Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang.
"Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya.
"Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu."
"Sebenarnya bukan salah dimana ia belajar, tapi salah pribadinya yang tidak dapat menahan nafsu. Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu sangat menyakiti kami?" Tuan Hermansyah menyikap kedua tangan di dada menatap Alvin semakin tajam.
"Ma-maaf, Om." Alvin menunduk dalam, ia mencoba terlihat begitu menyedihkan. Sekenario jahat sudah ia siapkan, ia akan meletakkan semua kesalahan kepada Intan. ia tidak akan rela jika pernikahan dengan Nara harus batal karena perempuan itu.
"Semua karena Intan, dia yang-"
Belum sempat Alvin menjelaskan semuanya, Intan datang dengan wajah kusut. Ia menatap Tuan Hermansyah bersalah. Seketika ia bersimpuh, berlutut dengan kepala ia tundukkan. Semua orang disana terdiam melihat aksi Intan begitu juga Tuan Hermansyah yang semakin terluka. Intan, gadis yang ia besarkan seperti anaknya sendiri mampu menikamnya dari belakang. Ia tidak pernah menyangka, Intan akan memberikan luka yang begitu menyakitkan untuk keluarganya.
Intan mulai menceritakan semua yang terjadi, dari awal kesalahan yang mereka perbuat hingga hubungan terlarang yang mereka jalani. Ia tahu, Alvin akan menumpahkan semua kesalahan kepadanya sebab itu hari ini ia datang untuk menjelaskan semua. Bukan hanya dia yang bersalah, Alvin ikut andil dalam kesalahan yang mereka lakukan.
Hening.
Semua menyimak penuturan Intan. Alvin yang sejak tadi menatap perempuan di depannya mengepal tangan kuat. Bukan ini yang ia rencanakan, kenapa Intan harus datang dan menghancurkan semua sekenario yang sudah ia susun rapi.
"Omong kosong! Kamu yang lebih dulu menggodaku! Kamu yang meminta semuanya dan sekarang kamu menyalahkanku? Aku tidak akan pernah sudi menyentuhmu jika bukan karena akal licikmu itu!!"
Intan mendelik, ia menatap Alvin tidak percaya bagaimana bisa lelaki itu menuduhnya seperti ini. Jelas-jelas mereka melakukan karena sama-sama mencintai. alvin bahkan menjanjikan untuk menikahinya dan melepas Nara.
"Kamu bilang salahku? Kamu pikir cuma aku sendiri yang melakukan hal menjijikan itu? Saat pertama kali kamu melakukannya aku menolak dan kamu terus memaksaku sampai kita melakukannya berhari-hari!!! JADI INI SEMUA SALAHKU?!!!"
Lelah. Itu yang kini dirasakan Tuan Hermansyah. Ia memijat pangkal hidung yang terasa berat, kepalanya mulai terasa berat. Perdebatan ini sungguh menguras emosinya. Kenapa keduanya seolah terlihat menjadi korban, padahal korban sebenarnya adalah Nara.
"KAMU ITU CUMA HAMA KENAPA KAMU NGELAKUIN KE AKU DAN NGANCURIN HUBUNGAN AKU SAMA NARA?!!!"
Plakkkk.
Intan yang telah berdiri menampar keras pipi Alvin membuat semua orang memekik.
"KAMU PIKIR CUMA AKU YANG MURAHAN DISINI? AKU MENJAGA MAHKOTAKU DAN KAMU YANG PERTAMA MENGAMBILNYA, APA KAMU MAU MENYANGKAL SEMUANYA, HAH?!!!"
"CUKUPPP!!!" Tuan Hemansyah berseru membuat mereka berdua menghentikan perkelahian, "KALIAN SAMA SAJA. KALIAN TIDAK LEBIH BAIK DARI BINATANG!!"
Tuan dan Nyonya Agus menatap Tuan Hermansyah kesal. Jika bukan karena kebodohan anaknya mereka tidak akan membiarkan lelaki tua di depan mereka menghina putra semata wayangnya. Mereka hanya bisa diam menahan semua amarah.
"Om, saya tidak akan membatalkan pernikahan itu. Tidak akan!!"
Tuan Hermansyah mendelik tidak terima begitu juga dengan Intan. Ia mengambil sesuatu di dalam tasnya dan melempar kertas ke muka Alvin.
"LALU SIAPA YANG AKAN BERTANGGUNG JAWAB DENGAN BAYI INI?!" ucapnya seraya menunjuk perut ratanya. Semua orang mendelik shock menatap Alvin dan Intan bergantian.
"Ha-ha-ha," dari balik badan Intan dan Alvin terdengar suara tawa Nara. Suara tawa yang lebih terdengar seperti jeritan pilu yang tertahan. Gadis itu menatap Alvin dan Intan bergantian, kakinya terasa lemas hanya untuk beranjak dari tempatnya. Pakaian yang terlihat kusut, mata sembab, hidung merah dan rambut yang berantakan membuatnya terlihat sangat menyedihkan.
"Sayang," Tuan Hermansyah berseru, menghampiri Nara dan memeluknya erat. "Tidak apa, semua baik-baik saja."
Nara menarik napas dalam, sudah lelah mengeluarkan air mata. Hatinya sudah sangat hancur. Kini harapan dan kepercayaannya telah menghilang menyisakkan cangkang kosong di dalam dirinya.
Cinta memang indah, indah saat merasakan kebahagiaan dan indah saat mendapatkan luka.
Hati tak pernah salah. Benar! Asalkan kau tidak salah memberikan hatimu!
Kini mereka semua terduduk saling diam tidak ingin mengeluarkan suara. Bahkan untuk bernapas seolah sangat sulit. Suasana begitu tegang. Nara yang hanya diam dengan tatapan kosong menatap dua manusia yang sangat ia cintai tengah menundukkan kepala. Sesekali ia mendengar isak tangis Intan. Jijik, ya, menjijikan menurut Nara.
Iba? Tentu!!
Nara masih memiliki hati seputih salju hanya saja mengingat malam itu, suara menjijikan dan juga perbuatan tidak senonoh mereka membuat hatinya menggelap. Nara seolah menulikan kuping dan menutup rapat mata untuk melihat tangis Intan.
"Tan," Nara membuka suaranya kini tatapannya menyendu, air mata keluar lagi sekuat apa pun ia menahannya. Alvin dan Intan mengangkat kepala bersamaan, hal kecil itu tidak luput dari tatapan Nara. ia meringis kecil, ternyata sedalam ini hubungan mereka.
"Ka-kamu cinta sama Alvin?"
Deg.
Intan membeku, ia merapatkan jari-jari, meremasnya gelisah. Apa yang harus ia jawab disaat seperti ini.
"JAWAB TAN!" bentakan itu membuat semua terkejut pasalnya Nara tidak pernah meninggikan suara saat berbicara dengan siapa pun. Intan yang gemetar hanya mengangguk menjawab pertanyaan Nara. Helaan napas terdengar. "Sejak kapan?" lanjutnya.
"A-awal kamu ngenalin dia."
"Ck, selama itu dan kamu nutupin dari aku. Dan kamu-" Nara tidak membiarkan Intan menjawab lagi, ia beralih menatap Alvin tajan, "kamu tahu Vin, Intan sahabat aku? Kenapa kamu lakuin hal menjijikan itu?"
"i-itu," Alvin tergugu ia tidak dapat menjelaskan. Jika ia menjawab karena nafsu, di depannya ada Tuan Hermansyah, apa yang akan dipikir lelaki itu jika tahu ia sering memikirkan hal kotor jika menatap Nara.
"Cih, pengecut. Nikahi Intan, kita udah berakhir. Kamu bisa pakai acara itu sebagai acara pernikahan kalian."
"Tidak!! Aku hanya ingin menikah dengan kamu bukan dia!" Alvin berseru. Ia berdiri marah menatap Nara yang membuat keputusan seperti itu. Jika Nara yang dulu, saat Alvin marah ia akan meringsut takut tapi kali ini berbeda. Nara yang sekarang hanya gadis menyedihkan dengan luka di hati.
"Dalam mimpimu saja! Aku tidak sudi menikah dengan manusia sepertimu."
Telak.
Ucapan dingin menusuk itu mampu membuat Alvin ternganga. Ia tidak dapat menjawab lagi. Keputusan final Nara tidak dapat dicegah. Hari ini semua orang yang berada disana melihat sisi lain Nara.
Bagi Nara semuanya berakhir. Terlebih kini ada nyawa mungil yang terlibat di dalam pertikaian mereka. Nara tidak ingin kehidupan kecil yang akan datang merasakan hancur karena kesalahan kedua orangtuanya. Nara hanya menginginkan kebahagiaan untuk janin yang ada di rahim Intan. Biar ia yang merasakan semua sakit ini, pedih yang begitu dalam entah kapan akan menghilang.
Tuan Hermansyah menghela napas, menatap Nara seraya menggenggam tangannya erat. Merasakan dingin tangan Nara membuat hatinya sangat hancur. Perlahan ia mencoba menarik napas dalam, entah sejak kapan jantungnya terasa sakit. Beban beberapa hari ini membuatnya kurang istirahat dan mengabaikan semua rasa sakit yang menyiksanya.
Nara menoleh menatap sang Ayah, tangan Ayahnya terasa dingin hal itu membuat Nara ikut tersentak. Nara baru menyadarinya wajah sang Ayah begitu pucat. Tidak ada rona bahagia hanya mata sembab dengan bibir yang begitu pucat kini ia lihat.
"Yah," Nara berseru, Tuan Hermansyah mengernyitkan keningnya menatap sang puteri dan tersenyum lembut sebelum semuanya menjadi buram dan kabur. Tuan Hermansyah berusaha mengangkat tangan menggapai wajah puterinya tapi sebelum tangannya menyentuh kulit Nara kegelapan lebih dulu merenggutnya.
"AYAAAHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!"
****
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!""AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu."Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan. Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih. "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan