“YUKI!” teriak Rangga yang terkejut karena gadis itu sengaja mendorong tubuhnya ke belakang saat melewatinya.
Langkah lebar Rangga baru berhasil menyusul Yuki saat gadis itu berhenti di pinggir tempat bermain.
“Hei, ada apa denganmu?! Apa kali ini aku juga melakukan kesalahan?” heran Rangga melihat sikap Yuki padanya.
Yuki berbalik menatap Rangga dengan mata basah dan wajah merah menahan marah. “Sudah aku katakan, jangan lakukan. Kenapa kau masih saja terus berbuat sesukamu?!” Buliran air mata jatuh bersamaan dengan amarah Yuki.
“Aku hanya ingin memberitahu mereka bahwa kau bukan yatim piatu. Itu saja. Kau punya aku, punya Reno, punya Alina dan lainnya.”
“Memiliki kalian tidak merubah kenyataan bahwa aku yatim piatu, Panda. Kau yang membuatku begini. Tuhan ambil mamaku dan kau ambil papaku. Apa kau belum juga mengerti kenapa aku marah?!”
Tangis Yuki pecah tanpa bisa dibendung lagi,
“Apa Paman Reno tahu tentang teman dekat papaku?” tanya Yuki polos.Kali ini, Rangga benar-benar terhenyak. “Bagaimana denganmu? Dari mana kamu tahu tentang hal itu?” Rangga tak tahan untuk tidak bertanya.Pandangan mata bulat terang itu meredup, ada kabut yang menutupi kepolosannya. “Aku tidak sengaja mendengar mereka bertengkar dan menyebut sesuatu tentang wanita lain.” Yuki tertunduk malu karena membongkar aib keluarganya.“Sial!” umpat Rangga seraya bangkit dari kursinya dan berjongkok di samping kursi Yuki. “Kau terlalu kecil untuk mengetahui semua itu.” Rangga meraih Yuki dalam pelukannya.Sret.Yuki mendorong dada Rangga pelan. “Panda, tolong jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku sudah tujuh tahun dan segera memiliki seorang adik.”“Ups!” Yuki segera melipat mulutnya yang terlalu mudah membocorkan sebuah rahasia besar.“Apa maksudm
“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Rangga seraya memajukan badannya melampaui setengah lebar meja. “Aku bisa melihat bayangan gelap di matamu, Nona!”Yuki menarik hidung dan mulutnya ke atas, mencibir Rangga yang mengatakan kebohongan untuk menakutinya.“Bayangan hitam apa? Panda yang membuatku harus menginap di ranjang Rumah Sakit, ingat tidak? Jadi, bayangan hitam ini salah Panda!” sungut Yuki kesal.“Aku bukan anak kecil yang suka berbohong. Ingat itu!” imbuhnya masih dengan bersungut.“Oke, aku percaya padamu. Tapi tolong katakan padaku, di mana bundamu berada, hmm? Kau tahu, semua pasukan tanpa bayangan milik Reno tidak bisa melacak keberadaannya,” ungkap Rangga jujur.Yuki mulai tertarik. “Benarkah? Panda mencari Bunda selama ini? Tidak mengabaikannya? Sungguh?” cecar Yuki cepat.“Sungguh. Aku selalu mencarinya, setiap hari tanpa absen. Tapi ponse
Mereka sampai di kantor jasa keamanan yang dikelola Reno. Yuki turun dari mobil dengan mata terpaku pada kantor dua lantai yang terlihat sepi tanpa penghuni.“Apa kau akan terus berdiri di situ?” tanya Rangga saat sadar Yuki masih tertinggal di belakang.“Apa kantor ini ada penghuninya, Panda?”“Tentu. Kenapa?” heran Rangga.“Kenapa terlihat menyeramkan begini? Seperti kastil kosong penuh hantu,” celetuk Yuki seraya meraih tangan Rangga dengan cepat.“Tsk, ternyata kau punya takut juga. Aku kira kau bocah pemberani yang tak pernah kenal rasa takut. Ayo, kita masuk.”Di pintu masuk berdiri seorang pria memakai setelan rapi lengkap dengan sepatu yang mengkilap. Pria itu mengangguk saat Rangga masuk melewati pintu kaca yang bergeser terbuka begitu ada orang mendekat. Selanjutnya, ada sebuah meja putih tinggi, seorang pria berdiri di baliknya dengan penampilan kurang lebih sama seperti
Raut wajah pria dingin itu tidak terbaca. Rangga berdiri tegak tanpa mengatakan apapun, menatap Yuki dengan pandangan mata sayu.“Aku tidak akan memintamu untuk melepaskan papaku lagi,” ulang Yuki setelah melihat Rangga tidak bereaksi. “Aku hanya minta kau untuk segera menemukan bunda. Apa ini juga tidak mungkin?”Rangga mengusap wajahnya, mendesah dan mendongak menatap langit gedung. Pikirannya kacau, hatinya berkecamuk, campur aduk tidak karuan. Merasa dikalahkan telak oleh bocah kecil bernama Yuki Harrison yang sedang menatapnya dengan sebuah senyuman hangat tersungging di bibirnya.“Papaku memang pantas menerima hukuman karena sudah menyakiti mama dan meninggalkanku begitu lama tanpa berusaha mencariku. Jadi, tugasmu sekarang hanya menemukan bunda untukku. Apa kau sanggup, Panda?”Alih-alih menjawab, Rangga hanya bisa berlutut dengan satu kaki dan merentangkan kedua lengannya lebar. “Kemarilah.”E
“Panda, stop!” pekik Yuki seraya berlari menempel pada kaki Rangga.Srak.Secepat Rangga meraihnya, secepat itu pula Rangga melepas Evan. “Jawab saja pertanyaan Yuki. Tidak perlu melimpahkan kesalahan pada kami. Kau yang menjauhkan Maura dari keluarganya.”“Itu karena kau yang membuatnya takut tinggal denganmu. Jangan hanya menyalahkan orang lain, koreksi dirimu dulu!” balas Evan tak mau kalah.“STOP!” teriak Yuki sebal.“Yuki, ayo kita pulang. Tidak ada gunanya meladeni orang terbuang.” Rangga berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruang praktek Evan.“Panda! Panda, tunggu!” Yuki menarik lengan Rangga agar pria itu berhenti berjalan. “Kita belum tahu bunda tinggal di mana. Apa kita menyerah begitu saja?”“Hap!” Rangga mengangkat Yuki dalam gendongannya. “Tenang saja. Biar Harry Potter yang bertindak selanjutnya,” ujar Rangga
Maura membeku begitu pintu rumah terbuka.“Benar dugaanku. Kamu di sini.” Elena masuk tanpa menunggu Maura mempersilakannya.Wanita itu terlihat marah dari bahasa tubuhnya dan derap langkahnya yang cepat. “Sudah berapa lama kamu tinggal di sini, Ra?” tanya Elena sambil melempar tasnya ke sofa.“Ibu ...,” sapa Suci sembarei melangkah mendekat.“Ibu, Ibu. Apa kamu masih menganggapku pemilik rumah? Beraninya bersekongkol dengan Evan menyembunyikan istri orang!” hardik Elena marah seraya menepis tangan Suci yang terulur padanya.“Istri orang? Waduh, kalau itu Cici tidak tahu, Bu. Cici dan Abah hanya dipesan untuk menemani Mbak Maura karena sedang proses pemulihan dari sakit.” Suci tertunduk merasa bersalah.“Memangnya sakit apa dia? Setelah ini kalian yang akan dikirim ke penjara oleh suaminya karena dituduh menyembunyikan istri orang! Heran, saya yang gaji kalian, kenapa patuhnya
Perasaan Evan mendadak campur aduk saat memasuki halaman vila dan melihatElena sedang memegang selang air, menyiram anggrek bulan favoritnya.“Mama. Kok di sini?” tanya Evan dengan nada kesal yang tidak seharusnya dia gunakan menegur ibunya.“Kenapa memangnya, gak boleh? Ini masih vila anak mama, ‘kan?” balas Elena sambil terus melanjutkan menyiram tanaman.Alih-alih mendebat ibunya, Evan memilih mengabaikannya dan masuk ke dalam. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka pintu kamar tamu tempat Maura tidur.“SUCI!” teriaknya marah saat melihat kamar itu kosong.“Ya, Mas!” Suci setengah berlari menghampiri Evan. “Kenapa teriak-teriak? Kayak kebakaran jenggot saja.”“Maura ke mana? Kenapa kamarnya ksoong?” tanya Evan dengan mata mendelik marah.“Dia sudah pergi!” sahut Elena dari ambang pintu depan.Evan makin emosi mendengar jawaban Ele
Galih sedang menghadap ke kaca besar yang menyuguhkan taman belakang rumah dengan kedua tangan masuk ke dalam saku, ketika Reno masuk.“Kunci pintunya!” titah Galih tanpa berbalik.Reno berjalan mendekat tanpa suara dan berdiri diam dua langkah di belakang Galih. Hatinya kebat-kebit tak karuan sejak Hanna memintanya untuk segera pulang karena ayah mertuanya mencarinya.“Ren, apa yang kalian lakukan tanpa sepengetahuanku?” tanya Galih, masih menghadap kaca.“Maaf, Pa. Saya kurang paham maksud pertanyaan Papa.”Galih memutar badannya dan maju satu langkah, membuat Reno tanpa sadar bergeser mundur. Dari awal pertama bertemu dan bekerja di bawah Galih, Reno sudah menyadari ada aura berbahaya di balik senyuman hangat yang kadang tersungging. Dan hal itu terulang hari ini.Galih mengulas senyum hangat namun mematikan miliknya. “Aku akan membantumu untuk mengerti. Ada apa antara kalian dan Burhan? Sekilas a
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s