Beranda / Fiksi Remaja / Langit & Mega / 1. Awal Kehancuran

Share

Langit & Mega
Langit & Mega
Penulis: Saffanaini

1. Awal Kehancuran

 "Aku tidak  akan membiarkan siapapun masuk meski mengetuk. Siapapun kamu, jangan coba-coba menelusup! Barang sejengkal, aku tak akan tinggal diam."

🌼🌼🌼🌼

Aku melangkah dengan tenang, memasuki koridor sekolah yang sudah mulai ramai. Kini sudah banyak orang yang berdatangan, terdengar dari obrolan ringan yang memenuhi koridor disusul dengan suara derap langkah kaki.

Sesekali, aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Mencari temanku-Sani. Namun tiba-tiba saja earphone yang menempel di telinga kanan dilepas oleh seseorang.

Langkahku terhenti.

Aku bisa melihatnya, seseorang dengan dinginnya memakai earphone milikku.

Kini tatapanku bertumpu padanya. Dia balas menatap dengan senyuman lebar. Tampak seperti tidak pernah melakukan apa-apa.

"Lagunya enak, ya?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menatap name tag pada bajunya yang bertuliskan Langit Aditya. Lantas tatapanku beralih padanya dan dengan gerakan cepat kurebut paksa earphone  milikku yang terpasang cantik di telinga Langit.

"Aduh!" 

Aku hanya memutar bola mata dengan malas ke arah Langit sambil melewatinya begitu saja, ketika Langit mengaduh karena aku mengambil alih earphone.

"Mega tunggu!"

Aku menghentikkan langkah. Halisku bertaut saat menoleh ke arahnya.

Laki-laki bernama Langit itu tersenyum lebar. Aku  hanya menatap ke arahnya sebentar lalu mempercepat laju langkah karena sudah banyak pasang mata yang menatapku sekarang. Meninggalkannya pergi. 

Firasatku mengatakan bahwa hal buruk akan terjadi.

"Mega Ayudia!"

Tuh, kan! Baru juga aku bicara begitu.

Sebenarnya dia mau apa?

Aku sama sekali tidak tertarik untuk meresponsnya. Lebih memilih untuk kembali melangkah. Lagi pula kelasku masih jauh. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu dengan percuma di sini. Apalagi hanya untuk menjadi bahan tontonan dan gosip orang-orang. Idih! Malas sekali.

"Mega tunggu!" Suaranya kembali memecah koridor yang ramai.

Sebetulnya mau apa dia? Modus?

Langkahku terhenti. Aku harus segera meresponsnya! Dibanding dia berseru lebih keras dan membuat semakin banyak pandangan yang bertumpu ke arah sini. Aku tidak ingin pagiku rusak karena dia membuat keributan.

Dengan malas, aku membalikkan tubuh lalu menatapnya sambil melotot.

 "Apa?" seruku galak.

Langit tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Langit Aditya." Dia menjeda kalimatnya sebentar. "Diingat ya, Meg!" 

Aku bergeming. Menatap heran ke arah laki-laki yang bernama Langit itu.

Ngajak kenalan? Tumben nggak ada acara salaman?

"Dadah, Mega! Nanti kita ketemu lagi, ya!" katanya sambil berlalu pergi meninggalkanku yang keheranan melihatnya berlalu sambil melambaikan tangan.

Aku bergidik ngeri sambil berdecak pelan. "Nggak waras!"

"Dasar aneh!" kataku lagi sambil bersungut-sungut ke arahnya dan melangkah kembali. Desas-desus mulai terdengar di sekitarku. Setelah ini aku yakin akan banyak orang yang memperbincangkan diriku. Lihat saja sekarang, karena ucapannya barusan telah mengundang banyak pasang mata yang keheranan belum lagi orang-orang yang berusaha mencuri dengar percakapan kami.

Aku kira akan ada adegan seperti di drama-drama atau novel!

Aku kembali memakai earphone.  Malas mendengarkan desas-desus yang tidak berguna itu. Lantas melangkah dengan tenang menuju kelas. Menghiraukan semua pasang mata yang masih mengintip penasaran dan mencoba untuk tidak peduli sedikit pun.

Mengabaikan fakta bahwa napasku kian memburu dan menderu melihat tatapan dan desas-desus yang dilayangkan. Mengingat hal ini pernah terjadi. Ya, ini bukan pertama kalinya untukku. Walau begitu bukan berarti aku terbiasa. 

Aku mencoba mengatur napas dan fokus. Baik, sekarang aku harus kembali ke kelas!

Siapa katanya? Langit Aditya. Ah, aku benar-benar tidak mengenalnya.

🌼🌼🌼🌼

"Tadi pagi, Langit beneran ngajak lo kenalan, Meg?"

Sani menatapku seperti meminta penjelasan. Aku hanya menatapnya datar sambil menyuapkan bakso ke mulut lantas mengangguk pelan.

Saat ini aku sedang istirahat bersama Sani. Kejadian tadi pagi membuat Sani tidak berhenti bertanya padaku perihal kejadian antara aku dengan Langit secara rinci. Selain Sani masih banyak juga orang-orang yang penasaran. Sampai-sampai aku pusing mendengar pertanyaan itu berulang-ulang kali. 

"Serius?" Seperti tidak percaya dengan ucapannku, Sani bertanya mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Kenapa memang?" tanyaku yang sama sekali tidak  tertarik dengan perkenalan tadi dan lebih tertarik dengan kuah bakso di hadapanku sekarang. Kuah ini benar-benar terlihat lezat.

Lagi pula siapa dia? Tidak jelas. Tiba-tiba datang, memperkenalkan diri.

Kan tidak jelas, hanya memberitahu nama. Buat apa coba? Biar terkenal?

"Gila, gila! Dia itu murid pindahan yang baru 3 hari itu, kan? Kok bisa ya, Meg?" tanya Sani keheranan, matanya tampak berbinar. "Yang ngajak kenalan sama lo beneran Langit Aditya, kan?"

Aku mengangguk, membenarkan ucapannya, selain fakta bahwa dia adalah murid baru. Pantas saja aku tidak mengenalinya. Lalu mengapa siswa baru itu langsung mengajakku berkenalan? 

"San, gue nggak lagi nggak mau bahas. Serius, deh. Gue lagi mau makan bakso dengan tenang!" terangku pada Sani.

Sani di hadapanku terlihat antusias dengan kejadian tadi pagi. Aku tidak tertarik dengan perkenalan itu dan lagi rasanya mustahil jika memang tidak ada maksud dan tujuan tertentu. Entah mengapa sulit sekali bagiku mempercayai laki-laki. Apalagi dia yang terang-terangan berlaku begitu. Mereka terlihat baik di awal. Aku selalu percaya bahwa semua laki-laki di dunia ini berpeluang besar menjadi seorang yang berengsek. Bagiku, laki-laki adalah satu hal yang harus aku hindari dan abaikan keberadaannya terkhusus yang usianya terpaut tidak jauh dariku. Aku harus berhati-hati terhadap mereka! 

"San, berhenti natap gue kaya gitu!" Aku menjeda kalimatku sebelum menyuapkan bakso. "Berasa penjahat gue karena ditatap gitu sama lo."

Aku yang tidak terbiasa ditatap penuh selidik, karena itu aku keberatan dengan tatapan Sani barusan.

"Ck, sorry. Lagian lo juga sih, bikin gue penasaran tahu nggak!"

"Jadi lo nggak tahu, nih, kenapa Langit ngajak lo kenalan?" tanya Sani sekali lagi.

"Ya, enggak lah, San. Iseng doang palingan. Lagian lo kenapa, sih? Kok, kepo banget?" sindirku padanya. 

"Tadi itu bukan perkenalan tapi permulaan."

Itu bukan suaraku juga bukan suara Sani. Tapi, sepertinya suara itu tidak asing di telinga. Aku mengaduk-ngaduk kuah bakso sambil berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ngingat siapa pemilik suara ini. Rasanya suara ini pernah aku dengar. Tapi dimana, ya? 

"Meg, Mega!" Sani berseru pelan sambil menyikut lenganku.

"Apaan, sih?" aku bertanya malas. Tumben sekali Sani main kode-kodean denganku.

Dipenghujung mata, aku bisa melihat seorang manusia tengah berdiri disebelahku dengan santai.

Dan, ya, kalian pasti bisa menebaknya, kan?

Itu Langit!

Apa lagi sekarang?

Entah sejak kapan manusia aneh itu sudah berada di antara kami.

Tidak tahu kapan datangnya dan dari mana. Tiba-tiba saja sudah berdiri dengan kokoh. Bahkan aku benar-benar tidak menyadarinya jika tidak diberi tahu Sani.

"Kenapa? kaget, ya?" Menyadari aku tidak meresponsnya, Langit buka suara.

Aku balas menatapnya dengan galak sambil menggeleng dengan tegas. "Nggak!"

Langit terkekeh pelan lantas bertanya. "Duduk di sini boleh, kan?"

Aku menoleh, menatapnya dengan mata memicing. Apa tadi dia bilang? Mau duduk di sini? satu kata yang terpikirkan olehku; modus!

Tatapanku masih tertuju ke arahnya dengan tajam yang malah mendapatkan senyum simpul darinya.

"Duduk aja, gapapa kok. Ini tempat umum juga."

Jelas itu bukan suaraku, itu ... Sani!

Mataku mengerling ke arahnya, kenapa juga Sani mengizinkan Langit duduk di sini? kan dia tahu aku alergi dengan laki-laki modus seperti Langit. Rasanya jadi ingin mengajak baku hantam. Eh, tidak, deh, nanti aku jadi terlihat perempuan bar-bar. Awas saja kalau dia sampai berbuat macam-macam!

lagi pula, aku tidak begitu peduli dengan yang laki-laki bernama Langit. Sama sekali tidak tertarik. Bagiku semua laki-laki itu sama; mengerikan.

"Sani kok lo izinin dia duduk di sini, sih?" protesku tidak terima. 

Sani hanya tersenyum sebagai jawaban setelah itu pandanganku beralih ke arah Langit. "Lo juga kenapa duduk di sini? Sengaja?" 

"Semesta lagi berbaik hati padaku, Meg. Makanya dia buat penuh kantin ini dan membuat satu-satunya bangku kosong tepat di sebelahmu. Agar aku bisa duduk denganmu."

Uhuk-uhuk! Aku tersedak mendengar kalimatnya barusan. Langit benar-benar membuatku mual. 

Langit betulan nggak waras!

Sani di sampingku sudah manahan tawanya. Aku melirik Sani galak. Melihat hal itu Sani hanya menaikkan halisnya sebentar lantas tidak mengidahkan tatapanku barusan.

"Kalau makan tuh pelan-pelan," katanya sambil menyodorkan minuman ke arahku.

Mataku mendelik ke arahnya. Sungguh, aku tidak tertarik dengan minuman yang Langit berikan.

"Kalau kamu memang nggak suka sama aku, gapapa Meg. Tapi, kalau minuman yang kamu tolak barusan kan tidak salah apa-apa. Dia tidak ada sangkut pautnya sama aku."

Aku menghela napas dalam lalu menatapnya dengan tajam sambil meraih minuman yang sudah Langit buka tutupnya dan meminumnya  hingga tersisa setengah.

"Puas lo?" kataku mulai bersungut-sungut. "Lagian lo gombalnya nggak ngalus, frontal banget, jijik!" 

"Berarti kalau ngalus banget, bisa dong?"

"Nggak lah!" seruku pada Langit yang sekarang sedang menatapku sambil tersenyum. "Kenapa, sih, lo?

"Cantik."

Aku bergidik ngeri mendengar Langit mengatakan hal itu. 

"Sialan!" umpatku padanya. Bukannya tersanjung aku malah mual. 

Apa karena efek jomblo?

 

Sani di sebelahku tertawa. Mungkin karena ekspresi sebalku atau entahlah apa yang lucu aku malah jengkel setengah mati. Apalagi sekarang kami sedang berada di kantin yang ramai. Aku mencoba kembali fokus dengan kuah bakso. Namun, entah mengapa tiba-tiba suasana kantin ini mendadak berubah. Dari yang aku rasakan, kini banyak pasang mata yang sedang menatap ke arah sini juga suara desas-desus yang memenuhi telinga. 

Aku mendengkus kasar, jari-jemari tanganku aku ketuk-ketukkan dengan tempo cepat ke meja. Pandanganku menatap sekitar dengan awas. Tatapan itu ... suara desas-desus itu, membuatku ketakutan. Aku benci dengan tatapan yang mereka layangkan! Aku benci juga benci dengan desas-desus yang memenuhi telinga juga pikiranku! 

Hari ini sudah dua kali kejadian seperti ini. Aku tidak kuat. Peluh di dahi mulai bercucuran, aku menggigit bibirku berusaha untuk biasa saja, raca cemas mulai menyelimuti. Sani di sebelahku menoleh, dari tatapannya ia seperti berkata 'ada apa?' Yang mampu aku jawab dengan gelengan kepala.

Di hadapanku, masih ada Langit. Pasti gara-gara hal ini! Karena Langit bersama denganku. Saat ini Langit sedang menatap ke arahku dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya.

Mengapa Langit masih bisa tersenyum?

Ekspresi wajahnya juga tenang sekali padahal saat ini jelas-jelas Langit sedang dipergunjingkan orang-orang. Tampaknya Langit tidak terganggu sama sekali, padahal tatapan dan desas-desus itu semakin menjadi. Bahkan ada yang terang-terangan mencibir secara langsung. 

Selera makanku turun seketika. Ah, perasaan seperti ini aku pernah merasakannya. Aku tidak ingin lagi merasakan hal yang sama. Tidak. Sudah cukup! Aku ingin kehidupan SMA-ku normal.

Bisa tolong hentikan? 

"Meg, pulang nanti bareng ya!" 

Aku menatap ke arah Langit tidak percaya dengan apa yang ia katakan barusan lalu berkata dengan galak. "Nggak!"

Langit terkekeh lalu kembali berkata, "yaudah, kalau gitu besok berarti."

"Mending gue nggak pulang sekalian!"

"Kalau gitu biar nanti ditemenin kalau nggak mau pulang."

Aku menatapnya semakin galak. "Kok lo maksa banget, sih?"

Sebenarnya tujuannya itu untuk apa?

Aku berbuat dosa apa? sampai Langit datang ke dalam kehidupannku. Aku tidak ingin kehidupan SMA-ku hancur. Tidak. Aku ingin kehidupan sekolahku kali ini normal dan tenang.

Kursi di depanku tiba-tiba berdecit pelan, Langit tengah bangkit dari duduknya. Aku menatapnya sekilas sambil memicing sedikit penasaran dengan apa yang akan ia lakukan.

"Halo teman-teman SMA Dermaga Hati. Perkenalkan saya Langit. Jika kalian sebegitu ingin tahunya soal kejadian tadi pagi." Langit menjeda kalimatnya dia melirikku sebentar. "Saya dan Mega sudah jadian!" 

Mataku melebar. Aku mendongak ke arahnya dengan tatapan tidak percaya. "A-apa? Jadian?" 

Langit kembali duduk, dia menatapku sambil tersenyum lantas mengangguk, membenarkan ucapannya. "Mulai sekarang, kita jadian!" 

Mataku terbelalak tidak percaya, Sani di sebelahku sama terkejutnya. Mulutku menganga. Kantin yang tadinya riuh hening seketika.

"Lo gila, ya!" geramku padanya.

Langit mendekat, jarak kami semakin tipis, ia mencondongkan tubunya ke arahku. 

Ini terlalu dekat! Mataku sedikit melebar, terkejut dengan aksi yang Langit lakukan.

"Aku tau kamu ini terlalu tiba-tiba tapi mulai hari ini kita resmi jadian." Langit berkata dengan lembut sekali sambil di akhiri dengan senyuman simpul yang membuatku merinding. 

Kantin, kembali  riuh kembali dengan banyak sahutan ke arah mejaku. Aku menelan saliva kasar. Sial. Nggak bisa dibiarkan!

"Nggak bisa!" Aku menggebrak meja lantas menatapnya tajam, "lo nggak bisa seenaknya bilang kalau kita jadian. Emang gue suka sama lo?"

Lagi-lagi Langit tersenyum. "Mungkin untuk saat ini belum tapi nanti kamu pasti suka."

"Kamu harus coba dulu. Jadian sama aku nggak seburuk itu, kamu bisa coba selama delapan bulan," sambung Langit.

Saat ini hanya satu hal yang aku tau; doaku untuk hidup tenang tidak terkabul dan kehidupan SMA-ku hancur seketika.

Aku, Mega Ayudia, seorang siswi yang tidak terkenal tiba-tiba berpacaran dengan cowok populer pindahan yang aneh bernama Langit Aditya dan mulai hari ini kehidupan SMA-ku sepertinya tidak berjalan sesuai dengan apa yang telah aku rencanakan.

Lututku mendadak lemas, aku menatap Langit dengan wajah frustrasi, "lo kenapa mau sama gue sih? Nggak laku, ya, lo? Visual lo tuh ganteng kali, ngapain pacarin gue yang burik? Mau bikin gue insecure, hah?!" 

"Meg, bukannya lo harus bersyukur, ya? Karena bisa jadian sama orang ganteng," tanya Sani pelan namun masih bisa terdengar olehku.

Aku menghela napas panjang. "Seharusnya gitu, tapi maaf banget, deh, lo mah gue skip!" ujarku sambil menunjuk ke arah Langit dengan dagu.

"Jelek-jelek gini gue pemilih, jadi kalau lo mau tebar pesona jangan sama gue. Gue nggak mempan sama tampang lo yang menawan itu!"

Langit hanya terkekeh pelan mendengar penuturanku barusan.

Aku menendang kaki Langit di bawah meja karena masih tidak terima dengan pernyataannya yang tadi dan juga menyalurkan kekesalanku padanya. "Ngapain, sih, pake jadian sama gue?"

Langit menggaruk tengkuknya sambil ekspresinya terlihat malu-malu. "Ya, karena suka, Meg."

Aku menatap ke arahnya dengan tatapan meremehkan. "Suka lo bilang?  Kita aja baru ketemu."

"Kamu pernah dengar teori jatuh cinta pada pandangan pertama?"

Aku berdecih lantas menatap Langit galak. "Gue nggak percaya. Lagian cepet banget lo bilang suka kayak nggak ada prosesnya!" 

Langit bungkam.

Atensiku masih tertuju pada Langit. "Sejenis buaya kan, lo?"

Tak ada jawaban.

Kini tatapanku beralih ke arah dua perempuan yang tiba-tiba saja menghampiri mejaku. Mereka menatap kami bergantian. 

Apalagi sekarang?

"Gue kira selera lo tuh tinggi ternyata rendah, ya!" Salah satu dari mereka yang berambut panjang sepinggang menunjuk ke arah Langit. Lalu tatapannya beralih padaku. "Ternyata lo sukanya sama cewek kayak ginian, cih!"

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status