Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.
Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.
BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selama ini. Sedih juga ia rasa, tapi bukan saatnya ia meratapi semuanya. Ada Nara, Nona muda yang sudah ia anggap seperti anak sendiri tengah bersedih setidaknya ia tidak boleh membiarkan tubuh kaku itu terlalu lama dibiarkan.
"Kasihan ya, tiga hari lagi mau nikah tapi cobaan bertubi-tubi."
"Iya, dengar-dengar calonnya selingkuh sama sahabatnya sendiri."
"Kasihan banget, padahal Nara cantik dan baik hati. Apa yang kurang coba?"
Bisikan itu terdengar begitu memilukan. Mereka semua sudah tahu apa yang menimpa keluarga Hermansyah, bukan hanya sang pemilik rumah yang geram. Mereka sebagai tetangga yang mengenal Nara sejak kecil ikut membenci perilaku Alvin.
Tiga hari lagi seharusnya mereka semua berteriak bahagia, mengadakan upacara pernikahan yang megah dengan makanan yang nikmat serta hiburan yang mungkin menjadi momen langka untuk mereka. Tapi, kenyataan berkata lain pernikahan itu harus batal dan hal yang lebih menyakitkan lagi Tuan Hermansyah harus pergi meninggalkan putri kesayangannya. Mereka semua tahu bagaimana Tuan Hermansyah selalu membanggakan putrinya, mendidik dengan kasih sayang sehingga membuat Nara tumbuh menjadi gadis yang begitu lemah lembut dengan tutur kata yang begitu menenangkan mereka. Tidak ada satu orang pun di komplek ini yang membenci keluarga Hermansyah, mereka semua sangat menyayangi keluarga kecil ini.
Kondisi Nara yang begitu lemah membuatnya beberapakali jatuh pingsan. Kini matanya terbuka, ia memandangi langit-langit ruangan dan kembali duduk di samping jasad ayahnya. Ia hanya bisa terdiam, menatap dalam wajah yang kini terlihat tenang dengan senyum yang begitu menawan. Senyum tipis terukir di wajahnya, ia tidak pernah berpikir akan ditinggalkan dengan cara yang begitu menyakitkan. Ia pikir, ayahnya akan terus bersama hingga ia memiliki anak tapi kenyataan kembali menamparnya keras.
Kenapa Tuhan begitu kejam menyiksanya?
Nara memejamkan mata, menarik napas dalam mencoba meluapkan segala sesak di hati. Ia harus tegar, meski jiwa dan raganya kini hancur ia harus mengantar sang ayah ke peristirahatan terakhirnya. Ia harus berjanji untuk tetap kuat dan terus menjadi kebanggaan sang ayah.
Semua persiapan sudah selesai. Tubuh kekar itu kini berpindah ke dalam keranda membuat Nara hanya bisa menatap kosong. Bi Inem memapah Nara ke dalam mobil membawa gadis itu untuk mengikuti mobil ambulance yang membawa jenazah Tuan Hermansyah. Bi INem tidak banyak berbicara, ia hanya menggenggam kedua tangan Nara memberi gadisnya kekuatan. Mungkin ini tidak begitu berarti tapi Bi Inem ingin Nara tahu jika di dunia ini masih ada mereka yang akan menemaninya.
Semua mobil sudah sampai di tempat pemakaman. Proses penguburan segera mereka lakukan. Nara yang melihat tubuh ayahnya di pendam hanya bisa terisak, beberapakali tubuhnya limbung namun Bi Inem senantiasa menopangnya. Nara terlihat begitu rapuh, teriakan histeris menggema saat tanah mulai menutupi tubuh Tuan Hermansyah. Nara yang bersikap tegar akhirnya tumbang, ia tidak bisa menahan kehilangan yang begitu menyakitkan. Bukan hanya Nara semua yang mengantar ikut menangis, meratapi kepergian seseorang yang mereka hormati.
Hari semakin sore, Nara dan Bi Inem serta Pak satpam masih berada di area pemakaman. Beberapa pengantar telah lebih dahulu pergi meninggalkan mereka. Nara sudah mulai tenang hanya saja tatapan itu semakin kosong seolah tidak ada semangat hidup di dalam dirinya. Bi Inem merasakan sakit, sakit yang begitu menusuk. Jika dulu ia hanya bisa menggendong Nara kala Tuan Hermansyah menangisi kepergian sang istri kali ini hal itu terjadi lagi. Bedanya kini ia mendekap Nara yang menangisi kepergian ayahnya.
Bi Inem dan Pak satpam mengangkat tubuh Nara, memapahnya pergi dari makam. Hari mulai menggelap, guntur sudah menggelegar menandakan hujan akan turun. Mobil mereka memasuki perkarangan rumah, gerimis mulai membasahi bumi. Belum sempat mereka merasakan ketenangan seorang pemuda yang entah sejak kapan berdiri di perkarangan rumah, menunggu sang pemilik datang dengan penampilan yang begitu berantakan.
"Nara,"
Bi Inem dan Pak satpam mencoba mencegah pertemuan mereka. Tubuh Nara kian melemah, mereka tidak ingin karena pemuda itu nonanya semakin terluka.
"Den, besok saja. Non Nara sedang tidak baik-baik saja." pinta Bi Inem penuh permohonan.\
"Gak. Harus hari ini. Aku harus ketemu Nara, Bi!"
Nara yang mendengar keributan mulai tersadar, ia menoleh mendapati Alvin yang sedang berdebat dengan Bi INem. Amarah seolah menguasainya. Tubuh yang sejak tadi lemas kini seolah bertenaga. Ia melangkah mendekati Bi Inem dan Alvin. Tatapan tajam penuh kebencian ia perlihatkan membuat Alvin yang menyadari keberadaan Nara menghentikan ucapannya dan mendekat, meraih tangan Nara.
"Ngapain kamu di sini?" tepis Nara. Ia seolah jijik dengan keberadaan Alvin di depannya. Jika bukan karena kelakuan berengsek Alvin semua ini tidak akan pernah terjadi.
"Nara, maafin aku. Aku tahu semua salah aku. Kita bisa perbaiki ini semua, kita mulai dari awal lagi. Aku, aku gak bisa hidup tanpa kamu. Nara aku-"
"Mulai dari awal?" potong Nara dingin membuat Alvin mengantup bibir rapat, "apa yang harus dimulai dari awal?"
"Hubungan kita." cicit Alvin pelan.
"Apa kamu bisa buat Ayah aku hidup lagi?!"
Alvin mendelik, ia tidak pernah menyangka Nara akan meminta hal mustahil itu.
"Tidak akan pernah bisa bukan? Begitu juga aku yang tidak akan pernah bisa memaafkan semua kesalahan kamu dan bagi aku kamu selain pengkhianat, kamu juga seorang pembunuh!"
"Nara,"
"Berhenti manggil nama aku, aku jijik sama kamu! Mulai saat ini kita hanya orang asing. Jangan pernah datang ke hadapan aku lagi dan jangan pernah datang ke perusahaan lagi."
Alvin membeku, ia menatap Nara tidak percaya. Nara tidak peduli, sakit hati di dada begitu menyiksanya. Kali ini ia tidak akan menjadi Nara yang lemah. Ia harus mengingat jelas permintaan Ayah dan Ibunya. Ia harus bahagia. Bahagia dengan cara Nara sendiri.
Pak satpam menarik kasar Alvin dan mendorongnya keluar gerbang, "Maaf, Den. Saya dan Istri saya memang bukan siapa-siapa di sini. Tapi Tuan sudah menyerahkan tanggung jawab Non Nara kepada kami. Jadi, Bapak harap Aden tidak pernah datang kemari lagi. Terimakasih."
Gerbang di tutup. Bi Inem menyusul Nara yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan mereka. Pak satpam segera mengunci gerbang dan ikut menyusul ke dalam. Alvin hanya bisa mematung. Ia membalikkan badan berjalan gontai ke arah mobil yang sejak tadi menunggunya.
Di sana, Ayah dan Bunda Alvin masih menatap puteranya dengan pandangan lain. Hati seorang ibu selalu memaafkan kesalahan anaknya tapi tidak dengan Ayahnya. Agus merasa terhina, ia melangkah cepat.
Plaakk.
"Satu tamparan ini untuk menyadarkanmu, kamu membuang berlian hanya untuk masuk ke dalam kerikil tak berarti. Kamu membuat keluarga ini malu!!!!"
Ibu Alvin mendekat, ia memeluk anaknya dan membiarkan suaminya pergi dengan amarah yang begitu menggebu.
"Bunda, Bunda aku ... aku melakukan kesalahan, Bunda."
Alvin ambruk ia menangis tersedu di dalam dekapan ibunya. Ia mengingat lagi betapa berengseknya dia selama ini. Kebahagiaan yang seharusnya di dapat kini menghilang seperti butiran debu.
Semua penyesalan seolah tak berarti lagi. Ia harus kehilangan gadis yang begitu ia cintai hanya karena kenikmatan sesaat. ia tidak pernah tahu semua akan menjadi serunyam ini. Ia yang ebrniat melepaskan hasrat justru menyakiti seorang gadis yang sejak dulu ia jaga bagaikan permata.
Semua hancur bagaikan debu semata.
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan. Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih. "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang."Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman