Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini.
"Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan.
Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka.
Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas budi mereka. Keluarga Hermansyah begitu murah hati, mereka rela membantu tanpa pamrih terlebih putri keluarga Hermansyah yang begitu cantik rela menyisikan waktu untuk mengajar anak-anak mereka. Bagi mereka keluarga Hermansyah seperti Dewa yang Tuhan berikan. Meski kaya tapi mereka tidak pernah menyombongkannya.
"Bi, apa gakpapa kaya gini? Kalau menurut aku ini sedikit berlebihan gak sih? Aku gak suka terlalu heboh kaya gini." gadis mungil itu protes, ia melihat makeup di wajahnya. Terlihat sangat berbeda dari hari biasa. Wajah yang biasa hanya berpoles bedak dan lipstik tipis kini disulap menjadi begitu cantik dengan polesan makeup. Kecantikan yang biasa terpancar kini naik berkali lipat dari sebelumnya. Sangat indah dan memanjakan mata.
"Gak, Non. Ini udah setipis mungkin. Lagian ini acara sekali seumur hidup. Non, harus terlihat beda. Non tau di luar banyak warga sini yang bantuin terus mereka mau lihat Non loh."
Gadis itu mengernyit, tidak percaya dengan penuturan sang bibi, "Beneran?" Wanita paruh baya itu tersenyum, mengangguk dengan bangga, "aku malu." sipu gadis itu.
Nara Hermansyah. Gadis cantik yang begitu sederhana. Piawai yang lembut serta tutur kata yang bersahaja membuat semua orang begitu mencintainya. Cara pandang yang luas tanpa membedakan ras, suku dan juga kedudukan membuat ia disegani. Banyak anak kecil yang begitu menyukainya, bahkan ia mendirikan sebuah panti untuk mereka yang kurang mampu dan sesekali datang untuk memberi mereka hadiah atau hanya sekadar main.
"Tapi, Bi. Aku takut, ini cuma acara lamaran gimana kalau nanti gak jadi nikah?" ia menggigit bibirnya, ucapan itu keluar begitu saja tanpa ia harapkan membuat Bi Inem yang tengah menata rambutnya menatap tajam.
"Husshh!! Pamali Non ngomong kaya gitu. Emangnya Non gak yakin sama Den Alvin?"
"Yakin si, Bi. Tapi ... ah taulah, menurut aku ini berlebihan banget. Ayah sih ngeselin!!"
Bi Inem melanjutkan pekerjaannya, ia menata kembali rambut Nara, "Kalau Bibi jadi Tuan, Bibi pasti ngelakuin hal yang sama," Nara terlihat ingin protes tapi Bi Inem segera melanjutkan ucapannya, "Non anak satu-satunya, wajar Tuan ngelakuin hal yang gak biasa. Tuan mau Non punya kenangan yang begitu indah. Kalau cuma segini itu hal mudah buat Tuan. Lagian selama ini Tuan kerja banting tulang buat siapa? Buat Non kan?"
"Iya sih, Bi." sesalnya mengingat bagaimana sang Ayah bekerja tanpa henti untuk mencukupi kehidupannya. Kadang ia pergi ke perusahaan untuk membantu sang ayah mengurus perusahaan. Meski statusnya kini masih mahasiswa semester tujuh yang sedang sibuk mengurus skripsi, ia masih menyempatkan diri untuk membantu sang ayah. Bagi Nara waktu bersama ayahnya adalah hal terindah.
Bi Inem menyelesaikan riasan rambut Nara, menepuk pundak gadis itu sayang, "Nah makanya, Non harus bersyukur punya Ayah yang begitu sayang sama, Non. Jangan kesel-kesel gak bagus, Bibi juga gak pernah ngajarin Non buat kesel sama Tuan."
Nara mengangguk, ia menatap Bi Inem dari cermin merasa bersyukur memiliki seseorang yang begitu mencintainya meski mereka tak memiliki hubungan darah. Sejak kecil Nara selalu menganggap Bi Inem Ibu keduanya. Ia tak pernah bertemu langsung ibu kandungnya tapi dengan kasih sayang Bi Inem ia tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang seorang ibu. Ibu baginya ya Bi Inem bukan orang lain. Meski ia tahu perjuangan Ibu kandung untuk melahitkannya. Sejak ia lahir sang ibu meninggalkannya, membiarkan ia hidup berdua dengan sang ayah. Tuhan begitu menyayangi sang ibu sehingga ia harus lebih dulu menghadapnya. Terkadang ia sedih mengapa semua ini terjadi, seandainya ibunya kuat dan berada disisinya mungkin itu hal yang bagus, tapi bukankah semua sudah ada jalannya masing-masing? Tuhan tidak akan memberi cobaan yang tidam bisa dilalui umatnya bukan?
"Bi makasih ya udah sayang sama Nara, jadi Ibu Nara juga. Nara sayang banget sama Bibi."
Nara berbalik, ia memeluk Bi Inem membuat wanita paruh baya itu terharu. Ia balik memeluk Nara dan mengelus pucuk rambutnya.
"Bi Inem juga bersyukur Non Nara sayang sama Bibi, nganggep Bibi Ibu Non. Makasih ya, Non."
Memang sejak pernikahan Bi Inem dan Pak satpam keduanya belum juga dikarunia anak. Beruntung mereka berdua bekerja di keluarga Hermansyah, mereka memiliki majikan yang begitu baik dan menganggap mereka keluarga.
