Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya.
Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
"Kenapa?" bibirnya bergetar, ia tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang kian dalam. Dalam satu hari ia harus mendapat luka dari dua orang yang begitu ia sayangi.
"Apa salahku, Tuhan?"
Semesta bagaikan mengejek, ia tidak pernah menyangka mempercayai seseorang dengan cara yang membabi buta dapat menorehkan luka yang teramat dalam.
Kreet.
Pintu terbuka, seorang pria paruh baya menatapnya sendu. Raut wajah yang terbiasa cerah kini terlihat begitu kusut. Tatapan mereka bertemu, pria paruh baya itu hanya bisa tersenyum simpul menampilkan sosok tegar yang mungkin bisa membantu putri satu-satunya.
"A-Ayah,"
Tuan Hermansyah mendekati puterinya mengelus pucuk rambut dan memeluknya dalam kesunyian malam. Ia juga hancur, harga diri dan kepercayaan yang ia berikan runtuh begitu saja. Marah, kecewa, sedih kini bercampur menjadi satu terlebih melihat putrinya hancur hatinya semakin teriris. Ia selalu memperlakukan Nara bagaikan tuan putri, menjaganya agar tidak pernah tersakiti tapi semua itu seolah lenyap begitu saja hanya karena seorang pemuda berengsek yang begitu ia percaya.
Malam itu saat ia melihat puterinya terdiam seraya menitihkan air mata sesampainya gadis itu di rumah. Nara memilih masuk ke dalam kamar tanpa menjelaskan apa pun. Bi Inem yang menjelaskan semuanya, menceritakan apa yang Nara lihat di apartemen laki-laki bajingan itu. Marah? Tentu! Tapi kemarahan yang sempat ia tahan kini berubah menjadi kehancuran. Hancur melihat sang puteri menangis dengan tatapan kosong tanpa jiwa di dalamnya. Ia bagaikan cangkang yang kosong.
"Ayah, katakan apa salah Nara?"
Lagi, pertanyaan itu mengusik relung hatinya. Ia menggigit bibir kencang mencoba menahan isak tangis yang mungkin saja keluar. Suara parau Nara membangunkan sesal di hati, membuat hati yang pernah patah kini terpotek kembali. Kesalahannya dahulu ialah tidak dapat menyelamatkan nyawa sang istri, sehingga membuat Nara tumbuh tanpa kasih sayang dan dekap hangat seorang Ibu.
"Tidak. Tidak ada yang salah dengan puteri Ayah. Puteri ayah puteri terhebat yang pernah ada, kamu merupakan anugerah terindah dalam hidup Ayah. Manusia memang tempat bersalah tapi bagi Ayah puteri ayah, Nara. TIDAK PERNAH MELAKUKAN KESALAHAN."
"Tapi mereka ... mereka ... me-" pelukan semakin erat, Tuan Hermansyah mencoba menenangkan isak tangis yang mulai keluar dari bibir puterinya. isakan yang sejak tadi tiada kini mulai keluar. Air mata semakin deras ia rasa di pundaknya.
"Tidak! Dengar, kamu lebih baik dari mereka. Kamu selalu menjaga norma yang ada, tidak pernah sekali pun mengecewakan Ayah. Puteri Ayah yang terbaik! Ingat itu, Sayang."
"Huaaaaaa! Mereka jahat, Yah. Mereka nyakitin aku. Nara gak pernah jahat sama mereka, bahkan Ayah tahu aku ... aku gak pernah marah ke mereka."
Hati orangtua mana yang tidak menjerit pilu melihat anak kesayangan yang susah payah ia besarkan tersakiti oleh manusia-manusia tidak tahu diri seperti mereka. Sejak kecil ia merawatnya, mengasihi hingga melindunginya dari dunia luar. Mengangkat saat Nara terjatuh, menemani saat Nara menangis dan mengobati saat Nara sakit. Menjadi pelindung satu-satunya di dunia. Nara gadis malang yang harus kehilangan kasih sayang seorang ibu membuatnya harus lebih ekstra menjaga anugerah terindah yang Tuhan berikan.
Janji untuk membuat Nara bahagia seolah ternodai. Andai ia lebih selektif menerima lelaki yang ingin mengambil Nara. Andai ia tidak pernah membiarkan Nara berteman dengan Alvin sejak kecil. Andai Nara tidak pernah ia perbolehkan berteman dengan Intan yang belum ia kenal saat itu. Andai, andai lainnya banyak yang ia sesalkan.
Kepedihan Nara kali ini merupakan kesalahan yang ia perbuat.
"Ini salah Ayah, maafkan Ayah. Seandainya Ayah tidak menyetujui hubungan kalian. Seandainya Ayah bisa memikirkan semua ini, seandainya saja Ayah tidak-" suaranya tercekat, ia tidak mampu menyuarakan isi hatinya lagi. Jantungnya terasa sakit seperti di remas.
"Ayah, ini semua bukan salahmu. Ayah tidak boleh berkata seperti itu. Ayah kebanggan Nara, Ayah pelindung Nara. Nara tidak rela Ayah merasakan sakit ini. Biar ... biar hanya Nara yang merasakannya, Yah."
Lagi. Air mata mereka jatuh kembali menyisakan luka yang begitu dalam. tidak jauh dari mereka dua pasang mata yang sama tersakitinya tengah mendekap mulut mencoba meredam suara isak tangis yang keluar. Bi Inem memalingkan wajah menyenderkan di dada sang suami. Ia pun merasa hancur, hatinya seolah teriris melihat kedua majikannya menangis seperti itu.
Malam ini tak seindah malam kemarin. Senyum bahagia seolah sirna, luka semakin merundungi rumah kediaman Tuan Hermansyah. Malam ini mereka semua berduka.
***
Intan duduk di pinggir ranjang, memeluk kakinya menggigit buku-buku jari, menerawang jauh mengingat kejadian yang tidak pernah ia kira sebelumnya. Rasa penyesalan dan ketakutan kini hadir menyelimuti gelap malam ini.
Matanya terasa kering, bayangan kekecewaan Nara, tangisan pilu sahabatnya terngiang bagaikan film yang terus berputar di kepala. Apakah pengampunan itu ada? Pikirnya merasa menyesal. Tapi, satu sisi egonya merasa senang membuat Alvin terlepas dari Nara. Ia yakin, Alvin akan berada di sisinya terlepas dari ia mencintai atau tidak dirinya. Semua itu hanya perlu proses, proses membuat Alvin mencintainya.
"Tidak. Tidak. Jika Nara meminta Om Herman memecatku bagaimana?" cicitnya mengingat kini ia bekerja di hotel milik keluarga Nara. Meski ia masuk dengan kemampuannya, namun tidak dapat di pungkiri Nara dan Om Herman memiliki andil penting untuk karyawan mereka.
"Bagaimana dengan biaya rumah sakit Ibu jika Nara memecatku? Bagaimana aku membeli semua keperluanku? Tidak, Nara tidak akan memecatku semudah itu, bukan?"
Intan semakin terlihat bingung, ia mengeratkan pelukannya mencoba menenangkan diri. Perutnya terasa kram, ia memekik kesakitan mengelus perut yang beberapa hari ini tidak bersahabat.
Malam ini ia harus merasakan sakit akibat perbuatannya.
Sementara itu Alvin tengah menundukkan kepala berhadapan dengan sang Ayah yang menatapnya murka.
"Dasar anak tidak tahu diri, apa maksudnya mereka membatalkan pernikahan yang kurang dari sepuluh hari lagi? Apa kau gila bermain belakang dengan sahabat calon istrimu?!!"
"I-itu kesalahan, Yah."
"Kesalahan katamu?!!"
Tuan Agus menatap garang putranya, menarik kerah lelaki itu dan
Buk. Buk. Buk.
Beberapa pukulan ia layangkan membuat wajah Alvin babak belur tak karuan. Darah keluar dari sudut bibir dan sudut mata lelaki itu. Ia hanya diam pasrah dengan apa yang Ayahnya lakukan.
"KAU!! PERBAIKI SEMUA INI!!! MAU DITARUH MANA WAJAH KAMI?!!!"
Alvin tertunduk diam, ia bingung harus bagaimana memperbaiki semua ini. Air mata seketika jatuh di pipi mengingat bagaimana terlukanya Nara.
"A-aku, maafkan aku Nara!!"
***
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang."Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!""AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu."Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan. Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih. "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba