Beranda / Fiksi Remaja / Langit & Mega / 5. Manusia Aneh Bagian Keempat

Share

5. Manusia Aneh Bagian Keempat

 "Berhenti keras kepala, jika kamu terus memaksa bukan hanya kamu yang akan terluka tapi aku juga."

 ğŸŒ¼ğŸŒ¼ğŸŒ¼ğŸŒ¼

Ini gila!

"Aku nggak gila, Meg. Otakku masih berfungsi dengan baik. Jadi berhenti mengatakan aku ini gila," ucap Langit seolah mendengar suara hatiku.

"Lo ..." jariku menunjuk ke arahnya sambil berkata, "nggak waras!"

Ya, meskipun nggak waras sama gila sama saja, sih, ya?

Aku menatap tajam ke arah Langit, masih tidak habis pikir dengan permintaannya. Karena aksiku tadi, dia memintaku untuk melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf. Alih-alih meminta hal yang normal Langit malah meminta yang aneh. Apa tidak bisa di ganti, ya?

"Lo, nggak usah aneh, deh!" 

Langit tampak keberatan dengan ucapanku. Terlihat sekali dari ekspresi wajah yang dia tunjukkan. Langit memintaku untuk tetap jadi pacarnya dan malah memperpanjang waktu dari delapan bulan hingga aku dan dia lulus. 

Aku menatap ke arahnya tidak percaya, Langit kira pacaran itu apa? Nyicil?! Bisa-bisanya ada perpanjangan waktu!

Bisa tidak dia di buat menghilang saja? Ah, tidak bisa ya.

Kalau bisa tolong jauhkan sejauh mungkin, ya! Aku pasti sangat berterima kasih.

"Tapi-"

"Nggak ada tapi, tapi! Lo boleh minta yang lain."

"Meg?"

Aku mendengkus sebal. Kali ini apa lagi? Apa Langit mau memohon?

"Mega ...." Langit memanggil namaku lagi sambil mengguncang-guncangkan bahu. "Aku ganti, deh, kalau gitu aku ikut ke rumahmu saja, ya?"

Sontak aku langsung menoleh ke arahnya sambil terperangah, "apa tadi lo bilang?"

Mau ikut ke rumah? Ini aku salah dengar apa tidak, sih?

Tapi perasaan kupingku normal, deh. Semalam baru aku bersihkan, masa ada kotoran yang tertinggal hingga membuat pendengaranku terganggu.

Halisku menukik ke atas. Aku memasang telingaku baik-baik agar tidak salah mendengarkan saat satu per satu kata yang diucapkan Langit.

"Aku ikut ke rumahmu saja, ya?" Langit kembali mengulang kalimatnya.

Cepat-cepat aku menggeleng, "nggak!" 

"Lo pikir rumah gue tempat penampungan?" 

"Lo pulang ke rumah lo sana!" usulku pada Langit.

"Mau silaturahmi, Meg."

"Silaturahmi apaan!" Aku mulai bersungut-sungut ke arahnya.

"Lo,mah lagi modus!"

Aku kembali memalingkan wajah. Awas saja jika dia benar-benar ikut ke rumahku!

"Jadi, boleh, kan?"

Aku berdecak pelan, sambil mendengkus. "Enggak!"

"Pokoknya ikut!"

"Lagian mau apa sih lo ke rumah? Di rumah gue nggak ada apa-apa."

"Ya ... emang harus ada apa-apa kalau mau kerumah?"

Aku mengembuskan napas kasar. "Lagian lo mau apasih? Pengen ikut segala! Lo kan punya rumah juga," geramku padanya. Atensiku beralih ke arah jendela. Malas sekali jika harus berhadapan dengan Langit!

"Meg ..." 

"Apa lagi?"

"Kamu jadi bawel ya sekarang."

"Terus kenapa?"

"Galak aja terus."

"Salah sendiri mau aja digalakin!"

"Siapa bilang? Kalau kamu tanya aku, aku sih lebih mau disayang."

Aku menoleh kearahnya sambil melotot. "Sayangin tuh diri sendiri!"

"Kalau itu si harus. Bukannya sebelum sayang sama orang lain harus sayang dulu sama diri sendiri, ya? Kan syarat mencintai seseorang memang gitu."

Aku hanya mampu mendelik ke arahnya sebagai jawaban. Lagi pula siapa yang peduli.

Ini busnya kapan sampai, sih?

Baru saja aku mengeluh, bus langsung berhenti karena telah sampai di halte.

Aku menghela napas lega, akhirnya sampai juga setelah terjebak lama dalam bus dengan Langit. Cepat-cepat aku beranjak sambil melengang keluar yang langsung diekori oleh Langit. Kini kami juga menjadi sorot perhatian karena sedari tadi Langit mencekal tasku sambil berbicara dengan suara yang tidak pelan. Bahkan Langit berpegangan padaku sangat erat seperti takut tertinggal.

Anak ini tidak mudah menyerah, ya? Sampai kapan coba Langit akan terus begini? Menggangguku terus.

Sungguh, aku sudah tidak kuat lagi. Tapi, kalau aku sampai meladeninya, kita akan semakin menjadi pusat perhatian. Jika saja bisa, aku ingin mengumpat ke arahnya tapi itu tidak akan membuatnya menyerah, sih, yang ada Langit malah berseru senang kalau aku berlaku begitu. Belum lagi, jika aku melakukannya aku takut hal itu malah semakin membuat kita menjadi pusat perhatian.

"Kok melamun?" ucapnya yang sedang menatap ke arahku dengan saksama. "Jangan melamun, Meg."

Aku tidak mengidahkannya, lantas terus melangkah mengabaikan tatapan matanya yang masih menatapku lekat.

Sebetulnya aku risi karena ditatap seperti itu. Bukan karena salah tingkah tapi merasa seperti ada sesuatu di wajahku.

"Kita kapan sampai? Masih jauh, ya?"

Langkahku terhenti, aku baru menyadari sesuatu. "Lo beneran mau ikut ke rumah gue?"

Langit terkekeh. "Ya, iya. Kamu kemana aja, sih, Meg?"

"Enggak!" tukasku yang mulai melangkah lagi tapi kali ini dengan cepat. "Mending lo pulang!"

"Kok gitu, sih? Langit berusaha menyusulku dengan langkahnya yang besar-besar. "Ini tanggung, Meg. Masa disuruh pulang!"

"Lagian salah sendiri, udah disuruh pulang, ngeyel!"

"Kan ini mau pulang."

"Pulangnya ke rumah lo sendiri lah."

"Nggak mau." Langit masih tetap dengan pendiriannya. Tidak mau pulang.

"Lo punya rumah nggak, sih?" Kesabaranku mulai habis. Aku menghentikan langkah lantas menatapnya dengan sorot mata tajam.

Untuk menghadapi orang seperti Langit sepertinya aku memerlukan kesabaran setinggi langit di angkasa atau malah sedalam dan seluas lautan, ya?

Ah, tapi kan dari tadi aku memang tidak sabaran kalau dengan dia. Berarti besok-besok tingkat kesabaranku harus luas juga tinggi. Agar kokoh dan tidak mudah roboh seperti ini.

"Ya, punya."

"Yaudah pulang sana!" timpalku dengan gemas. Karena sedari tadi susah sekali menyuruhnya untuk pulang.

"Nggak! Nggak mau,"

"Pulang nggak?" Aku yang mulai frustasi melayangkan tatapan geram ke arahnya.

Bagaimana ini? Masa iya aku harus membawanya pulang.

Engga, nggak! Itu tidak boleh terjadi!

Aku menggeleng-gelengkan kepala, tidak mau hal itu sampai terjadi. Kakiku kembali melangkah dengan langkah yang lebih cepat dari sebelumnya.

"Nggak mau, Mega. Tadi kata kamu, aku boleh minta apa aja kan selain yang tadi? Jangan pura-pura lupa, lho!" katanya sambil terus mengikutiku. 

Aku diam. Langkahku terhenti lantas aku menoleh ke arahnya berusaha sabar. "Langit ..." 

Langkahnya juga ikut terhenti, Langit balas menatapku sambil tersenyum. "Iya?"

"Pulang!" Aku mulai menaikkan suaraku satu tingkat dari biasanya.

"Tapi, kan-"

"Minta yang lain bisa?"

"Nggak. Pilihannya cuma dua. Mau pilihan yang pertama atau yang kedua?" 

Aku memijit keningku lalu menghela napas dalam. "Gue punya salah apa sih? Sampe lo segininya?"

"Perjanjian tetap perjanjian, Meg."

Aku mengelus dadaku, "emang harus banyak istigfar, ya, kalau sama lo!" 

"Lho bagus dong!"

Aku mendengkus kasar lantas kembali berjalan. Berdebat dengan Langit tak ada habisnya. Karena Langit seorang yang keras kepala. Saat ini aku harus memikirkan cara agar dia pulang segera. Tapi bagaimana? Bagaimana caranya mengusir Langit pergi? Tidak ada cara yang terpikirkan olehku.

Arghh! Batu kerikil di hadapanku berulang-ulang kali jadi pelampiasan amarah. Aku menoleh ke arahnya, langkahku memelan.

"Lo bisa nggak pulang, sekarang?"

"Nggak!"

Mulutku menganga, mataku juga terbelalak mendengar jawabannya barusan.

Mengapa sulit sekali menyuruhnya agar pulang?

Harus dengan cara apa lagi?

Aku memegang pelipisku, lantas memijitnya kembali.

Ah, orang ini benar-benar keras kepala!

"Perjanjian tetaplah perjanjian, Meg."

Aku menatap Langit berang. Emosiku sudah naik ke ubun-ubun tinggal meledak saja ke arahnya.

"Pulang!" Tidak bosan-bosannya aku menyuruh Langit untuk pulang.

"Kamu persis ibu kost, Meg." ucap Langit di akhiri kekehan pelan.

"Pulang nggak lo?" Mukaku sudah merah padam. Bukan karena malu ataupun gugup. Tapi karena aku sedang marah. Benar-benar marah! Emosiku sudah meluap-luap. Susah sekali menyuruh Langit pulang, Langit sangat keras kepala sama dengannku.

Kalau begini terus harus ada yang mengalah diantara kami berdua. Tapi, siapa? Langit mau menyerah tidak, ya? Aku tidak mau jika harus aku yang menyerah. Tidak mau pokoknya!

Harus Langit! Lagi pula permintaannya aneh-aneh semua. Jelas saja aku susah mengambulkannya.

Mataku masih menatapnya dengan tajam. Tentunya tidak berkacak pinggang. Malu, banyak yang melihat pertengkaran kami berdua. Langit masih berdiri tidak jauh dari tempatku dan, ya, ekspresi wajahnya malah menunjukkan kalau dia menyukai kejadian ini.

Lihat saja sekarang, dia malah menyunggingkan seulas senyum.

Dasar gila!

Kalaupun dia tersenyum itu tidak akan membuatku mengizinkannya mampir ke rumah.

Tidak akan!

Sepanjang jalan aku dan Langit bersiteru. Jangan tanya, kami sudah menjadi pusat perhatian orang. Karena dari bus sampai turun terus saja berdebat. 

Mega? Temannya nggak disuruh masuk?"

Aku menoleh ke depan. Mendapati seorang wanita dewasa berumur 40 tahunan muncul tak jauh dari tempatku berada. 

Eh? Aku sudah sampai rumah, ya? Kok sampai tidak sadar begini.

Langit tersenyum puas seperti penuh kemenangan. Aku yang melihat kejadian itu langsung mendelik tak suka.

"Permisi tante saya boleh mampir, kan?"

Mamah mengangguk kecil sambil tersenyum ramah.

Tanpa mempersilakan masuk, aku melengang lebih dulu ke dalam rumah. Nanti juga Langit pasti ikut mengekor. Dia, sih, tidak ditawari juga sudah pasti ikut masuk. Tidak tahu malu memang!

Sampai kapan Langit mau menggangguku terus?

Apa ada cara agar Langit berhenti menggangguku?

Kalau ada, apa ya? Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dia berhenti mengganggu. Apalagi sampai dia ikut ke rumah begini.

Langit beruntung sekali karena Mamah jarang ada di rumah. Kebetulan Mamahku bekerja jadi lebih sering tidak di rumah. Karena itu aku berkata dia beruntung. Sungguh beruntung. Karena jika tidak ada, sudah aku pastikan. Aku akan tendang dia sampai pulang ke rumahnya.

Sebenarnya mengapa Langit mengikutiku sampai rumah? Untuk apa? Apa cari muka dengan Mamah, ya? Padahal sudah nempel di situ tapi masih saja cari muka.

Aku benar-benar tidak mengerti apa maunya manusia di sebelahku ini.

"Mukanya tidak usah cemberut gitu dong, Meg," katanya tiba-tiba.

"Berisik!"

"Kenapa? Nggak suka aku di sini, ya?"

"Pake nanya lagi!" kataku berseru galak.

"Tapi, Mamah kamu suka aku di sini," 

"Eh, apaan, nggak usah kepedean lo!"

"Langit haus, Nak?"

Aku menoleh, menyadari Mamah yang baru saja bergabung dengan kami.

Langit kembali menatapku dengan tatapan kemenangan. Wajahnya nampak sumringah.

Tunggu. Kalau begitu saja tidak berarti Mamah suka dengan kehadiran langit. Toh, memang seharusnya begitu kan etika dengan tamu? Jadi aku kira ini hal wajar, bukan istimewa.

Ini, sih, Langitnya saja yang kepede-an. Menganggap Mamah menyukainya. Padahal kan bisa jadi tidak.

"Nggak usah repot-repot tante."

Mulai, deh,  cari mukanya!

Aku menatapnya sebal sambil sesekali mengembuskan napas kasar.

Saat ini Langit tengah berbincang dengan Mamah. Tuh, kan dia sedang cari muka.

"Senyum dong ... jangan cemberut terus, ah."

"Jelek tahu," sambungnya lagi.

"Nggak peduli!" kataku yang masih saja berkata ketus.

Mamah sudah tidak bergabung dengan kami. Tadi mamah izin, sedang ada pekerjaan. Jadi tidak bisa menemani kami lama-lama di sini.

Hal itu tentu melegakan. Aku jadi bebas mengusirnya, mau di tendang dari sini juga tidak apa-apa kan? He he.

Aku melipat tangan di dada lantas menatapnya lekat. "Lo kapan pulangnya, sih?"

"Ntar lah, pengen lama-lama."

"Ck, lagian mau apa lo lama-lama di sini? Lo pikir gue bakal ngejamu lo, gitu?" ucapku dengan nada sinis sambil menatapnya tajam.

Langit tidak menjawab pertanyaanku, dia malah menggaruk tengkuknya.

Bingung mungkin, ya?

Ya, bagimana dia tidak bingung kalau memang niat dari awalnya dia mau modus.

"Kutuan?" ucapku sambil menunjuknya, Langit menatap ke arahku dengan ekspresi yang aneh. "Garuk-garuk terus abisnya," ucapku sambil cengegesan.

"Engga, kok."

"Lo nggak mungkin nginep kan?" Setelah beberapa lama aku bertanya kembali. Memecah hening.

"Boleh memang?" tanyanya seperti dipersilakan.

