"Berhenti keras kepala, jika kamu terus memaksa bukan hanya kamu yang akan terluka tapi aku juga."
🌼🌼🌼🌼
Ini gila!
"Aku nggak gila, Meg. Otakku masih berfungsi dengan baik. Jadi berhenti mengatakan aku ini gila," ucap Langit seolah mendengar suara hatiku.
"Lo ..." jariku menunjuk ke arahnya sambil berkata, "nggak waras!"
Ya, meskipun nggak waras sama gila sama saja, sih, ya?Aku menatap tajam ke arah Langit, masih tidak habis pikir dengan permintaannya. Karena aksiku tadi, dia memintaku untuk melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf. Alih-alih meminta hal yang normal Langit malah meminta yang aneh. Apa tidak bisa di ganti, ya?
"Lo, nggak usah aneh, deh!"
Langit tampak keberatan dengan ucapanku. Terlihat sekali dari ekspresi wajah yang dia tunjukkan. Langit memintaku untuk tetap jadi pacarnya dan malah memperpanjang waktu dari delapan bulan hingga aku dan dia lulus.
Aku menatap ke arahnya tidak percaya, Langit kira pacaran itu apa? Nyicil?! Bisa-bisanya ada perpanjangan waktu!
Bisa tidak dia di buat menghilang saja? Ah, tidak bisa ya.Kalau bisa tolong jauhkan sejauh mungkin, ya! Aku pasti sangat berterima kasih."Tapi-"
"Nggak ada tapi, tapi! Lo boleh minta yang lain."
"Meg?"
Aku mendengkus sebal. Kali ini apa lagi? Apa Langit mau memohon?
"Mega ...." Langit memanggil namaku lagi sambil mengguncang-guncangkan bahu. "Aku ganti, deh, kalau gitu aku ikut ke rumahmu saja, ya?"
Sontak aku langsung menoleh ke arahnya sambil terperangah, "apa tadi lo bilang?"
Mau ikut ke rumah? Ini aku salah dengar apa tidak, sih?
Tapi perasaan kupingku normal, deh. Semalam baru aku bersihkan, masa ada kotoran yang tertinggal hingga membuat pendengaranku terganggu.
Halisku menukik ke atas. Aku memasang telingaku baik-baik agar tidak salah mendengarkan saat satu per satu kata yang diucapkan Langit.
"Aku ikut ke rumahmu saja, ya?" Langit kembali mengulang kalimatnya.
Cepat-cepat aku menggeleng, "nggak!"
"Lo pikir rumah gue tempat penampungan?"
"Lo pulang ke rumah lo sana!" usulku pada Langit.
"Mau silaturahmi, Meg."
"Silaturahmi apaan!" Aku mulai bersungut-sungut ke arahnya.
"Lo,mah lagi modus!"
Aku kembali memalingkan wajah. Awas saja jika dia benar-benar ikut ke rumahku!
"Jadi, boleh, kan?"
Aku berdecak pelan, sambil mendengkus. "Enggak!"
"Pokoknya ikut!"
"Lagian mau apa sih lo ke rumah? Di rumah gue nggak ada apa-apa."
"Ya ... emang harus ada apa-apa kalau mau kerumah?"
Aku mengembuskan napas kasar. "Lagian lo mau apasih? Pengen ikut segala! Lo kan punya rumah juga," geramku padanya. Atensiku beralih ke arah jendela. Malas sekali jika harus berhadapan dengan Langit!
"Meg ..."
"Apa lagi?"
"Kamu jadi bawel ya sekarang."
"Terus kenapa?"
"Galak aja terus."
"Salah sendiri mau aja digalakin!"
"Siapa bilang? Kalau kamu tanya aku, aku sih lebih mau disayang."
Aku menoleh kearahnya sambil melotot. "Sayangin tuh diri sendiri!""Kalau itu si harus. Bukannya sebelum sayang sama orang lain harus sayang dulu sama diri sendiri, ya? Kan syarat mencintai seseorang memang gitu."
Aku hanya mampu mendelik ke arahnya sebagai jawaban. Lagi pula siapa yang peduli.
Ini busnya kapan sampai, sih?
Baru saja aku mengeluh, bus langsung berhenti karena telah sampai di halte.
Aku menghela napas lega, akhirnya sampai juga setelah terjebak lama dalam bus dengan Langit. Cepat-cepat aku beranjak sambil melengang keluar yang langsung diekori oleh Langit. Kini kami juga menjadi sorot perhatian karena sedari tadi Langit mencekal tasku sambil berbicara dengan suara yang tidak pelan. Bahkan Langit berpegangan padaku sangat erat seperti takut tertinggal.
Anak ini tidak mudah menyerah, ya? Sampai kapan coba Langit akan terus begini? Menggangguku terus.
Sungguh, aku sudah tidak kuat lagi. Tapi, kalau aku sampai meladeninya, kita akan semakin menjadi pusat perhatian. Jika saja bisa, aku ingin mengumpat ke arahnya tapi itu tidak akan membuatnya menyerah, sih, yang ada Langit malah berseru senang kalau aku berlaku begitu. Belum lagi, jika aku melakukannya aku takut hal itu malah semakin membuat kita menjadi pusat perhatian.
"Kok melamun?" ucapnya yang sedang menatap ke arahku dengan saksama. "Jangan melamun, Meg."
Aku tidak mengidahkannya, lantas terus melangkah mengabaikan tatapan matanya yang masih menatapku lekat.
Sebetulnya aku risi karena ditatap seperti itu. Bukan karena salah tingkah tapi merasa seperti ada sesuatu di wajahku.
"Kita kapan sampai? Masih jauh, ya?"
Langkahku terhenti, aku baru menyadari sesuatu. "Lo beneran mau ikut ke rumah gue?"Langit terkekeh. "Ya, iya. Kamu kemana aja, sih, Meg?"
"Enggak!" tukasku yang mulai melangkah lagi tapi kali ini dengan cepat. "Mending lo pulang!""Kok gitu, sih? Langit berusaha menyusulku dengan langkahnya yang besar-besar. "Ini tanggung, Meg. Masa disuruh pulang!"
"Lagian salah sendiri, udah disuruh pulang, ngeyel!"
"Kan ini mau pulang."
"Pulangnya ke rumah lo sendiri lah."
"Nggak mau." Langit masih tetap dengan pendiriannya. Tidak mau pulang.
"Lo punya rumah nggak, sih?" Kesabaranku mulai habis. Aku menghentikan langkah lantas menatapnya dengan sorot mata tajam.
Untuk menghadapi orang seperti Langit sepertinya aku memerlukan kesabaran setinggi langit di angkasa atau malah sedalam dan seluas lautan, ya?Ah, tapi kan dari tadi aku memang tidak sabaran kalau dengan dia. Berarti besok-besok tingkat kesabaranku harus luas juga tinggi. Agar kokoh dan tidak mudah roboh seperti ini.
"Ya, punya."
"Yaudah pulang sana!" timpalku dengan gemas. Karena sedari tadi susah sekali menyuruhnya untuk pulang.
"Nggak! Nggak mau,"
"Pulang nggak?" Aku yang mulai frustasi melayangkan tatapan geram ke arahnya.
Bagaimana ini? Masa iya aku harus membawanya pulang.
Engga, nggak! Itu tidak boleh terjadi!
Aku menggeleng-gelengkan kepala, tidak mau hal itu sampai terjadi. Kakiku kembali melangkah dengan langkah yang lebih cepat dari sebelumnya.
"Nggak mau, Mega. Tadi kata kamu, aku boleh minta apa aja kan selain yang tadi? Jangan pura-pura lupa, lho!" katanya sambil terus mengikutiku.
Aku diam. Langkahku terhenti lantas aku menoleh ke arahnya berusaha sabar. "Langit ..."
Langkahnya juga ikut terhenti, Langit balas menatapku sambil tersenyum. "Iya?"
"Pulang!" Aku mulai menaikkan suaraku satu tingkat dari biasanya.
"Tapi, kan-"
"Minta yang lain bisa?"
"Nggak. Pilihannya cuma dua. Mau pilihan yang pertama atau yang kedua?"
Aku memijit keningku lalu menghela napas dalam. "Gue punya salah apa sih? Sampe lo segininya?"
"Perjanjian tetap perjanjian, Meg."
Aku mengelus dadaku, "emang harus banyak istigfar, ya, kalau sama lo!"
"Lho bagus dong!"
Aku mendengkus kasar lantas kembali berjalan. Berdebat dengan Langit tak ada habisnya. Karena Langit seorang yang keras kepala. Saat ini aku harus memikirkan cara agar dia pulang segera. Tapi bagaimana? Bagaimana caranya mengusir Langit pergi? Tidak ada cara yang terpikirkan olehku.
Arghh! Batu kerikil di hadapanku berulang-ulang kali jadi pelampiasan amarah. Aku menoleh ke arahnya, langkahku memelan.
"Lo bisa nggak pulang, sekarang?"
"Nggak!"
Mulutku menganga, mataku juga terbelalak mendengar jawabannya barusan.
Mengapa sulit sekali menyuruhnya agar pulang?
Harus dengan cara apa lagi?
Aku memegang pelipisku, lantas memijitnya kembali.
Ah, orang ini benar-benar keras kepala!
"Perjanjian tetaplah perjanjian, Meg."
Aku menatap Langit berang. Emosiku sudah naik ke ubun-ubun tinggal meledak saja ke arahnya.
"Pulang!" Tidak bosan-bosannya aku menyuruh Langit untuk pulang.
"Kamu persis ibu kost, Meg." ucap Langit di akhiri kekehan pelan.
"Pulang nggak lo?" Mukaku sudah merah padam. Bukan karena malu ataupun gugup. Tapi karena aku sedang marah. Benar-benar marah! Emosiku sudah meluap-luap. Susah sekali menyuruh Langit pulang, Langit sangat keras kepala sama dengannku.
Kalau begini terus harus ada yang mengalah diantara kami berdua. Tapi, siapa? Langit mau menyerah tidak, ya? Aku tidak mau jika harus aku yang menyerah. Tidak mau pokoknya!
Harus Langit! Lagi pula permintaannya aneh-aneh semua. Jelas saja aku susah mengambulkannya.
Mataku masih menatapnya dengan tajam. Tentunya tidak berkacak pinggang. Malu, banyak yang melihat pertengkaran kami berdua. Langit masih berdiri tidak jauh dari tempatku dan, ya, ekspresi wajahnya malah menunjukkan kalau dia menyukai kejadian ini.
Lihat saja sekarang, dia malah menyunggingkan seulas senyum.Dasar gila!
Kalaupun dia tersenyum itu tidak akan membuatku mengizinkannya mampir ke rumah.
Tidak akan!
Sepanjang jalan aku dan Langit bersiteru. Jangan tanya, kami sudah menjadi pusat perhatian orang. Karena dari bus sampai turun terus saja berdebat.
Mega? Temannya nggak disuruh masuk?"
Aku menoleh ke depan. Mendapati seorang wanita dewasa berumur 40 tahunan muncul tak jauh dari tempatku berada.
Eh? Aku sudah sampai rumah, ya? Kok sampai tidak sadar begini.Langit tersenyum puas seperti penuh kemenangan. Aku yang melihat kejadian itu langsung mendelik tak suka."Permisi tante saya boleh mampir, kan?"
Mamah mengangguk kecil sambil tersenyum ramah.
Tanpa mempersilakan masuk, aku melengang lebih dulu ke dalam rumah. Nanti juga Langit pasti ikut mengekor. Dia, sih, tidak ditawari juga sudah pasti ikut masuk. Tidak tahu malu memang!Sampai kapan Langit mau menggangguku terus?
Apa ada cara agar Langit berhenti menggangguku?
Kalau ada, apa ya? Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dia berhenti mengganggu. Apalagi sampai dia ikut ke rumah begini.
Langit beruntung sekali karena Mamah jarang ada di rumah. Kebetulan Mamahku bekerja jadi lebih sering tidak di rumah. Karena itu aku berkata dia beruntung. Sungguh beruntung. Karena jika tidak ada, sudah aku pastikan. Aku akan tendang dia sampai pulang ke rumahnya.
Sebenarnya mengapa Langit mengikutiku sampai rumah? Untuk apa? Apa cari muka dengan Mamah, ya? Padahal sudah nempel di situ tapi masih saja cari muka.
Aku benar-benar tidak mengerti apa maunya manusia di sebelahku ini.
"Mukanya tidak usah cemberut gitu dong, Meg," katanya tiba-tiba.
"Berisik!"
"Kenapa? Nggak suka aku di sini, ya?"
"Pake nanya lagi!" kataku berseru galak.
"Tapi, Mamah kamu suka aku di sini,"
"Eh, apaan, nggak usah kepedean lo!"
"Langit haus, Nak?"
Aku menoleh, menyadari Mamah yang baru saja bergabung dengan kami.
Langit kembali menatapku dengan tatapan kemenangan. Wajahnya nampak sumringah.
Tunggu. Kalau begitu saja tidak berarti Mamah suka dengan kehadiran langit. Toh, memang seharusnya begitu kan etika dengan tamu? Jadi aku kira ini hal wajar, bukan istimewa.
Ini, sih, Langitnya saja yang kepede-an. Menganggap Mamah menyukainya. Padahal kan bisa jadi tidak.
"Nggak usah repot-repot tante."
Mulai, deh, cari mukanya!
Aku menatapnya sebal sambil sesekali mengembuskan napas kasar.
Saat ini Langit tengah berbincang dengan Mamah. Tuh, kan dia sedang cari muka."Senyum dong ... jangan cemberut terus, ah."
"Jelek tahu," sambungnya lagi.
"Nggak peduli!" kataku yang masih saja berkata ketus.
