Beranda / Fiksi Remaja / Langit & Mega / 4. Manusia Aneh Bagian Ketiga

Share

4. Manusia Aneh Bagian Ketiga

"Kamu seharusnya sadar, kisah kita memang tidak pernah di mulai. Mungkin juga tak akan ada kata selesai."

🌼🌼🌼🌼

"Jadi alasannya karena ... " Langit menggantungkan kalimatnya. Aku menoleh ke arahnya sambil menahan napas. Aku dan Langit sama-sama terkejut, ketika mendapati wajah kami yang jaraknya dekat, sangat dekat.

Deg!

Mataku membulat. Ini terlalu dekat! Napasku pun terhenti dalam beberapa detik. Cepat-cepat aku segera palingkan ke arah lain.

Hening.

Ah, sial! Suasananya jadi tidak nyaman.

Agaknya, Langit juga tersentak kaget. Karena mungkin aku tiba-tiba menoleh ke arahnya tanpa permisi. Kami berdua saling diam dalam beberapa saat hingga perasaan canggung langsung menyelimuti.

Langit berderham pelan sebelum berbicara kembali. "Kamu memang tidak bisa menebaknya?" Langit malah bertanya balik sambil mencairkan suasa yang sempat aneh.

Aku mengembuskan napas kasar, sudah tadi dia menggantungkan kalimatnya, eh, malah tidak dilanjutkan.

"Kalah taruhan," kataku yang masih saja keras kepala mempertahankan asumsiku yang satu ini.

"Kok ke sana?"

"Terus? Apa?" kataku dengan tatapan mengejek. "Lo lagi gabut? Atau lagi bikin konten? Biar bisa bikin video klarifikasi kayak orang-orang?"

"Karena langit membutuhkan mega," tuturnya tiba-tiba.

Keningku mengernyit.

Mungkin sekarang di wajahku sudah tergambar tanda tanya besar. Namun, sebelum aku bertanya lagi Langit sudah kembali berbicara seolah melihat tanda tanya itu.

Langit kembali meneruskan perkataannya. "Di atas sana langit membutuhkan mega dan sama seperti aku, Meg. Aku juga begitu. Aku kira, aku membutuhkanmu juga."

"Pfftttt ..." Aku menahan tawa sebisa mungkin.

Lawak!

Ini dia kenapa ya?

Lagi gombal, kali ya?

Basi!

Tolong, ada yang bersedia bantu ajari Langit agar bisa gombal? Sepertinya dia butuh tutor.

Sepertinya, jika Sani berada di sini, dia akan menertawaiku sampai terbahak dan akan menjadi orang pertama yang tertawa dengan suara keras.

Jujur, aku geli mendengar kalimat yang dilontarkannya barusan. Kenapa ya? Malah jadi ingin tertawa. Tapi, melihat wajahnya yang tidak sedang bercanda membuatku urung. Kasihan juga kalau aku sampai tertawa terbahak-bahak. 

"Lo, betulan gila ya!" cibirku padanya.

"Lo mau gombal? Sorry nggak akan mempan," terangku kemudian sambil berlagak dengan sok-sok an.

"Nggak, nggak gombal, Meg. Memang benar begitu." Langit berusaha menyakinkanku akan kalimatnya barusan.

"Terus apa? Rayuan?" ejekku dengan senyuman sinis.

"Bukan, bukan."

"Sekarang kamu sudah tahu kan alasannya kenapa?" jelas Langit sambil atensinya terus tertuju padaku.

"Hmm, gue nggak peduli, sih." 

"Kamu nggak percaya sama kata-kata aku barusan?"

"Nggak, ngapain percaya?" 

"Kok gitu?" tanyanya seolah tidak percaya dengan jawaban yang aku lontarkan.

"Ya, memang."

"Kali ini kenapa lagi?" tanya Langit dengan wajah frustrasi.

Aku diam tak menjawab. lagi pula siapapun yang mendengar penuturan Langit barusan pasti sadar kalau dia sedang merayu, sebetulnya aku tidak peduli, sih, mengenai hal itu. Karena sedari awal memang Langit suka gombal dan modus. 

"Meg, "

Aku pura-pura tidak mendengar. Menoleh pun tidak. Sengaja diam. Tidak bersuara lagi. Karena aku sudah lelah meladeninya lalu dengan sengaja menulikan telinga. 

Langit menyikut sikutku. "Bicara dong Meg, kok kaya nggak kenal gitu."

"Ya, memangkan?" ucapku sinis sambil menatap ke arahnya.

Aku memang benar tidak mengenalnya, Langit saja yang sok-sok an mengenal perihal diriku. Aku mengenalnya saat tempo hari di koridor sekolah, saat itu pertama kalinya aku bertemu dengannya. Tidak ada lagi yang kutahu mengenai dirinya. 

