🌼🌼🌼🌼
"Jadi alasannya karena ... " Langit menggantungkan kalimatnya. Aku menoleh ke arahnya sambil menahan napas. Aku dan Langit sama-sama terkejut, ketika mendapati wajah kami yang jaraknya dekat, sangat dekat.
Deg!
Mataku membulat. Ini terlalu dekat! Napasku pun terhenti dalam beberapa detik. Cepat-cepat aku segera palingkan ke arah lain.
Hening.
Ah, sial! Suasananya jadi tidak nyaman.
Agaknya, Langit juga tersentak kaget. Karena mungkin aku tiba-tiba menoleh ke arahnya tanpa permisi. Kami berdua saling diam dalam beberapa saat hingga perasaan canggung langsung menyelimuti.
Langit berderham pelan sebelum berbicara kembali. "Kamu memang tidak bisa menebaknya?" Langit malah bertanya balik sambil mencairkan suasa yang sempat aneh.
Aku mengembuskan napas kasar, sudah tadi dia menggantungkan kalimatnya, eh, malah tidak dilanjutkan.
"Kalah taruhan," kataku yang masih saja keras kepala mempertahankan asumsiku yang satu ini.
"Kok ke sana?"
"Terus? Apa?" kataku dengan tatapan mengejek. "Lo lagi gabut? Atau lagi bikin konten? Biar bisa bikin video klarifikasi kayak orang-orang?"
"Karena langit membutuhkan mega," tuturnya tiba-tiba.
Keningku mengernyit.
Mungkin sekarang di wajahku sudah tergambar tanda tanya besar. Namun, sebelum aku bertanya lagi Langit sudah kembali berbicara seolah melihat tanda tanya itu.
Langit kembali meneruskan perkataannya. "Di atas sana langit membutuhkan mega dan sama seperti aku, Meg. Aku juga begitu. Aku kira, aku membutuhkanmu juga."
"Pfftttt ..." Aku menahan tawa sebisa mungkin.
Lawak!
Ini dia kenapa ya?
Lagi gombal, kali ya?
Basi!
Tolong, ada yang bersedia bantu ajari Langit agar bisa gombal? Sepertinya dia butuh tutor.
Sepertinya, jika Sani berada di sini, dia akan menertawaiku sampai terbahak dan akan menjadi orang pertama yang tertawa dengan suara keras.
Jujur, aku geli mendengar kalimat yang dilontarkannya barusan. Kenapa ya? Malah jadi ingin tertawa. Tapi, melihat wajahnya yang tidak sedang bercanda membuatku urung. Kasihan juga kalau aku sampai tertawa terbahak-bahak.
"Lo, betulan gila ya!" cibirku padanya.
"Lo mau gombal? Sorry nggak akan mempan," terangku kemudian sambil berlagak dengan sok-sok an.
"Nggak, nggak gombal, Meg. Memang benar begitu." Langit berusaha menyakinkanku akan kalimatnya barusan.
"Terus apa? Rayuan?" ejekku dengan senyuman sinis.
"Bukan, bukan."
"Sekarang kamu sudah tahu kan alasannya kenapa?" jelas Langit sambil atensinya terus tertuju padaku.
"Hmm, gue nggak peduli, sih."
"Kamu nggak percaya sama kata-kata aku barusan?"
"Nggak, ngapain percaya?"
"Kok gitu?" tanyanya seolah tidak percaya dengan jawaban yang aku lontarkan.
"Ya, memang."
"Kali ini kenapa lagi?" tanya Langit dengan wajah frustrasi.
Aku diam tak menjawab. lagi pula siapapun yang mendengar penuturan Langit barusan pasti sadar kalau dia sedang merayu, sebetulnya aku tidak peduli, sih, mengenai hal itu. Karena sedari awal memang Langit suka gombal dan modus.
"Meg, "
Aku pura-pura tidak mendengar. Menoleh pun tidak. Sengaja diam. Tidak bersuara lagi. Karena aku sudah lelah meladeninya lalu dengan sengaja menulikan telinga.
