Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.
Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu.
"Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yang tengah bercumbu tidak mendengar ucapannya.
Nara menarik napas dalam menghembuskan kencang mencoba meredam gejolak amarah, benci serta kecewa di hati. Ia tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini.
Langkah mereka semakin mendekat, Nara memegang gagang pintu yang sedikit terbuka, matanya melebar menyaksikan dua orang yang ia kenal tengah melakukan pengkhianatan yang begitu keji.
Braaak.
Tanpa bisa menahan amarah serta kekecewaan lagi, Nara mendorong pintu hingga terbuka lebar dan membentur dinding. Dua orang yang kini berada di atas ranjang terkejut menatap Nara yang menyaksikan perbuatan mereka. Alvin segera menyudahi pergemulan mereka, bergegas mengambil selimut yang entah dimana, sedangkan Intan ia berguling dan bersembunyi di sisi ranjang.
Nara berdecak sinis, tidak ada gunanya Intan menyembunyikan badan tanpa pakaian karena ia telah menyaksikan semuanya. PENGKHIANATAN YANG MEREKA LAKUKAN.
"Na-Nara," Alvin tergugu, ia telah memakai boxer dan kini hanya bertelanjang dada. Melangkah mendekat ke Nara mencoba menjelaskan semuanya.
Nara merentangkan satu tangan meminta Alvin untuk tetap diam, "Jangan pernah mendekatiku!!" Nara berujar dingin menatap Alvin penuh kekecewaan. Mata Nara terasa begitu panas bahkan kini bola mata yang terlihat jernih memerah menahan tangis dan juga kecewa.
"Jadi ini yang kamu maksud tidak dapat memilikinya, Tan?" ada nada kekecewaan disana, Intan yang masih bersembunyi menggigit bibirnya, ia bingung harus mengatakan apa.
"Nara, Sayang. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan." Alvin menyaut mencoba mendekat dan menghalangi pandangan Nara ke arah Intan.
"Tidak seperti apa yang aku pikir? Lalu apa yang harus aku pikir saat aku melihatmu tengah menyetubuhi sahabatku? Apa aku harus berpikir jika kalian tengah bercanda atau kalian tengah mengobrol biasa? Apa aku sebodoh itu untukmu?"
Alvin menggeleng, belum pernah ia melihat Nara menatapnya penuh kekecewaan seperti ini. Ia mencoba menggenggam tangan Nara tapi di tepis kuat oleh gadis itu. Alvin terkejut ini kali pertama ia mendapat penolakan dari Nara.
"Nara, aku...," Intan melangkah setelah mengenakan pakaiannya mendekat ke arah Nara dan berdiri sejajar dengan Alvin seraya menundukkan kepala merasa begitu bersalah.
"Kenapa? Kenapa kamu tega ngelakuin ini ke aku, Tan? Apa aku punya salah sama kamu? Apa tanpa aku sadari, aku menyakiti hatimu? Kenapa, Tan? Kenapa?" tak ada jawaban dari Intan, wanita itu semakin menundukkan kepalanya dalam menahan air mata yang kian mendesak keluar.
"Dan kamu ...," tatapan Nara beralih ke Alvin menunjuk muka lelaki itu penuh amarah, " ... apa aku pernah menyakitimu hingga kamu tega ngelakuin ini ke aku? Dia sahabat aku, Vin. Sahabat aku dari aku sekolah. Bahkan kamu baru mengenalnya dua tahun lalu. Kenapa kamu setega ini, kita akan menikah, Vin. Menikah!! Apa kamu pikir semua ini lelucuon untukmu?!!!"
Kaki Nara terasa lemas, tubuhnya terhuyung. Alvin segera menangkap Nara agar ia tidak jatuh ke lantai. Nara yang merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya mendonga menatap iris kelabu yang juga kini menatapnya.
"Kamu jahat, Vin. Aku gak pernah sekali pun nyakitin kamu. Tapi, ini yang kamu balas ke aku?" Nara berujar lemah, air mata kian menderas tatapannya mulai sayu, akal sehatnya menghilang. Alvin menggeleng hatinya terasa begitu hancur melihat keterpurukan Nara. Ia tidak berani menatap mata menyedihkan itu terlalu lama. "LEPASKAN AKU!!" teriak Nara seketika mendorong tubuh Alvin hingga ia terjungkal ke belakang menabrak sisi ranjang.
Bi Inem segera menarik Nara memeluknya kuat, ia menatap penuh kebencian ke arah dua manusia tidak tahu diri itu. Manusia yang begittu keji yang telah melukai gadis kesayangannya.
"Mereka jahat, Bi. mereka jahat! Apa salah Nara, Bi? Apa salah, Nara? Kenapa mereka lakuin ini ke Nara?"