Kejadian itu tidak luput dari tatapan Tuan Hermansyah, ia bersyukur bisa bertemu dengan orang-orang baik yang menyayangi keluarganya. Bi Inem dan Pak satpam sudah bersama mereka sejak Nyonya besar keluarga Hermansyah masih hidup. Mereka berdua merupakan saksi dimana keluarga Hermansyah harus menerima kenyataan pahit Nyonya besar meninggal saat melahirkan Nara.
"Sayang,"
Kedua orang itu melepas pelukan mereka. Nara menatap sang Ayah bangga. Berbalut jas hitam dengan dasi senada membuatnya terlihat begitu tampan. Meski umur yang kian menua tapi Nara akui sang Ayah masih begitu tampan. Ia yakin banyak di luar sana para wanita yang menggilai sang Ayah. Tapi bagi Ayahnya kebahagiaan Nara yang utama. Ia tidak pernah sekali pun berniat menikah lagi, cinta hanya sekali, pernikahan juga sekali itulah yang sering ayahnya katakan.
"Ayah!!" Nara menghambur ke pelukan Tuan Hermansyah, mendekap erat lelaki yang selalu menjadi tumpuannya. Lelaki hebat yang selalu membuatnya nyaman, memberikan semua tanpa merasa terbebani.
"Ck, kamu ini sudah mau di lamar 'ko masih kaya anak kecil!" Tuan Hermansyah mengelus rambut Nara membuatnya mendonga menatap mata yang kini menatapnya sayang. Ia paham ini tidak mudah, tapi berjalannya waktu ia tetap harus merelakan Nara ke pelukan pemuda lain. Tidak mungkin selamanya Nara bersama dengannya.
"Yah, Nara sayanggggg Ayah!!" Nara mencoba membuat senyum di bibir Tuan Hermansyah dan itu berhasil.
"Tentu! Puteri Ayah pasti sayang sama Ayah. Ayah juga sayang Nara!!"
Nara melepas pelukannya, menatap sang Ayah tajam, "Ayah janji harus terus sama Nara sampai nanti Nara punya anak, anak Nara nikah dan punya anak lagi. Janji?"
Bi Inem yang mendengar ucapan Nara hanya tersenyum dan menggeleng pelan, Nona mudanya itu masih terlalu polos. Bi Inem tidak percaya waktu berjalan begitu cepat. Nara yang biasa menangis saat pulang sekolah karena diganggu beberapa anak, Nara yang merengek saat meminta barang masih begitu jelas di benak Bi Inem.
"Ayah janji! Sekarang kita turun yuk, Alvin udah dateng."
"Janji dulu!" Nara mengacungkan jari kelingkingnya, Tuan Hermansyah tersenyum lembut dan mengaitkan kelingking mereka menyatu membuat sebuah janji sakral untuk Nara.
"JANJI!!" ucap mereka bersamaan.
Setelah acara janji sakral yang keduanya buat, mereka menuruni anak tangga disusul Bi Inem di belakang menatap keduanya bahagia.
"Nara," cicit Alvin terlihat terpesona.
Selama mereka pacaran, Nara terbilang gadis yang cuek. Ia tidak begitu peduli dengan tampilan mau pun riasan wajah. Nara hanya akan memoles beberapa pelembab dan bedak serta liptint tipis. Ia pernah bilang makeup tebal membuatnya terlihat seperti banci pinggir jalan. Konyol memang, tapi itulah Nara, gadis polos yang mampu memikat hatinya. Menjadi candu disetiap malamnya.
Nara duduk di sebelah Tuan Hermansyah, ia menatap malu ke arah Alvin dan kedua orangtuanya. Pipi Nara bersemu merah, ia tidak pernah menyangka hubungan mereka akan sejauh ini dan Alvin sangat menghargai semua prinsip yang ia pegang teguh. Alvin tidak pernah melakukan hal yang ia tidak suka. Bahkan semenjak mereka pacaran tidak pernah sekali pun mereka pergi hanya berdua. Jika bukan dengan Bi Inem, Nara akan pergi dengan Intan sahabat baiknya itu. Lagi pula, ayahnya tidak akan mengizinkan Nara pergi hanya berdua meski ia tahu kemana dan dengan siapa Nara pergi.
Prinsip teguh yang Tuan Hermansyah pegang membuat Nara ikut mencontohnya. Hal yang begitu bagus yang tidak banyak orang miliki saat masa mudanya.
Bi Inem dan Pak satpam yang ikut menyaksikan di ruang tamu tersenyum haru, Alvin merupakan anak dari sahabat Tuan Hermansyah. Mereka sudah mengenal Alvin sejak lama meski untuk beberapa tahun yang lalu, Alvin memutuskan mengambil kuliah di London. Sempat ada rasa khawatir karena Nara memiliki hubungan dengan Alvin, Bi Inem yang sedikit banyak tahu pergaulan di London sempat menasehati Nona mudanya untuk tidak terjerumus ke lembah kegelapan. Beruntung selama mereka pergi untuk sekedar menonton atau makan Bi Inem selalu di ajak oleh Nara. Terkadang Pak Satpam ikut menemani mereka saat Tuan Hermansyah tidak bisa ikut.
Acara dimulai dengan syahdu dan kebahagian telihat jelas di wajah Nara maupun Alvin. Suasana sangat bersahabat tanpa ada ketegangan di kedua belah pihak. Mereka justru tertawa bercanda mengingat masa-masa kecil Nara dan Alvin. Acara inti bertukar cincin telah di laksanakan kini mereka menghabiskan waktu dengan menyantap makanan yang telah di sediakan. Nara berjalan menatap foto besar yang terpajang di ruang tamu, ia nampak sedih namun perlahan senyumnya mengembang.
