Seharusnya aku tahu diri, mengingat kebaikan dirimu yang senantiasa selalu mengiringi langkah kaki. Melihatmu yang dengan setia menemani. Namun, mengapa smapai saat ini aku tetap menutup hati. Bukankah kamu sudah cukup untuk menjadi arti?"
🌼🌼🌼🌼
Aku merebahkan diriku di atas tempat tidur yang beberapa hari ini tidak kutempati karena harus menginap di rumah sakit. Jika dipikir berulang kali, selama ini Langitlah yang menemani diriku mengingat mamah harus bekerja meski sesekali dia menemuiku namun tidak menginap karena harus bekerja esok paginya. Sani pun ikut menemani hanya saja tak bisa menginap atau terlalu lama, hanya bisa sampai sore. Selama ini hanya dengan Langit. Dia yang rela menunggu dan menemani meski berulang kali aku menyakiti. Rasanya aku tidak tahu diri, ya?
"Mega, ini aku. Boleh masuk nggak?"
"Boleh," kataku dengan sedikit berteriak. Aku belum mengubah posisi, hanya saja atensiku mengarah pada Langit yang baru saja masuk. Dia datang d
"Aku tidak akan membiarkan siapapun masuk meski mengetuk. Siapapun kamu, jangan coba-coba menelusup! Barang sejengkal, aku tak akan tinggal diam." 🌼🌼🌼🌼 Aku melangkah dengan tenang, memasuki koridor sekolah yang sudah mulai ramai. Kini sudah banyak orang yang berdatangan, terdengar dari obrolan ringan yang memenuhi koridor disusul dengan suara derap langkah kaki. Sesekali, aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mencari temanku-Sani. Namun tiba-tiba saja earphone yang menempel di telinga kanan dilepas oleh seseorang. Langkahku terhenti. Aku bisa melihatnya, seseorang dengan dinginnya memakai earphone milikku. Kini tatapanku bertumpu padanya. Dia balas menatap dengan senyuman lebar. Tampak seperti tidak pernah melakukan apa-apa. "Lagunya enak, ya?" tanyanya tiba-tiba. Aku menatap name tag pada bajunya yang bertuliskan Langit Aditya. Lantas tatapanku beralih padanya dan dengan gerakan cepat kurebut paksa earp
"Bagiku kamu adalah malapetaka, bukan hanya kehidupanku yang akan hancur tapi diriku pun akan hancur jika aku terus-menerus bersama denganmu." 🌼🌼🌼🌼 Sudah seminggu sejak si manusia aneh itu mengatakan bahwa aku dengannya telah resmi jadian, yang langsung membuat kehidupan SMA-ku berantakan dalam sekejap. Semua usaha yang aku bangun, hancur seketika akibat ulahnya. Baru seminggu aku jadian, aku sudah menjadi target perudungan dari banyak siswi di sekolah ini. Ini gila! Benar-benar gila! Hal yang aku takutkan terjadi, padahal aku sudah bersusah payah untuk menjaga jarak dengan banyak orang termasuk lawan jenis. Aku membentengi diriku agar kokoh dan tak tersentuh. Namun, teganya Langit menghancurkan semuanya dalam sekejap. Murid pindahan yang baru tiga hari bersekolah itu meruntuhkan benteng yang sudahku susun selama satu semester.Aku menghela napas panjang, merutuki kesialanku setelah bertemu dengan Langit. Setelah kejadian itu, a
"Bagiku, menghindarimu adalah sebuah keharusan dan tidak ada kompromi tentang hal itu. Berlarilah, menjauh pergi. Jangan pernah mendekat atau berniat menetap." 🌼🌼🌼🌼 "Mega ..." Aku berdecak pelan, mendengar namaku dipanggil lagi. Lagi? Kenapa lagi? Karena sejak tadi Langit berusaha memanggilku yang entah keberapa kalinya dan tak ada satupun dari panggilannya yang aku respons. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan sapaan yang ramah itu, seharusnya. Tapi, aku tetap tidak terbiasa dan karena aku tahu kenapa dia mengejarku seperti ini. Apalagi kalau bukan karena aku bilang kita tidak pernah jadian dan aku memintanya untuk mengakhiri aksi konyolnya ini. Kalian pasti bisa menebaknya sendiri reaksi Langit seperti apa. Ya, tepat seperti yang kalian duga, Langit tidak menyetujuinya! Langit tidak mau hubungan aneh ini berakhir dan Langit malah merengek dan mengejarku seperti ini. Dasar bocil! Maka dari itu aku memilih untuk kabur. Mendenga