Mamah sudah tidak bergabung dengan kami. Tadi mamah izin, sedang ada pekerjaan. Jadi tidak bisa menemani kami lama-lama di sini.Hal itu tentu melegakan. Aku jadi bebas mengusirnya, mau di tendang dari sini juga tidak apa-apa kan? He he.
Aku melipat tangan di dada lantas menatapnya lekat. "Lo kapan pulangnya, sih?""Ntar lah, pengen lama-lama."
"Ck, lagian mau apa lo lama-lama di sini? Lo pikir gue bakal ngejamu lo, gitu?" ucapku dengan nada sinis sambil menatapnya tajam.
Langit tidak menjawab pertanyaanku, dia malah menggaruk tengkuknya.Bingung mungkin, ya?
Ya, bagimana dia tidak bingung kalau memang niat dari awalnya dia mau modus.
"Kutuan?" ucapku sambil menunjuknya, Langit menatap ke arahku dengan ekspresi yang aneh. "Garuk-garuk terus abisnya," ucapku sambil cengegesan.
"Engga, kok."
"Lo nggak mungkin nginep kan?" Setelah beberapa lama aku bertanya kembali. Memecah hening.
"Boleh memang?" tanyanya seperti dipersilakan.
Sepertinya aku salah mengajukan pertanyaan,"Ya, enggaklah!" Aku langsung ngegas.
Langit pikir rumahku itu penginapan apa? Pakai acara mau nginap segala!
"Meg, aku nggak mau pulang."
Aku menatap Langit semakin galak, "lo kenapa sih?"
"Nggak mau pulang."
"Heh, gue nggak mau ya sampai harus nampung lo di sini!"
"Pulang sana. Huss" ujarku mengusir sambil mengibas-ngibaskan tangan.
"Ketempat asal lo!" sambungku lagi.
"Ya, iya." Langit terkekeh pelan. "Nanti pulang kok."
Mukaku mendadak cerah. Akhirnya. Setelah sekian lama.
Namun, mengapa Langit terlihat tidak terusik sama sekali ketika aku mengusirnya. Sekarang saja dia malah asyik minum sambil ngemil makanan yang tadi di bawakan oleh Mamah.Om, tante ini anaknya kok nyebelin banget, ya.
Tante lagi hamil dia ngidam apa, sih, Tan?
Kenapa ya aku sampai harus bertemu dengan dia? Sebenarnya tujuan dia ada dihidupku untuk apa? Apa jangan-jangan untuk menguji ke sabaranku, ya? Karena memang aku pemarah.
Apa, iya, ya? Karena hal itu atau ada maksud lain? Tapi apa?Aku masih belum tahu maksud dan tujuannya yang sebenarnya.Apa aku menyerah saja? Maksudku, aku menerima permainannya. Aku hanya harus bersikap baik, mungkin. Siapa tahu nanti ketahuan maksud dan tujuannya.Ya, benar. Siapa tahu cara ini berhasil kan? Daripada begini bisa-bisa aku cepat tua karena marah-marah terus. Tapi aku tidak mau berlagak baik. Kalau dia salah paham bagaimana? Nanti dia pikir aku luluh lagi tapi kalau tidak begitu aku tidak bisa mengikuti alur permainannya.
Aargghhh! lagi pula aku membencinya! Langit sudah menghancurkan masa sekolahku. Aku mengacak rambut frustrasi.
"Kenapa Meg? Kok-"
"Apa sih lo!"
Tenang, Meg. Kamu harus baik. Nggak boleh marah-marah.
Lihat saja, aku pasti akan mengungkap tujuanmu selama ini Langit Aditya!
Aku tertawa penuh kemenangan. Lupa bahwa Langit memandangi sikap anehku itu.
"Meg?"
Aku menoleh, "Kenapa?"
"Ngapain kamu kayak tadi?"
"Eh?" Aku gelagapan. Harus jawab apa, ya?
Belum sempat aku menjawab Langit sudah berbicara kembali, "pasti baru sadar kalau aku ganteng, ya? Dan kamu bersyukur karena pacaran denganku, ya kan? Kamu terpesona makanya sampai frustrasi, ya kan?"
Aku bergidik ngeri mendengar penuturannya barusan. Kenapa Langit percaya diri sekali?
Mukaku langsung masam.
Apa tadi Langit bilang? Tampan?
Memang ya sih, Langit tampan dan rupawan namun bukan berarti aku sudah tertawan! Tidak, aku tidak selemah itu.
"Meg, aku mau bicara,"
Aku menoleh ke arah Langit dengan malas.
Deg!
Keningku mengernyit. Mengapa wajah Langit serius sekali?