"Ibu, anakmu sebentar lagi menikah. Apa di sana Ibu bahagia? Doakan Nara, Bu."
Tangan kekar seketika melingkar di pinggang ramping Nara, memeluk gadis itu dari belakang. "Kamu sedih?" tanyanya seraya menaruh dagu di pundak Nara dan ikut menatap foto kedua orangtua Nara.
"Aku sedih dan bahagia sekaligus. Terimakasih sudah menerimaku dengan kesungguhan hatimu."
"Tentu! Kamu bidadariku, aku akan selalu menjagamu seperti Ayahmu yang selalu berada di sisimu!"
"Terimakasih, Alvin!"
Mereka berdua saling menumpahkan cinta mereka dengan mata berfokus pada bingkai foto besar di sana. Bingkai Ayah dan Ibunda yang tengah mencium pucuk kepala Nara saat sang ibunda masih di atas ranjang rumah sakit. Ciuman pertama dan terakhir yang Nara rasakan saat itu. Mendengar cerita Ayahnya, Nara menitihkan air mata. Ibundanya bersikeras duduk meski kondisinya sangat lemah, menggendong Nara kecil dan menciumnya lembut meski selang oksigen masih menempel di hidung. Seperti firasat, Ayah Nara meminta Pak Satpam yang dahulu berprofesi sebagai seorang fotografer mengabadikan setiap momen yang tercipta saat itu. Momen sekecil apapun tak masalah karena kelak Nara akan mengerti sang Ibunda sangat mencintainya melebihi apapun.
Cinta datang membawa kebahagiaan, terkadang saat bahagia tercipta akan ada luka yang ikut mendampinginya. Luka yang tidak pernah mereka pikir sebelumnya. Ketika komitmen di ucapkan maka setan akan lebih kuat menggoda, menghasut manusia menghancurkan komitmen itu.
***
Nara melangkahkan kaki, menyusuri koridor kantor yang masih sepi. Wajar saja, saat ini jam kerja masih berlangsung. Ia bisa melihat ke dalam ruangan yang berlapiskan kaca, disana para pegawai tengah serius mengerjakan pekerjaan mereka. Senyum tidak dapat ia sembunyikan, melihat kegigihan mereka membuatnya bersyukur.
"Non Nara?" sapaan itu membuat Nara menoleh melihat wanita paruh baya yang masih begitu cantik menghampirinya. Ia tersenyum memamerkan deretan gigi dan menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia seperti penguntit yang tertangkap basah sedang mengintip mangsanya.
"Pagi Miss Dara." ia menyapa balik membuat wanita itu tersenyum semakin ramah. Ah, andai wanita ini belum bersuami Nara pasti dengan senang hati menjodohkan ia dengan ayahnya.
"Mau cari Tuan?" Nara mengangguk, "lalu kenapa disini? Mengintip seperti maling." lagi Nara menggaruk kepalanya membuat Miss Dara terkekeh.
"Saya bercanda, mari saya antar."
"Ah, Miss." Nara salah tingkah ia sebenarnya tidak suka jika diperlakukan seperti ini, terlalu spesial pikirnya.
Mereka berdua berjalan bersama, sesekali bercanda dan saling menyindir satu sama lain.
"Miss, gimana keadaan Ade? Udah baikan?"
Miss Dara mengangguk, "Maaf ya, Non. Kemarin saya gak bisa datang ke acara Non."
"Gak papa, lagian Ade lebih butuh Miss."
Nara paham, ia tahu bagaimana frustasinya Miss Dara saat mendengar kabar anaknya yang masih kecil mengalami kecelakaan. Beruntung Ade, nama anak Miss Dara tidak terluka parah.
"Jadi Non gak butuh Miss nih?!" Miss Dara mencoba merajuk membuat Nara tertawa dan memukul pelan pundak wanita itu.
"Sudah sampai, Tuan ada di dalam."
Nara melangkah membuka pintu dan melambaikan tangan, "Bye bye, Miss."
Miss Dara membalas lambaian tangan Nara.
"AYAHHH!!!"
Tuan Hermansyah mendongak menatap puteri semata wayangnya terkejut.
"Loh Nara, ada apa?"
Nara hanya tersenyum, ia mulai bertingkah menggemaskan.
"Ayah, Ayah, Ayah."
Jika sudah begini Tuan Hermansyah mengerti, gadis kecilnya ini pasti menginginkan sesuatu.
"Apa? Biat Ayah belikan."
Nara cemberut, ia menggeleng cepat.
"Lalu?"
"Aku mau pergi ke Bandung sama Alvin, boleh?"
Kerutan di kening Tuan Hermansyah terukir, ia seperti berpikir dan menatap puterinya ragu, "Berdua aja?"
"Hmm, kalau boleh."
Helaan napas terdengar. Tuan Hermansyah berdiri mendekat ke arah Nara. Ia mengelus pucuk rambutnya, "Ayah tahu kalian sudah terikat tapi bukan berarti kalian bisa pergi berdua aja."
"Di sana ada Intan kok." sangkal Nara.
"Ayah tahu di sana ada Intan. Tapi sagang, Ayah tetal gak izinin kalau cuma berdua. Gimana kalau sama Bi Inem? Kapan perginya?"
"Besok lusa, Yah."
Tuan Hermansyah terlihat berpikir, "Lusa Ayah ada meeting. Kamu sama Bi Inem aja ya?"
Pada akhirnya Nara menyetujui usul Tuan Hermansyah. Memang ini bukan kali pertama seperti ini tapi seolah menjadi kebiasaan Tuan Hermansyah tidak akan pernah mengizinkan puterinya pergi berdua terlebih dengan seorang pria.
