Melihatmu lagi adalah suatu kemustahilan, namun jika aku bertemu lagi denganmu aku tidak tahu apakah itu sebuah keberuntungan atau malah suatu kesialan?"
🌼🌼🌼🌼
"Meg, aku mau bicara."
Aku menoleh ke arah Langit dengan malas.
Deg!
Keningku mengernyit. Mengapa wajah Langit serius sekali?
Kali ini ada apa?Tatapanku beralih memandangi sekitar. Kenapa suasana rumahku tiba-tiba ikut berubah?
Apa berganti genre menjadi horor, ya?
Aku bergidik ngeri, nggaklah, nggak mungkin!
"Meg." Langit memandangiku dengan serius. Tidak ada muka tengil menyebalkan yang biasa dia tampilkan.
Napasku tertahan seperti ada sesuatu yang menyedot pasokan oksigen di sini.
Sebenarnya ada apa, sih?
Terdengar suara denting jarum jam. Kami sempat bertatapan dalam beberapa detik.
"Meg?"
"Hmm ..." aku merespons seadanya. Sekarang perasaanku mendadak tidak enak.
Sebenarnya, ada apa?
"Tapi janji jangan tertawa, ya," ujarnya.
Memang ada apa, sih? Aku semakin tidak paham dengannya. Kali ini ada apa lagi? Dia mau ngelawak? Tapi, kalau itu sih berarti aku harus tertawa berarti bukan. Lalu mau apa, ya?
Langit terlihat menarik napas terlebih dulu. "Kamu tahu jalan pulang ke rumahku, nggak?"
Keningku mengernyit. "Maksud lo?"
"Aku nggak tahu jalan pulang ke rumah, Meg," tutur Langit dengan santai sampai membuatku kebingungan. Karena ekspresinya yang begitu. Sekarang ia tengah menggaruk tengkuknya.
Aku bergeming.
Langit nggak tahu jalan pulang? Terus selama ini dia pulang kemana?
Hanya ada satu kata dalam kepalaku sekarang; aneh, nggak logis!Aku menatapnya dengan selidik. "Maksud lo apaan sih? Masa iya lo gatau jalan pulang, jangan ngarang deh!"Jadi ini alasannya tidak mau pulang? Kok ingin tertawa ya. Lagian dia itu aneh, tanya jalan pulang sama seseorang yang bahkan tidak pernah mampir ke rumahnya. Memang aku pernah ke rumahnya? Kan tidak pernah, tahu alamatnya pun juga tidak.
Langit meringis pelan. "Aku baru saja pindah, Meg. Kebetulan bunda cuman kasih tahu alamatnya sebelumnya ikut ke rumah Tante sama om."
"Rumah lo pindah?"
Aku kira dia lupa dengan rumah sendiri karena itu dia tidak tahu rumahnya dimana. Lucu juga ya kalau memang begitu. Eh, tapi memang ada ya yang begitu? Masa lupa sama rumah sendiri sih.
Langit mengangguk. "Aku kan pindahan. Baru di sini, pengen mandiri.""Lo ngekost?"
"Engga kok. Bunda kasih aku rumah cuma aku aja nggak tau di mana."
"Lo gunain tuh ponsel lo yang canggih." Aku mencoba memberinya usul, siapa tahu berhasil kan?
"Mati ponselnya,"
Apalagi sekarang?!
Oke, oke. Aku akan membantunya. Demi kelangsungan hidupku yang berharga.
Dibanding Langit terus berada di sini? Hih tidak mau!
Aku berpikir sejenak, memikirkan cara yang bisa digunakan untuk hal ini. "Lo inget kontak keluarga lo nggak? Atau siapa kek yang bisa lo hubungi?"
"Ada."
"Nih ..." Aku memberikan ponselku. "Lo pake tuh!"
Dengan senang hati aku memberikannya. Aku sudah pusing melihat mukanya terus, apalagi tadi sempat terjebak di bus dengannya. Padahal wajahnya itu tampan tapi tidak membuatku jadi jinak.
Kenapa, ya?
Ah, mungkin karena aku tidak suka dengannya, aku benar-benar membencinya. Jadi wajah tampanpun tidak menolongnya. Sepertinya begitu. Ya, pasti begitu, lagi pula sejak kapan aku tertarik dengan sesuatu hanya karena fisik? Banyak yang mengecewakan kalau kita terlalu mengedepankannya.
Aku menoleh ke arah Langit yang sekarang tengah menelpon seseorang. Tidak tahu siapa. Aku juga tidak terlalu mendengarkan. Nanti Langit kira aku senang mendengar percakapan seseorang lagi, eh, tapi memang kedengaran, kok. Suara Langit besar, jadi aku bisa mendengar sedikit isi percakapannya apa.
Dari percapakannya barusan sepertinya Langit akan pulang.
Akhirnya ... aku bisa bernapas lega. Senyuman terus mengembang di wajahku."Gimana?" tanyaku basa-basi. Padahal aku tadi sempat mencuri dengar kalau Langit akan pulang. Tapi, rasanya tidak puas. Aku ingin mendengar langsung dari dirinya, bahwa ia akan pulang.
"Nanti abangku jemput. Di sini supermarket di mana, Meg?"
Akhirnya pulang juga!Aku bersorak senang dalam hati, Moodku juga langsung naik seketika setelah mendengar penuturannya barusan. Tiba-tiba saja langsung sesenang itu.
"Oh itu." Aku menjeda kalimatku sebentar, menahan sorak sorai kesenangan dalam diriku. "Dekat kok. Perlu di antar?"
Aku mengaduh dalam hati, merutuki mulutku yang bisa-bisanya mengatakan hal itu.
"Tidak apa-apa memang?"
"Lo tunggu di sini, gue ganti baju dulu." Tanpa menjawab pertanyaannya aku berkata begitu sambil beranjak pergi.
Perasaanku benar-benar senang sekarang. Padahal tadi moodku hancur, rasanya juga sebal sekali, apalagi harus melihat dan melandeni ucapannya yang benar-benar membuatku semakin dongkol.Tapi sekarang tidak lagi.
Aku menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Karena sudah tidak sabar melihat Langit pulang. Sekarang Langit tengah berada di ruang tamu sedang duduk sambil memainkan ponselku.
Ponselku?
Kenapa aku bisa lupa. Ponselku masih berada di tangannya dan sekarang sedang Langit mainkan.
Aku segera mempercepat laju langkahku lagi.
Lagi ngapain coba dia?
Tadi, aku lupa untuk memintanya kembali. Awas saja kalau dia berbuat macam-macam! Laki-laki kan suka jahil. Aku tidak mau, ya, kalau sampai dia jahili.
Tidak mau.
"Awas saja!" kataku sambil mengepalkan tangan.
Langkahku terhenti, jarakku dengannya sudah semakin dekat. Keningku mengernyit, melihat ke arahnya yang fokus menatap layar ponsel sambil menyunggingkan seulas senyum.Kenapa lagi Langit? senyum-senyum sendiri gitu.
Lihat apaan, ya?
Aku jadi penasaran dengan apa yang sedang lihat. Baru saja aku hendak merebut paksa ponselku yang berada di genggamannya Langit menoleh duluan.
Gagal.
"Sudah?" tanyanya.
"Kenapa? Lama?"
"Enggak, bentar banget malah."
Aku langsung tertuju ke arah ponsel. "Lo, liat apa barusan?"
Dengan tenang Langit menjawab, "Galeri.""Percuma, nggak ada yang aneh di sana."
"Iya. Banyaknya foto kucing. Foto kamu hanya ada beberapa. "
"Emang."
"Kamu nggak suka foto-foto, ya, Meg?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Gapapa."
"Kok, gapapa sih jawabnya?"
"Terus?"
Saat Langit hendak menjawab aku mendahuluinya, "lo mau pulang nggak sih?"
"Iya, mau kok mau." Langit berdiri dari duduknya sambil arah pandang matanya menatap ke sana kemari.
"Lagi apa sih lo? Nyari apaan di rumah gue?" Aku menatapnya curiga.
"Tante mana?" tanyanya.
Aku segera mendorong tubuhnya. "Udah, nanti aku bilang ke mamah kalau kamu pulang."
"T-tapi, aku mau pamit dulu, Meg."
Aku berdecak pelan, "mau dianter nggak sih?"
"Kalau mau cepetan," sambungku lagi. Aku sudah mulai melangkah.
"Iya, tapi kan-"
"Apa?" Aku menatap sinis ke arahnya yang masih diam saat berbalik.
"Tapi apa?" Aku bertanya kembali dengan sedikit ngegas.
Aku benar-benar hanya ingin dia pulang, kenapa susah sekali.Aku kembali ke tempat dia berdiri, lalu menariknya dengan susah."Ayo, cepett!!"
"Bentar, Meg."
"Buruan, ihh!" Aku beralih dari menarik tangannya menjadi mendorong tubuhnya karena jika di tarik aku tidak kuat, sungguh. Dia berat.
"Meg, jangan dorong-dorong, ah."
"Kenapa sih? Ini mau pamit dulu ini sama mamahmu." Langit tetap keras kepala. Matanya mengedarkan pandangan ke dalam.
Aku berdecak pelan sambil mencoba mencari cara agar dia mau cepat-cepat pulang.Tanpa berpikir panjang aku berteriak, "Mamah Langit mau pamit pulang, nih."
"Tuh udah, puas lo?" ucapku sambil menatapnya dengan kesal.
"Ah, nggak mau, Meg. Masa pamitnya gitu."
"Ih biarin, udah cepetan!"
"Enggak."
"Lo mau apa lagi sih?"
"Pamitlah."
Aku mendengkus sebal, sambil menatapnya dongkol. Susah ya, kalau Langit sudah keras kepala begini.
Beruntungnya setelah itu mamah muncul dari dalam yang langsung bergabung dengan kami. Jadi aku tidak perlu bersungut-sungut lagi.
"Eh, mau kemana ini?" Mamah bertanya ramah sambil tersenyum.
"Mau pulang, tante."
"Lho, sudah mau pulang lagi?"
"Iya tante. Habis Meganya galak."
Mamah menoleh kearahku, aku meringis sambil tersenyum kikuk.
Ni anak mulutnya kok gini banget sih?
Mau dikasih sambal?!
"Saya pamit pulang ya, tante." Langit langsung menyalami tangan kanan mamahku.
Mulai deh cari mukanya. Aku mendelik melihat kelakuannya itu.
"Kamu mau kemana, Meg?" Mamah menoleh ke arahku yang berdiri di samping Langit.
"Ini mau antar dia pulang."
"Gapapa, kan, Tante?" tanya Langit memastikan.
Mamah menepuk-nepuk bahuku. "Yasudah nanti pulangnya jangan terlalu malam, ya."
"Nggak akan lama kok mah, ke depan doang. Kasian ntar dia takut nyasar kalau nggak diantar." kataku menjelaskan takut mamah salah paham.
Merepotkan memang.
Urusan pulang saja harus berdebat dulu. Beruntungnya jarak supermarket dengan rumahku tidak terlalu jauh dengan jalan kaki saja sudah cukup dan tidak akan memakan waktu lama.
Harusnya begitu, tapi tidak tahu kalau dengan Langit. Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi: sampai dengan cepat atau menjadi lama karena pasti sepanjang jalan kita akan berdebat tanpa henti.Tadinya itu yang aku kira.Tapi, sepanjang jalan menuju supermarket Langit tidak menggangguku seperti biasa. Di sepanjang jalan dia hanya diam, tidak tahu kenapa. Tiba-tiba saja mendadak tidak banyak bicara. Sariawan mungkin, ya?
Atau sakit gigi? Sewaktu bertamu ke rumahku kan dia banyak makan-makanan manis. Siapa tahu giginya ada yang berlubang terus tersangkut. Itu bisa saja kan?
Ah, tapi lebih baik begini, tidak ada percakapan apa-apa. Hanya terdengar suara bising kendaraan dari jauh. Suasana sore hari ini juga membantu banyak, setidaknya meskipun jalanan tidak terlalu sepi. Aku jadi bebas menyaksikan langit sore, meskipun jelas senja masih lama datangnya. Tapi, langit sore kali ini juga tampak menyenangkan.
Sesekali kesiur angin juga menyapa kami berdua. Menerbangkan satu dua helai rambut. Aku suka saat-saat seperti ini. Rasanya menyenangkan. Apalagi ketika angin menerbangkan beberapa helai rambutku.
"Meg, kamu mau kemana? Kita kan sudah sampai kok masih terus jalan?"
Eh?
Langit bicara lagi? Aku kira dia mendadak bisu dan tidak akan lagi berbicara padaku.
Tadi aku terlalu menikmati suasana hingga lupa diri.
"Kok merah mukanya?"
Aku mengalihkan pandangan darinya.
Kenapa memerah ya?
