"Tidak ada yang menyenangkan dari kenangan. Hadirnya pun begitu menyiksa. Jika rindu pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena kenangan bersamamu memang bukan untuk diulang hanya dikenang."
🌼🌼🌼🌼
Aku berusaha untuk menenangkan diri. Wajahku pucat masai. Bahkan tanganku sampai gemetaran. Beruntungnya teman-teman kelasku tidak ada yang menyadari hal ini, semoga saja. Karena yang aku lihat mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Atau lebih tepatnya tidak mau peduli.
Sani di sampingku melihatku dengan khawatir--terlihat dari wajahnya. Aku masih tidak mampu mengatakan apapun. Karena kejadian barusan masih membuatku terkejut.
Aku melangkah dengan gontai ke arah bangku mejaku setelah tadi diam mematung selama beberapa menit. Beruntung tanganku langsung ditarik oleh Sani, jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.
Perlakuan itu ... aku tidak mau merasakannya lagi! Tidak. Cukup. Aku tidak mau lagi merasakan perlakuan yang
"Nggak apa-apa kalau kita nggak baik-baik aja, kita cuma manusia biasa. Akui dan terima bukan menyangkal dan pura-pura bahagia!" 🌼🌼🌼🌼 Sudah seminggu sejak kejadian itu berlalu. Aku masih ingat saat Langit tertidur di sampingku, di ruangan UKS. Tidak mengira kalau dia akan datang disaat Sani kembali ke kelas. Langit benar-benar keras kepala sekali! Padahal Sani sudah menyuruh Langit agar tidak menemuiku dulu tapi tidak didengarkan olehnya. Meskipun setelah Langit bangun tak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Baik aku maupun Langit hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Mungkin, karena suasana yang begitu canggung atau mungkin karena Langit mengerti dengan keadaanku yang tidak ingin berinteraksi dulu dengan siapapun. Entahlah aku tidak tahu pastinya. Satu hal yang aku ingat betul, ekspresi wajahnya yang terkejut ketika melihat diriku yang sudah terbangun terlebih dulu. Saat itu, aku sempat bersitatap dengannya selama beberapa deti
"Bagiku hujan yang membangkitkan masa lalu itu saat hujan turun dari mataku. Saat di mana aku tak kuat lagi menahan sakit juga rindu." 🌼🌼🌼🌼 Aku menghela napas lega. Akhirnya beban dalam diriku sedikit berkurang. Meski tidak semua hal aku ceritakan pada Sani. Tapi, aku sudah cukup merasa lega. Sekarang, perasaanku jauh lebih baik daripada sebelumnya dan juga terbebas dari lebah. Ya, yang jatuh itu sarang lebah. Bisa kalian tebak bagaimana takutnya kami melihat kawanan lebah yang seperti menemukan pelaku kejahatan padahal jelas bukan kami yang menjatuhnya sarangnya. Kami berdua lari terbirit-terbirit dengan kondisi wajah yang bisa dibilang mengenaskan. Setelah menangis hingga mata bengkak, aku pergi ke toilet untuk membasuh wajah, tak memedulikan tatapan orang-orang yang keheranan. Ekspresinya, mengisyaratkan tanda tanya. Mereka seperti sedang menebak-nebak mengenai apa yang terjadi padaku. Penampilan Sani tidak lebih buruk dariku. Ma
"Debar itu menelusup masuk tanpa mengetuk. Tanpa aba-aba aku dibuat tak berdaya." 🌼🌼🌼🌼 "Mega Ayudia?" Dia membaca namaku ditag nama yang tertera di seragam. Nada bicaranya seolah bertanya. Melihat hal itu sontak membuatku terkejut dan segera menutupi tag nama itu. Karena orang yang di hadapanku sekarang adalah orang yang tak ku kenali. Dengan takut, aku memberanikan diri menatapnya. "Saya Bima." Tangannya terulur ke arahku. Aku menyambut uluran tangan itu dengan bingung. Saat itulah pertama kalinya aku mengenal kakak. Di bulan Agustus semester satu, saat aku kelas sembilan. Dia mengenalkan dirinya sambil tersenyum ramah kepadaku. Setelah itu aku hanya mengangguk dan ikut mengenalkan diri. "Mega." "Saya sering lihat kamu di sini." Eh? Dia selalu lihat aku? "Kenapa belum pulang?" Aku menatapnya dengan takut lantas menjawab ragu-ragu. "Belum mau aja, ka
"Cinta bagiku seperti pelangi, berwarna-warni. Yang hadir setelah hujan reda, seakan membasuh duka lara." 🌼🌼🌼🌼 Hari itu, aku makan es krim bersama dengan Kak Bima sambil tangannya di genggam. Tak hanya itu kak Bima sampai menukar tempat, karena banyak kendaraan yang berlalu lalang. Boleh baper tidak, sih? Kedai es krim tidak jauh dari taman ini, hanya 20 meter dari tempat kami berdiri. Saat itu kami berjalan beriringan tanpa percapakan apa-apa. Kami terbiasa diam menikmati pikiran masing-masing. Langit sore kali ini pun sama indahnya dengan kemarin. Biasanya aku akan pamit pulang, namun hari ini berbeda, kami pergi mengunjungi kedai es krim terlebih dahulu. Hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Kini di hadapanku banyak orrang-orang sedang berlalu lalang begitupula laju kendaraan. Pemandangan yang sudah tak asing di sore hari. Yap, ramainya aktivitas! Kedai di hadapanku juga tampak ramai. Kami yang baru
"Bersama denganmu mampu menghentikkan waktu. Tiada terasa waktu bergerak tak terkira, melesat cepat membuatku terperangkap." 🌼🌼🌼🌼 Aku membaca pesan yang hanya berisi satu kata, Ayu? Mataku sempurna membulat saat membaca pesan itu. Saat ini hanya ada satu nama dalam kepalaku yang menjadi orang di balik pesan singkat ini. Tidak salah lagi, ini pasti kak Bima! Aku yakin sekali kalau ini kak Bima. Karena kak Bima satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan Ayu. Tidak ada lagi orang yang memanggilku demikian. Hanya kak Bima seorang. Aku tidak akan menyangka ia akan mengirimi pesan. Karena baru tadi sore ini kami bertukar nomor ponsel. Tanpa berpikir panjang lagi jariku menari lincah di sana, membalas pesan dari Kak Bima dengan senyum merekah dan degup yang berdetak lebih cepat dengan kalimat singkat. Iya, kak? Hanya beberapa detik tepat setelah pesan itu di kirimkan, ponselku berbunyi
"Bersamamu memang seindah itu. Mungkin aku keliru, tapi ini begitu candu." 🌼🌼🌼🌼 "Ayu!" Tangannya melambai-lambai ke arahku. "Di sini." Aku melihat kak Bima di ujung taman, senyumnya merekah. Wajahnya terlihat sangat cerah, aku pun segera mempercepat laju langkahku. Hari ini aku datang terlambat beberapa menit dari biasanya. "Udah lama, kak?" ucapku yang langsung bertanya ketika sampai di tempat kak Bima berada. "Duduk dulu," kata kak Bima sambil menunjukkan tempat untuk aku dudukki. "Nih!" Aku menatap kak Bima dengan heran. Menatap sesuatu di tangannya yang mencuri perhatianku. Halisku sudah sempurna terpaut. Coba tebak itu apa? Melihat hal itu sontak membuat kak Bima menatapku dalam beberapa detik lantas meraih tanganku tiba-tiba. "Minum dulu, Meg." "Biar nggak dehidrasi." Aku masih bergeming. Benar-benar kebingungan karena aksi kak Bima yang tiba-tiba. Tahu a
"Jika kamu menyukaiku, yang kupinta hanya satu. Menetaplah jika singgah yang kamu lakukan itu sungguh." 🌼🌼🌼🌼 "Ada apa?" Kak Bima bertanya sambil terlihat khawatir. Terlihat jelas sekali dari ekspresi yang di tampilkan. "Kenapa teriak?" "Ada apa Ayu?" Kak Bima terus mencecarku dengan pertanyaan. Aku tersenyum kikuk sebagai jawaban sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal dan merutuk dalam hati. Kami masih berada di taman. Teriakanku barusan tidak hanya membuat kak Bima terkejut tapi juga diriku pun sama terkejutnya. Benar-benar refleks. Beruntungnya semua yang berada di sini tidak peduli. Padahal aku yakin sekali kalau mereka mendengar teriakanku yang nyaring minta dipukul! "Kok malah senyum, ada apa Ayu?" Kalian masih ingat kan tadi aku dan Kak Bima sedang bermain tatap-tatapan. Konyol, sih. Tapi aku tidak keberatan apalagi rupa kak Bima tampan dan menawan, nyaman di pandang lama-lama. Siapa sih yang akan keb
"Rasa ini kini menjalar, menelurkan senang dan nyaman hingga mengakar jauh tertanam di dalam atma yang lahirkan harapan." 🌼🌼🌼🌼 Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, mataku awas menilik. Mencari keberadaan kak Bima. Tidak ada. Langkahku mendadak lemah. Aku berjalan dengan sedikit gontai ke tempat di mana kami biasa duduk. Taman ini terlihat seperti biasanya. Ramai. Aku membuka tas lantas mengambil sebuah buku novel. Karena hari ini tidak ada tugas apapun. Novel ini memang sengaja aku bawa ke sekolah, untuk mengisi waktu luang seperti ini. Pandanganku mulai foku pada buku dalam genggaman. Aku mulai tenggelam ke dalam dunia sana. Tak terdengar lagi suara riuh percakapan orang-orang atau suara laju kendaraan. Seperti melebur begitu saja saat aku membaca buku. Apa kalian sepertiku? Suka membaca novel hingga abai akan sekitar karena terlalu fokus? Sebetulnya aku membaca bukan karena sekadar hobi saja. Aku membaca untu