Kali ini ada apa?Tatapanku beralih memandangi sekitar. Kenapa suasana rumahku tiba-tiba ikut berubah?
Apa berganti genre menjadi horor, ya?
Aku bergidik ngeri, nggaklah, nggak mungkin!
"Meg," Langit memandangiku dengan serius. Tidak ada muka tengil menyebalkan yang biasa dia tampilkan.
Napasku tertahan seperti ada sesuatu yang menyedot pasokan oksigen di sini.
Sial! Sebenarnya ada apa, sih?
Melihatmu lagi adalah suatu kemustahilan, namun jika aku bertemu lagi denganmu aku tidak tahu apakah itu sebuah keberuntungan atau malah suatu kesialan?" 🌼🌼🌼🌼 "Meg, aku mau bicara." Aku menoleh ke arah Langit dengan malas. Deg! Keningku mengernyit. Mengapa wajah Langit serius sekali?Kali ini ada apa? Tatapanku beralih memandangi sekitar. Kenapa suasana rumahku tiba-tiba ikut berubah? Apa berganti genre menjadi horor, ya? Aku bergidik ngeri, nggaklah, nggak mungkin! "Meg." Langit memandangiku dengan serius. Tidak ada muka tengil menyebalkan yang biasa dia tampilkan. Napasku tertahan seperti ada sesuatu yang menyedot pasokan oksigen di sini. Sebenarnya ada apa, sih? Terdengar suara denting jarum jam. Kami sempat bertatapan dalam beberapa detik. "Meg?" "Hmm ..." aku merespons seadanya. Sekarang perasaanku mendadak tidak enak. Sebenarnya, ada apa?
"Kebersamaan ini hanya inginmu bukan inginku atau kehendak kita bersama. Karena kamupun tau, kamu mendekat lalu hinggap bukan karena terperangkap namun karena terpikat." 🌼🌼🌼🌼 Sani kamu dimana? Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari Sani tapi nihil. Di sini dia tidak ada. Selama seminggu pikranku terganggu oleh banyak hal. Kantung mata tercetak jelas, mukaku kusut dan tak bergairah. Sungguh mengenaskan. Aku menoleh ke ambang pintu saat mendengar desas-desus yang teman-teman layangkan lalu mengembuskan napas kasar. Karena malah menemukan sosok laki-laki yang akhir-akhir ini masuk ke kehidupannku. Sering membuatku jadi termenung, merenungkan baik-baik apa langkah yang harus aku ambil. Kehadirannya benar-benar membuat hidupku berantakan. Memang benar aku tidak menyukai mereka. Karena mereka tetap mengerikan bagiku. Meskipun aku tahu, laki-laki itu tidak sama. Tidak semua mengerikan dan berbahaya. Namun, tidak ada salahnya un
"Tidak ada yang menyenangkan dari kenangan. Hadirnya pun begitu menyiksa. Jika rindu pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena kenangan bersamamu memang bukan untuk diulang hanya dikenang." 🌼🌼🌼🌼 Aku berusaha untuk menenangkan diri. Wajahku pucat masai. Bahkan tanganku sampai gemetaran. Beruntungnya teman-teman kelasku tidak ada yang menyadari hal ini, semoga saja. Karena yang aku lihat mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Atau lebih tepatnya tidak mau peduli. Sani di sampingku melihatku dengan khawatir--terlihat dari wajahnya. Aku masih tidak mampu mengatakan apapun. Karena kejadian barusan masih membuatku terkejut. Aku melangkah dengan gontai ke arah bangku mejaku setelah tadi diam mematung selama beberapa menit. Beruntung tanganku langsung ditarik oleh Sani, jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Perlakuan itu ... aku tidak mau merasakannya lagi! Tidak. Cukup. Aku tidak mau lagi merasakan perlakuan yang
"Nggak apa-apa kalau kita nggak baik-baik aja, kita cuma manusia biasa. Akui dan terima bukan menyangkal dan pura-pura bahagia!" 🌼🌼🌼🌼 Sudah seminggu sejak kejadian itu berlalu. Aku masih ingat saat Langit tertidur di sampingku, di ruangan UKS. Tidak mengira kalau dia akan datang disaat Sani kembali ke kelas. Langit benar-benar keras kepala sekali! Padahal Sani sudah menyuruh Langit agar tidak menemuiku dulu tapi tidak didengarkan olehnya. Meskipun setelah Langit bangun tak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Baik aku maupun Langit hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Mungkin, karena suasana yang begitu canggung atau mungkin karena Langit mengerti dengan keadaanku yang tidak ingin berinteraksi dulu dengan siapapun. Entahlah aku tidak tahu pastinya. Satu hal yang aku ingat betul, ekspresi wajahnya yang terkejut ketika melihat diriku yang sudah terbangun terlebih dulu. Saat itu, aku sempat bersitatap dengannya selama beberapa deti
