Gluk. Gluk.
Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih.
"Mimpi yang menakutkan."
Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan.
Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, bahkan sampai saat ini Nara begitu kagum dengan sosok tegar sang ayah.
"Ada apa? Kenapa malam-malam terbangun?"
Nara melepas pelukan menggeleng lemah dan menghela napas berat. Tuan Hermansyah menarik Nara duduk kembali di sofa. Ia berlutut menatap putri semata wayangnya khawatir.
"Yah, saat Ayah mau nikah dulu sama Ibu apa Ayah sering mimpi buruk?"
"Mimpi buruk?" Nara mengangguk, "mimpi seperti apa?"
Nara menggigit bibirnya bingung harus darimana ia menceritakan mimpi-mimpi aneh yang selama ini bagaikan sebuah film yang mampu ia ingat dengan jelas.
"Seminggu ini Nara selalu mimpi tertusuk pedang entah dari arah belakang atau pun depan. Semua berakhir sama, pedang itu membuat lubang di dada membuat darah mengalir begitu hebat. Aku hanya bisa menangis meronta melepas pedang itu, tapi semuanya nihil. Pedang itu terus menggerogotiku. Di sana tidak ada Ayah, Intan. Alvin bahkan Bi Inem sama Pak satpam. Nara sendiri, Yah. Nara takut."
Tuan Hermansyah menarik Nara ke dalam pelukannya. Ia menepuk pelan punggung Nara, isak tangis dapat ia dengar kini hatinya mulai gelisah. Meski ia hidup di zaman modern tapi mendengar penuturan Nara memhuatnya sedikit takut.
"Nara, kamu ingat jam berapa kira-kira kamu selalu mimpi kaya gitu?" isakan terhenti, Nara mencoba mengingat jam berapa setiap kali ia terbangun.
"Seperti sekarang, Yah. Nara selalu bangun jam segini dengan mimpi yang sama."
Tuan Hermansyah terdiam, ia melirik jam yang terpasang di dinding. Jam 2 dini hari. Degup jantung Tuan Hermansyah mulai memacu, mungkinkah ini sebuah petunjuk dari yang Maha Kuasa. Konon katanya setiap kali memimpikan hal yang sama berulang di jam yang sama terlebih pertengahan malam itu merupakan tanda dari Sang Kuasa.
"Kenapa, Yah?" Nara bertanya membuyarkan lamunan Tuan Hermansyah. Secepat mungkin Tuan Hermansyah menggeleng memberi senyum menenangkan seraya mengelus kepala puterinya.
"Tidak apa, Ayah yakin itu hanya bunga tidur untukmu. Apa kamu memiliki kekhawatiran akhir-akhir ini?"
"Sejujurnya ...," Tuan Hermansyah berjongkok menyamakan tingginya dengan Nara menatap lembut puterinya seraya menggenggam tangan penuh kasih sayang." ... aku sedikit ragu dengan pernikahanku." Nara memejamkan mata takut jika Tuan Hermansyah marah atas ucapannya.
"Kenapa seperti itu, Sayang?"
Nara terkejut, ia membuka mata cepat menatap Tuan Hemansyah yang masih sabar menemaninya. Tidak ada guratan kemarahan di wajah lelaki tua itu yang ada hanya wajah penuh tanya dan cemas.
"Entahlah, aku Cuma takut jika saja Alvin bukan yang terbaik."
"Nara denga Ayah. Sebuah pernikahan dilakukan oleh dua orang dengan keikhlasan di dalam hatinya. Jika kamu belum bisa ikhlas untuk melanjutkan kehidupan baru lebih baik kamu pikirkan ulang. Tapi, jika memang Alvin terbaik yang kamu percayai untuk apa kamu ragu? Keraguan hanya akan menghancurkan semuanya, kamu harus menyadari pernikahan bukan akhir dari perjalanan cinta kalian tapi awal dari segalanya."
Air mata seketika runtuh kemabali, Nara menunduk malu. Ia merasa kecil, hanya karena mimpi ia mulai ragu akan perasaaannya. Malam itu ia dan ayahnya saling menguatkan satu sama lain mencari jalan untuk menghilangkan keraguan, mengadu kepada Sang Pencipta meminta petunjuk akan keraguan yang mulai mendekat.
***
Nara dan Intan berjalan menuju butik untuk melihat hasil akhir dari gaun yang ia pesan. Hari terus berjalan, hanya bersisa lima belas hari lagi sebelum acara terlaksana, semua persiapan harus sudah siap, Nara tidak ingin ada yang terlewatkan.
Alvin yang berada di kantor bergegas menyusul setelah Tuan Hermansyah menegurnya. Alvin memang bekerja di perusahaan milik Nara sebagai arsitektur desain. Akhir-akhir ini project milik perusahaan Tuan Hermansyah sedang melesat tajam membuat para karyawan disibukkan dengan pekerjaan mereka.
Nara yang sampai lebih dulu mulai masuk ke dalam ruangan mencoba gaun yang telah di pesan. Tidak lama Alvin datang dan hanya melihat Intan di sana. Intan memberi kode jika Nara sedang berada di dalam mencoba gaun miliknya. Mereka terlihat biasa tanpa ada kecurigaan atau senyum genit seperti saat mereka berdua.
"Alvin," Nara berseru memanggil lelaki itu membuatnya menoleh menatap kearah Nara yang terlihat sangat cantik. Gaun putih yang mengekspos pundak mulus Nara memberi kesan sexy yang begitu menggairahkan.
"Cantik," gumam Alvin tanpa sadar. Matanya terus terfokus pada Nara mengabaikan Intan yang mulai menatapnya tidak suka. Alvin berjalan meninggalkan Intan menuju Nara dan memeluk wanitanya itu. Ia mencium harum tubuh Nara membuatnya semakin mengeratkan pelukan menenggelamkan diri di cekungan leher Nara. "Kamu cantik banget, bikin aku makin gak sabar."
Intan hanya bisa mengepal tangan menyaksikan keromantisan yang mampu membuat hatinya panas, ia membuang muka mencoba menetralkan perasaan yang mulai muak dengan semuanya.
Alvin melepas pelukan itu dan bergegas ke dalam ruangan bergantian mencoba jas yang akan ia gunakan di acara resepsi nanti. Tidak butuh waktu lama hingga Alvin keluar. Alvin terlihat begitu gagah, dengan kemeja putih berlapiskan jas hitam senada dengan celana ia keluar bak pangeran, menampilkan senyum menawan yang mampu membuat Nara tersenyum malu dan merentangkan tangan meminta pelukan dari lelakinya itu.
Mata Intan semakin memanas. Tatapannya beralih menatap cermin besar di belakang Nara dan Alvin di sana ia melihat pantulan dirinya yang terlihat begitu menyedihkan. Meski hari ini ia memakai baju yang mengekspos pundak dan dadanya, serta rok mini sebatas paha tidak dapat membuat Alvin berpaling dari Nara. Andai saja, ia yang menggunakan gaun yang Nara pakai dan bersanding dengan Alvin yang kini terlihat gagah mungkin hidupnya lebih indah. Sebenarnya apa kelebihan Nara, ia yakin jika bukan dirinya tidak ada yang mampu membahagiakan Alvin.
Mereka bertiga memilih sebuah restaurant yang tidak jauh untuk makan siang. Alvin terlihat begitu bahagia menggenggam tangan Nara dan sesekali mengecup pelan pipi wanitanya itu.
"Ck, lihat-lihat tempat juga kali ada orang nih!" Intan berseru membuyarkan keromantisan yang tengah Alvin lakukan.
"Tau kamu ini, makanya jangan menghilang beberapa hari gitu. Sekalinya ketemu kaya anak kecil gini!!" kesal Nara yang hanya bisa di sambut tawa Intan. Alvin hanya bisa tersenyum kikuk, matanya bertemu dengan mata tajam Intan. Alvin sempat melupakan keberadaan wanita itu membuatnya sedikit bersalah.
Alvin memilih duduk di samping Nara dan Intan berada di depan mereka. Intan menggunakan kesempatan itu untuk mengganggu Alvin. Ia menggunakan kakinya mengelus paha Alvin dan menatap lelaki itu menggoda. Alvin terlihat begitu gelisah dengan perlakuan Intan ia mencoba menggeser kaki Intan menggunakan salah satu tangannya, tapi bukannya berhenti Intan justru semakin berani ia menyentuh daerah terlarang Alvin.