"Ayah tahu mungkin ini kolot, tapi menjaga lebih baik daripada mengobati. Kamu tahukan kehormatan seorang perempuan itu lebih penting dari segalanya?" Nara mengangguk, ia ingat setiap nasihat sang Ayah, "Ayah gak mau puteri Ayah di hina karena gak bisa jaga kehormatannya. Ayah rela jika hinaan itu tertuju untuk Ayah, tapi jika hinaan itu tertuju untuk kamu sampai mati Ayah gak akan rela."
"Aku juga gak rela kalau Ayah dihina. Siapa yang berani? Sini hadepin dulu Nara!"
Mereka berdua saling menatap penuh kasih, Nara yang menggebu tak ingin kalah dengan sang Ayah membuat Tuan Hermansyah gemas.
"Anak Ayah memang pintar. Terus bahagia apa pun yang terjadi. Jangan pernah membenci karena kebencian hanya akan menyengsarakanmu."
Nara mendekap tubuh gagah itu, ia mencium harum yang selalu ia sukai. Menjadi puteri seorang Hermansyah merupakan kebanggaan untuknya.
"Nara sayang Ayah."
"Ayah juga sayang Nara."
Tatapan teduh Tuan Hermansyah seolah menyimpan suatu ketakutan dan kesedihan bersamaan. Entah sampai kapan ia akan berada di samping puterinya. Umur yang sudah mulai menua membuat kesehatannya tidak terlalu bagus. Ia selalu berharap suatu saat jika Tuhan mengambil nyawanya, Nara sudah memiliki seseorang yang menjadi pegangan dan tumpuan hidupnya. Seseorang yang mampu menyayangi dan menghormatinya setulus hati.
***
Alvin tersenyum saat Nara keluar membawa satu koper besar di susul Bi Inem yang berada di belakang. awalnya Alvin tidak setuju dengan keputusan Nara yang tetap membawa Bi Inem. Bahkan kemarin mereka sempat bertengkar hanya karena masalah ini.
"Kita udah tunangan, Ra. Kamu mau kaya gini terus bawa orang lain setiap kita pergi?"
"Kita belum nikah, Vin. Apalagi ini nginep, Ayah gak akan biarin aku pergi sendiri. Lagian Bi Inem bukan orang lain, dia Ibu aku. Kamu harus bisa menghormati dia juga."
"Terserah kamu, aku bingung sama prinsip kamu."
Nara tersenyum kecut mengingat pertengkaran mereka semalam membuatnya sedikit goyah entah mengapa ia merasa Alvin belum sepenuhnya jujur padanya tapi, kata orang setiap hubungan yang akan melangsungkan pernikahan selalu mendapat cobaan yang tidak pernah disangka. Ia hanya berharap apa pun rintangannya bukan berasal dari orang ketiga.
Selama perjalanan semua terasa begitu hening, Nara dengan kesibukannya berbalas chat dengan sahabatnya, Intan permata Sari yang kini bekerja di salah satu hotel ternama milik Nara. Intan sudah menyiapkan kamar khusus untuk Nara dan Alvin tapi hal itu Nara tolak karena ia pergi bersama Bi Inem. awalnya Intan mencibirnya, bagaimana bisa Nara tetap bersikap kolot padahal sebentar lagi ia menikah dengan Alvin. Nara tidak terlalu ambil pusing baginya menjaga kehormatan lebih penting dari apa pun. Intan mungkin sudah terbawa pergaulan anak muda di Bandung. jabatan sebagai general manager tidak menutup kemungkinan ia bertemu dengan pria-pria hidung belang dan teman-teman yang salah. terakhir kali Nara melihat sendiri bagaimana Intan pergi ke club dan berpergian bersama pacarnya.
"NARA!!" teriak Intan saat Nara memasuki hotel. Nara tersenyum berlari kecil menghampiri Intan dan memeluk sahabatnya yang sudah lama ia rindukan.
"Intan, aku kangen."
Rengekan Nara hanya disambut senyum oleh Intan sedangkan Alvin hanya bisa menggeleng lucu dnegan sikap Nara.
"Vin, dateng juga. Kirain gak bakal dateng." Intan tersenyum seraya melirik Nara dna menggodanya membuat alvin tersenyum kecut. Intan yang melihat senyum Alvin hanya bisa menggeleng seraya menyerahkan dua kunci kamar.
"Ra, nanti aku tunggu di kolam renang aja ya?"
Nara mengangguk ia tidak terlalu peduli dengan wajah kusut Alvin, ia ingin segera ke kamar dan merebahkan diri. Sejak tadi pikirannya entah dimana. Melihat sikap Alvin yang sedikit dingin membuat sedih dan kecewa bersamaan. Mungkinkah Alvin tidak sebaik yang ia kira? Kenapa disaat semua sudah terikat perasaan itu baru muncul?
Setelah kepergian Nara, Intan menyenggol pundak Alvin dan menatapnya mengejek, "Kenapa? Gagal icip-icipnya?"
Alvin seolah mengerti ia mengangguk dan mengusap wajahnya kasar, "Au ah, diakan emang kolot."
"Ck, maklumin aja dia itu terlalu baik tau gak!"
"Ya, ya. Oh iya pakaian kamu tuh benerin masa GM pakaian kaya gitu!"
"Kenapa? Gak ada yang salah kok-" seketika Intan terdiam ia tersenyum dan mencondongkan wajahnya berbisik di telingan Alvin, "pingin ya?"
Alvin tidak diam, ia menjauhkan jarak menatap Intan dari atas hingga bawah, "Kalau iya, kamu mau tanggung jawab?" Alvin mendekat ia meniup kuping dan leher Intan membuatnya bergerak geli, "jangan mancing atau kamu tahu akibatnya."