"Kamu seharusnya sadar, kisah kita memang tidak pernah di mulai. Mungkin juga tak akan ada kata selesai." 🌼🌼🌼🌼 "Jadi alasannya karena ... " Langit menggantungkan kalimatnya. Aku menoleh ke arahnya sambil menahan napas. Aku dan Langit sama-sama terkejut, ketika mendapati wajah kami yang jaraknya dekat, sangat dekat. Deg! Mataku membulat. Ini terlalu dekat! Napasku pun terhenti dalam beberapa detik. Cepat-cepat aku segera palingkan ke arah lain. Hening. Ah, sial! Suasananya jadi tidak nyaman. Agaknya, Langit juga tersentak kaget. Karena mungkin aku tiba-tiba menoleh ke arahnya tanpa permisi. Kami berdua saling diam dalam beberapa saat hingga perasaan canggung langsung menyelimuti. Langit berderham pelan sebelum berbicara kembali. "Kamu memang tidak bisa menebaknya?" Langit malah bertanya balik sambil mencairkan suasa yang sempat aneh. Aku mengembuskan napas kasar, sudah tadi dia menggantungkan kalimatnya,
"Berhenti keras kepala, jika kamu terus memaksa bukan hanya kamu yang akan terluka tapi aku juga." 🌼🌼🌼🌼 Ini gila! "Aku nggak gila, Meg. Otakku masih berfungsi dengan baik. Jadi berhenti mengatakan aku ini gila," ucap Langit seolah mendengar suara hatiku. "Lo ..." jariku menunjuk ke arahnya sambil berkata, "nggak waras!"Ya, meskipun nggak waras sama gila sama saja, sih, ya? Aku menatap tajam ke arah Langit, masih tidak habis pikir dengan permintaannya. Karena aksiku tadi, dia memintaku untuk melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf. Alih-alih meminta hal yang normal Langit malah meminta yang aneh. Apa tidak bisa di ganti, ya? "Lo, nggak usah aneh, deh!" Langit tampak keberatan dengan ucapanku. Terlihat sekali dari ekspresi wajah yang dia tunjukkan. Langit memintaku untuk tetap jadi pacarnya dan malah memperpanjang waktu dari delapan bulan hingga aku dan dia lulus. Aku menatap ke arahnya t
Melihatmu lagi adalah suatu kemustahilan, namun jika aku bertemu lagi denganmu aku tidak tahu apakah itu sebuah keberuntungan atau malah suatu kesialan?" 🌼🌼🌼🌼 "Meg, aku mau bicara." Aku menoleh ke arah Langit dengan malas. Deg! Keningku mengernyit. Mengapa wajah Langit serius sekali?Kali ini ada apa? Tatapanku beralih memandangi sekitar. Kenapa suasana rumahku tiba-tiba ikut berubah? Apa berganti genre menjadi horor, ya? Aku bergidik ngeri, nggaklah, nggak mungkin! "Meg." Langit memandangiku dengan serius. Tidak ada muka tengil menyebalkan yang biasa dia tampilkan. Napasku tertahan seperti ada sesuatu yang menyedot pasokan oksigen di sini. Sebenarnya ada apa, sih? Terdengar suara denting jarum jam. Kami sempat bertatapan dalam beberapa detik. "Meg?" "Hmm ..." aku merespons seadanya. Sekarang perasaanku mendadak tidak enak. Sebenarnya, ada apa?
"Kebersamaan ini hanya inginmu bukan inginku atau kehendak kita bersama. Karena kamupun tau, kamu mendekat lalu hinggap bukan karena terperangkap namun karena terpikat." 🌼🌼🌼🌼 Sani kamu dimana? Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari Sani tapi nihil. Di sini dia tidak ada. Selama seminggu pikranku terganggu oleh banyak hal. Kantung mata tercetak jelas, mukaku kusut dan tak bergairah. Sungguh mengenaskan. Aku menoleh ke ambang pintu saat mendengar desas-desus yang teman-teman layangkan lalu mengembuskan napas kasar. Karena malah menemukan sosok laki-laki yang akhir-akhir ini masuk ke kehidupannku. Sering membuatku jadi termenung, merenungkan baik-baik apa langkah yang harus aku ambil. Kehadirannya benar-benar membuat hidupku berantakan. Memang benar aku tidak menyukai mereka. Karena mereka tetap mengerikan bagiku. Meskipun aku tahu, laki-laki itu tidak sama. Tidak semua mengerikan dan berbahaya. Namun, tidak ada salahnya un
"Tidak ada yang menyenangkan dari kenangan. Hadirnya pun begitu menyiksa. Jika rindu pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena kenangan bersamamu memang bukan untuk diulang hanya dikenang." 🌼🌼🌼🌼 Aku berusaha untuk menenangkan diri. Wajahku pucat masai. Bahkan tanganku sampai gemetaran. Beruntungnya teman-teman kelasku tidak ada yang menyadari hal ini, semoga saja. Karena yang aku lihat mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Atau lebih tepatnya tidak mau peduli. Sani di sampingku melihatku dengan khawatir--terlihat dari wajahnya. Aku masih tidak mampu mengatakan apapun. Karena kejadian barusan masih membuatku terkejut. Aku melangkah dengan gontai ke arah bangku mejaku setelah tadi diam mematung selama beberapa menit. Beruntung tanganku langsung ditarik oleh Sani, jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Perlakuan itu ... aku tidak mau merasakannya lagi! Tidak. Cukup. Aku tidak mau lagi merasakan perlakuan yang