"Saat malu atau gugup tubuh kita melepas hormon ardenalin. Hormon ini yang menyebabkan pembuluh darah melebar dan juga meningkatkan sirkulasi darah.
Langit diam sebentar menatapku lantas melanjutkan ucapannya lagi.
"Dan hal itu menyebabkan aliran darah ke wajah meningkat sehingga membuat pipi menjadi merona atau bahkan merah padam."
Mataku mengerjap beberapa kali dengan mulut yang menganga.Seharusnya, Langit tidak perlu menjelaskan panjang lebar begitu. Lagi pula aku tidak tahu kenapa wajahku memerah."Kamu lagi malu? Atau gugup karena kita jalan berdua?"
Aku langsung mendelik mendengar pertanyaanya barusan. Apa-apaan itu!Rasanya mual.
Ternyata Langit masih tetap sama; menyebalkan. lagi pula siapa yang gugup? Kenapa juga aku harus malu? Kan biasa saja. Tidak ada yang istimewa ataupun spesial.
"Hormon ini diatur oleh sistem saraf simpatik, Meg. Dan dia bekerja otomatis. Itu berarti tidak dikendalikan. Jadi, semu merah di pipimu itu bentuk reaksi alamiah yang tidak dikendalikan. Terjadi begitu saja ketika ada pemicunya."
Aku hanya mengangguk-ngangguk serius mendengarkan penjelasannya. Dan mulai bertanya-tanya, Kenapa Langit malah semakin membahas hal ini?
Ini kan hanya memerah biasa, bukan karena gugup ataupun malu.
"Kamu bisa pulang, sekarang," ucapnya tiba-tiba.Eh?
Aku menatapnya dengan bingung. Kernyitan sudah tercetak jelas.
"Pulang, gih." ucapnya lagi sambil mendorong tubuhku pelan.Langit beneran ngusir nih? Nggak tahu terima kasih emang! Udah di anterin juga.
Ingin sekali aku bersumpah serapah melayangkan beberapa umpatan padanya.
Menyebalkan!
Aku berlalu sambil mencak-mencak.
"Jangan ganggu gue lagi!" kataku tanpa menoleh ke arahnya dan pergi meninggalkannya sendirian.
Langit hanya terkekeh pelan melihat tingkahku barusan. Lagi pula dia itu kenapa? Tumben sekali seperti tadi. Jangan-jangan dia sudah menyerah lagi untuk dekat-dekat denganku, itu bisa saja kan ya?
Ah, biar saja. Aku tidak peduli jika hal itu terjadi.
Baru juga beberapa meter aku melangkah, aku sudah dikejutkan lagi dengan seseorang yang nampak tidak asing bagiku. Aku mengerjap beberapa kali, berharap aku salah melihat.Mataku terbalalak melihat seseorang yang tengah mengendarai motor tidak jauh dari tempatku berada. Aku bahkan kembali mengerjap kan mata beberapa kali untuk memastikan bahwa apa yang di lihat olehku itu benar adanya.
Dia menoleh ke arahku, kami bersitatap beberapa detik untuk kemudian kutepis dengan memandang ke arah lain.
Aku segera mempercepat langkah. Napasku jadi memburu. Entah kenapa rasa sesak itu kembali menyeruak. Tenggorokanku tercekat. Tanganku juga gemetaran. Saat ini aku seperti terlempar ke masa lalu.
"Nggak mungkin! Dia kan ...." ucapku dengan tercicit.
"Kebersamaan ini hanya inginmu bukan inginku atau kehendak kita bersama. Karena kamupun tau, kamu mendekat lalu hinggap bukan karena terperangkap namun karena terpikat." 🌼🌼🌼🌼 Sani kamu dimana? Aku mengedarkan pandangan ke sekitar mencari Sani tapi nihil. Di sini dia tidak ada. Selama seminggu pikranku terganggu oleh banyak hal. Kantung mata tercetak jelas, mukaku kusut dan tak bergairah. Sungguh mengenaskan. Aku menoleh ke ambang pintu saat mendengar desas-desus yang teman-teman layangkan lalu mengembuskan napas kasar. Karena malah menemukan sosok laki-laki yang akhir-akhir ini masuk ke kehidupannku. Sering membuatku jadi termenung, merenungkan baik-baik apa langkah yang harus aku ambil. Kehadirannya benar-benar membuat hidupku berantakan. Memang benar aku tidak menyukai mereka. Karena mereka tetap mengerikan bagiku. Meskipun aku tahu, laki-laki itu tidak sama. Tidak semua mengerikan dan berbahaya. Namun, tidak ada salahnya un
"Tidak ada yang menyenangkan dari kenangan. Hadirnya pun begitu menyiksa. Jika rindu pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena kenangan bersamamu memang bukan untuk diulang hanya dikenang." 🌼🌼🌼🌼 Aku berusaha untuk menenangkan diri. Wajahku pucat masai. Bahkan tanganku sampai gemetaran. Beruntungnya teman-teman kelasku tidak ada yang menyadari hal ini, semoga saja. Karena yang aku lihat mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Atau lebih tepatnya tidak mau peduli. Sani di sampingku melihatku dengan khawatir--terlihat dari wajahnya. Aku masih tidak mampu mengatakan apapun. Karena kejadian barusan masih membuatku terkejut. Aku melangkah dengan gontai ke arah bangku mejaku setelah tadi diam mematung selama beberapa menit. Beruntung tanganku langsung ditarik oleh Sani, jika tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Perlakuan itu ... aku tidak mau merasakannya lagi! Tidak. Cukup. Aku tidak mau lagi merasakan perlakuan yang
"Nggak apa-apa kalau kita nggak baik-baik aja, kita cuma manusia biasa. Akui dan terima bukan menyangkal dan pura-pura bahagia!" 🌼🌼🌼🌼 Sudah seminggu sejak kejadian itu berlalu. Aku masih ingat saat Langit tertidur di sampingku, di ruangan UKS. Tidak mengira kalau dia akan datang disaat Sani kembali ke kelas. Langit benar-benar keras kepala sekali! Padahal Sani sudah menyuruh Langit agar tidak menemuiku dulu tapi tidak didengarkan olehnya. Meskipun setelah Langit bangun tak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Baik aku maupun Langit hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Mungkin, karena suasana yang begitu canggung atau mungkin karena Langit mengerti dengan keadaanku yang tidak ingin berinteraksi dulu dengan siapapun. Entahlah aku tidak tahu pastinya. Satu hal yang aku ingat betul, ekspresi wajahnya yang terkejut ketika melihat diriku yang sudah terbangun terlebih dulu. Saat itu, aku sempat bersitatap dengannya selama beberapa deti
"Bagiku hujan yang membangkitkan masa lalu itu saat hujan turun dari mataku. Saat di mana aku tak kuat lagi menahan sakit juga rindu." 🌼🌼🌼🌼 Aku menghela napas lega. Akhirnya beban dalam diriku sedikit berkurang. Meski tidak semua hal aku ceritakan pada Sani. Tapi, aku sudah cukup merasa lega. Sekarang, perasaanku jauh lebih baik daripada sebelumnya dan juga terbebas dari lebah. Ya, yang jatuh itu sarang lebah. Bisa kalian tebak bagaimana takutnya kami melihat kawanan lebah yang seperti menemukan pelaku kejahatan padahal jelas bukan kami yang menjatuhnya sarangnya. Kami berdua lari terbirit-terbirit dengan kondisi wajah yang bisa dibilang mengenaskan. Setelah menangis hingga mata bengkak, aku pergi ke toilet untuk membasuh wajah, tak memedulikan tatapan orang-orang yang keheranan. Ekspresinya, mengisyaratkan tanda tanya. Mereka seperti sedang menebak-nebak mengenai apa yang terjadi padaku. Penampilan Sani tidak lebih buruk dariku. Ma
"Debar itu menelusup masuk tanpa mengetuk. Tanpa aba-aba aku dibuat tak berdaya." 🌼🌼🌼🌼 "Mega Ayudia?" Dia membaca namaku ditag nama yang tertera di seragam. Nada bicaranya seolah bertanya. Melihat hal itu sontak membuatku terkejut dan segera menutupi tag nama itu. Karena orang yang di hadapanku sekarang adalah orang yang tak ku kenali. Dengan takut, aku memberanikan diri menatapnya. "Saya Bima." Tangannya terulur ke arahku. Aku menyambut uluran tangan itu dengan bingung. Saat itulah pertama kalinya aku mengenal kakak. Di bulan Agustus semester satu, saat aku kelas sembilan. Dia mengenalkan dirinya sambil tersenyum ramah kepadaku. Setelah itu aku hanya mengangguk dan ikut mengenalkan diri. "Mega." "Saya sering lihat kamu di sini." Eh? Dia selalu lihat aku? "Kenapa belum pulang?" Aku menatapnya dengan takut lantas menjawab ragu-ragu. "Belum mau aja, ka
"Cinta bagiku seperti pelangi, berwarna-warni. Yang hadir setelah hujan reda, seakan membasuh duka lara." 🌼🌼🌼🌼 Hari itu, aku makan es krim bersama dengan Kak Bima sambil tangannya di genggam. Tak hanya itu kak Bima sampai menukar tempat, karena banyak kendaraan yang berlalu lalang. Boleh baper tidak, sih? Kedai es krim tidak jauh dari taman ini, hanya 20 meter dari tempat kami berdiri. Saat itu kami berjalan beriringan tanpa percapakan apa-apa. Kami terbiasa diam menikmati pikiran masing-masing. Langit sore kali ini pun sama indahnya dengan kemarin. Biasanya aku akan pamit pulang, namun hari ini berbeda, kami pergi mengunjungi kedai es krim terlebih dahulu. Hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Kini di hadapanku banyak orrang-orang sedang berlalu lalang begitupula laju kendaraan. Pemandangan yang sudah tak asing di sore hari. Yap, ramainya aktivitas! Kedai di hadapanku juga tampak ramai. Kami yang baru
"Bersama denganmu mampu menghentikkan waktu. Tiada terasa waktu bergerak tak terkira, melesat cepat membuatku terperangkap." 🌼🌼🌼🌼 Aku membaca pesan yang hanya berisi satu kata, Ayu? Mataku sempurna membulat saat membaca pesan itu. Saat ini hanya ada satu nama dalam kepalaku yang menjadi orang di balik pesan singkat ini. Tidak salah lagi, ini pasti kak Bima! Aku yakin sekali kalau ini kak Bima. Karena kak Bima satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan Ayu. Tidak ada lagi orang yang memanggilku demikian. Hanya kak Bima seorang. Aku tidak akan menyangka ia akan mengirimi pesan. Karena baru tadi sore ini kami bertukar nomor ponsel. Tanpa berpikir panjang lagi jariku menari lincah di sana, membalas pesan dari Kak Bima dengan senyum merekah dan degup yang berdetak lebih cepat dengan kalimat singkat. Iya, kak? Hanya beberapa detik tepat setelah pesan itu di kirimkan, ponselku berbunyi
"Bersamamu memang seindah itu. Mungkin aku keliru, tapi ini begitu candu." 🌼🌼🌼🌼 "Ayu!" Tangannya melambai-lambai ke arahku. "Di sini." Aku melihat kak Bima di ujung taman, senyumnya merekah. Wajahnya terlihat sangat cerah, aku pun segera mempercepat laju langkahku. Hari ini aku datang terlambat beberapa menit dari biasanya. "Udah lama, kak?" ucapku yang langsung bertanya ketika sampai di tempat kak Bima berada. "Duduk dulu," kata kak Bima sambil menunjukkan tempat untuk aku dudukki. "Nih!" Aku menatap kak Bima dengan heran. Menatap sesuatu di tangannya yang mencuri perhatianku. Halisku sudah sempurna terpaut. Coba tebak itu apa? Melihat hal itu sontak membuat kak Bima menatapku dalam beberapa detik lantas meraih tanganku tiba-tiba. "Minum dulu, Meg." "Biar nggak dehidrasi." Aku masih bergeming. Benar-benar kebingungan karena aksi kak Bima yang tiba-tiba. Tahu a
Seharusnya aku tahu diri, mengingat kebaikan dirimu yang senantiasa selalu mengiringi langkah kaki. Melihatmu yang dengan setia menemani. Namun, mengapa smapai saat ini aku tetap menutup hati. Bukankah kamu sudah cukup untuk menjadi arti?" 🌼🌼🌼🌼 Aku merebahkan diriku di atas tempat tidur yang beberapa hari ini tidak kutempati karena harus menginap di rumah sakit. Jika dipikir berulang kali, selama ini Langitlah yang menemani diriku mengingat mamah harus bekerja meski sesekali dia menemuiku namun tidak menginap karena harus bekerja esok paginya. Sani pun ikut menemani hanya saja tak bisa menginap atau terlalu lama, hanya bisa sampai sore. Selama ini hanya dengan Langit. Dia yang rela menunggu dan menemani meski berulang kali aku menyakiti. Rasanya aku tidak tahu diri, ya? "Mega, ini aku. Boleh masuk nggak?" "Boleh," kataku dengan sedikit berteriak. Aku belum mengubah posisi, hanya saja atensiku mengarah pada Langit yang baru saja masuk. Dia datang d
Berkali-kali aku mendapat kesempatan setelah mendorong dirimu menjauh pergi. Berkali-kali aku mendapatkan kebaikan padahal beribu-ribu kali menyakiti. Haruskah aku mulai membuka hati atau belajar tahu diri?" 🌼🌼🌼🌼 Mataku mengerjap perlahan-lahan. Deg! Ini bukan rumahku. Tanpa mengedarkan pandanganpun aku tahu ini di mana. Karena bau yang khas menguar masuk ke dalam hidung. Rumah sakit. Entah bagaimana bisa aku berujung di sini. Aku mengalihkan pandangan, menatap seseorang yang memeluk lengan kananku sedang kepalanya menunduk sepertinya ia terlelap. Ah, sekarang aku tahu. Dia adalah pelaku yang membawaku ke sini. Selalu saja, dia menjadi orang pertama yang menghancurkan rencana dan menjadi orang pertama yang aku lihat jika berujung di rumah sakit. Entahlah, kali ini aku tidak tahu harus bersyukur atau malah harus merasa senang. Mengapa dia selalu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika aku berada di rumah sakit? L
"Kalau boleh mengeluh, aku lelah. Lelah dengan semua drama dalam hidup yang tak ada hentinya. Boleh 'kan jika aku menyerah dan pasrah?" 🌼🌼🌼🌼 Ah, ingatan itu kembali muncul. Aku memegangi kepalaku yang berdenyut sambil meringis karena kesakitan. Napasku tak beraturan lalu sesak. Setelah itu aku merasa seperti tercekik. Tubuhku ambruk. Aku terhuyung dan jatuh ke lantai. Sakit sekali rasanya. Kejadian ini bukan pertama kalinya. Aku sering merasa seperti ini ketika berhadapan dengan ingatan masa lalu. Dalam dadaku terasa nyeri dan sesak. Seakan dihimpit dan oksigen disekitar direbut paksa. Selalu saja seperti ini jika ingatan mengenai kak Bima dan papah lewat dikepala. Entah sejak kapan aku seperti ini, sering kesakitan dan kehabisan napas hingga terasa seperti mau mati. Tidak mungkin kan ini simulasi meninggal? Helaan napas lega keluar dari mulutku, setelah berhasil membuat napasku kembali teratur. Lenganku terulur ke arah botol minum
"Kalau sedang kasmaran, bahagia rasanya gampang. Dengar suaranya saja sudah bikin jantungan dan senyum di wajah seketika mengembang. 🌼🌼🌼 "Mah .." aku berkata lirih. Kemungkinan-kemungkinan terburuk terus menyerang di dalam kepala. Hadir begitu saja. Membuatku sedikit kewalahan dan berpikir negatif. Kak Bima pasti baik-baik saja kan? Lalu, mengapa aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku? Bukankah aku sedang menemani kak Bima menunggu ambulans? Mengapa aku sampai tidak sadarkan diri dan berakhir di rumah sakit juga? Apa yang terjadi? Mengapa tidak ada hal yang aku ingat selain hal itu. "Temanmu? Ada. Kondisinya masih belum baik." Ada perasaa lega, setidaknya kak Bima masih ada dunia. Semoga keadaanya tidak separah seperti yang terlitas di kepala. Apalagi sampai kehilangan nyawa, entah bagaimana jadinya. Mengingat kejadian semalam benar-benar mengerikan. Aku masih ingat dengan jelas perbuatan mereka. Si
