“Tidak, aku tidak bisa. Kak, to-long aku!” seru Maura panik sambil terus berusaha mengisi parunya dengan udara.
“Maura, Maura! Dengar aku.” Suara Evan makin naik. “Tarik napas, kamu begini akan membahayakannya. Tarik napas, Maura!”
Begitu mendengar bahaya yang akan mengancam, Maura meneguhkan hatinya, mencengkeram lengan Evan dan mulai mengembangkan parunya. Perlahan, sedikit demi sedikit, Maura mulai mengisi parunya.
“Bagus! Inhale, exhale. Lagi, Ra. Good.” Evan terus memberi pujian dan merasakan cengkeraman di lengannya mulai mengendur.
“Oke, bagus. Kamu bisa napas biasa sekarang. Tenangkan dirimu.” Evan membelai bahu Maura lembut. “Kamu bisa ceritakan padaku, kalau mau.”
“Kak, aku merasa tidak akan bisa melakukan semua ini.” Maura tertunduk menyembunyikan kerinduannya.
“Ra, lihat aku.” Evan menaikkan dagu Maura. “Apa yan
Puri Mangkunegaran, 23.00 WIBRangga duduk di kursi ukiran yang dua hari kemarin menjadi tempat tinggalnya. Matanya jauh menerawang ke gerbang puri yang tampak kecil di kejauhan. Sesekali, kepalanya mendongak menatap atap genting tanpa plafon dan mendesah.“Belum tidur?”Rangga enggan menjawab pertanyaan Jelita. Ia masih kesal dengan keputusan eyangnya yang memanggil Evan dan mengizinkan pria sialan itu membawa istrinya.“Belum tidur?” ulang Jelita.“Belum,” sahut Rangga malas.“Kenapa lemes begitu? Marah sama Eyang?”Rangga berpaling cepat menatap Jelita. “Apa masih perlu ditanyakan, Eyang? Sebenarnya Maura itu kenapa? Apa yang terjadi pada calon bayi kami, Eyang?” Rangga bergerak gusar di kursinya.“Kenapa harus Evan yang datang merawatnya? Apa gak ada dokter kandungan di Jogja, sampai harus mendatangkan dokter kandungan dari Jakarta? Dan kenapa harus Evan?!&rd
Rangga melompat ke atas ranjang dan memeriksa sendiri kondisi Yuki. Benar kata Jelita, bibir bawahnya sobek. “Yuki kenapa, Eyang?” “Sepertinya dia terjatuh dari ranjang. Warsih terbangun karena kaget mendengar suara berdebum seperti sesuatu jatuh di lantai. Saat turun dari ranjang, kakinya menyenggol kaki Yuki,” papar Jelita sambil membalik handuk basah di kening Yuki. “Kita bawa saja ke Rumah Sakit.” Rangga dengan sigap mengangkat tubuh Yuki dari ranjang dan bergegas keluar. “Man, Kirman!” Rangga berteriak lantang memanggil sopir kepercayaan Jelita sambil terus melangkah cepat menuju mobil yang terparkir rapi di teras depan. “Mana, sih?! Mbak, tolong panggil Kirman!” titah Rangga pada Warsih yang tergopoh-gopoh mengekorinya. “Tidak perlu. Eyang dan Warsih akan ikut ke Rumah Sakit, kamu yang bawa mobilnya.” Jelita bergegas masuk ke dalam mobil sebelum Rangga memasukkan Yuki ke kursi belakang diikuti Warsih. Karena masih terlalu pagi, j
“Ada apa?!” tanya Rangga panik seraya menyibak tirai.Jelita sedang menahan tubuh mungil Yuki agar tidak turun dari ranjang. Sedangkan Warsih, menahan lengan bocah itu sambil berusaha melepaskan botol infus dari tiang penyangga.“Kenapa dia, Mbak?”“Papa ... Papa ... Yuki mau ketemu Papa,” rengek Yuki dengan suara serak dan lemah.Mengertilah Rangga bahwa Yuki mengira Damian datang menjenguknya, yang sebenarnya adalah kesalahan yang tidak sengaja Rangga buat.“Yuki, dengar, itu Damian yang lain. Bukan ayahmu. Tenanglah.” Rangga berjalan mendekat dan meraih tubuh mungil itu dalam peluknya.“Kenapa semua yang Yuki sayangi pergi, Panda?”tanya gadis itu di sela isakannya.“Kau harus lebih dulu sembuh sebelum memikirkan hal itu. Aku janji, setelah kau keluar dari sini, aku akan membawa Bunda ke hadapanmu.”Yuki hanya mengangguk sebelum terkulai lemas dalam pekuk
“Awh! Sakit, Panda!”“Ups, sori.” Rangga terus berusaha membuat ekor kuda yang rapi setelah empat kali gagal. “Aku menyerah!” Rangga melempar sisir ke atas ranjang dan mengangkat tangannya.“Aku tidak ingin ke sekolah hari ini!” sungut Yuki kesal. Kepalanya berdenyut hampir di semua sisi setelah Rangga menyisir, mengikat dan menarik karetnya berulang kali. “Aku pusing, kepalaku berdenyut!” imbuhnya.“Oke. Memang sebaiknya kau tidak perlu berangkat sekolah hari ini.”Yuki memutar badannya dengan cepat. “Bunda melarangku bolos sekolah kecuali sakit atau ada hal mendesak. Dia akan marah kalau tahu aku bolos!”“Kalau kau berkeras ingin pergi sekolah dengan ekor kuda, maka aku tidak bisa menolongmu.” Rangga melirik arlojinya.“Sial! Aku hampir terlambat untuk rapat direksi pagi ini. Putuskan dalam setengah jam apa yang akan kau lakukan dan
Klik.Rangga menarik gagang pintu dan bergegas masuk ke kamar Yuki. Kosong.“Yuki?”Tidak ada jawaban.“Ke mana bocah itu?”Segera diambilnya ponsel dari saku kemeja. Rangga berniat mencari keberadaan Yuki pada orang terdekatnya. Matanya menangkap pesan dari Hanna yang memberitahu Rangga bahwa Yuki pergi ke sekolah bersama Hanna.“Syukurlah,” desah Rangga lega. “Ren, apa kau sudah turun ke lobi? Aku akan turun sekarang.”Dengan langkah lebar dan ringan, Rangga kembali ke dalam lift, turun ke lobi.“Satu tugas tersulit sudah terlewati hari ini,” gumam Rangga sambil menekan tombol lift.***Di dalam mobil van hitam, Yuki duduk tenang sambil menunggu ekor kudanya siap, mulutnya sibuk mengunyah roti lapis buatan Yuni.“Oke, selesai.” Hanna menyerahkan cermin kecil yang sengaja dipinjamnya dari Alina pagi ini. “Bagaimana?”
Yuki terkesiap mendengar pertanyaan Hanna. “Oma bilang apa? Pulang sekolah kita ketemu bunda. Beneran, Oma?!” pekik Yuki girang bercampur ragu.“Tapi, Yuki janji dulu sama Oma. Hanya kita berdua yang tahu. Hmm?”Alih-alih menjawab, Yuki mengulurkan jari kelingkingnya ke depan Hanna. “Janji kelingking,” sahutnya sambil tersenyum senang.***Usai jam sekolah, Yuki duduk di bangku taman bermain menunggu Hanna menjemputnya. Saat Yuki duduk termenung sambil menggerakkan ujung sepatunya menggambar di atas tanah, tiga gadis kecil menghampirinya dengan mimik kesal.“Hei, Gadis Pindahan!”Yuki mengabaikan panggilan dengan nada tidak bersahabat yang dilontarkan bocah yang berdiri di tengah. Sejak Yuki pindah ke sekolah ini, gadis itu memang tidak pernah ramah padanya.“Hei, apa kau tuli?! Dia bicara padamu!” ketus gadis lainnya.“Maaf, aku tidak merasa kalian ajak bicara,&
Yuki terpaksa pulang bersama Rangga karena pria angkuh itu memaksanya ikut, menggagalkan rencananya bersama Hanna untuk bertemu Maura.“Kau kenapa? Ada yang sakit?” tanya Rangga sambil menoleh ke belakang memastikan badan mobilnya terparkir dengan sempurna.Yuki hanya menjawab dengan mengendikkan bahunya.“Dan satu lagi. Jangan pernah pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan untukku. Apa kau tahu betapa khawatirnya aku?” tanya Rangga, kali ini menatap ke arah Yuki.Lagi-lagi Yuki hanya merespon dengan gerakan bahu yang malas. Rangga menduga, Yuki masih sedih dengan sebutan yatim piatu yang ditujukan padanya, jadi Rangga memilih diam. Hanna sempat bercerita sedikit tentang peristiwa tadi dan membuat Rangga merasa tidak nyaman.Yuki masih murung sampai malam tiba. Semua hal yang Rangga katakan dan lakukan untuk menghiburnya hanya dibalas dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. Rangga masih terjaga dan melakukan beberapa hal s
“YUKI!” teriak Rangga yang terkejut karena gadis itu sengaja mendorong tubuhnya ke belakang saat melewatinya.Langkah lebar Rangga baru berhasil menyusul Yuki saat gadis itu berhenti di pinggir tempat bermain.“Hei, ada apa denganmu?! Apa kali ini aku juga melakukan kesalahan?” heran Rangga melihat sikap Yuki padanya.Yuki berbalik menatap Rangga dengan mata basah dan wajah merah menahan marah. “Sudah aku katakan, jangan lakukan. Kenapa kau masih saja terus berbuat sesukamu?!” Buliran air mata jatuh bersamaan dengan amarah Yuki.“Aku hanya ingin memberitahu mereka bahwa kau bukan yatim piatu. Itu saja. Kau punya aku, punya Reno, punya Alina dan lainnya.”“Memiliki kalian tidak merubah kenyataan bahwa aku yatim piatu, Panda. Kau yang membuatku begini. Tuhan ambil mamaku dan kau ambil papaku. Apa kau belum juga mengerti kenapa aku marah?!”Tangis Yuki pecah tanpa bisa dibendung lagi,