Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.
***
Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.
Tok. Tok.
Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
"Non, makan dulu."
Bi Inem meletakkan nampan di meja dan beralih duduk di samping Nara, menatapnya sendu. Ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan ringkih itu sedih. Ia tidak menyangka semua akan berakhir begitu menyakitkan. Sejak pertama Nara dan Alvin menjalin hubungan ada rasa tidak nyaman di hatinya. Hanya saja ia enggan untuk melarang mengingat statusnya yang hanya seorang pelayan membuat Bi Inem tidak ingin mencampuri urusan Nara terlalu dalam.
"Non, Bibi suapin ya?" bujuk Bi Inem yang hanya dibalas gelengan. Helaan napas terdengar, Bi Inem mengambil satu bubur dan mulai mengaduknya, meniup agar bubur itu dingin.
"Non, kalau Non terus kaya gini apa yang harus Bibi lakuin? Non tau Bibi ikut sedih. Mungkin Non pikir kesedihan Bibi gak sama kaya Non, tapi salah. Bibi sama sedihnya kaya Non. Bahkan jauh lebih sedih ngeliat Non kaya gini. Non gak sayang sama Bibi? Sama Pak Satpam?"
Nara masih diam. Ia hanya melihat Bi Inem yang tengah mengaduk bubur dengan raut wajah yang begitu sedih. Mata indah Nara menelisik, ia terkejut melihat kantung mata dan juga pipi Bi Inem yang terlihat begitu kurus. Perlahan ia mengedarkan pandangan menatap ke sekeliling yang begitu gelap. Tirai jendela memang sengaja tidak ia buka. Dari kasur, ia menatap lurus kaca besar di depannya, melihat pantulan diri yang begitu mengerikan. mata sembab dengan kantung mata lebar dan tubuh yang begitu kurus bagaikan mayat hidup menamparnya kembali ke dalam kenyataan.
"Bi,"
Nara bersuara membuat Bi Inem menghentikan aktifitas dan menatap Nara haru.
"Nara," ia menundukkan kepala, mengangkat kedua tangan dan menatapnya sendu, "Nara kangen Ayah. Gimana kalau Nara susul Ayah?"
Bi Inem tekejut. Ia segera menaruh mangkuk bubur dan menatap Nara tajam.
"Non mau nyusul Ayah? Non mau ninggalin Bibi? Kalau Non mau pergi kenapa gak ajak Bibi sekalian?! Kenapa Non harus berpikir kaya gitu?! Apa Non pikir dengan cara mengakhiri semuanya, Tuan akan senang?" Bi Inem mencengkram kedua bahu Nara kuat, "Non sama Tuan gak akan pernah ketemu meski Non nyusul Tuan. Non yang paling tahu apa keinginan Tuan disaat terakhirnya."
Air mata kembali jatuh, Nara dan Bi Inem keduanya saling menatap penuh kesedihan. Isak tangis yang coba mereka tahan luruh juga. Keduanya menumpahkan semua sakit dan saling berpelukan menguatkan satu sama lainnya.
"Nara kangen Bi sama Ayah. Kenapa Ayah tega ninggalin Nara kaya gini? Apa Nara salah? Apa Nara gak nurut?"
Bi Inem menggeleng, "Gak, Non. Tuan gak bermaksud ninggalin Non. Semua ini takdir yang Tuhan kasih buat kita. Non harus kuat dan bangkit seperti yang Tuan bilang. Non, gak boleh nyerah gitu aja. Kita berjuang sama-sama. Bibi, Non dan Pak Satpam. Kita bisa memulai dari awal dan melupakan semuanya."
"Aku takut, aku takut semua bakal ninggalin aku lagi, Bi."
"Gak. Bibi janji gak akan pernah ninggalin Non sendiri. Bibi akan selalu di sisi Non baik suka mau pun duka. Non harus kuat, Non anak yang hebat Bibi percaya itu."
Keduanya tenggelam dalam kesedihan. Pelukan yang semakin erat membuat air mata kian meluruh. Di luar kamar Pak satpam menatap keduanya penuh haru. Air mata juga membasahi pipinya. Tekad kuat muncul begitu saja, ia berjanji kepada dirinya sendiri dan juga Tuan Hermansyah untuk menjaga Nara. Ia akan selalu mendukung Nara. Apa pun yang akan gadis itu pilih ia akan mendukung dan melindunginya. Ia tidak akan membiarkan orang lain kembali menyakiti Nara.
"Tuan, saya janji akan selalu ada di samping Non Nara."
***
Intan berjalan gontai meninggalkan hotel mewah tempatnya bekerja. Ia menunduk memegangi perut yang mulai terasa sakit. Pikirannya kini berkecambuk, ia tidak bisa menerima akhir yang begitu mengenaskan. Kehilangan pekerjaan yang selama ini ia capai dengan susah payah tidak sebanding dengan apa yang ia lakukan. Mungkin ini bukan ulah Nara hanya saja, ia tidak ingin semua berakhir dan menjadikannya sebagai pihak yang paling dirugikan.
Tin. Tin.
Mobil merah berhenti tepat di sampingnya. Intan menoleh dan tersenyum saat melihat seorang pemuda yang sangat ia rindukan keluar menghampirinya.
"Alvin,"
Pemuda itu Alvin, ia menarik Intan untuk masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi menuju apartemen yang baru ia beli beberapa bulan lalu. Alvin bermaksud tinggal di apartemen itu bersama Nara, namun semua yang ia rencanakan kini hancur dan gadis di sampingnya ini salah satu penyebab kehancuran di dalam hidupnya.
"Aku tidak akan menikahimu, karena kamu sendiri tahu. Aku tidak pernah mencintaimu." ucap Alvin seraya fokus dengan jalan di depannya. Intan menoleh menatapnya tidak percaya, "Tapi, aku akan bertanggung jawab hingga anak itu lahir. Setelah itu pergilah!"
"APA?!"
Citt.
Mobil merah itu terhenti membuat tubuh Intan terdorong ke depan. Intan yang tidak terima menatap Alvin ingin melayangkan protes. Alvin tidak berpikir apa yang ia lakukan dapat membahayakan mereka semua.
"Kamu tahu resiko ini. Kamu tahu semua ini bakal ngancurin aku dan kamu. Tapi kita udah sepakat bukan, tidak ada cinta diantara kita hanya kebutuhan biologis sampai aku mendapatkan Nara. Tapi apa?! Aku tidak mendapatkannya bahkan setelah aku bersabar selama ini!!!!"
Amarah Alvin seolah mengubur keinginan Intan. Mata yang begitu tajam dipenuhi amarah membuat nyalinya ciut. Baru kali ini ia melihat Alvin seperti ini.
"Gila kamu, Vin. maksud kamu, kamu tetap menginginkan Nara?!"
"Tentu!! Nara dan aku tidak akan pernah terpisahkan meski dia menendangku keluar dari perusahaan tapi aku yakin tidak lama lagi dia akan memaafkanku dan kembali kepelukanku."
Senyum Alvin mengembang, tatapan tajam itu membuat Intan bergidik ngeri. Lelaki di depannya kini berubah. Selama ini Intan tidak pernah melihat sisi liar Alvin. Ia hanya tahu Alvin yang begitu tangguh saat menggagahinya dan juga Alvin yang lembut kala berhadapan dengan Nara.
"Kamu tinggal di apartemen yang aku siapkan dan setiap bulan aku akan kirim sejumlah uang sampai anak itu lahir. Seperti biasanya saat aku membutuhkanmu kamu harus tetap melayaniku."
"APA? Kamu gila, Vin! Kamu pikir aku pelacurmu?!"
Alvin tersenyum masam, "Tentu! Kamu pelacurku. Aku akan berhenti jika Nara kembali padaku!!"
***
Pagi tadi Bi Inem mendapati tubuh Nara yang terbaring di lantai dengan suhu badan yang begitu tinggi. Tanpa membuang waktu, Bi Inem memanggil Pak Satpam dan menghubungi dokter pribadi Nara. Nara terlihat begitu pucat, tubuhnya kian mengurus membuatnya harus terpaksa menerima infusan di kedua tangan dan Nara harus mendapat perawatan rutin.
"Maaf, Dok." ujar Bi Inem saat seorang dokter sudah selesai memeriksa Nara. Dokter itu tersenyum, ia membereskan peralatan yang ia gunakan tadi.
"Tidak apa, kebetulan saya belum berangkat ke rumah sakit dan Dokter Daniel menghubungi saya untuk mampir ke rumah ini."
Bi Inem bernapas lega.
"Gimana Nara, Dok?"
Dokter itu menggigit bibirnya, ia menatap serius ke arah Bi Inem, "Nara harus di bawa ke rumah sakit untuk mendapat pengawasan tapi melihat semua kondisinya mungkin sedikit susah. Nara banyak kehilangan berat badan, wajahnya terlihat begitu lelah dan sementara ini ia harus menerima suntikan vitamin dan infusan untuk mengganti cairan yang hilang. Kebetulan rumah saya tidak terlalu jauh dari sini jadi saya bisa sesering mungkin melihat kondisi Nara."
"Apa tidak merepotkan?"
"Tentu tidak. Dokter Daniel sedang ditugaskan jauh dari kota ini ja-"
"Tante cantik?!"
Semua orang menoleh menatap seorang anak kecil yang sedang menggenggam ponsel di tangan masuk ke kamar Nara begitu saja.
"Bobby?"
"Papa, bukannya itu tante cantik yang waktu di bandung? Tante cantik yang nemanin Bobby di lobby nungguin Papa."
"Eh?" Dokter itu menoleh, ia menelisik wajah Nara lebih dekat dan benar saja ia baru menyadarinya. Gadis yang ia periksa ternyata gadis yang sudah menyelamatkan Bobby saat di bandung dulu.
Entah kebetulan atau memang takdir yang mempertemukan mereka. Kini sebuah cerita mungkin akan hadir kembali di kehidupan Nara.
***
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan. Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih. "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang."Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!""AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu."Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."