"Bagiku hujan yang membangkitkan masa lalu itu saat hujan turun dari mataku. Saat di mana aku tak kuat lagi menahan sakit juga rindu." 🌼🌼🌼🌼 Aku menghela napas lega. Akhirnya beban dalam diriku sedikit berkurang. Meski tidak semua hal aku ceritakan pada Sani. Tapi, aku sudah cukup merasa lega. Sekarang, perasaanku jauh lebih baik daripada sebelumnya dan juga terbebas dari lebah. Ya, yang jatuh itu sarang lebah. Bisa kalian tebak bagaimana takutnya kami melihat kawanan lebah yang seperti menemukan pelaku kejahatan padahal jelas bukan kami yang menjatuhnya sarangnya. Kami berdua lari terbirit-terbirit dengan kondisi wajah yang bisa dibilang mengenaskan. Setelah menangis hingga mata bengkak, aku pergi ke toilet untuk membasuh wajah, tak memedulikan tatapan orang-orang yang keheranan. Ekspresinya, mengisyaratkan tanda tanya. Mereka seperti sedang menebak-nebak mengenai apa yang terjadi padaku. Penampilan Sani tidak lebih buruk dariku. Ma
"Debar itu menelusup masuk tanpa mengetuk. Tanpa aba-aba aku dibuat tak berdaya." 🌼🌼🌼🌼 "Mega Ayudia?" Dia membaca namaku ditag nama yang tertera di seragam. Nada bicaranya seolah bertanya. Melihat hal itu sontak membuatku terkejut dan segera menutupi tag nama itu. Karena orang yang di hadapanku sekarang adalah orang yang tak ku kenali. Dengan takut, aku memberanikan diri menatapnya. "Saya Bima." Tangannya terulur ke arahku. Aku menyambut uluran tangan itu dengan bingung. Saat itulah pertama kalinya aku mengenal kakak. Di bulan Agustus semester satu, saat aku kelas sembilan. Dia mengenalkan dirinya sambil tersenyum ramah kepadaku. Setelah itu aku hanya mengangguk dan ikut mengenalkan diri. "Mega." "Saya sering lihat kamu di sini." Eh? Dia selalu lihat aku? "Kenapa belum pulang?" Aku menatapnya dengan takut lantas menjawab ragu-ragu. "Belum mau aja, ka
"Cinta bagiku seperti pelangi, berwarna-warni. Yang hadir setelah hujan reda, seakan membasuh duka lara." 🌼🌼🌼🌼 Hari itu, aku makan es krim bersama dengan Kak Bima sambil tangannya di genggam. Tak hanya itu kak Bima sampai menukar tempat, karena banyak kendaraan yang berlalu lalang. Boleh baper tidak, sih? Kedai es krim tidak jauh dari taman ini, hanya 20 meter dari tempat kami berdiri. Saat itu kami berjalan beriringan tanpa percapakan apa-apa. Kami terbiasa diam menikmati pikiran masing-masing. Langit sore kali ini pun sama indahnya dengan kemarin. Biasanya aku akan pamit pulang, namun hari ini berbeda, kami pergi mengunjungi kedai es krim terlebih dahulu. Hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Kini di hadapanku banyak orrang-orang sedang berlalu lalang begitupula laju kendaraan. Pemandangan yang sudah tak asing di sore hari. Yap, ramainya aktivitas! Kedai di hadapanku juga tampak ramai. Kami yang baru
"Bersama denganmu mampu menghentikkan waktu. Tiada terasa waktu bergerak tak terkira, melesat cepat membuatku terperangkap." 🌼🌼🌼🌼 Aku membaca pesan yang hanya berisi satu kata, Ayu? Mataku sempurna membulat saat membaca pesan itu. Saat ini hanya ada satu nama dalam kepalaku yang menjadi orang di balik pesan singkat ini. Tidak salah lagi, ini pasti kak Bima! Aku yakin sekali kalau ini kak Bima. Karena kak Bima satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan Ayu. Tidak ada lagi orang yang memanggilku demikian. Hanya kak Bima seorang. Aku tidak akan menyangka ia akan mengirimi pesan. Karena baru tadi sore ini kami bertukar nomor ponsel. Tanpa berpikir panjang lagi jariku menari lincah di sana, membalas pesan dari Kak Bima dengan senyum merekah dan degup yang berdetak lebih cepat dengan kalimat singkat. Iya, kak? Hanya beberapa detik tepat setelah pesan itu di kirimkan, ponselku berbunyi
Seharusnya aku tahu diri, mengingat kebaikan dirimu yang senantiasa selalu mengiringi langkah kaki. Melihatmu yang dengan setia menemani. Namun, mengapa smapai saat ini aku tetap menutup hati. Bukankah kamu sudah cukup untuk menjadi arti?" 🌼🌼🌼🌼 Aku merebahkan diriku di atas tempat tidur yang beberapa hari ini tidak kutempati karena harus menginap di rumah sakit. Jika dipikir berulang kali, selama ini Langitlah yang menemani diriku mengingat mamah harus bekerja meski sesekali dia menemuiku namun tidak menginap karena harus bekerja esok paginya. Sani pun ikut menemani hanya saja tak bisa menginap atau terlalu lama, hanya bisa sampai sore. Selama ini hanya dengan Langit. Dia yang rela menunggu dan menemani meski berulang kali aku menyakiti. Rasanya aku tidak tahu diri, ya? "Mega, ini aku. Boleh masuk nggak?" "Boleh," kataku dengan sedikit berteriak. Aku belum mengubah posisi, hanya saja atensiku mengarah pada Langit yang baru saja masuk. Dia datang d
Berkali-kali aku mendapat kesempatan setelah mendorong dirimu menjauh pergi. Berkali-kali aku mendapatkan kebaikan padahal beribu-ribu kali menyakiti. Haruskah aku mulai membuka hati atau belajar tahu diri?" 🌼🌼🌼🌼 Mataku mengerjap perlahan-lahan. Deg! Ini bukan rumahku. Tanpa mengedarkan pandanganpun aku tahu ini di mana. Karena bau yang khas menguar masuk ke dalam hidung. Rumah sakit. Entah bagaimana bisa aku berujung di sini. Aku mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang memeluk lengan kananku sedang kepalanya menunduk sepertinya ia terlelap. Ah, sekarang aku tahu. Dia adalah pelaku yang membawaku ke sini. Selalu saja, dia menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana dan menjadi orang pertama yang aku lihat jika berujung di rumah sakit. Entahlah, kali ini aku tidak tahu harus bersyukur atau malah harus merasa senang. Mengapa dia selalu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika aku berada di rumah sakit? L
"Kalau boleh mengeluh, aku lelah. Lelah dengan semua drama dalam hidup yang tak ada hentinya. Boleh 'kan jika aku menyerah dan pasrah?" 🌼🌼🌼🌼 Ah, ingatan itu kembali muncul. Aku memegangi kepalaku yang berdenyut sambil meringis karena kesakitan. Napasku tak beraturan lalu sesak. Setelah itu aku merasa seperti tercekik. Tubuhku ambruk. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Sakit sekali rasanya. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Aku sering merasa seperti ini ketika berhadapan dengan ingatan masa lalu. Dalam dadaku terasa nyeri dan sesak. Seakan dihimpit dan oksigen disekitar direbut paksa. Selalu saja seperti ini jika ingatan mengenai kak Bima dan papah lewat dikepala. Entah sejak kapan aku seperti ini, sering kesakitan dan kehabisan napas hingga terasa seperti mau mati. Tidak mungkin kan ini simulasi meninggal? Helaan napas lega keluar dari mulutku, setelah berhasil membuat napasku kembali teratur. Lenganku terulur ke arah botol minum
"Kalau sedang kasmaran, bahagia rasanya gampang. Dengar suaranya saja sudah bikin jantungan dan senyum di wajah seketika mengembang. 🌼🌼🌼 "Mah .." aku berkata lirih. Kemungkinan-kemungkinan terburuk terus menyerang di dalam kepala. Hadir begitu saja. Membuatku sedikit kewalahan dan berpikir negatif. Kak Bima pasti baik-baik saja kan? Lalu, mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku? Bukankah aku sedang menemani kak Bima menunggu ambulans? Mengapa aku sampai tidak sadarkan diri dan berakhir di rumah sakit juga? Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada hal yang aku ingat selain hal itu. "Temanmu? Ada. Kondisinya masih belum baik." Ada perasaa lega, setidaknya kak Bima masih ada dunia. Semoga keadaanya tidak separah seperti yang terlitas di kepala. Apalagi sampai kehilangan nyawa, entah bagaimana jadinya. Mengingat kejadian semalam benar-benar mengerikan. Aku masih ingat dengan jelas perbuatan mereka. Si
"Takdir senang sekali mempermainkan. Sebentar senang, tertawa riang semenit kemudian terduduk sambil menangis disudut ruangan." 🌼🌼🌼🌼 Deg! Kak Bima mencondongkan tubuhnya padaku dan menempelkam dagunya pada pundak. Aku bergeming. Kaget dengan aksinya yang begitu tiba-tiba. Meski bukan pertama kali tetap saja mampu membuatku terkejut. Kak Bima memang senang sekali membuatku jantungan. "Sebentar gini dulu." Aku mengangguk. Membiarkannya seperti ini dulu, barangkali kak Bima juga sedang membutuhkan sebuah sandaran. Tanganku hanya diam menggantung tak mampu untuk sekadar mendekap atau mengelus punggungnya seperti yang sering ia lakukan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa. Namun jika diingat, pertanyaan kenapa kadang kala tak dibutuhkan. Seperti sekarang. Apa mungkin suasana hatinya sedang buruk sama sepertiku? Tak bisa dipungkiri setiap orang menyimpan rapat segala luka-lukanya. Bermain dengan apik, bersandiwara b
"Atas semua luka dan duka yang datang menerpa. Mengapa kamu selalu menjadi orang pertama yang melihatnya?" 🌼🌼🌼🌼 Takut. Itulah yang aku rasakan saat ini. Setelah dua hari nekat kabur dari rumah dan sebelumnya terjadi pertengkaran. Belum lagi Ponsel kumatikan. Entah bagaimana jika aku sampai pulang. Mungkin aku akan benar-benar hancur di tangan papahku. Atau aku tidak pulang saja sekalian? Tapi bagaimana dengan sekolah? Aku juga tidak ingin jadi pengemis dan tinggal di pinggir jalan. Namun, bagaimana caranya pulang? Ketika aku tidak benar-benar pulang saat menujunya. Rasanya rumah itu asing. Lalu bagaimana aku menjelaskannya terkait pertengkaran tempo lalu? Aku yakin saat ini aku sedang dalam masalah besar. Lagi-lagi aku hanya mampu mendengkus kasar. Rasanya frustrasi sekali. Entahlah bagaimana nasibku selanjutnya. Malam itu aku sangat lelah dan muak. Emosiku memuncak bahkan aku tak pernah mengira opsi kabur dari rumah akan dilakukan
"Menemukanmu adalah hal istimewa. Entah bagaimana caranya kamu dikirim semesta. Satu hal yang aku ingin, mengubah hadirmu menjadi takdir."🌼🌼🌼🌼Jalanan di hadapanku tampak lengang. Aku melirik arloji yang melingkar pada pergalangan tangan. Pukul 10 malam. Helaan napas panjang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku menunduk dalam.Sekarang harus pergi ke mana? Sudah 10 menit aku berada di sini.Aku melarikan diri dari rumah. Dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuh. Tak ada barang yang aku bawa, hanya ponsel dan beberapa lembar uang yang berada di saku. Itupun cuma ada 30 ribu.Apa aku pulang saja?Tapi bagaimana mungkin aku pulang.Tubuhku rasanya lengket dan sakit sekali. Terpaan angin malam pun mampu membuatku menggigil karena hanya berbalut seragam yang tebalnya tak seberapa. Telapak tangan kugosok-gosok demi menciptakan sedikit kehangatan."Mega?"Aku menoleh menatap seseorang yang berada tiga met
"Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah lebih dari itu; ialah tempat untuk pulang segala resah, sesak juga rindu. Dan mungkin wujudnya ialah kamu." 🌼🌼🌼🌼 "Jrengg! Nyanyi kuy! Sudahi belajarmu mari bergalau bersamaku."Itu Andi, teman sekelasku. Semua orang bersorak saat ia berbicara seperti itu. "Sadboy lo, Ndi!" "Tau tuh!" "Mantan dibuang jangan dikenang!" timpal temanku yang lain. "Wadidaw! Kerad banget ucapanmu." "Nampar nggak Ndi?" Gelak tawa terdengar. Saat ini jam kosong. Sudah bukan hal yang aneh jika di isi dengan hal-hal random. Andi yang ditertawakan terlihat tak terima. "Teman-temanku yang budiman, lebih baik saya sadboy, dibanding dia yang fakboi!" Raden yang mengatakan mantan dibuang, mengumpat ke arah Andi. "Bangsat lo!" Hari ini aku memaksakan diri untuk sekolah. Karena telah absen selama 3 hari. Meski aku akui badanku masih terasa ngilu dan sakit. Menu
"Kadang kala aku membenci takdir atas diriku. Lain waktu aku bersikukuh ingin menukarnya. Namun hari ini aku ingin berdamai dengan semuanya." 🌼🌼🌼🌼 Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku. "Mega." Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku. "Ada yang kerasa sakit nggak?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars? Apa yang terjadi? Bukankah tadi aku baik-baik saja? "Kenapa gue di sini?" Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku. "Kamu nggak ingat?"