"Kamu kenapa, Vin?" tanya Nara yang melihat gelagat aneh Alvin. Alvin menegakkan badannya menggeleng cepat. Intan mendengus kesal ia semakin sulit menjangkau Alvin jika begini.
Makanan telah datang mereka makan dengan tenang sesekali Alvin melirik Intan yang seakan memprovokasinya, wanita itu makan dengan cara yang begitu sensual terlebih ia memesan sosis besar di café itu membuat pikiran Alvin semakin menggila.
Hari sudah mulai menggelap, mereka yang terlalu asik bercengkeramah seolah tidak menyadarinya. Alvin memilih mengantar Nara ke rumahnya dan setelah itu mengantar Intan menuju hotel. Awalnya Nara merengek meminta Intan untuk menginap malam ini, tapi dengan alasan pekerjaan Intan menolak. Sudah hampir seminggu lebih Intan mengabaikannya dan lebih memilih berkutat dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Nara ingin protes hanya saja sifat Intan yang begitu keras dan ambisius sulit ia runtuhkan.
Mobil melaju kencang menyisakan Intan dan Alvin yang saling terdiam.
"Kamu gak lihat aku hari ini." Intan memulai percakapan menegur Alvin dengan raut cemberutnya, Alvin terkekeh ia mengelus pipi Intan dan beralih mengelus leher wanita itu.
"Aku tidak bermaksud seperti itu, kamu cantik hari ini terlebih sejak tadi kamu membangkitkan gairahku. Malam ini apa aku harus tidur di hotelmu?" Intan menggeleng cepat membuat raut wajah Alvin berubah keruh.
"Aku ingin menginap di apartemenmu, kita bisa melakukannya disana bukan?"
Alvin tersenyum mencubit pipi Intan gemas, "Tentu, malam ini kita lakukan di apartemenku!!"
Intan tersenyum menyenderkan kepalanya seraya mengelus dada Alvin, matanya menatap tajam ke jalan raya, malam ini ia akan membuat Alvin sadar siapa yang ia butuhkan.
***
Nara menepuk keningnya pelan, ia lupa memberikan hadiah dari sang Ayah untuk Alvin. Ia bergegas ke kamar mengambil kotak yang ada di samping ranjang dan meminta Bi Inem untuk menemaninya serta pak supir mengantarnya ke apartemen Alvin. Kalau dilihat dari jam terakhir Alvin mengantar, seharusnya lelaki itu sudah berada di apartemennya.
Nara tersenyum sesekali ia bergurau Bersama Bi Inem dan bertingkah lucu. Ia tidak pernah tahu jika sesuatu menyakitkan akan menimpanya sebentar lagi. Semua kenyataan yang selama ini di sembunyikan akan terbongkar, mimpi yang menjadi pertanda kehancurannya segera ia rasakan.
Nara berdiri tepat di depan apartemen Alvin menekan beberapa tombol yang memang ia ketahui. Bukan tanpa alasan ia tahu, dulu saat Alvin sakit Nara dan Bi Inem datang untuk merawatnya. Jantung Nara seketika memacu kencang, rasa sesak seolah menghantuinya. Ada keraguan saat ia akan membuka pintu tapi semua itu ia tepis begitu saja.
Langkahnya semakin bergetar saat Nara menatap sepatu perempuan ada di sana, seingatnya ia tidak pernah meninggalkan sepatu atau barang apapun di apartemen Alvin. Semakin Nara masuk ke dalam, matanya semakin terbelalak melihat baju lelaki dan perempuan berserakan di sana. Bi Inem menggenggam tangan Nara ia juga terkejut dengan apa yang ia lihat.
"Ahhh, faster!! Cepat Vin aku hampir sampai!! Ahhh,"
Teriakan menjijikan itu terdengar di kuping Nara. Jantungnya semakin berdegup kencang ketakutan yang selama ini menghantuinya mulai mencuat kembali. Kakinya terasa lemas tak bertulang langkahnya semakin ia paksakan membuka pintu dan menatap tidak percaya apa yang ia lihat.
***
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang."Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!""AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu."Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini