Percayalah, Tuhan tidak akan memberi cobaan melampaui batasan manusia itu sendiri.
***
"AYAH!!!!"
"AYAHHH BANGUN AYAHHHH!!!"
"AYAHHHH!!!"
Suara Nara begitu menggema. Tubuh Tuan Hemansyah kini tengah terbaring di atas ranjang dengan oksigen yang terpasang di wajah dan alat-alat yang memenuhi tubuhnya. Nara semakin menggila ia tidak bisa mengontrol emosinya. Marah, takut, sedih menjadi satu.
"Non, tenang, Non." pinta Bi Inem sekali lagi. Bi Inem semakin mengeratkan pelukannya. Suara Nara seketika mengecil, tubuhnya melemas.
"Bi, Ayah, Bi."
"Iya, Non. Sabar Non. Tuan pasti kuat."
"Bii, Ayah. Nara takut, Bi."
"Tenang, Non. Ada Bi Inem di sini."
Hari itu, seolah pintu kesengsaraan terbuka lebar untuk Nara. Ia berada di ambang ketakutan dan juga kesedihan. Bayangan kesendirian seolah tergambar jelas. Ia tidak menginginkannya. Tidak apa, semuanya menghilang asal jangan Ayahnya. Beberapa kali ia memohon, berdoa dan berlutut seraya menangis tersedu tapi seolah percuma, Ayahnya tetap di dalam dengan mata tertutup enggan melihatnya.
"Ayah," pilu Nara.
Krett.
Pintu ruangan terbuka menampilkan sosok pemuda berjas putih dengan masker menutupi sebagian wajahnya. Nara bergegas berdiri, berlari dan mencengkram erat lengan dokter di depannya.
"Dokter, dokter bagaimana Ayah saya, Dok?"
Lelaki berjas putih itu hanya meghela napasnya. ia menggeleng sesaat dan menyentuh tangan Nara dan melepas dari lengannya, "Temui dia, kita harus segera mencari pendonor untuk jantungnya."
Deg!
Nara terdiam, matanya terpaku menatap iris kelabu yang juga menatapnya. Ia menggeleng mencoba tidak mempercayai ucapan itu. Ia mundur selangkah menatap ruang ayahnya dan berlari menerobos masuk meninggalkan Bi Inem di luar.
"AYAH!" Nara terbelalak. Ia menutup mulut dengan kedua tangan seraya berjalan lunglai, "A-ayah."
Jika dunia ini memang adil, mengapa ia harus merasakan sakit bertubi-tubi. Tidak cukup dikhianati dan kehilangan harapan dalam hal cinta. Mengapa Tuhan seolah menenggelamkannya di dasar yang paling jauh, melepas genggamannya dan melempar Nara ke lubang hitam tak kasat mata.
Benarkah Tuhan sekejam itu? Ataukah kita yang kejam karena melupakannya?
***
Nara semakin terisak. Ia menggenggam tangan besar itu, menciumnya seraya berdoa untuk kesembuhan Ayahnya.
"Tuhan, tidak apa jika kau memang ingin menghukumku. Tapi, bolehkah aku meminta jangan menghukumku melalui Ayah? Egois memang tapi, kehidupanku hanya untuk Ayahku. Ialah satu-satunya keluarga yang aku punya. Jangan terlalu keras padaku, kumohon, Tuhan."
Jemari besar itu bergerak. Nara bergegas menatap wajah ayahnya, menelisik mata yang kini bergerak gusar dan perlahan terbuka. Nara berseru, memencet tombol memanggil dokter. Ia tersenyum mengucap syukur beberapa kali dan mencium tangan sang Ayah.
"Na-Nara," cicitan yang sangat Nara rindukan. Entah berapa kali ia menangis, ia sudah lupa yang jelas ayahnya sudah cukup lama memejamkan mata dengan beberapa pasang kabel yang menempel di dada.
Derap langkah terdengar begitu keras. Bi Inem membuka pintu, wajahnya terlihat pucat takut melihat panggilan yang Nara berikan tiba-tiba. Tadi Bi Inem pamit ke luar untuk membeli bubur. Sudah hampir satu minggu Nara tidak makan, gadis itu hanya menangis dan menangis. Beruntung fisiknya terbilang kuat, jika tidak mungkin ia sudah tumbang sejak lama.
"Permisi, bisa saya periksa dahulu?"
Nara menoleh, menatap lelaki yang bertugas merawat ayahnya. Lelaki itu mendekat memeriksa Tuan Hermansyah dan sesekali mengajaknya berbicara. Tatapan Tuan Hermansyah terlihat kosong, ia hanya diam sesekali melirik Nara yang menangis di ujung sana bersama Bi Inem yang senantiasa menggenggam tangan Nara.
Tuan Hermansyah mengangkat tangannya susah menggerakkan jemari memanggil Nara. Dokter itu seolah mengerti, ia mundur dan membiarkan Nara mendekat. Entah perasaan apa, ada kekhawatiran di dalam diri dokter itu. Ia terlihat gelisah dan meminta beberapa suster untuk pergi. Ia memberi kode kepada Bi Inem untuk mengikutinya.
Nara duduk di samping Tuan Hermansyah. Ia kembali menggenggam tangan lelaki kesayangannya, menyenderkan kepala di lengan Tuan Hermansyah dan terisak pilu.
"Berhentilah menangis, anak Ayah 'kan kuat."
"Jangan tinggalin Nara, Yah!" suara serak Nara membuat Tuan Hermansyah menghela napas, menatap langit-langit putih di atas. Ia menggerakkan satu tangan dan mengelus lembut kepala Nara.
"Kamu tahu, Sayang? Saat Ayah tidur, Ayah bertemu Ibumu-"
"Benarkah?" potong Nara antusias, ia mengangkat tangannya menatap Tuan Hermansyah penuh tanya. Tuan Hermansyah mengalihkan pandangan dan membalas tatapan sang puteri. Ia mengangguk membenarkan. "Lalu, lalu?"
"Ibumu, dia sangat cantik menggunakan dress putih dan menggenggam mawar putih. Ia tersenyum, senyum yang sangat cantik bagi Ayah. Dia-" ada jeda sebelum melanjutkan ucapannya, "dia bertanya apa kamu tumbuh dengan sehat? Apa kamu bahagia? Apa kamu menjadi puteri yang cantik dan penurut?"
"Jadi, Ayah tidur beberapa hari ini bermain bersama Ibu?"
"Hmm, kata ibumu ia rindu dengan Ayah,"
"Dia tidak rindu denganku?"
"Tentu! Dia sangat merindukanmu tapi, dia berkata kamu belum saatnya bertemu dengan Ibumu."
"Ko gitu? Ibu gak kangen aku, masa gak mau ketemu!"
"Bukan, bukan kaya gitu. Ibumu bilang Ayah harus menyampaikan ini untukmu," Nara memiringkan kepala menunggu kelanjutan ucapan Ayahnya. Sebenarnya Nara tahu ada nada sedih dan juga sesak dari ucapan sang Ayah tapi, ia berusaha untuk tetap diam mendengarkan hingga selesai.
"Ibumu bilang begini 'Nara kamu anak yang baik, Ibu yakin Ayahmu yang hebat ini selalu mengajarkan yang terbaik untukmu. Kamu tahu Ayah selalu bekerja keras untuk buah hatinya. Maaf, maafkan Ibu yang tidak dapat berada di sisimu menjagamu dan memberikan kasih sayang yang kamu butuhkan. Ibu menyesal meninggalkanmu, tapi kamu tahu anakku sayang? Aku, Ibumu selalu melihatmu dari sini, tertawa saat kamu tertawa, marah saat kamu marah dan menangis saat kamu menangis. Nara puteriku yang sangat aku cintai bersabarlah semua akan indah pada waktunya, tetap percaya Tuhan akan memberikan kebahagiaannya kelak. Ibu dan Ayah selalu mencintaimu. Berbahagialah.'"
Nara terisak, ia memeluk erat tubuh Tuan Hermansyah menumpahkan segalanya di sana. Tanpa terasa, air mata juga menitih di pipi Tuan Hermansyah, ada penyesalan yang teramat dalam di sana. ia menghela napas dan mengepal erat tangannya.
"Maaf, maafkan Ayah sayang. Maaf tidak dapat berada terlalu lama disisimu. Kamu tahu, Ayah sangat mencintaimu lebih dari apa pun. Ayah tidak dapat pergi sebelum kamu bahagia hanya saja, Ayah merindukan Ibumu. Maaf, maafkan Ayah yang bodoh dan pembohong ini ... berbahagialah Ayah mencintaimu."
Nara semakin terisak, ia memeluk erat tubuh itu tangisnya pecah kala tak merasakan elusan di kepalanya lagi. Ia bukan gadis bodoh, sejak sang Ayah membuka mata dan bercerita mengenai Ibunya Nara tahu waktunya bersama sang Ayah tidak lama lagi. Ia hanya diam tidak dapat melakukan apa pun yang ia bisa hanya mendengarkan setiap celoteh Ayahnya.
"Ayah jangan pergi, Nara sendiri di sini. Nara takut, Yah. Nara takut. Jangan pergi! Ibu pasti mengerti jika Ayah tetap ingin bersama Nara. Yah, Ayah. Nara mohon ... Nara ... Na-ra mohon sekali saja. Ayah bangun temani Nara sampai Nara menikah nanti, memiliki dua anak yang tampan dan cantik mereka ... mereka akan memanggilmu Kakek cerewet. Yah, Ayah tahu aku sangat mencintaimu melebihi apa pun. Jadi bisakah kamu tetap berada di sisiku? Aku mohon."
Nara melepas pelukannya, ia masih belum siap melihat wajah damai sang Ayah. Bunyi layar terdengar begitu nyaring membuat dokter dan Bi Inem masuk menatap Nara yang hanya diam tak bergerak.
Brukkkk.
Seketika tubuh Nara oleng. Kesadarannya menghilang bersamaan dengan kenyataan kepergian sang ayah.
Ayahnya, Ayah yang ia cintai pergi untuk selamanya.
***
Epilog Nara kecil
"Nara coba sebutin kenapa kamu lebih mencintai Ayahmu daripada Ibumu?"
Nara kecil tersenyum, pipi gembulnya terangkat menghilangkan mata yang kini berbentuk garis lurus akibat senyumannya, "Kalau Ibu dia udah dapat banyak cinta di atas sana. Kata Ayah Ibu dekat dengan Tuhan dan Tuhan selalu ngasih apa aja buat Ibu. Tapi, kalau Ayah ... Ayah cuma dekat sama Nara dan Ayah cuma punya Nara. Nara tau setiap malam Ayah menangis memandangi foto Ibu. Karena itu Nara harus banyak banyak banyak kasih cinta ke Ayah. Karena itulah Nara lebih mencintai Ayah. Ayah butuh Nara, Nara butuh Ayah. Selesai."
Senyum Nara kembali mengembang. Tuan Hermansyah yang kala itu berada di ambang pintu aula terdiam kaku mendengar jawaban lugu Nara membuat hatinya tersentuh. Hari ini hari pentas untuk sekolah Nara. Nara yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas satu dapat memberikan arti Ayah yang begitu besar.
Tuan Hermansyah berjalan cepat dan seketika berlari menaiki panggung dan memeluk Nara erat. Hari itu Tuan Hermansyah berjanji. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Nara dan ia juga berjanji untuk lebih memperioritaskan Nara dalam hidupnya.
Janji sehidup semati yang ia buat untuk kedua kalinya setelah janji menjaga wanita yang ia cintai, Ibunya Nara.
Suasana kesedihan di keluarga Hermansyah begitu terasa keseluruh komplek perumahan. Mereka berbondong datang melihat jenazah yang baru datang dari rumah sakit. Kain kafan yang sudah membungkus tubuh kekar yang biasa menyapa mereka membuat air mata kian tak tertahan.Nara hanya bisa menangis, meratapi nasib yang kianmalang. Berkali-kali ia jatuh ke dalam kegelapan. Tubuh ringkih yang ia paksa seolah mulai menjerit memintanya untuk beristirahat. Ia mengabaikan semua orang yang memintanya untuk tegar. Mudah mengucapkan hanya saja hal itu sangat sulit untuk ia lakukan.BI Inem yang senantiasa berada di samping Nara hanya bisa mengelus pelan punggung gadis kesayangannya. pak Satpam sejak tadi mengurusi semua keperluan, wajah lelahnya tidak ia hiraukan ini merupakan bukti pengabdiannya kepada keluarga Hermansyah yang telah menghidupinya selam
Hidup bagiakan roda yang berputar. Kadang kala kita di atas, dan ada kalanya kita berada di titik paling bawah.***Seminggu sudah berlalu, Nara memilih mengurung diri di kamar. Ia enggan membiarkan siapa pun masuk dan mengusik kesepian yang kini tengah ia nikmati. Rasa sakit masih begitu terasa, kini dunia seolah gelap ia rasa. Tubuhnya yang semakin ringkih membuat senyum perlahan terukir. Ia pikir jika terus begini, ia dapat bertemu dengan ayah dan ibunya. Biarlah, lagi pula tidak ada alasan lagi untuknya hidup. Semua kebahagiaan dan cahaya sudah direnggut dari hidupnya.Tok. Tok.Pintu terbuka membuatnya menoleh dan menatap hampa wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan nampan di tangannya.
Satu minggu Nara terbaring di Kasur. Beberapa alat terpasang di tubuhnya. Kamar yang terbiasa menjadi tempat istirahat kini menjadi ruang rawat dadakan. Setiap hari Nara dipantau oleh dokter pribadinya. Bi Inem dan Pak satpam memutuskan untuk tidak membawa Nara ke rumah sakit, bukan tanpa alasan keduanya enggan membuat sikis Nara semakin terguncang. Rumah masih menjadi pilihan terbaik untuk merawat nonanya. Lagi pula dnegan fasilitas yang dapat mereka gunakan mampu membawa beberapa alat yang berada di rumah sakit. Dokter Gio yang menggantikan Dokter pribadi keluarga Hermansyah juga merupakan dokter yang kompeten, mereka dapat mempercayakan Nara kepadanya.“Non, bangun.” lirih Bi Inem menatap Nara yang semakin terlihat kurus. Mata indah itu enggan terbuka seolah masih menikmati mimpi indah yang kini ia lewati. Tidak tahu harus bagaimana, Bi Inem masih senantiasa menunggu Nara bangun.“Gimana kalua Nara kita bawa ke singapure?” tanya Pak Satpam me
"AYAH! AYAH! AYAH BANGUN!!"Teriakan memilukan itu terdengar begitu menyedihkan. Tatapan semua orang serasa mengiba. Mereka hanya diam embiarkan seorang gadis meraung, menangisi nasib yang menghampirinya. Satu-satunya penopang harus pergi meninggalkannya terlebih dahulu."Nggak! Aku gak mau, ayah bangun! Nara mohon bangun, Ayah!" pintanya seraya memeluk tubuh kaku yang kini terbujur beralaskan karpet dan terbungkus kain kafan. Tubuhnya mulai melemah, raungan keras yang sejak tadi ia keluarkan kini mulai memelan, "Ayah bangun.""Non, sudah. Bapak sudah tenang di sana. Jangan seperti ini, kasihan Bapak, Non.""Gak! Gak, Bi. Ayah gak boleh pergi!" jawabnya parau masih enggan melepas pelukannya. Tubuhnya perlahan ditarik menjauh, jika ini
Suasana pagi di kediaman keluarga Hermansyah begitu menarik perhatian. Hiruk piuk masyarakat sekitar yang datang menimbulkan kegaduhan. Mereka berbondong membantu menyiapkan sebuah acara meski dari pihak keluarga tak meminta bantuan mereka. Acara yang dibuat sesederhana mungkin nyatanya tidak begitu, para masyarakat sekitar menyambut antusias hari ini. Putri sematawayang keluarga Hermansyah akan segera dipinang. Pertemuan kedua belah pihak akan terjadi hari ini. "Di sana!" seorang pria paruh baya berteriak meminta seorang lainnya meletakan hiasan di sudut ruangan. Bunga-bunga segar hingga tenda yang begitu megah menghalangi sinar matahari pagi masuk sudah berdiri dengan kokoh. Mereka saling bahu membahu menyiapkan dekor yang begitu indah. Acara pertemuan keluarga kali ini harus terlihat meriah pikir mereka. Mungkin bagi orang yang tidak mengenal keluarga Hermansyah ini terlihat begitu berlebihan tapi bagi masyarakat di sekitar ini merupakan bentuk balas
Gluk. Gluk. Nara menyeka bibirnya, ia menatap lurus dapur tempatnya berdiri. Matanya bergetar mengelilingi ruangan mencoba menenangkan hati yang mulai cemas. Mimpi yang begitu nyata membuat tubuhnya terasa letih. "Mimpi yang menakutkan." Nara memilih meninggalkan dapur dan duduk di sofa ruang tamu. Ia masih enggan memejamkan mata, memikirkan mimpi barusan membuat bulu kudunya meremang. Kata orang mimpi dipertengahan malam merupakan sebuah tanda. Sebenarnya ia tidak percaya akan hal seperti itu, tapi memilih waspada bukankah hal yang lebih baik? Bukan kali pertama, semakin dekat tanggal pernikahan ia selalu bermimpi hal yang mengerikan. Elusan di kepala Nara membuatnya mendonga, ia tersenyum menatap manik mata teduh sang ayah. Nara berdiri memeluk ayahnya erat menumpahkan segala resah yang mulai melandanya. Pelukan yang Nara sukai sejak kecil. Dulu ia pernah berkata di dunia ini tidak ada yang lebih hebat dari ayahnya. Mungkin itu benar, ba
Langkah kaki Nara begitu berat, erangan hingga rintihan menjijikan terdengar begitu nyata. Ia menelan slavinanya sulit, tenggorokan terasa kering bahkan udara seolah menipis. Jantungnya berdegup kencang, sakit kian menusuk dadanya. Teringat kembali mimpi buruk beberapa hari, mimpi yang membawa luka seperti saat ini.Tangan lembut milik Bi Inem menggenggam tangan Nara membuat gadis itu menoleh dan mendapati anggukan dari Bi Inem memberinya kekuatan. Nara menggeleng mencoba untuk menghindar dari kenyataan yang akan ia lalui. Sekali lagi Bi Inem menggenggam kuat tangan Nara mengangguk meyakinkan gadis itu."Jika memang ini takdir yang harus Non hadapi, maka hadapilah. Lari tidak akan menyelesaikan masalah." suara Bi Inem terdengar pelan, hanya Nara yang dapat mendengar. Hal itu ia lakukan untuk membuat dua orang yan
Malam begitu terang menyinari tubuh ringkih seorang gadis yang duduk terdiam menatap kosong dinding di kamar. Air mata kian membanjiri pipinya, ini sudah dua hari namun mata indah itu enggan terpejam bahkan kini bengkak terlihat dimatanya. Ia mengalihkan pandangan, menatap ke sekitar kamar. Helaan napas terdengar begitu berat. sebenarnya apa yang ia tangisi selama ini? Kenapa ia harus menyiksa diri karena lelaki gila yang tega berkhianat didetik-detik terakhir sebelum mereka mengikat janji sehidup semati? Tuhan mungkin begitu sayang kepadanya, membuka semua borok yang selama ini ia abaikan. Sejujurnya selama ini ia sudah mulai sedikit ganjil dengan kedekatan keduanya hanya saja hati dan otaknya tidak pernah sinkron. Ia selalu mempercayai keduanya dan pada akhirnya semua terlihat begitu jelas, meninggalkan luka yang begitu menyakitkan.