Intan mendelik kesal, sementara Alvin terkekeh dan memilih pergi meninggallkannya. Intan menghentakkan kaki kesal dan menatap punggung Alvin yang begitu menggoda baginya.
"Ck, disangka gue gak berani kali ya!!"
Intan dan Alvin dipertemukan Nara dua tahun yang lalu. Kesan pertama yang Intan lihat dari Alvin, laki-laki itu begitu tampan, baik dan juga hot. Badan yang kekar dan terawat serta kulit putih seperti susu membuat Intan sempat terpesona. Mereka bertiga sering bertemu bahkan terkadang Alvin mengajak Intan keluar hanya untuk mencari hadiah. Hubungan mereka layaknya teman, namun terkadang mereka juga bercanda layaknya kekasih. Alvin pernah menggodanya, menciumnya lembut membuat Intan terbuai. Alvin selalu berkata, ia tidak pernah mendapat service selayaknya pacar dari Nara. Mereka hanya berpelukan dan berpegangan tangan membuat Alvin frustasi dan berakhir menyalurkannya kepada Intan.
Bagi Intan semua tidak masalah asal Alvin bisa memperlakukannya lebih baik bahkan sempat terpikir ia ingin memiliki Alvin seutuhnya.
***
Setelah membereskan semuanya, Nara memilih keluar kamar dan menyusul Alvin dan Intan yang sudah berada di kolam renang. Tadi, Alvin memintanya untuk datang dan menemaninya. Bi Inem yang masih lelah memilih di kamar. Nara paham karena bagaimana pun Bi Inem sudah berumur wajar jika kondisi fisiknya tidak sekuat dahulu.
Nara tersenyum melihat Alvin dan Intan yang tengah bercanda di dalam kolam renang. Ia yang menggunakan kaus kebesaran dengan celana pendek mendekat.
"Hei!"
Keduanya menoleh menatap Nara yang datang tanpa pakaian renang.
"Loh kamu kok gak pakai baju renang?" Alvin terlihat kecewa membuat Nara meringis tak enak hati.
"Udaranya dingin aku gak berani buat nyebur."
"Ya ampun, Ra. Ini tuh hangat kamu ini malu-maluin aja!" gurau Intan membuat Nara mendengus.
"Kamu enak udah biasa sama udara Bandung, aku di Jakarta aja tidur masih pakai selimut."
Intan menggeleng, memang sahabatnya ini paling tidak bisa dengan udara yang dingin. Jika ia lupa memakai selimut atau mantel dapat dipastikan keesokan harinya Nara jatuh sakit.
"Yaudah kamu di sana aja duduk kalau gak mau nyebur." usul Intan menunjuk tempat yang sudah ia siapkan. Disana sudah ada minuman dan makanan yang bisa Nara santap.
"Aku berenang lagi ya," pamit Alvin yang diangguki Nara. Ia memilih untuk duduk dan menjemur badannya dibawah matahari yang tidak terlalu terik membiarkan Intan dan Alvin menikmati waktu berenangnya.
"Intan apa gak kedinginan cuma makai bikini kaya gitu?" gumam Nara melihat Intan yang berenang menjauh dari Alvin. Ia tersenyum selalu menyukai sikap Intan yang menjaga jarak dengan Alvin di hadapannya.
"Intan itu emang sahabat yang baik."
Intan yang sudah menjauh dari Alvin memilih untuk pindah ke kolam yang lebih dalam, ia sempat melirik Nara yang sudah mulai menikmati waktunya sendiri, ia beralih melirik Alvin yang melihatnya penuh nafsu. Ia memang sengaja menggunakan bikini untuk menggoda Alvin bahkan sebelum Nara datang ia dan Alvin sudah saling berpelukan bercanda bahkan saling bercumbu di dasar kolam. Ia memberi isyarat meminta Alvin ke sisi kolam yang lebih tersembunyi. Alvin yang mengerti segera bergegas mengikuti Intan tanpa sepengetahuan Nara. Beruntung kolam hari ini begitu ramai akan sulit mencari keberadaan mereka berdua.
"Kamu sengaja ya?" tanya Alvin yang sudah berada di hadapan Intan. Intan hanya terkekeh membuat Alvin gemas bukan main. Ia mendekat memeluk tubuh sintal Intan dan membenamkan kepala di leher gadis itu.
"Kamu harum,"
Intan membiarkan ALvin bermain di lehernya dan sengaja mengangkat kedua kaki melilitkannya di tubuh Alvin. Dada yang begitu besar dan sintal membuat Alvin kesenangan. Ia beralih dari leher dan mencium sekitar dada Intan. Tanpa pikir panjang ia melepas ikatan bra yang berada di leher intan dan menyelam melumat gundukan yang begitu kenyal. Intan yang memang terbiasa dijamah mulai menikmati semuanya.
Alvin kembali menyembulkan kepala melihat bagaiana wajah Intan yang begitu menggoga, ia mulai memainkan tangannya membuat Intan semakin mendesah keenakan. Tangan Alvin tidak tinggal diam di satu tempat ia terus menjamah bahkan membuat permainan yang lebih berani. Intan mengikuti permainan Alvin tangannya ikut bergerak membuat sensasi yang begitu menyenangkan.
"Ahh," teriak keduanya bersamaan.
Nara yang tertidur tersentak dan membuka matanya cepat. Keringat sudah membanjiri wajahnya, ia menoleh ke kanan dan kiri dan menghembuskan napas lega, "Cuma mimpi." ucapnya lega.
Ia mengambil air dan meminumnya hingga tandas setelah itu matanya berkeliling mencari Intan dan juga Alvin.
"Mereka kemana sih?" gumamnya melirik jam di tangan. Sepertinya sudah satu jam ia tertidur apa selelah itu perjalanan Jakarta ke Bandung atau karena udara yang sejuk dengan matahari yang hangat membuatnya nyaman?
"Dor!!"
Nara menoleh menatap Intan yang berada di belakangnya.
"Ishh, kamu itu kemana aja sih."
Intan tersenyum kini pakaiannya sudah berganti bahkan rambut gadis itu sudah mulai mengering.
"Aku lihat kamu lagi santai tiduran jadi aku mandi deh."
Nara hanya beroh ria, ia menoleh lagi mencari Alvin.
"Alvin tadi bilang mau ke kamar mandi. Tungguin aja yu."
Nara mengangguk mereka berdua saling bercengkrama menceritakan kegiatan sehari-hari dan tertawa mengingat kenakalan mereka saat dibangku sekolah.
Alvin yang melihat keduanya dari jauh sedikit menyesali perbuatannya. Bayangan saat ia dan Intan bercumbu di kolam renang dan di kamar mandi terbayang lagi.
"Gue sayang Nara tapi goyangan Intan beneran mabukin abis."
Alvin menggeleng mengingat cumbuan mereka membuatnya ingin lagi dan lagi. Saat bercinta ia sempat berpikir bagaimana rasanya jika dengan Nara. Berengsek memang tapi malam ini ia harus bisa membuat Nara bercinta dengannya lagi pula mereka sudah bertunangan bukankah itu hal yang wajar? Mereka hidup di zaman modern bukan zaman kolot seperti saat kedua orangtuanya.
Alvin akhirnya mengajak mereka untuk makan di cafe hotel. Nara setuju ia juga membawakan beberapa makanan untuk Bi Inem nantinya. Ketiganya saling bercanda gurau bahkan Intan beberapakali menggoda Nara untuk mencairkan keadaan.
"Nanti malam kita kemana?" tanya Nara menatap Intan antusias.
Intan mengernyit ia berpikir sesaat dan menepuk keningnya keras, "Gue lupa nanti malam ada party di kolam renang. Kalian gak usah kemana-kemana di sini aja suasana pasti romantis mau ngapain aja juga gak bakal ada yang komplain."
"Ngapain apa nih maksudnya?" canda Alvin membuat Intan tertawa.
"Ya ngapain aja, nanti malam acara bebas lo pada mau ciuman mau ngapain di sekitar sini juga gak ada yang larang."
Nara terkejut, "Ada yang kaya gitu? Emang gak ada larangannya?"
"Jangan kolot deh, ini udah zaman modern kali. Lo mau ngapain juga bodo amat disini mah."
"Kamu?" Nara penasaran.
"Gue ngawasin kan gue manager di sini gimana sih lo."
"Maksud aku kamu gak bawa pacar kamu?"
Intan terkejut ia menggaruk pipinya pelan, "Gue udah putus lama, sekarang free." ucap Intan seraya menatap Alvin. Nara hanya mengangguk tahu jika sahabatnya ini sulit untuk membuat komitmen.
"Yaudah cari aja lagi."
"Gampang, selagi ada yang bikin mendesah kenapa cari yang lain?" Intan semakin menggoda Alvin, ia menggigit bibirnya sensual.
Nara yang tidak mengerti hanya mengedipkan mata membuat Intan sekali lagi terbahak."Ya ampun, Ra. Lo hidup di gua apa gimana sih masa kaya gitu aja gak ngerti. Gue salut sama Ayah yang bener-bener jaga lo. gue jadi iri."
Intan sedikit bersedih membuat Nara segera berdiri dan memeluk sahabatnya itu.
"Lupain hal yang menyakitkan, lagian Ayah aku 'kan Ayah kamu juga."
Intan tersenyum miris. Benarkah seperti itu? Jika nanti Nara tahu perbuatannya apa pelukan ini masih bisa ia terima?
***
Malam hari tiba, Bi Inem dan Nara keluar mencari Alvin yang sudah lebih dulu bersama Intan ke kolam renang. Awalnya Bi Inem terkejut melihat para pemuda-pemudi hanya menggunakan bikini dan pakaian mini lainnya. Ia sempat melarang Nara tapi melihat nara memohon membuatnya iba dan memutuskan untuk terus mengawasi gadisnya ini. Entah mengapa melihat suasana yang begitu menyeramkan membuat Bi Inem takut jika Alvin terbawa suasana dan terjadi hal yang tidak di inginkan. Kata orang dulu jika dua anak manusia yang berbeda jenis disatukan maka akan hadir orang ketiga yang tidak lain adalah setan.
Setelah mereka berkumpul Bi Inem melirik Intan yang juga menggunakan rok sepaha dnegan tanktop ketat yang memperlihatkan bentuk tubuhnya. Ia hanya menggeleng, Intan memang tidak berubah pikirnya.
"Non jangan jauh-jauh. Bibi ambil makanan dulu!" pinta Bi Inem yang diangguki Nara.
Alvin yang berada di sebelah Nara mendengus kesal. Setelah kepergian Bi Inem. Alvin menarik Nara dan mendudukkannya dipangkuan.
"Vin, apaan sih?!"
Intan yang melihat memilih pergi ia tidak ingin menjadi pengganggu untuk mereka.
"Sebentar aja." pinta Alvin memeluk tubuh Nara dari belakang. Ia mencium leher Nara membuatnya bergerak gelisah.
"Vin!"
Alvin tidak peduli, ia semakin mengencangkan pelukan dan membalik tubuh Nara.
"Aku sayang banget sama kamu. Jangan tinggalin aku."
Nara yang melihat wajah murung Alvin mengelus pipi pemuda itu pelan dan memberikan kecupan hangat di pipi.
"Akukan udah jadi milik kamu."
"Beneran?"
Nara mengangguk membuat Alvin tersenyum dan menyambar bibir ranum itu. Awalnya Nara menolak tapi dengan sedikit paksaan Alvin membuatnya menyerah. Alvin sedikit menyeringai dan semakin memperdalam ciuman mereka. Tangan Alvin tidak tinggal diam, ia sudah masuk ke dalam kaus yang Nara pakai dan meremas dua gundukan kenyal disana.
Seperti tersadar nara segera melepas ciman mereka membuat Alvin merengut kecewa.
"Maaf tapi belum saatnya." ucap Nara dna berdiri dari posisi awalnya. Alvin menggeram kesal, Nara hanya bisa tersenyum kikuk dan pergi menyusul Bi Inem. ia takut jika terlalu lama dengan ALvin pertahanannya selama ini runtuh dan akibat kebodohannya itu ayah tersayangnya akan kecewa.
"SIAL!!" kesal Alvin mengusap wajahnya frustasi.
Intan yang berada tidak jauh dari sana tersenyum dan mendekat.
"Mau gue bantu?"
Alvin mendongak membuat Intan tersenyum dan menarik tangan alvin untuk menyentuh dua gundukan yang hanya terhalang tanktop tipis.
"Lo gak pakai bra?"
Intan menggeleng, "Gue lepas tadi, gimana mau gak?"
Alvin tidak menolak, ia berdiri dan mengikuti ajakan Intan. Sebelum emreka pergi, ia mengirim pesan ke Nara jika ia kembali ke kamar untuk tidur. Nara yang membaca pesan itu hanya mendesah kecewa dan tahu jika perbuatannya barusan membuat Alvin kecewa.
"Alvin pasti marah, tapi gimana aku gak mungkin ngelakuin itu. Kita belum sah."
***
Sepulang dari Bandung Nara dan Alvin disibukkan dengan persiapan pernikahan mereka. Mulai dari mendatangi beberapa WO untuk membantu acara mereka, mencari gaun yang akan dikenakan serta cincin pasangan. Tidak jarang mereka bertengkar karena perbedaan selera tapi, semua itu terselesaikan dengan Alvin yang selalu mengalah.
Hari berjalan begitu cepat, tanpa disadari hanya tinggal sebulan sebelum acara mereka. Persiapan sudah hampir selesai. Nara bersyukur semua berjalan dengan baik.
"Intan kemana sih? Katanya seminggu lagi bakal ke Jakarta. Ini udah sebulan dia belum ke sini juga. Gak bantuin aku lagi, sebel deh!!" Nara mengoceh, melempar bantal ke sembarang arah seraya mendekatkan ponsel ke kuping berharap panggilannya tersambung.
"Ha-"
"INTAAANNNNNNNNN, KAMU ITU KEMANA?!!!"
Tawa terdengar di sebrang sana membuat Nara semakin mengerucutkan bibirnya kesal. "Malah ketawa lagi!!!"
"Maaf, maaf. Aku sibuk banget ngurus kerjaan di sini."
"Jadi kamu lebih mentingin kerjaan?!!!"
"Gak gitu, Sayang. Hari ini aku di pindahin ke Jakarta jadi aku bisa nemenin kamu."
"Ap-APAAAA???? Kamu di pindahin ke Jakarta? Serius?" ia terlonjak bangun dari posisi awal dan terlihat sangat antusias,
"Iyaaa, Nara!!!"
"Sekarang udah di Jakarta? Dimana? Kapan ketemu??" rentetan pertanyaan yang selalu Nara lakukan ketika tahu Intan akan berkunjung. Rasa rindu kepada sahabatnya tidak terbendung lagi. Maklum saja hanya Intan yang Nara punya sebagai teman dekat, tidak ada lagi teman sebaik Intan menurut Nara.
"Sabar, sabar. Nanti malam aku ke rumah sekarang aku masih di kantor."
"Beneran ya? Aku tunggu loh."
"Iyaaaaaa, bye. See you soon!!"
Panggilan itu terputus, Nara tersenyum penuh kebahagiaan. Ia kembali merebahkan diri dan mengetik beberapa kata untuk ia kirim ke Alvin. Ia memikirkan apa yang akan diceritakan kepada Intan nanti malam. Ia akan mengadu betapa menyebalkannya Alvin untuk beberapa hari ini. Lelaki itu sangat sibuk, sulit dihubungi bahkan sudah jarang datang ke rumah dengan alasan pekerjaan.
Sementara itu di sebuah café ternama di Jakarta. Intan tengah menatap seorang lelaki dan tersenyum penuh kerinduan.
Ting.
"Siapa?" Tanya Intan yang melihat ponsel lelaki itu menyala.
"Nara. Dia bilang kamu ada di Jakarta."
"Ck, padahal dia baru telpon aku tadi." Mereka duduk berhadapan menatap satu sama lain dan memilih mengabaikan pesan Nara..
Alvin menatap Intan kagum, terlebih pakaian Intan yang terbuka semakin membuatnya bersemangat membawa wanita di depannya pergi ke hotel. Mungkin Alvin sudah gila, pernikahan yang tinggal menghitung hari tidak membuatnya takut sama sekali. Ia semakin dibutakan nafsu, memilih pergi bersama sahabat kekasihnya, berdua dan saling berhubungan intim.
Sebenarnya Alvin sudah tahu dari tiga hari lalu Intan di Jakarta. Mereka membuat janji dan bertemu di hotel tempat Intan menginap. Intan memang sengaja tidak memberitahu Nara, ia ingin melepas rindu dengan Alvin terlebih dahulu.
"Kamu gak papa hari ini gak ke rumah Nara?" Alvin menggeleng, meggenggam tangan Intan dan mengecupnya pelan. "CK, padahal semalam kamu udah sama aku loh."
"Kenapa? Kamu gak suka emang?"
Intan menggeleng cepat balik menggenggam tangan Alvin erat, "Tentu aku senang! Bahkan aku mau setiap hari sama kamu. Malam ini aku ke rumah Nara, kamu istirahat di rumah aja. Aku yakin Nara pasti bakal cerita banyak tentang kamu yang ngilang beberapa hari ini."
"Kan aku sama kamu. Yaudah, nanti kamu ke rumah Nara tapi bisakan kasih aku jatah dulu?" Alvin tersenyum genit berdiri dan menarik Intan pergi dari tempat itu. Intan hanya terkekeh mencubit pinggang Alvin. Siang ini mereka memilih menghabiskan waktu berdua lagi.
"Bukannya itu Alvin calonnya Nara sama Intan?" seorang wanita yang berada di café itu menatap heran dua orang yang baru keluar. Ia mengernyitkan keningnya dna berusaha acuh dengan apa yang ia lihat. Toh, itu bukan urusannya.
***
Nara menatap kesal Intan yang baru datang, menariknya cepat dan membawa wanita itu menuju kamarnya.
"Kamu tuh ya, udah sebulan gak ada kabar datang ke Jakarta gak bilang-bilang!!"
"Surprise."
Intan menggerakkan tangan seolah seperti memberi kejutan. Nara mendengus kesal tapi seketika ia menarik Intan dan memeluknya erat. Mereka berdua saling melepas rindu bercerita penuh canda tawa tanpa beban. Intan menceritakan beberapa pekerjaan yang mencekiknya dan Nara menceritakan betapa mengesalkannya Alvin belakangan ini.
Nara dan Intan seperti kakak adik bagi para murid di sekolahnya dahulu. Dimana ada Intan pasti Nara di sampingnya begitu pun sebaliknya. Mereka tidak pernah terpisah. Bertengkar? Tentu! Seringkali mereka bertengkar hanya saja itu tidak berlangsung lama, mereka segera menyelesaikannya dan saling meminta maaf tanpa meninggalkan dendam di hati mereka.
Nara selalu bangga dengan Intan, meski wanita itu berasal dari keluarga brokenhome tapi Intan memiliki keteguhan untuk sukses. Selalu ceria dan rendah hati, itulah yang membuat Nara semakin yakin berteman dengan Intan. Baginya, Intan merupakan pelangi yang diberikan Tuhan untuk membawa warna untuk hidupnya.
"Tan, kamu gak mau kenalin cowo kamu ke aku?"
Intan terdiam menatap Nara bingung. Ia hanya bisa tersenyum menarik bantal yang Nara gunakan untuk menyanggah lengan dan memeluknya erat.
"Gimana ya, kayanya aku sama dia gak bakal bisa bersama."
Nara mengerutkan keningnya, "Kenapa emangnya?"
"Gimana ya, dia punya orang lain. Aku gak bisa milikin dia."
"Eh, maksudnya?"
"Ya, dia udah punya calon untuk hidupnya. Aku gak bisa ngerebut dia 'kan?"
"Kenapa kamu bisa suka sama cowok kaya gitu sih? Kamu cantik, baik. Jangan cari yang udah punya pasangan, Tan. Aku yakin kamu bisa dapetin cowok kaya apapun yang kamu mau."
"Benarkah? Cowok yang aku mau?"
Nara mengangguk yakin memberi semangat kepada Intan yang terlihat begitu sedih, belum pernah ia melihatnya seperti itu. Mencintai lelaki yang telah memiliki kekasih merupakan kesalahan tapi sebuah perasaan tidak pernah salah. Nara hanya bisa meringis meratapi kisah sahabatnya ini.
Kalau aku menginginkan Alvin apa aku akan mendapatkannya? Batin Intan berseru. Ia menatap Nara merasa sedikit bersalah terlebih sahabatnya itu terlihat sangat mengkhawatirkannya.
Cinta memang tidak pernah salah ...
Keserakahan menginginkan milik orang lainlah yang salah ...
***
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih. "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.
Mata tajam Tuan Hermansyah menatap ke arah Alvin. Ingin rasanya Tuan Hermansyah mencabik tubuh Alvin saat ini juga. Karena perbuatan biadab yang telah ia lakukan membuat anak sematawayangnya terpuruk dalam kesedihan. Tidak ada luka yang lebih dalam selain melihat putrinya bersedih meratapi nasib yang malang."Jadi, ini yang kamu ajarkan untuk anakmu, Gus?" ucapan dingin Tuan Hermansyah membuat suasana ruangan kian mencekam. Hanya ada ketegangan dipertemuan kali ini tidak ada suka cita seperti sebelumnya."Maaf saja mungkin tidak cukup. Semua memang salah kami yang membiarkannya terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak sehat. Kesalahan kami karena kurang memperhatikannya dan mungkin harusnya kami tidak mengirimnya ke London untuk bersekolah kala itu.""Sebenarnya bukan salah diman
Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.***"AYAH!!!!""AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!""AYAHHHH!!!"Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu."Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas."Bi, Ayah, Bi."
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me