Sepertinya aku salah mengajukan pertanyaan,

"Ya, enggaklah!" Aku langsung ngegas.

Langit pikir rumahku itu penginapan apa? Pakai acara mau nginap segala!

"Meg, aku nggak mau pulang."

Aku menatap Langit semakin galak, "lo kenapa sih?"

"Nggak mau pulang."

"Heh, gue nggak mau ya sampai harus nampung lo di sini!"

"Pulang sana. Huss" ujarku mengusir sambil mengibas-ngibaskan tangan.

"Ketempat asal lo!" sambungku lagi.

"Ya, iya." Langit terkekeh pelan. "Nanti pulang kok."

Mukaku mendadak cerah. Akhirnya. Setelah sekian lama. 

Namun, mengapa Langit terlihat tidak terusik sama sekali ketika aku mengusirnya. Sekarang saja dia malah asyik minum sambil ngemil makanan yang tadi di bawakan oleh Mamah.

Om, tante ini anaknya kok nyebelin banget, ya.

Tante lagi hamil dia ngidam apa, sih, Tan?

Kenapa ya aku sampai harus bertemu dengan dia? Sebenarnya tujuan dia ada dihidupku untuk apa? Apa jangan-jangan untuk menguji ke sabaranku, ya? Karena memang aku pemarah.

Apa, iya, ya? Karena hal itu atau ada maksud lain? Tapi apa?

Aku masih belum tahu maksud dan tujuannya yang sebenarnya.

Apa aku menyerah saja? Maksudku, aku menerima permainannya. Aku hanya harus bersikap baik, mungkin. Siapa tahu nanti ketahuan maksud dan tujuannya.

Ya, benar. Siapa tahu cara ini berhasil kan? Daripada begini bisa-bisa aku cepat tua karena marah-marah terus. Tapi aku tidak mau berlagak baik. Kalau dia salah paham bagaimana? Nanti dia pikir aku luluh lagi tapi kalau tidak begitu aku tidak bisa mengikuti alur permainannya.

Aargghhh! lagi pula aku membencinya! Langit sudah menghancurkan masa sekolahku. Aku mengacak rambut frustrasi.

"Kenapa Meg? Kok-"

"Apa sih lo!"

Tenang, Meg. Kamu harus baik. Nggak boleh marah-marah. 

Lihat saja, aku pasti akan mengungkap tujuanmu selama ini Langit Aditya!

Aku tertawa penuh kemenangan. Lupa bahwa Langit memandangi sikap anehku itu.

"Meg?"

Aku menoleh, "Kenapa?"

"Ngapain kamu kayak tadi?"

"Eh?" Aku gelagapan. Harus jawab apa, ya?

Belum sempat aku menjawab Langit sudah berbicara kembali, "pasti baru sadar kalau aku ganteng, ya? Dan kamu bersyukur karena pacaran denganku, ya kan? Kamu terpesona makanya sampai frustrasi, ya kan?"

Aku bergidik ngeri mendengar penuturannya barusan. Kenapa Langit percaya diri sekali?

Mukaku langsung masam. 

Apa tadi Langit bilang? Tampan?

Memang ya sih, Langit tampan dan rupawan namun bukan berarti aku sudah tertawan! Tidak, aku tidak selemah itu. 

"Meg, aku mau bicara,"

Aku menoleh ke arah Langit dengan malas.

Deg!

Keningku mengernyit. Mengapa wajah Langit serius sekali?

Kali ini ada apa?

Tatapanku beralih memandangi sekitar. Kenapa suasana rumahku tiba-tiba ikut berubah?

Apa berganti genre menjadi horor, ya?

Aku bergidik ngeri, nggaklah, nggak mungkin!

"Meg," Langit memandangiku dengan serius. Tidak ada muka tengil menyebalkan yang biasa dia tampilkan. 

Napasku tertahan seperti ada sesuatu yang menyedot pasokan oksigen di sini.

Sial! Sebenarnya ada apa, sih?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status