Langit menyikut sikutku. "Bicara dong Meg, kok kaya nggak kenal gitu."
"Ya, memangkan?" ucapku sinis sambil menatap ke arahnya.
Aku memang benar tidak mengenalnya, Langit saja yang sok-sok an mengenal perihal diriku. Aku mengenalnya saat tempo hari di koridor sekolah, saat itu pertama kalinya aku bertemu dengannya. Tidak ada lagi yang kutahu mengenai dirinya.Aku dan Langit masih diam, tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Lagi pula, kenapa bus ini terasa lama sekali sampainya, ya?
Hari ini ada apa, sih? Kenapa semuanya jadi terasa lambat?
"Langit Aditya." Langit tiba-tiba buka suara kembali setelah sekian lama bungkam.
Tanpa menoleh aku berkata dingin. "Udah tahu!"
"Tadi katanya nggak kenal,"
" ...."
"Jadi bagian mana yang mau kamu ketahui, Meg?"
Hening.
Aku tidak tahu harus merespons apa. Lantas menoleh ke arah lain, mengabaikan tatapannya yang masih menatap wajahku.
lagi pula siapa juga yang mau tahu tentang dia?Kenapa juga aku harus terjebak dengan manusia aneh ini?
Boleh ngeluh tidak, sih?
"Kok, diam?"
"Ya, suka-suka dong!" kataku ngegas.
Tuh, kan! Aku memang tidak bisa ramah dengan dia.
"Masih galak aja, ya."
"Bodo amat!" kataku berdecak sambil mendelik ke arahnya.
Kalau saja aku tidak ingat kalau sekarang sedang berada di dalam bus mungkin sudah sedari tadi aku beranjak.
Kenapa dia harus duduk di sebelahku coba?
Apa ini ya yang namanya ujian? Ujian hidup lebih mengerikan, ya.
Salah apa aku sebenernya sampai harus bertemu dengan dia?
"Tujuan lo sebenernya apa sih?" Aku bertanya lagi secara tiba-tiba, Langit tampak menoleh sambil mengernyit.
Jujur saja aku ingin tahu apa motif dia mendakati diriku. Aku ingin tahu maksud tersembunyi itu. Aku tidak mengerti mengenai kehadirannya yang langsung meluluh lantakkan kehidupanku dalam sekejap. Sebenarnya dia mau apa? Mengapa siswa pindahan yang baru tiga hari bersekolah itu langsung mendekatiku dan mengajakku berpacaran? Ini tidak logis. Bagaimana mungkin dia tahu namaku?
Langit itu murid baru.
Sebenarnya Langit Aditya ini siapa?
Apa yang ini dia inginkan dariku?
Atensi Langit masih tertuju kepadaku, Langit juga menatapku dengan bingung. Entah karena pertanyaanku yang tiba-tiba atau karena pertanyaanku yang membuatnya bingung. Entahlah aku tidak tahu yang mana yang benar.
Langit sedikit meringis. Mungkin karena tidak mampu menjawab pertanyaanku barusan atau mungkin dia bosan karena sedari tadi aku terus menuduhnya yang tidak-tidak sambil menatapnya curiga.
"Dari awal gue udah nggak percaya sama lo. Terlebih gue nggak percaya sama kebetulan. Jadi, bagi gue lo tuh bener-bener mencurigakan." Aku menjeda kalimatku lantas menatapnya dengan tajam. "Karena bagi gue lo nggak mungkin tiba-tiba masuk ke kehidupan gue tanpa maksud apa-apa!" kataku dengan penuh penekanan.Langit hanya tersenyum mendengar perkataanku barusan, penuturanku yang tiba-tiba dan tanpa diminta.
Aku menatap tidak percaya ke arahnya. Kenapa dia itu suka sekali bersikap tenang dan tersenyum seperti itu? Menyebalkan sekali!
Aku benar-benar tidak mengerti mengenai dirinya. Aku melipat tangan di dada sambil menatap tajam menusuk ke dalam netra matanya."Berhenti sampai sini! Lo nggak boleh terlalu masuk jauh ke dalam kehidupan gue!" ancamku pada Langit. Netra kamu saling bertuburkan.
"Maaf, ya, karena selalu membuatmu curiga."
"Aku nggak punya maksud apa-apa, Meg. Sungguh," jelas Langit.
Aku diam lantas berdecih. Mana mungkin Langit tidak memiliki niat tertentu, bukankah sudah jelas? Pasti ada udang di balik batu!
"Aku minta maaf, Meg. Pasti itu buat kamu tidak nyaman, ya?"
"Hmm," kataku dengan malas.
"Pasti nggak mudah ya, Meg. Buat percaya sama aku," sambungnya lagi.
"Ya, makanya jadi orang jangan mencurigakan dong!" kataku ngegas.
"Emang segitunya, ya?"
"Iya! Pake nanya," hardikku padanya. "Lo, mau tahu alasannya kenapa?"
Langit mengangguk, penuh antusias. Terlihat dari binar matanya yang bersinar.
Aku menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara kembali.
"Pertama ... " Aku menjeda kalimatku sebentar. "Lo, itu tiba-tiba datang!"
Aku melirik Langit yang menunggu lanjutan dari kalimatku. "Gini ya, gue nggak kenal sama lo. Gue itu kenal sama lo itu waktu lo teriak-teriak manggil-manggil nama gue dan lo nyebutin nama. Jadi, ya, nggak mungkin dong gue percaya gitu aja sama orang asing? Lo juga murid pindahan baru 3 hari. Kenapa lo bisa kenal gue dan tiba-tiba mau jadian sama gue?"
"Nggak logis, tau!"
Langit hanya mengangguk-ngangguk. Seperti mendengarkan sekali atau pura-pura mendengarkan, ya? Aku tidak tahu yang mana yang benar.
"Kedua, lo itu aneh. Sewaktu gue mencak-mencak atau natap lo sinis."
Aku melihat ke arahnya sebentar dia mengakat halisnya seperti berkata 'terus'.
"Lo, malah senyum-senyum nggak jelas. Lo gila apa gimana sih?"
Langit malah balas menatapku seperti menantang sambil berkata,"terus?"
"Lo tuh suka digituin? Atau pura-pura suka supaya maksud dan tujuan lo tercapai?"
Selalu saja, akhirnya aku menanyakan maksud dan tujuan dari dirinya itu untuk apa. Padahal tadi Langit sudah memberi tahuku soal alasannya. Yah, kalau alasan itu sih aku menolak percaya! Mana ada alasan yang seperti itu.
"Sebenernya buat apa lo ngajakin gue jadian? Lo nggak kenal gue, ngerti?! Gue sama sekali nggak tertarik buat pacaran sama lo! Mending sekarang lo cari perempuan lain. Jangan gue."
"Sekarang kamu jadi bawel ya, Meg. Tapi gapapa, aku nggak keberatan."
Tubuhku mematung. Mulutku juga menganga, aku tidak percaya dengan responsnya itu. Aku mendengkus kasar lantas memalingkan wajah. Pengin baku hantam boleh tidak, sih?
"Lo tuh ..." baru saja aku hendak mengumpat ke arahnya.
"Ssstt ..." Langit mendekatkan telunjuknya ke bibirku Mengisyaratkan aku untuk diam.
Sepertinya suaraku cukup mengundang banyak pasang mata mendengar ada suara dehaman dari beberapa orang.
"Gue capek ya harus ngeladenin lo kayak gini. Apalagi kalau harus tiap hari." Aku diam sebentar. "Lo mau gue mati muda? Gara-gara lo bikin kesel terus, hah?"
Lagi-lagi Langit hanya tersenyum, tak memedulikan ucapanku barusan. Ia merogoh sesuatu di dalam tasnya. "Nih minum, lo pasti capekkan habis marah-marah dari tadi."
