Galih sedang menghadap ke kaca besar yang menyuguhkan taman belakang rumah dengan kedua tangan masuk ke dalam saku, ketika Reno masuk.
“Kunci pintunya!” titah Galih tanpa berbalik.
Reno berjalan mendekat tanpa suara dan berdiri diam dua langkah di belakang Galih. Hatinya kebat-kebit tak karuan sejak Hanna memintanya untuk segera pulang karena ayah mertuanya mencarinya.
“Ren, apa yang kalian lakukan tanpa sepengetahuanku?” tanya Galih, masih menghadap kaca.
“Maaf, Pa. Saya kurang paham maksud pertanyaan Papa.”
Galih memutar badannya dan maju satu langkah, membuat Reno tanpa sadar bergeser mundur. Dari awal pertama bertemu dan bekerja di bawah Galih, Reno sudah menyadari ada aura berbahaya di balik senyuman hangat yang kadang tersungging. Dan hal itu terulang hari ini.
Galih mengulas senyum hangat namun mematikan miliknya. “Aku akan membantumu untuk mengerti. Ada apa antara kalian dan Burhan? Sekilas a
Senyum penuh keyakinan masih tersungging di bibir Rangga saat jarinya melepas earphone dari telinganya.“Opa bilang apa? Kenapa Panda senyum-senyum setelah bicara dengan Opa?” Yuki tertarik dengan reaksi Rangga selama menerima panggilan singkat dari Galih.“Opa bilang, kita harus berhasil membawa bunda pulang bersama kita atau melarang kita pulang selamanya.” Rangga mengerlingkan sebelah matanya dengan gaya jenaka. “Aku butuh bantuanmu, Nak!”“Kita? Mana mungkin Opa bersikap begitu padaku? Ancaman itu hanya berlaku untukmu. Opa pasti akan meminta Paman Reno menjemputku kalau sampai malam ini kita belum berhasil bertemu bunda.” Yuki mencebikkan bibirnya ke arah Rangga.“Apa kau akan meninggalkanku sendirian di sini?” tanya Rangga seraya memasang wajah memelas yang dibuat-buat.“Panda terlalu tua untuk merajuk. Temukan bunda, maka aku akan memaafkanmu untuk semua yang sudah Pa
“Yuki! Yuki!” teriak Rangga panik.Alih-alih mengurangi kecepatan larinya, Yuki malah berlari makin kencang menuju sebuah bukit di dekat taman bunga. Rangga segera mengejar bocah kecil itu agar tidak kehilangan jejaknya.Sinar jingga di sebelah barat mulai pudar, menandakan hari semakin gelap. Lampu-lampu penerangan mulai menyala terang menggantikan fungsi matahari dan membantu tugas bulan.“YUKI! Berhenti kataku!”Srakk! Bug.Sepertinya pengurus taman sedang menggali beberapa lubang untuk menanam tanaman baru, tapi karena hari terlalu cepat gelap, dia tidak sempat menyelesaikan pekerjaannya dan membiarkan satu lubang terbuka.Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bukan Rangga yang menentukan segala sesuatu dalam hidup. Kaki kanannya memilih masuk ke lubang dan membuat pria jangkung bertubuh tegap itu tersungkur ke tanah.“SIAL!” umpat Rangga marah. “Aku akan buat perhitungan deng
Maura terus menguatkan hati dan langkahnya menuju lobi. Semua pikiran tentang hal buruk yang mungkin terjadi pada Yuki dan Rangga ditepisnya. Tak kurang dari delapan langkah lagi, Maura akan sampai di depan pintu lobi, tempat Rangga dan Yuki berada. Namun, kakinya semakin lemas.“Tunggu, Mas. Kaki saya lemas,” keluh Maura pada Praya yang sejak tadi setia menuntun langkahnya dari tepi danau menuju lobi.“Nyonya, sebaiknya Anda duduk dulu di sini. Saya akan masuk dan melihat kondisi suami dan anak Anda.” Praya menuntun Maura duduk di salah satu kursi rotan berbentuk setengah lingkaran yang terletak paling dekat dari mereka.“Terima kasih, Mas.”Teriring doa dan harapan bahwa semua baik-baik saja, Maura melihat pemuda itu setengah berlari masuk ke dalam lobi. Tidak lama, bahkan mungkin jauh lebih cepat dari perkiraan Maura, Praya sudah kembali menghampirinya.“Nyonya, maaf. Mereka sudah diantar ke Rumah Sakit.
