Beranda / Romansa / LUKA / Kenyataan Lebih Pahit

Share

Kenyataan Lebih Pahit

Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang. 

"Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya.

"Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu."

"Sebenarnya bukan salah dimana ia belajar, tapi salah pribadinya yang tidak dapat menahan nafsu. Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu sangat menyakiti kami?" Tuan Hermansyah menyikap kedua tangan di dada menatap Alvin semakin tajam.

"Ma-maaf, Om." Alvin menunduk dalam, ia mencoba terlihat begitu menyedihkan. Sekenario jahat sudah ia siapkan, ia akan meletakkan semua kesalahan kepada Intan. ia tidak akan rela jika pernikahan dengan Nara harus batal karena perempuan itu.

"Semua karena Intan, dia yang-"

Belum sempat Alvin menjelaskan semuanya, Intan datang dengan wajah kusut. Ia menatap Tuan Hermansyah bersalah. Seketika ia bersimpuh, berlutut dengan kepala ia tundukkan. Semua orang disana terdiam melihat aksi Intan begitu juga Tuan Hermansyah yang semakin terluka. Intan, gadis yang ia besarkan seperti anaknya sendiri mampu menikamnya dari belakang. Ia tidak pernah menyangka, Intan akan memberikan luka yang begitu menyakitkan untuk keluarganya.

Intan mulai menceritakan semua yang terjadi, dari awal kesalahan yang mereka perbuat hingga hubungan terlarang yang mereka jalani. Ia tahu, Alvin akan menumpahkan semua kesalahan kepadanya sebab itu hari ini ia datang untuk menjelaskan semua. Bukan hanya dia yang bersalah, Alvin ikut andil dalam kesalahan yang mereka lakukan.

Hening.

Semua menyimak penuturan Intan. Alvin yang sejak tadi menatap perempuan di depannya mengepal tangan kuat. Bukan ini yang ia rencanakan, kenapa Intan harus datang dan menghancurkan semua sekenario yang sudah ia susun rapi.

"Omong kosong! Kamu yang lebih dulu menggodaku! Kamu yang meminta semuanya dan sekarang kamu menyalahkanku? Aku tidak akan pernah sudi menyentuhmu jika bukan karena akal licikmu itu!!"

Intan mendelik, ia menatap Alvin tidak percaya bagaimana bisa lelaki itu menuduhnya seperti ini. Jelas-jelas mereka melakukan karena sama-sama mencintai. alvin bahkan menjanjikan untuk menikahinya dan melepas Nara. 

"Kamu bilang salahku? Kamu pikir cuma aku sendiri yang melakukan hal menjijikan itu? Saat pertama kali kamu melakukannya aku menolak dan kamu terus memaksaku sampai kita melakukannya berhari-hari!!! JADI INI SEMUA SALAHKU?!!!"

Lelah. Itu yang kini dirasakan Tuan Hermansyah. Ia memijat pangkal hidung yang terasa berat, kepalanya mulai terasa berat. Perdebatan ini sungguh menguras emosinya. Kenapa keduanya seolah terlihat menjadi korban, padahal korban sebenarnya adalah Nara.

"KAMU ITU CUMA HAMA KENAPA KAMU NGELAKUIN KE AKU DAN NGANCURIN HUBUNGAN AKU SAMA NARA?!!!"

Plakkkk.

Intan yang telah berdiri menampar keras pipi Alvin membuat semua orang memekik.

"KAMU PIKIR CUMA AKU YANG MURAHAN DISINI? AKU MENJAGA MAHKOTAKU DAN KAMU YANG PERTAMA MENGAMBILNYA, APA KAMU MAU MENYANGKAL SEMUANYA, HAH?!!!"

"CUKUPPP!!!" Tuan Hemansyah berseru membuat mereka berdua menghentikan perkelahian, "KALIAN SAMA SAJA. KALIAN TIDAK LEBIH BAIK DARI BINATANG!!"

Tuan dan Nyonya Agus menatap Tuan Hermansyah kesal. Jika bukan karena kebodohan anaknya mereka tidak akan membiarkan lelaki tua di depan mereka menghina putra semata wayangnya. Mereka hanya bisa diam menahan semua amarah.

"Om, saya tidak akan membatalkan pernikahan itu. Tidak akan!!"

Tuan Hermansyah mendelik tidak terima begitu juga dengan Intan. Ia mengambil sesuatu di dalam tasnya dan melempar kertas ke muka Alvin.

"LALU SIAPA YANG AKAN BERTANGGUNG JAWAB DENGAN BAYI INI?!" ucapnya seraya menunjuk perut ratanya. Semua orang mendelik shock menatap Alvin dan Intan bergantian.

"Ha-ha-ha," dari balik badan Intan dan Alvin terdengar suara tawa Nara. Suara tawa yang lebih terdengar seperti jeritan pilu yang tertahan. Gadis itu menatap Alvin dan Intan bergantian, kakinya terasa lemas hanya untuk beranjak dari tempatnya. Pakaian yang terlihat kusut, mata sembab, hidung merah dan rambut yang berantakan membuatnya terlihat sangat menyedihkan.

"Sayang," Tuan Hermansyah berseru, menghampiri Nara dan memeluknya erat. "Tidak apa, semua baik-baik saja."

Nara menarik napas dalam, sudah lelah mengeluarkan air mata. Hatinya sudah sangat hancur. Kini harapan dan kepercayaannya telah menghilang menyisakkan cangkang kosong di dalam dirinya.

Cinta memang indah, indah saat merasakan kebahagiaan dan indah saat mendapatkan luka.

Hati tak pernah salah. Benar! Asalkan kau tidak salah memberikan hatimu!

Kini mereka semua terduduk saling diam tidak ingin mengeluarkan suara. Bahkan untuk bernapas seolah sangat sulit. Suasana begitu tegang. Nara yang hanya diam dengan tatapan kosong menatap dua manusia yang sangat ia cintai tengah menundukkan kepala. Sesekali ia mendengar isak tangis Intan. Jijik, ya, menjijikan menurut Nara. 

Iba? Tentu!!

Nara masih memiliki hati seputih salju hanya saja mengingat malam itu, suara menjijikan dan juga perbuatan tidak senonoh mereka membuat hatinya menggelap. Nara seolah menulikan kuping dan menutup rapat mata untuk melihat tangis Intan.

"Tan," Nara membuka suaranya kini tatapannya menyendu, air mata keluar lagi sekuat apa pun ia menahannya. Alvin dan Intan mengangkat kepala bersamaan, hal kecil itu tidak luput dari tatapan Nara. ia meringis kecil, ternyata sedalam ini hubungan mereka.

"Ka-kamu cinta sama Alvin?"

Deg.

Intan membeku, ia merapatkan jari-jari, meremasnya gelisah. Apa yang harus ia jawab disaat seperti ini.

"JAWAB TAN!" bentakan itu membuat semua terkejut pasalnya Nara tidak pernah meninggikan suara saat berbicara dengan siapa pun. Intan yang gemetar hanya mengangguk menjawab pertanyaan Nara. Helaan napas terdengar. "Sejak kapan?" lanjutnya.

"A-awal kamu ngenalin dia."

"Ck, selama itu dan kamu nutupin dari aku. Dan kamu-" Nara tidak membiarkan Intan menjawab lagi, ia beralih menatap Alvin tajan, "kamu tahu Vin, Intan sahabat aku? Kenapa kamu lakuin hal menjijikan itu?"

"i-itu," Alvin tergugu ia tidak dapat menjelaskan. Jika ia menjawab karena nafsu, di depannya ada Tuan Hermansyah, apa yang akan dipikir lelaki itu jika tahu ia sering memikirkan hal kotor jika menatap Nara.

"Cih, pengecut. Nikahi Intan, kita udah berakhir. Kamu bisa pakai acara itu sebagai acara pernikahan kalian."

"Tidak!! Aku hanya ingin menikah dengan kamu bukan dia!" Alvin berseru. Ia berdiri marah menatap Nara yang membuat keputusan seperti itu. Jika Nara yang dulu, saat Alvin marah ia akan meringsut takut tapi kali ini berbeda. Nara yang sekarang hanya gadis menyedihkan dengan luka di hati.

"Dalam mimpimu saja! Aku tidak sudi menikah dengan manusia sepertimu."

Telak. 

Ucapan dingin menusuk itu mampu membuat Alvin ternganga. Ia tidak dapat menjawab lagi. Keputusan final Nara tidak dapat dicegah. Hari ini semua orang yang berada disana melihat sisi lain Nara.

Bagi Nara semuanya berakhir. Terlebih kini ada nyawa mungil yang terlibat di dalam pertikaian mereka. Nara tidak ingin kehidupan kecil yang akan datang merasakan hancur karena kesalahan kedua orangtuanya. Nara hanya menginginkan kebahagiaan untuk janin yang ada di rahim Intan. Biar ia yang merasakan semua sakit ini, pedih yang begitu dalam entah kapan akan menghilang.

Tuan Hermansyah menghela napas, menatap Nara seraya menggenggam tangannya erat. Merasakan dingin tangan Nara membuat hatinya sangat hancur. Perlahan ia mencoba menarik napas dalam, entah sejak kapan jantungnya terasa sakit. Beban beberapa hari ini membuatnya kurang istirahat dan mengabaikan semua rasa sakit yang menyiksanya.

Nara menoleh menatap sang Ayah, tangan Ayahnya terasa dingin hal itu membuat Nara ikut tersentak. Nara baru menyadarinya wajah sang Ayah begitu pucat. Tidak ada rona bahagia hanya mata sembab dengan bibir yang begitu pucat kini ia lihat.

"Yah," Nara berseru, Tuan Hermansyah mengernyitkan keningnya menatap sang puteri dan tersenyum lembut sebelum semuanya menjadi buram dan kabur. Tuan Hermansyah berusaha mengangkat tangan menggapai wajah puterinya tapi sebelum tangannya menyentuh kulit Nara kegelapan lebih dulu merenggutnya.

"AYAAAHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!"

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau juga ikut terlibat dg kematian ayah mu, nara. tampangbmtmelas minta belas kasihan dan terpuruk mu membuat ayah ko
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status