"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"
Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu.
"Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun."
"Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non."
"Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini dibiarkan terlalu lama mayit yang kini terbujur kaku akan mendapat siksa yang lebih lama.
"Kenapa, Bi? Kenapa Ayah tega ninggalin aku saat seperti ini?! KENAPA?!"
"Non,"
Seorang wanita paruh baya mencoba memeluk gadis itu memberikan kekuatan yang mungkin bisa membantunya meski kenyataannya itu tidak berguna sama sekali. Bagi mereka yang di tinggalkan dunia serasa hancur, kesunyian mulai menghampiri bahkan keputus asaan kian menyelimuti.
"Non," panggilan lembut itu tak membuahkan jawaban. Sang bibi merenggangkan pelukan dan mendapati majikan kecilnya itu memejamkan mata kembali di kuasai kegelapan yang entah keberapakali. Raut sedih dan juga khawatir terlihat jelas di wajah sang Bibi.
"Non, kenapa semua jadi seperti ini?" paraunya meratapi nasib majikannya ini. Belum satu masalah selesai, gadis cantik di pelukannya ini harus menerima kenyataan pahit lainnya. Sungguh menyedihkan seakan semesta tengah mempermainkannya.
***
Pemakaman siang itu berjalan begitu hening hanya ada isak tangis dan derap langkah para pengantar. Nara berusaha tegar dan mengikuti semua proses hingga akhir meski ia harus terjatuh beberapa kali, ia hanya ingin mengantar sang ayah ke tempat terakhirnya. melihat tubuh kekar yang menjadi sandarannya di kubur oleh tanah merah dengan kain tipis yang menyelimutinya.
"Ayah, Ayah janji sama aku buat temenin aku. Jagain aku, bahkan saat badai itu datang Ayah janji ada di samping aku dan tenangin aku. Tapi kenapa, Yah? Kenapa Ayah ninggalin aku duluan?" ia memeluk nisan yang baru terpasang. Mengelusnya dan sesekali mencium nisan yang tertancap.
"Non, udah mau malam kita pulang yuk!" ajak sang Bibi, ia mengangakat tubuh mungil itu dan memapahnya perlahan.
Para pelayat sudah banyak yang pergi, hanya beberapa yang masih setia menemani gadis mungil yang kini terlihat menyedihkan. Keluarga Hermansyah merupakan keluarga yang begitu baik dan disegani tidak heran mereka begitu loyal menemani putri dari Tuan Hermansyah. Mereka tahu kejadian baru-baru ini dan memaklumi jika Nara begitu terpukul.
Nara Hermansyah atau yang biasa mereka panggil Nara melangkahkan kaki ke dalam rumah dengan gontai. Bi Inem selaku pembantu rumah tangga keluarga Hermansyah masih setia memapah Nara memasuki rumah.
"Ada apa, Pak?" Pak satpam berlari cepat menghampiri Bi INem dan Nara, wajah yang terlihat begitu tegang membuat Bi Inem mengernyit bingung.
"Anu, Bu...,"
"Nara!"
Panggilan itu membuat Nara mendongak menatap pria yang kini berdiri tak jauh darinya. Pria yang ikut andil dalam kesengsaraan yang ia hadapi kini. Kepalan tangan terlihat begitu kuat, amarah yang ia coba tahan kini meledak sudah.
"Nak, Alvin!" Bi Inem terlihat begitu terkejut, ia segera menarik Nara untuk pergi tidak ingin nonanya kembali bersedih.
"Nara, Nara, maafin aku, Nara!" Alvin menghadang kepergian Nara dan Bi Inem, ia menggenggam lengan Nara dan memohon "Nara, kamu harus tahu. Aku hanya cinta sama kamu bukan sama orang lain atau pun dia!"
Nara menepis tangan pria itu dan menatapnya jijik.
"Nara...," Alvin mencoba memegang kembali tangan Nara.
"Lepas tangan kotormu itu dariku!" teriakannya membuat pria itu mendelik, baru kali ini ia mendengar Nara seperti ini.
"Nara, ak-"
"LEPAS BERENGSEK!!!"
Plaaakkk.
Satu tamparan keras membuat semua yang ada di sana memekik tidak percaya. Baru kali ini mereka melihat Nara gadis anggun nan baik hati memukul seorang pria yang telah mematahkan hatinya.
"Jangan pernah datang ke rumah ini dan menemuiku lagi, Pembunuh!!"
Deg.
Semua orang terdiam. Jika di lihat lagi semua memang kesalahan pria itu. Ayah tercinta yang ia punya harus merasa sakit hati karena ulah biadabnya dan berujung tragis.
"Mulai saat ini, kau dan aku hanya orang asing. Jangan pernah datang atau menginjakkan kakimu di rumah atau perusahaanku lagi. ingat itu!! ENYAH DARI HADAPANKU!!"
Final.
Semua hanya bisa terdiam. Bi Inem bergegas memeluk Nara dan membawanya masuk. Pak satpam menarik Alvin dan mengusirnya. Ia menatap Alvin penuh kecewa, bagaimana pun Nara sudah ia anggap seperti anaknya sendiri bahkan Tuan Hermansyah dan Nara selalu memperlakukan mereka seperti keluarga. Wajar jika saat ini ia bersikap kasar kepada Alvin, pria yang dulu ia percaya menjaga Nara.
"Maaf, Den. Lebih baik Aden pergi biarkan Non Nara sendiri dulu. Jujur semua ini terlalu mengejutkan dan Aden pun tahu kesalahan apa yang Aden lakukan."
Alvin tidak dapat berkata ia menunduk seraya berjalan meninggalkan rumah gadis pujaannya. Ia menyesali semuanya, menyesali perbuatan bodohnya.
"KAU PUAS ANAK TIDAK TAHU DIRI!! BAGAIMANA BISA KAU MELEMPAR KOTORAN KE MUKA ORANGTUAMU??!!"
Semua tangis dan kepedihan hari ini seolah menjadi awal baru kehidupan. Mereka yang ditinggalkan harus bisa melupakan sementara mereka yang berkhianat akan terus menanggung penyesalan.
***
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan. Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih. "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang."Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!""AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu."Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.