"Takdir senang sekali mempermainkan. Sebentar senang, tertawa riang semenit kemudian terduduk sambil menangis disudut ruangan." 🌼🌼🌼🌼 Deg! Kak Bima mencondongkan tubuhnya padaku dan menempelkam dagunya pada pundak. Aku bergeming. Kaget dengan aksinya yang begitu tiba-tiba. Meski bukan pertama kali tetap saja mampu membuatku terkejut. Kak Bima memang senang sekali membuatku jantungan. "Sebentar gini dulu." Aku mengangguk. Membiarkannya seperti ini dulu, barangkali kak Bima juga sedang membutuhkan sebuah sandaran. Tanganku hanya diam menggantung tak mampu untuk sekadar mendekap atau mengelus punggungnya seperti yang sering ia lakukan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa. Namun jika diingat, pertanyaan kenapa kadang kala tak dibutuhkan. Seperti sekarang. Apa mungkin suasana hatinya sedang buruk sama sepertiku? Tak bisa dipungkiri setiap orang menyimpan rapat segala luka-lukanya. Bermain dengan apik, bersandiwara b
"Atas semua luka dan duka yang datang menerpa. Mengapa kamu selalu menjadi orang pertama yang melihatnya?" 🌼🌼🌼🌼 Takut. Itulah yang aku rasakan saat ini. Setelah dua hari nekat kabur dari rumah dan sebelumnya terjadi pertengkaran. Belum lagi Ponsel kumatikan. Entah bagaimana jika aku sampai pulang. Mungkin aku akan benar-benar hancur di tangan papahku. Atau aku tidak pulang saja sekalian? Tapi bagaimana dengan sekolah? Aku juga tidak ingin jadi pengemis dan tinggal di pinggir jalan. Namun, bagaimana caranya pulang? Ketika aku tidak benar-benar pulang saat menujunya. Rasanya rumah itu asing. Lalu bagaimana aku menjelaskannya terkait pertengkaran tempo lalu? Aku yakin saat ini aku sedang dalam masalah besar. Lagi-lagi aku hanya mampu mendengkus kasar. Rasanya frustrasi sekali. Entahlah bagaimana nasibku selanjutnya. Malam itu aku sangat lelah dan muak. Emosiku memuncak bahkan aku tak pernah mengira opsi kabur dari rumah akan dilakukan
"Menemukanmu adalah hal istimewa. Entah bagaimana caranya kamu dikirim semesta. Satu hal yang aku ingin, mengubah hadirmu menjadi takdir."🌼🌼🌼🌼Jalanan di hadapanku tampak lengang. Aku melirik arloji yang melingkar pada pergalangan tangan. Pukul 10 malam. Helaan napas panjang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku menunduk dalam.Sekarang harus pergi ke mana? Sudah 10 menit aku berada di sini.Aku melarikan diri dari rumah. Dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuh. Tak ada barang yang aku bawa, hanya ponsel dan beberapa lembar uang yang berada di saku. Itupun cuma ada 30 ribu.Apa aku pulang saja?Tapi bagaimana mungkin aku pulang.Tubuhku rasanya lengket dan sakit sekali. Terpaan angin malam pun mampu membuatku menggigil karena hanya berbalut seragam yang tebalnya tak seberapa. Telapak tangan kugosok-gosok demi menciptakan sedikit kehangatan."Mega?"Aku menoleh menatap seseorang yang berada tiga met
"Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah lebih dari itu; ialah tempat untuk pulang segala resah, sesak juga rindu. Dan mungkin wujudnya ialah kamu." 🌼🌼🌼🌼 "Jrengg! Nyanyi kuy! Sudahi belajarmu mari bergalau bersamaku."Itu Andi, teman sekelasku. Semua orang bersorak saat ia berbicara seperti itu. "Sadboy lo, Ndi!" "Tau tuh!" "Mantan dibuang jangan dikenang!" timpal temanku yang lain. "Wadidaw! Kerad banget ucapanmu." "Nampar nggak Ndi?" Gelak tawa terdengar. Saat ini jam kosong. Sudah bukan hal yang aneh jika di isi dengan hal-hal random. Andi yang ditertawakan terlihat tak terima. "Teman-temanku yang budiman, lebih baik saya sadboy, dibanding dia yang fakboi!" Raden yang mengatakan mantan dibuang, mengumpat ke arah Andi. "Bangsat lo!" Hari ini aku memaksakan diri untuk sekolah. Karena telah absen selama 3 hari. Meski aku akui badanku masih terasa ngilu dan sakit. Menu
"Kadang kala aku membenci takdir atas diriku. Lain waktu aku bersikukuh ingin menukarnya. Namun hari ini aku ingin berdamai dengan semuanya." 🌼🌼🌼🌼 Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku. "Mega." Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku. "Ada yang kerasa sakit nggak?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars? Apa yang terjadi? Bukankah tadi aku baik-baik saja? "Kenapa gue di sini?" Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku. "Kamu nggak ingat?"