"Sabar, Non. Manusia tidak tahu diri seperti mereka tidak pantas mendapatkan air mata berharga, Non. Mereka hanya sekumpulan makhluk menjijikan yang tidak pantas Non tangisi."
Perkataan Bi Inem begitu menusuk hati Intan maupun Alvin. Mereka ingin protes tapi apalah daya dalam posisi ini memang merekalah yang bersalah.
"Ayuk kita pulang, Non. Biarkan mereka melakukan kemaksiatannya lagi. Kita hanya perlu membatalkan semua yang telah di persiapkan. Bi-" Bi Inem tidak dapat menahan tangisnya, ia menyeka air mata dan memandang sedih majikan yang telah ia anggap seperti anak gadisnya itu, "Bibi tidak rela Non harus menikahi laki-laki bajingan seperti dia."
Alvin terkejut dengan ucapan Bi Inem. Menurutnya wanita tua itu tidak pantas berkata seperti itu, terlebih posisinya yang hanya seorang pembantu sungguh lancang.
"Siapa kamu berani mengatur Nara? Ingat posisimu wanita tua, kamu hanya pembantu di rumah Nara dan membatalkan pernikahan, kamu pikir kamu siapa, HAH?!"
PLAAKKK.
PLAAAK.
Nara yang entah kapan melepas pelukan Bi Inem maju dan memberi hadiah yang begitu mengejutkan. Ia menampar Alvin, hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Bukan hanya sekali tapi dua kali tamparan ia hadiahi untuk lelaki itu.
"BAJINGAN TIDAK TAHU DIRI, BERANINYA KAMU BERKATA SEPERTI ITU!!"
"NARA!!!" Intan berseru merasa tidak terima dengan perlakuan Nara terhadap Alvin. "KENAPA? KAU MARAH AKU MEMUKULNYA??"
Nara melangkah mendekat ke arah Intan, ia menatap lekat wajah sahabatnya itu. Ada rasa muak dan kecewa di sana, bahkan tatapan tajam yang tidak pernah Nara berikan mampu membuat nyali Intan ciut.
PLAKKK.
Satu tamparan keras yang mampu membuat Intan terhuyung dan jatuh, tamparan yang melukai sudut bibir Intan. Nara tersenyum sinis. Ia menatap Alvin dan Intan bergantian merasa muak dengan kelakuan mereka.
"Besok, aku tunggu kalian di rumah. Dan kau Alvin, aku akan meminta kedua orangtuamu datang dan kita BATALKAN PERNIKAHAN KITA!!"
"Tidak, aku tidak akan membatalkannya. Aku tetap akan menikahimu, Nara!!" Alvin berseru lantang membuat Nara tersenyum sinis dan Intan terkejut dengan keputusan Alvin.
"Kamu pikir setelah apa yang aku lihat, aku sudi bersamamu?"
"Kamu tetap milik aku, Ra. Aku bersama dia hanya untuk sesaat dan bersenang-senang. Kamu tahu betapa frustasinya aku menunggu kamu memberikan apa yang aku mau?"
"Itu buka alasan, Bedebah!!"
"Tentu semua itu alasanku, dan kamu tahu Intan yang mampu meredakan keinginanku sebab itu aku bermain-main sebentar dengannya!"
PLAKK.
Sekali lagi Nara memukul Alvin.
"Laki-laki berengsek sepertimu memang pantas bersanding dengan perempuan murahan sepertinya!!!!"
Intan terisak, mendengar penuturan Alvin begitu menyakiti hatinya. Ia bilang hanya bermain-main dengannya. Padahal ia telah memberikan segalanya, mahkota yang ia jaga ia berikan untuk lelaki itu, rasa yang ia miliki begitu kuat untuk Alvin dan apa yang ia dengar tadi? Bermain-main, serendah itukah dirinya?
"Terserah apa yang ada di pikiranmu sekarang. Aku telah memutuskannya. Aku akan mengakhiri semua dan Intan-" Nara menatap Intan yang terisak, hatinya mulai menumpul melihat air mata Intan terasa menjijikan. Jika dulu, saat Intan menangis ia menjadi orang pertama yang akan datang dan memeluk tubuhnya memberikan kekuatan sebagai sahabat, "kau bisa memiliki apa yang tidak bisa kau miliki ini."
Intan terkejut, ia mendongak menatap mata Nara memandang gadis itu penuh rasa penyesalan. Inikah rasanya menyesal, menyesal melihat gadis sebaik Nara harus terluka karenanya? Apa sebenarnya yang telah ia perbuat. Mengapa ia melakukan semua ini? Mengapa ia di butakan ambisi dan keegoisan semata.
Semua hancur, cinta yang dimiliki Nara hancur, persahabatan yang Nara miliki hancur menyisakan satu kata di hati ...
LUKA.
***
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang."Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!""AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu."Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan. Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas