar detak jantungku yang berdegup tiga kali lebih cepat. Belum lagi peluh di dahi mulai terasa bergerak turun.Tubuhku mendadak lemas seketika.

"Kenapa Meg?"

Aku memegang meja di depanku kuat-kuat sambil masih menunduk. Tidak berani menatapnya. "Mending lo pergi dari hadapan gue, sekarang!" ucapku setengah parau. Rasanya tenggorokannku tercekik. Suara yang keluarpun terasa berat.

Mataku masih terpejam, aku tak berani membuka mata. Langit diam tidak merespons ucapanku barusan. Apa jangan-jangan dia sudah pergi, ya? 

Dari tadi kalau saja bisa, aku ingin lari dari sini. Tapi badanku terasa kaku, rasanya jadi sulit untuk menggerakan kaki juga anggota tubuh lainnya. 

Keadaanku sekarang persis seperti patung.

Dua menit,

Tiga menit.

"Kakak!"

"Engga, gaboleh kak! Kakak nggak boleh kenapa-kenapa! darahnya kenapa nggak bisa berhenti, sih?! "

"Kakak, bangun! Nggak boleh tidur. Ayok kakak bangun!"

"BERHENTI, DARAHNYA HARUS BERHENTI!!"

"Kak!"

"Kakak harus bangun nggak boleh tidur! Hiks," 

Tubuhku langsung ambruk. Pertahananku runtuh. Aku tidak bisa berdiri dengan tegap. Beruntungnya seseorang langsung sigap menangkapku. Sepertinya itu Langit. Tidak apa-apalah kali ini aku membiarkannya berlaku begitu. Hanya kali ini. 

Ingatan tentangnya kembali menyeruak begitu saja, tubuhku lemas seketika. Dadaku juga sesak seperti ada yang menghimpit. Sakit sekali. Aku menggigit bibir. Mengapa ingatan ini muncul kembali?

Aku memegangi dada, sesak. Sesak sekali. Kepalaku juga berdenyut, saat ini tangangku bergetar hebat. Ingatan itu benar-benar membuatku terguncang apalagi di tambah kejadian sebelumnya.

"Hemophobia?" tanyanya sambil membantuku berdiri dan menduduki tubuhku di tempat semula dengan hati-hati.

Aku masih diam tidak mengidahkan pertanyaannya barusan. Memilih fokus untuk mengumpulkan diriku yang hampir saja kehilangan kesadaran.

Langit masih menatapku dengan penuh tanda tanya di wajahnya. Belum lagi, ekspresinya terlihat seperti khawatir, mungkin. Aku tidak tahu. 

Setelah itu tak ada pembicaraan apapun, baik aku maupun Langit bungkam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Aku mencoba mengatur pernapasan. Mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Terus mengulangi hal itu hingga perasaanku sedikit tenang.

Tatapanku beralih melihat arloji di tangan. Tinggal sebentar lagi waktu istirahat usai. Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Sudah tidak ada darah segar yang mengalir dari hidungnya. Entah kapan ia membersihkannya.

Kenapa juga dia harus mimisan di depan mataku? Kenapa tidak saat aku pergi saja? Lalu mengapa ingatan masa lalu itu muncul kembali tepat saat aku di depan Langit. Aku tidak menyangka dia akan melihat sisi lemahku begini. Aku benci hal ini! Aku benci ketika orang asing melihatku lemah. Mengapa rass takutku selalu muncul saat bersama dengannya?

Ini bahaya. Ingatan ini nggak boleh muncul lagi. Nggak! Aku menggigit bibir. Semua hal yang terjadi bukan salahku! Ya, bukan salahku! 

Rasa takut ini tidak boleh ada yang tahu. Ya, tidak boleh ada yang tahu lagi!

Dia mengibas-ngibas tangannya tepat di wajahku. "Baik-baik aja kan, Meg?" kata Langit yang mulai bersuara kembali.

Mataku terbuka perlahan yang langsung menangkap sosok Langit. Sontak membuatku menatapnya sinis. "Lupain apa yang terjadi hari ini dan jangan coba-coba untuk menyebarkan apa yang lo lihat tadi!"

Energiku terkuras habis gara-gara kejadian barusan. Aku menghela napas dalam, lalu beranjak. Meskipun masih lunglai. Kalau tidak memaksakan diri begini aku takut Langit kembali mimisan dan fobiaku kambuh lagi. Kan tidak lucu jika aku sampai pingsan.

Sudah cukup seminggu ini aku jadi korban perudungan, aku tidak ingin lagi perudungannya bertambah parah karena mereka mengetahui kelemahanku. Aku meletakkan buku cepat-cepat. Lantas terburu-buru keluar. Semoga saja Langit tidak berniat menyusulku dan dia mendengarkan ucapanku sebelum aku pergi tadi.

Bruk!

"Lo, gapapa kan?" Sani mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku mengangguk lemah sebagai respons atas pertanyaannya.

"Lo mau kemana, sih? buru-buru amat?"

"Sampai nabrak gue lagi," sambung Sani sambil menatapku penuh keheranan dan terlihat sedikit khawatir.

Aku akui,  aku memang salah karena terlalu terburu-buru. Sampai tidak memperhatikan jalan. Tapi, beruntung Sani yang aku tabrak. Setidaknya, kalau orang lain aku malas menanggapinya. Pasti nanti dia akan mencak-mencak atau malah bersungut-sungut karena aku menabraknya.

"Muka lo kenapa pucet gitu? Sakit?" Sani bertanya padaku penuh selidik.

Aku menoleh kearah lain berusaha menghindari tatapan matanya. "Eh? Nggak!" kataku dengan gelagapan sambil berusaha meredam kekhawatirannya.

"Perasaan lo tadi baik-baik aja deh, Meg. Lo kenapa? Habis liat setan?"

Iya, Langit setannya!

"Soalnya di perpustakaan ini kan pernah ada gosip aneh," timpal Sani kemudian.

"Mending bawa Mega ke UKS aja, San."

Aku dan Sani menoleh ke arah sumber suara.

Anak ini sering sekali datang dengan tiba-tiba. Belum lagi selalu saja ikut pembicaraan kami! 

"Lo abis mojok?" tanya Sani dengan memicing, mengabaikan perkataan Langit barusan.

"Dia habis liat darah, San. Lo pasti tau dia takut darah, kan?" adu Langit pada Sani sambil melangkah mendekati kami berdua.

Mataku melotot tajam ke arahnya. Sialan! Langit tidak mendengarkan ucapanku dan tidak menangkap kode yang aku berikan.

Dasar tidak peka!

Setelah mendengar kalimatnya, Sani memandangiku dengan jeli. Seakan lupa dengan pertanyaannya barusan. 

Aku menoleh ke arah Langit dan menatapnya dengan galak. Kenapa juga dia harus berbicara seperti itu? lihat, sekarang Sani menatapku dengan tatapan memicing seolah ada yang aku sembunyikan darinya.

Glek!

Aku menghela napas, menyadari sesuatu. Mode kepo Sani sedang on dan dari tatapannya, sepertinya dia ingin aku menjelaskan sesuatu.

Ah, sial! Langit benar-benar menyebalkan! Satu hal yang aku tahu sekarang, bagiku Langit adalah malapetaka! jika aku tidak segera menghindar bukan hanya kehidupan SMA-ku yang hancur tapi diriku sendiri pun bisa hancur jika bersama dengannya.

Aku menatap Sani dengan takut lantas beralih menatap Langit. Napasku seketika tertahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status