🌼🌼🌼🌼
Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku.
"Mega."
Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku.
"Ada yang kerasa sakit nggak?"
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?
Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars?Apa yang terjadi?
Bukankah tadi aku baik-baik saja?
"Kenapa gue di sini?"
Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku.
"Kamu nggak ingat?"<
"Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah lebih dari itu; ialah tempat untuk pulang segala resah, sesak juga rindu. Dan mungkin wujudnya ialah kamu." 🌼🌼🌼🌼 "Jrengg! Nyanyi kuy! Sudahi belajarmu mari bergalau bersamaku."Itu Andi, teman sekelasku. Semua orang bersorak saat ia berbicara seperti itu. "Sadboy lo, Ndi!" "Tau tuh!" "Mantan dibuang jangan dikenang!" timpal temanku yang lain. "Wadidaw! Kerad banget ucapanmu." "Nampar nggak Ndi?" Gelak tawa terdengar. Saat ini jam kosong. Sudah bukan hal yang aneh jika di isi dengan hal-hal random. Andi yang ditertawakan terlihat tak terima. "Teman-temanku yang budiman, lebih baik saya sadboy, dibanding dia yang fakboi!" Raden yang mengatakan mantan dibuang, mengumpat ke arah Andi. "Bangsat lo!" Hari ini aku memaksakan diri untuk sekolah. Karena telah absen selama 3 hari. Meski aku akui badanku masih terasa ngilu dan sakit. Menu
"Menemukanmu adalah hal istimewa. Entah bagaimana caranya kamu dikirim semesta. Satu hal yang aku ingin, mengubah hadirmu menjadi takdir."🌼🌼🌼🌼Jalanan di hadapanku tampak lengang. Aku melirik arloji yang melingkar pada pergalangan tangan. Pukul 10 malam. Helaan napas panjang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku menunduk dalam.Sekarang harus pergi ke mana? Sudah 10 menit aku berada di sini.Aku melarikan diri dari rumah. Dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuh. Tak ada barang yang aku bawa, hanya ponsel dan beberapa lembar uang yang berada di saku. Itupun cuma ada 30 ribu.Apa aku pulang saja?Tapi bagaimana mungkin aku pulang.Tubuhku rasanya lengket dan sakit sekali. Terpaan angin malam pun mampu membuatku menggigil karena hanya berbalut seragam yang tebalnya tak seberapa. Telapak tangan kugosok-gosok demi menciptakan sedikit kehangatan."Mega?"Aku menoleh menatap seseorang yang berada tiga met
"Atas semua luka dan duka yang datang menerpa. Mengapa kamu selalu menjadi orang pertama yang melihatnya?" 🌼🌼🌼🌼 Takut. Itulah yang aku rasakan saat ini. Setelah dua hari nekat kabur dari rumah dan sebelumnya terjadi pertengkaran. Belum lagi Ponsel kumatikan. Entah bagaimana jika aku sampai pulang. Mungkin aku akan benar-benar hancur di tangan papahku. Atau aku tidak pulang saja sekalian? Tapi bagaimana dengan sekolah? Aku juga tidak ingin jadi pengemis dan tinggal di pinggir jalan. Namun, bagaimana caranya pulang? Ketika aku tidak benar-benar pulang saat menujunya. Rasanya rumah itu asing. Lalu bagaimana aku menjelaskannya terkait pertengkaran tempo lalu? Aku yakin saat ini aku sedang dalam masalah besar. Lagi-lagi aku hanya mampu mendengkus kasar. Rasanya frustrasi sekali. Entahlah bagaimana nasibku selanjutnya. Malam itu aku sangat lelah dan muak. Emosiku memuncak bahkan aku tak pernah mengira opsi kabur dari rumah akan dilakukan
"Takdir senang sekali mempermainkan. Sebentar senang, tertawa riang semenit kemudian terduduk sambil menangis disudut ruangan." 🌼🌼🌼🌼 Deg! Kak Bima mencondongkan tubuhnya padaku dan menempelkam dagunya pada pundak. Aku bergeming. Kaget dengan aksinya yang begitu tiba-tiba. Meski bukan pertama kali tetap saja mampu membuatku terkejut. Kak Bima memang senang sekali membuatku jantungan. "Sebentar gini dulu." Aku mengangguk. Membiarkannya seperti ini dulu, barangkali kak Bima juga sedang membutuhkan sebuah sandaran. Tanganku hanya diam menggantung tak mampu untuk sekadar mendekap atau mengelus punggungnya seperti yang sering ia lakukan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa. Namun jika diingat, pertanyaan kenapa kadang kala tak dibutuhkan. Seperti sekarang. Apa mungkin suasana hatinya sedang buruk sama sepertiku? Tak bisa dipungkiri setiap orang menyimpan rapat segala luka-lukanya. Bermain dengan apik, bersandiwara b
"Kalau sedang kasmaran, bahagia rasanya gampang. Dengar suaranya saja sudah bikin jantungan dan senyum di wajah seketika mengembang. 🌼🌼🌼 "Mah .." aku berkata lirih. Kemungkinan-kemungkinan terburuk terus menyerang di dalam kepala. Hadir begitu saja. Membuatku sedikit kewalahan dan berpikir negatif. Kak Bima pasti baik-baik saja kan? Lalu, mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku? Bukankah aku sedang menemani kak Bima menunggu ambulans? Mengapa aku sampai tidak sadarkan diri dan berakhir di rumah sakit juga? Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada hal yang aku ingat selain hal itu. "Temanmu? Ada. Kondisinya masih belum baik." Ada perasaa lega, setidaknya kak Bima masih ada dunia. Semoga keadaanya tidak separah seperti yang terlitas di kepala. Apalagi sampai kehilangan nyawa, entah bagaimana jadinya. Mengingat kejadian semalam benar-benar mengerikan. Aku masih ingat dengan jelas perbuatan mereka. Si
"Kalau boleh mengeluh, aku lelah. Lelah dengan semua drama dalam hidup yang tak ada hentinya. Boleh 'kan jika aku menyerah dan pasrah?" 🌼🌼🌼🌼 Ah, ingatan itu kembali muncul. Aku memegangi kepalaku yang berdenyut sambil meringis karena kesakitan. Napasku tak beraturan lalu sesak. Setelah itu aku merasa seperti tercekik. Tubuhku ambruk. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Sakit sekali rasanya. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Aku sering merasa seperti ini ketika berhadapan dengan ingatan masa lalu. Dalam dadaku terasa nyeri dan sesak. Seakan dihimpit dan oksigen disekitar direbut paksa. Selalu saja seperti ini jika ingatan mengenai kak Bima dan papah lewat dikepala. Entah sejak kapan aku seperti ini, sering kesakitan dan kehabisan napas hingga terasa seperti mau mati. Tidak mungkin kan ini simulasi meninggal? Helaan napas lega keluar dari mulutku, setelah berhasil membuat napasku kembali teratur. Lenganku terulur ke arah botol minum
Berkali-kali aku mendapat kesempatan setelah mendorong dirimu menjauh pergi. Berkali-kali aku mendapatkan kebaikan padahal beribu-ribu kali menyakiti. Haruskah aku mulai membuka hati atau belajar tahu diri?" 🌼🌼🌼🌼 Mataku mengerjap perlahan-lahan. Deg! Ini bukan rumahku. Tanpa mengedarkan pandanganpun aku tahu ini di mana. Karena bau yang khas menguar masuk ke dalam hidung. Rumah sakit. Entah bagaimana bisa aku berujung di sini. Aku mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang memeluk lengan kananku sedang kepalanya menunduk sepertinya ia terlelap. Ah, sekarang aku tahu. Dia adalah pelaku yang membawaku ke sini. Selalu saja, dia menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana dan menjadi orang pertama yang aku lihat jika berujung di rumah sakit. Entahlah, kali ini aku tidak tahu harus bersyukur atau malah harus merasa senang. Mengapa dia selalu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika aku berada di rumah sakit? L
Seharusnya aku tahu diri, mengingat kebaikan dirimu yang senantiasa selalu mengiringi langkah kaki. Melihatmu yang dengan setia menemani. Namun, mengapa smapai saat ini aku tetap menutup hati. Bukankah kamu sudah cukup untuk menjadi arti?" 🌼🌼🌼🌼 Aku merebahkan diriku di atas tempat tidur yang beberapa hari ini tidak kutempati karena harus menginap di rumah sakit. Jika dipikir berulang kali, selama ini Langitlah yang menemani diriku mengingat mamah harus bekerja meski sesekali dia menemuiku namun tidak menginap karena harus bekerja esok paginya. Sani pun ikut menemani hanya saja tak bisa menginap atau terlalu lama, hanya bisa sampai sore. Selama ini hanya dengan Langit. Dia yang rela menunggu dan menemani meski berulang kali aku menyakiti. Rasanya aku tidak tahu diri, ya? "Mega, ini aku. Boleh masuk nggak?" "Boleh," kataku dengan sedikit berteriak. Aku belum mengubah posisi, hanya saja atensiku mengarah pada Langit yang baru saja masuk. Dia datang d