Aku dan Langit masih diam, tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Lagi pula, kenapa bus ini terasa lama sekali sampainya, ya?

Hari ini ada apa, sih? Kenapa semuanya jadi terasa lambat?

"Langit Aditya." Langit tiba-tiba buka suara kembali setelah sekian lama bungkam.

Tanpa menoleh aku berkata dingin. "Udah tahu!"

"Tadi katanya nggak kenal,"

" ...."

"Jadi bagian mana yang mau kamu ketahui, Meg?"

Hening.

Aku tidak tahu harus merespons apa. Lantas menoleh ke arah lain, mengabaikan tatapannya yang masih menatap wajahku.

lagi pula siapa juga yang mau tahu tentang dia?

Kenapa juga aku harus terjebak dengan manusia aneh ini?

Boleh ngeluh tidak, sih?

"Kok, diam?"

"Ya, suka-suka dong!" kataku ngegas.

Tuh, kan! Aku memang tidak bisa ramah dengan dia.

"Masih galak aja, ya."

"Bodo amat!" kataku berdecak sambil mendelik ke arahnya.

Kalau saja aku tidak ingat kalau sekarang sedang berada di dalam bus mungkin sudah sedari tadi aku beranjak.

Kenapa dia harus duduk di sebelahku coba?

Apa ini ya yang namanya ujian? Ujian hidup lebih mengerikan, ya.

Salah apa aku sebenernya sampai harus bertemu dengan dia? 

"Tujuan lo sebenernya apa sih?" Aku bertanya lagi secara tiba-tiba, Langit tampak menoleh sambil mengernyit.

Jujur saja aku ingin tahu apa motif dia mendakati diriku. Aku ingin tahu maksud tersembunyi itu. Aku tidak mengerti mengenai kehadirannya yang langsung meluluh lantakkan kehidupanku dalam sekejap. Sebenarnya dia mau apa? Mengapa siswa pindahan yang baru tiga hari bersekolah itu langsung mendekatiku dan mengajakku berpacaran? Ini tidak logis. Bagaimana mungkin dia tahu namaku?  

Langit itu murid baru. 

Sebenarnya Langit Aditya ini siapa? 

Apa yang ini dia inginkan dariku?

Atensi Langit masih tertuju kepadaku, Langit juga menatapku dengan bingung. Entah karena pertanyaanku yang tiba-tiba atau karena pertanyaanku yang membuatnya bingung. Entahlah aku tidak tahu yang mana yang benar.

Langit sedikit meringis. Mungkin karena tidak mampu menjawab pertanyaanku barusan atau mungkin dia bosan karena sedari tadi aku terus menuduhnya yang tidak-tidak sambil menatapnya curiga.

"Dari awal gue udah nggak percaya sama lo. Terlebih gue nggak percaya sama kebetulan. Jadi, bagi gue lo tuh bener-bener mencurigakan." Aku menjeda kalimatku lantas menatapnya dengan tajam. "Karena bagi gue lo nggak mungkin tiba-tiba masuk ke kehidupan gue tanpa maksud apa-apa!" kataku dengan penuh penekanan.

Langit hanya tersenyum mendengar perkataanku barusan, penuturanku yang tiba-tiba dan tanpa diminta. 

Aku menatap tidak percaya ke arahnya. Kenapa dia itu suka sekali bersikap tenang dan tersenyum seperti itu? Menyebalkan sekali!

Aku benar-benar tidak mengerti mengenai dirinya. Aku melipat tangan di dada sambil menatap tajam menusuk ke dalam netra matanya.

"Berhenti sampai sini! Lo nggak boleh terlalu masuk jauh ke dalam kehidupan gue!" ancamku pada Langit. Netra kamu saling bertuburkan.

"Maaf, ya, karena selalu membuatmu curiga." 

"Aku nggak punya maksud apa-apa, Meg. Sungguh," jelas Langit.

Aku diam lantas berdecih. Mana mungkin Langit tidak memiliki niat tertentu, bukankah sudah jelas? Pasti ada udang di balik batu!

"Aku minta maaf, Meg. Pasti itu buat kamu tidak nyaman, ya?"

"Hmm," kataku dengan malas. 

"Pasti nggak mudah ya, Meg. Buat percaya sama aku," sambungnya lagi.

"Ya, makanya jadi orang jangan mencurigakan dong!" kataku ngegas.

"Emang segitunya, ya?"

"Iya! Pake nanya," hardikku padanya. "Lo, mau tahu alasannya kenapa?"

Langit mengangguk, penuh antusias. Terlihat dari binar matanya yang bersinar.

Aku menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara kembali.

"Pertama ... " Aku menjeda kalimatku sebentar. "Lo, itu tiba-tiba datang!" 

Aku melirik Langit yang menunggu lanjutan dari kalimatku. "Gini ya, gue nggak kenal sama lo. Gue itu kenal sama lo itu waktu lo teriak-teriak manggil-manggil nama gue dan lo nyebutin nama. Jadi, ya, nggak mungkin dong gue percaya gitu aja sama orang asing? Lo juga murid pindahan baru 3 hari. Kenapa lo bisa kenal gue dan tiba-tiba mau jadian sama gue?" 

"Nggak logis, tau!" 

Langit hanya mengangguk-ngangguk. Seperti mendengarkan sekali atau pura-pura mendengarkan, ya? Aku tidak tahu yang mana yang benar.

"Kedua, lo itu aneh. Sewaktu gue mencak-mencak atau natap lo sinis." 

Aku melihat ke arahnya sebentar dia mengakat halisnya seperti berkata 'terus'.

"Lo, malah senyum-senyum nggak jelas. Lo gila apa gimana sih?"

Langit malah balas menatapku seperti menantang sambil berkata,

"terus?"

"Lo tuh suka digituin? Atau pura-pura suka supaya maksud dan tujuan lo tercapai?"

Selalu saja, akhirnya aku menanyakan maksud dan tujuan dari dirinya itu untuk apa. Padahal tadi Langit sudah memberi tahuku soal alasannya. Yah, kalau alasan itu sih aku menolak percaya! Mana ada alasan yang seperti itu.

"Sebenernya buat apa lo ngajakin gue jadian? Lo nggak kenal gue, ngerti?!  Gue sama sekali nggak tertarik buat pacaran sama lo! Mending sekarang lo cari perempuan lain. Jangan gue." 

"Sekarang kamu jadi bawel ya, Meg. Tapi gapapa, aku nggak keberatan." 

Tubuhku mematung. Mulutku juga menganga, aku tidak percaya dengan responsnya itu. Aku mendengkus kasar lantas memalingkan wajah. Pengin baku hantam boleh tidak, sih?

"Lo tuh ..." baru saja aku hendak mengumpat ke arahnya.

"Ssstt ..." Langit mendekatkan telunjuknya ke bibirku Mengisyaratkan aku untuk diam.

Sepertinya suaraku cukup mengundang banyak pasang mata mendengar ada suara dehaman dari beberapa orang. 

"Gue capek ya harus ngeladenin lo kayak gini. Apalagi kalau harus tiap hari." Aku diam sebentar. "Lo mau gue mati muda? Gara-gara lo bikin kesel terus, hah?"

Lagi-lagi Langit hanya tersenyum, tak memedulikan ucapanku barusan. Ia merogoh sesuatu di dalam tasnya. "Nih minum, lo pasti capekkan habis marah-marah dari tadi."

Aku bergeming. Atensiku tertuju ke arahnya. Apa-apaan dia ini! Bisa-bisanya dia menyuruhku minum dalam situasi seperti ini dengan ekspresi yang begitu ... menyebalkan!

"Ayok, di minum!" pinta Langit sekali lagi sambil membuka tutup botol. "Nih!" 

Aku menatap botol dan Langit bergantian dengan ekspresi frustrasi. Ah, laki-laki ini keras kepala dan aneh.

"Gue nggak ngerti lagi sama lo!" terangku padanya. Aku menatap Langit dengan kebingungan tercetak di wajahku karena tak bisa mengerti dengan jalan pikirannya dan kelakuannya itu. "Lo, bener-bener aneh!" 

Lalu, tanpa merasa malu aku pun mengambil air mineral yang sedari tadi ia ulurkan.

"Ayok cepetan suka sama aku!" ujar Langit dengan riang tanpa beban.

Kata-katanya benar-benar kelewat santai dan meluncur begitu saja.

Air yang aku minum sontak menyembur tepat ke wajahnya.

Mataku masih terbelalak, terkejut dengan ucapannya dan juga aksi yang aku lakukan. Mulutku juga mengaga.

Langit tampak memejamkan mata, mukanya memerah. Aku menelan saliva kasar. 

Apa yang telah aku lakukan!

Netraku kembali bertemu dengannya.

"Ih, Mega jorok!" ucap Langit sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan air.

Aku hanya bisa meringis pelan sambil tersenyum malu.

Mataku awas menatap sekitar, bangku di sebrang sana sedang menatapku, keterkejutan tercetak jelas di wajahnya selain itu ekspresi yang ia munculkan juga terlihat ganjil.

Aku menepuk jidatku. Celaka! Dia tukang gosip di sekolah.

Langit di sampingku telah membersihkan air di wajahnya dan sekarang Langit tengah menatapku.

Glek!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status