Aku bergeming. Atensiku tertuju ke arahnya. Apa-apaan dia ini! Bisa-bisanya dia menyuruhku minum dalam situasi seperti ini dengan ekspresi yang begitu ... menyebalkan!
"Ayok, di minum!" pinta Langit sekali lagi sambil membuka tutup botol. "Nih!"
Aku menatap botol dan Langit bergantian dengan ekspresi frustrasi. Ah, laki-laki ini keras kepala dan aneh.
"Gue nggak ngerti lagi sama lo!" terangku padanya. Aku menatap Langit dengan kebingungan tercetak di wajahku karena tak bisa mengerti dengan jalan pikirannya dan kelakuannya itu. "Lo, bener-bener aneh!"
Lalu, tanpa merasa malu aku pun mengambil air mineral yang sedari tadi ia ulurkan.
"Ayok cepetan suka sama aku!" ujar Langit dengan riang tanpa beban.
Kata-katanya benar-benar kelewat santai dan meluncur begitu saja.
Air yang aku minum sontak menyembur tepat ke wajahnya.Mataku masih terbelalak, terkejut dengan ucapannya dan juga aksi yang aku lakukan. Mulutku juga mengaga.Langit tampak memejamkan mata, mukanya memerah. Aku menelan saliva kasar.
Apa yang telah aku lakukan!
Netraku kembali bertemu dengannya.
"Ih, Mega jorok!" ucap Langit sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan air.
Aku hanya bisa meringis pelan sambil tersenyum malu.
Mataku awas menatap sekitar, bangku di sebrang sana sedang menatapku, keterkejutan tercetak jelas di wajahnya selain itu ekspresi yang ia munculkan juga terlihat ganjil.Aku menepuk jidatku. Celaka! Dia tukang gosip di sekolah.
Langit di sampingku telah membersihkan air di wajahnya dan sekarang Langit tengah menatapku.
Glek!
"Berhenti keras kepala, jika kamu terus memaksa bukan hanya kamu yang akan terluka tapi aku juga." 🌼🌼🌼🌼 Ini gila! "Aku nggak gila, Meg. Otakku masih berfungsi dengan baik. Jadi berhenti mengatakan aku ini gila," ucap Langit seolah mendengar suara hatiku. "Lo ..." jariku menunjuk ke arahnya sambil berkata, "nggak waras!"Ya, meskipun nggak waras sama gila sama saja, sih, ya? Aku menatap tajam ke arah Langit, masih tidak habis pikir dengan permintaannya. Karena aksiku tadi, dia memintaku untuk melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf. Alih-alih meminta hal yang normal Langit malah meminta yang aneh. Apa tidak bisa di ganti, ya? "Lo, nggak usah aneh, deh!" Langit tampak keberatan dengan ucapanku. Terlihat sekali dari ekspresi wajah yang dia tunjukkan. Langit memintaku untuk tetap jadi pacarnya dan malah memperpanjang waktu dari delapan bulan hingga aku dan dia lulus. Aku menatap ke arahnya t
Melihatmu lagi adalah suatu kemustahilan, namun jika aku bertemu lagi denganmu aku tidak tahu apakah itu sebuah keberuntungan atau malah suatu kesialan?" 🌼🌼🌼🌼 "Meg, aku mau bicara." Aku menoleh ke arah Langit dengan malas. Deg! Keningku mengernyit. Mengapa wajah Langit serius sekali?Kali ini ada apa? Tatapanku beralih memandangi sekitar. Kenapa suasana rumahku tiba-tiba ikut berubah? Apa berganti genre menjadi horor, ya? Aku bergidik ngeri, nggaklah, nggak mungkin! "Meg." Langit memandangiku dengan serius. Tidak ada muka tengil menyebalkan yang biasa dia tampilkan. Napasku tertahan seperti ada sesuatu yang menyedot pasokan oksigen di sini. Sebenarnya ada apa, sih? Terdengar suara denting jarum jam. Kami sempat bertatapan dalam beberapa detik. "Meg?" "Hmm ..." aku merespons seadanya. Sekarang perasaanku mendadak tidak enak. Sebenarnya, ada apa?
"Kebersamaan ini hanya inginmu bukan inginku atau kehendak kita bersama. Karena kamupun tau, kamu mendekat lalu hinggap bukan karena terperangkap namun karena terpikat." 🌼🌼🌼🌼 Sani kamu dimana? Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari Sani tapi nihil. Di sini dia tidak ada. Selama seminggu pikranku terganggu oleh banyak hal. Kantung mata tercetak jelas, mukaku kusut dan tak bergairah. Sungguh mengenaskan. Aku menoleh ke ambang pintu saat mendengar desas-desus yang teman-teman layangkan lalu mengembuskan napas kasar. Karena malah menemukan sosok laki-laki yang akhir-akhir ini masuk ke kehidupannku. Sering membuatku jadi termenung, merenungkan baik-baik apa langkah yang harus aku ambil. Kehadirannya benar-benar membuat hidupku berantakan. Memang benar aku tidak menyukai mereka. Karena mereka tetap mengerikan bagiku. Meskipun aku tahu, laki-laki itu tidak sama. Tidak semua mengerikan dan berbahaya. Namun, tidak ada salahnya un
"Tidak ada yang menyenangkan dari kenangan. Hadirnya pun begitu menyiksa. Jika rindu pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena kenangan bersamamu memang bukan untuk diulang hanya dikenang." 🌼🌼🌼🌼 Aku berusaha untuk menenangkan diri. Wajahku pucat masai. Bahkan tanganku sampai gemetaran. Beruntungnya teman-teman kelasku tidak ada yang menyadari hal ini, semoga saja. Karena yang aku lihat mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Atau lebih tepatnya tidak mau peduli. Sani di sampingku melihatku dengan khawatir--terlihat dari wajahnya. Aku masih tidak mampu mengatakan apapun. Karena kejadian barusan masih membuatku terkejut. Aku melangkah dengan gontai ke arah bangku mejaku setelah tadi diam mematung selama beberapa menit. Beruntung tanganku langsung ditarik oleh Sani, jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Perlakuan itu ... aku tidak mau merasakannya lagi! Tidak. Cukup. Aku tidak mau lagi merasakan perlakuan yang
"Nggak apa-apa kalau kita nggak baik-baik aja, kita cuma manusia biasa. Akui dan terima bukan menyangkal dan pura-pura bahagia!" 🌼🌼🌼🌼 Sudah seminggu sejak kejadian itu berlalu. Aku masih ingat saat Langit tertidur di sampingku, di ruangan UKS. Tidak mengira kalau dia akan datang disaat Sani kembali ke kelas. Langit benar-benar keras kepala sekali! Padahal Sani sudah menyuruh Langit agar tidak menemuiku dulu tapi tidak didengarkan olehnya. Meskipun setelah Langit bangun tak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Baik aku maupun Langit hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Mungkin, karena suasana yang begitu canggung atau mungkin karena Langit mengerti dengan keadaanku yang tidak ingin berinteraksi dulu dengan siapapun. Entahlah aku tidak tahu pastinya. Satu hal yang aku ingat betul, ekspresi wajahnya yang terkejut ketika melihat diriku yang sudah terbangun terlebih dulu. Saat itu, aku sempat bersitatap dengannya selama beberapa deti
"Bagiku hujan yang membangkitkan masa lalu itu saat hujan turun dari mataku. Saat di mana aku tak kuat lagi menahan sakit juga rindu." 🌼🌼🌼🌼 Aku menghela napas lega. Akhirnya beban dalam diriku sedikit berkurang. Meski tidak semua hal aku ceritakan pada Sani. Tapi, aku sudah cukup merasa lega. Sekarang, perasaanku jauh lebih baik daripada sebelumnya dan juga terbebas dari lebah. Ya, yang jatuh itu sarang lebah. Bisa kalian tebak bagaimana takutnya kami melihat kawanan lebah yang seperti menemukan pelaku kejahatan padahal jelas bukan kami yang menjatuhnya sarangnya. Kami berdua lari terbirit-terbirit dengan kondisi wajah yang bisa dibilang mengenaskan. Setelah menangis hingga mata bengkak, aku pergi ke toilet untuk membasuh wajah, tak memedulikan tatapan orang-orang yang keheranan. Ekspresinya, mengisyaratkan tanda tanya. Mereka seperti sedang menebak-nebak mengenai apa yang terjadi padaku. Penampilan Sani tidak lebih buruk dariku. Ma
"Debar itu menelusup masuk tanpa mengetuk. Tanpa aba-aba aku dibuat tak berdaya." 🌼🌼🌼🌼 "Mega Ayudia?" Dia membaca namaku ditag nama yang tertera di seragam. Nada bicaranya seolah bertanya. Melihat hal itu sontak membuatku terkejut dan segera menutupi tag nama itu. Karena orang yang di hadapanku sekarang adalah orang yang tak ku kenali. Dengan takut, aku memberanikan diri menatapnya. "Saya Bima." Tangannya terulur ke arahku. Aku menyambut uluran tangan itu dengan bingung. Saat itulah pertama kalinya aku mengenal kakak. Di bulan Agustus semester satu, saat aku kelas sembilan. Dia mengenalkan dirinya sambil tersenyum ramah kepadaku. Setelah itu aku hanya mengangguk dan ikut mengenalkan diri. "Mega." "Saya sering lihat kamu di sini." Eh? Dia selalu lihat aku? "Kenapa belum pulang?" Aku menatapnya dengan takut lantas menjawab ragu-ragu. "Belum mau aja, ka
"Cinta bagiku seperti pelangi, berwarna-warni. Yang hadir setelah hujan reda, seakan membasuh duka lara." 🌼🌼🌼🌼 Hari itu, aku makan es krim bersama dengan Kak Bima sambil tangannya di genggam. Tak hanya itu kak Bima sampai menukar tempat, karena banyak kendaraan yang berlalu lalang. Boleh baper tidak, sih? Kedai es krim tidak jauh dari taman ini, hanya 20 meter dari tempat kami berdiri. Saat itu kami berjalan beriringan tanpa percapakan apa-apa. Kami terbiasa diam menikmati pikiran masing-masing. Langit sore kali ini pun sama indahnya dengan kemarin. Biasanya aku akan pamit pulang, namun hari ini berbeda, kami pergi mengunjungi kedai es krim terlebih dahulu. Hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Kini di hadapanku banyak orrang-orang sedang berlalu lalang begitupula laju kendaraan. Pemandangan yang sudah tak asing di sore hari. Yap, ramainya aktivitas! Kedai di hadapanku juga tampak ramai. Kami yang baru
Seharusnya aku tahu diri, mengingat kebaikan dirimu yang senantiasa selalu mengiringi langkah kaki. Melihatmu yang dengan setia menemani. Namun, mengapa smapai saat ini aku tetap menutup hati. Bukankah kamu sudah cukup untuk menjadi arti?" 🌼🌼🌼🌼 Aku merebahkan diriku di atas tempat tidur yang beberapa hari ini tidak kutempati karena harus menginap di rumah sakit. Jika dipikir berulang kali, selama ini Langitlah yang menemani diriku mengingat mamah harus bekerja meski sesekali dia menemuiku namun tidak menginap karena harus bekerja esok paginya. Sani pun ikut menemani hanya saja tak bisa menginap atau terlalu lama, hanya bisa sampai sore. Selama ini hanya dengan Langit. Dia yang rela menunggu dan menemani meski berulang kali aku menyakiti. Rasanya aku tidak tahu diri, ya? "Mega, ini aku. Boleh masuk nggak?" "Boleh," kataku dengan sedikit berteriak. Aku belum mengubah posisi, hanya saja atensiku mengarah pada Langit yang baru saja masuk. Dia datang d
Berkali-kali aku mendapat kesempatan setelah mendorong dirimu menjauh pergi. Berkali-kali aku mendapatkan kebaikan padahal beribu-ribu kali menyakiti. Haruskah aku mulai membuka hati atau belajar tahu diri?" 🌼🌼🌼🌼 Mataku mengerjap perlahan-lahan. Deg! Ini bukan rumahku. Tanpa mengedarkan pandanganpun aku tahu ini di mana. Karena bau yang khas menguar masuk ke dalam hidung. Rumah sakit. Entah bagaimana bisa aku berujung di sini. Aku mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang memeluk lengan kananku sedang kepalanya menunduk sepertinya ia terlelap. Ah, sekarang aku tahu. Dia adalah pelaku yang membawaku ke sini. Selalu saja, dia menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana dan menjadi orang pertama yang aku lihat jika berujung di rumah sakit. Entahlah, kali ini aku tidak tahu harus bersyukur atau malah harus merasa senang. Mengapa dia selalu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika aku berada di rumah sakit? L
"Kalau boleh mengeluh, aku lelah. Lelah dengan semua drama dalam hidup yang tak ada hentinya. Boleh 'kan jika aku menyerah dan pasrah?" 🌼🌼🌼🌼 Ah, ingatan itu kembali muncul. Aku memegangi kepalaku yang berdenyut sambil meringis karena kesakitan. Napasku tak beraturan lalu sesak. Setelah itu aku merasa seperti tercekik. Tubuhku ambruk. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Sakit sekali rasanya. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Aku sering merasa seperti ini ketika berhadapan dengan ingatan masa lalu. Dalam dadaku terasa nyeri dan sesak. Seakan dihimpit dan oksigen disekitar direbut paksa. Selalu saja seperti ini jika ingatan mengenai kak Bima dan papah lewat dikepala. Entah sejak kapan aku seperti ini, sering kesakitan dan kehabisan napas hingga terasa seperti mau mati. Tidak mungkin kan ini simulasi meninggal? Helaan napas lega keluar dari mulutku, setelah berhasil membuat napasku kembali teratur. Lenganku terulur ke arah botol minum
"Kalau sedang kasmaran, bahagia rasanya gampang. Dengar suaranya saja sudah bikin jantungan dan senyum di wajah seketika mengembang. 🌼🌼🌼 "Mah .." aku berkata lirih. Kemungkinan-kemungkinan terburuk terus menyerang di dalam kepala. Hadir begitu saja. Membuatku sedikit kewalahan dan berpikir negatif. Kak Bima pasti baik-baik saja kan? Lalu, mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku? Bukankah aku sedang menemani kak Bima menunggu ambulans? Mengapa aku sampai tidak sadarkan diri dan berakhir di rumah sakit juga? Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada hal yang aku ingat selain hal itu. "Temanmu? Ada. Kondisinya masih belum baik." Ada perasaa lega, setidaknya kak Bima masih ada dunia. Semoga keadaanya tidak separah seperti yang terlitas di kepala. Apalagi sampai kehilangan nyawa, entah bagaimana jadinya. Mengingat kejadian semalam benar-benar mengerikan. Aku masih ingat dengan jelas perbuatan mereka. Si
"Takdir senang sekali mempermainkan. Sebentar senang, tertawa riang semenit kemudian terduduk sambil menangis disudut ruangan." 🌼🌼🌼🌼 Deg! Kak Bima mencondongkan tubuhnya padaku dan menempelkam dagunya pada pundak. Aku bergeming. Kaget dengan aksinya yang begitu tiba-tiba. Meski bukan pertama kali tetap saja mampu membuatku terkejut. Kak Bima memang senang sekali membuatku jantungan. "Sebentar gini dulu." Aku mengangguk. Membiarkannya seperti ini dulu, barangkali kak Bima juga sedang membutuhkan sebuah sandaran. Tanganku hanya diam menggantung tak mampu untuk sekadar mendekap atau mengelus punggungnya seperti yang sering ia lakukan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa. Namun jika diingat, pertanyaan kenapa kadang kala tak dibutuhkan. Seperti sekarang. Apa mungkin suasana hatinya sedang buruk sama sepertiku? Tak bisa dipungkiri setiap orang menyimpan rapat segala luka-lukanya. Bermain dengan apik, bersandiwara b
"Atas semua luka dan duka yang datang menerpa. Mengapa kamu selalu menjadi orang pertama yang melihatnya?" 🌼🌼🌼🌼 Takut. Itulah yang aku rasakan saat ini. Setelah dua hari nekat kabur dari rumah dan sebelumnya terjadi pertengkaran. Belum lagi Ponsel kumatikan. Entah bagaimana jika aku sampai pulang. Mungkin aku akan benar-benar hancur di tangan papahku. Atau aku tidak pulang saja sekalian? Tapi bagaimana dengan sekolah? Aku juga tidak ingin jadi pengemis dan tinggal di pinggir jalan. Namun, bagaimana caranya pulang? Ketika aku tidak benar-benar pulang saat menujunya. Rasanya rumah itu asing. Lalu bagaimana aku menjelaskannya terkait pertengkaran tempo lalu? Aku yakin saat ini aku sedang dalam masalah besar. Lagi-lagi aku hanya mampu mendengkus kasar. Rasanya frustrasi sekali. Entahlah bagaimana nasibku selanjutnya. Malam itu aku sangat lelah dan muak. Emosiku memuncak bahkan aku tak pernah mengira opsi kabur dari rumah akan dilakukan
"Menemukanmu adalah hal istimewa. Entah bagaimana caranya kamu dikirim semesta. Satu hal yang aku ingin, mengubah hadirmu menjadi takdir."🌼🌼🌼🌼Jalanan di hadapanku tampak lengang. Aku melirik arloji yang melingkar pada pergalangan tangan. Pukul 10 malam. Helaan napas panjang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku menunduk dalam.Sekarang harus pergi ke mana? Sudah 10 menit aku berada di sini.Aku melarikan diri dari rumah. Dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuh. Tak ada barang yang aku bawa, hanya ponsel dan beberapa lembar uang yang berada di saku. Itupun cuma ada 30 ribu.Apa aku pulang saja?Tapi bagaimana mungkin aku pulang.Tubuhku rasanya lengket dan sakit sekali. Terpaan angin malam pun mampu membuatku menggigil karena hanya berbalut seragam yang tebalnya tak seberapa. Telapak tangan kugosok-gosok demi menciptakan sedikit kehangatan."Mega?"Aku menoleh menatap seseorang yang berada tiga met
"Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah lebih dari itu; ialah tempat untuk pulang segala resah, sesak juga rindu. Dan mungkin wujudnya ialah kamu." 🌼🌼🌼🌼 "Jrengg! Nyanyi kuy! Sudahi belajarmu mari bergalau bersamaku."Itu Andi, teman sekelasku. Semua orang bersorak saat ia berbicara seperti itu. "Sadboy lo, Ndi!" "Tau tuh!" "Mantan dibuang jangan dikenang!" timpal temanku yang lain. "Wadidaw! Kerad banget ucapanmu." "Nampar nggak Ndi?" Gelak tawa terdengar. Saat ini jam kosong. Sudah bukan hal yang aneh jika di isi dengan hal-hal random. Andi yang ditertawakan terlihat tak terima. "Teman-temanku yang budiman, lebih baik saya sadboy, dibanding dia yang fakboi!" Raden yang mengatakan mantan dibuang, mengumpat ke arah Andi. "Bangsat lo!" Hari ini aku memaksakan diri untuk sekolah. Karena telah absen selama 3 hari. Meski aku akui badanku masih terasa ngilu dan sakit. Menu
"Kadang kala aku membenci takdir atas diriku. Lain waktu aku bersikukuh ingin menukarnya. Namun hari ini aku ingin berdamai dengan semuanya." 🌼🌼🌼🌼 Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku. "Mega." Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku. "Ada yang kerasa sakit nggak?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars? Apa yang terjadi? Bukankah tadi aku baik-baik saja? "Kenapa gue di sini?" Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku. "Kamu nggak ingat?"