Rangga dan Yuki sedang diperiksa oleh dokter ketika tirai biliknya disingkap dengan tak sabar dari luar.“Akhirnya aku menemukan kalian.” Maura berdiri memegang erat korden dengan wajah pucat karena khawatir.“BUNDA!”“MAURA!”Yuki dan Rangga berteriak bersamaan manakala melihat siapa yang berdiri di depan mereka, orang yang beberapa hari ini sibuk mereka cari. Maura berjalan cepat menghampiri ranjang Yuki dan memeluknya erat.“Aku pikir, aku akan kehilanganmu,” gumam Maura dengan suara dalam, tangannya tak henti menggosok punggung Yuki.“Bunda, aku takut. Airnya dingin dan dalam. Kakiku tidak mau bergerak,” keluh Yuki sambil terisak.“Maafkan aku.” Pelukan Maura makin erat.“Bu, permisi sebentar. Biarkan dokter menyelesaikan pemeriksaan terlebih dulu.” Seorang suster mengelus punggung Maura.Dengan cepat Maura mengusap pipinya dan melepa
Nyatanya, baru dua jam kemudian Rangga dan Maura bisa saling bicara sambil duduk berdampingan di sofa vila yang Maura sewa setelah mereka bertiga diperbolehkan pulang oleh dokter dan memastikan Yuki sudah tidur nyenyak.“Kapan kau berencana memberitahuku tentang kehamilanmu?” Rangga membuka suara.“Aku tidak berencana memberitahumu, Kak.” Maura menjawab dengan lugas dan tenang.Rangga tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh wanita paling keras kepala yang pernah dia kenal. “Kau berencana mennyembunyikannya dari selamanya?”“Hanya sampai aku yakin bahwa kamu bisa berubah, Kak.”“Dari mana kau tahu aku sudah berubah kalau kau berada jauh dariku?” Rangga meraih tangan kanan Maura. “Maura Andromeda, aku minta maaf atas semua yang aku lakukan yang mengecawakanmu dan membuatmu pergi.”“Lepaskan aku, Kak!” Maura berusaha melepaskan tangannya, tapi gagal.&l
Maura menarik Yuki yang masih mengalungkan lengannya di leher Rangga, mendekat padanya.“Terima kasih, Gadis Kecil. Kau sudah ajarkan banyak hal pada kami.”Yuki hanya bisa mengangguk dalam pelukan Maura. Rangga meraih keduanya dalam rekuhan lengan kokoh dan panjang miliknya.“Aku akan melindungi kalian. Do anything for you.” Rangga mengecup Maura dan Yuki bergantian.“Sudah, sudah. Jangan pamerkan kalau kalian bisa saling berpelukan di depan kami!” tegur Galih. “Kapan kalian pulang ke Jakarta? Ada hal penting yang perlu papa bicarakan dengan kalian berdua terkait rentetan masalah ini.”Rangga dan Maura kompak menjauh.“Besok setelah sarapan, kami pulang ke Jakarta,” putus Rangga cepat.Reno sudah melaporkan banyak hal pada Rangga di sela kebingungannya mencari Yuki. Reno bilang betapa marahnya Galih padanya karena menangani Burhan dan Damian tanpa meminta persetujua
Yuki terbangun karena perutnya terasa lapar dan tenggorokannya sakit. Badannya terasa berat dan tidak bertenaga.“Bunda ...!” teriaknya sekeras yang bisa dilakukan. “Bunda ...!” ulangnya hampir menangis.Klek.“Ada apa? Kenapa kau manja sekali begitu ada Bunda, hahh?! Ayo, aku akan menggendong dan mengantarmu pada indukmu.” Rangga menumpukan lututnya di atas ranjang dan meraih Yuki. “Hei, kau demam!”“Sayang ...! Ra ...!” teriak Rangga panik. “Tunggu di sini. Aku akan membawa bunda kemari.” Rangga merebahkan Yuki lagi dengan hati-hati.“Sayang ...!” Rangga membuka pintu kamarnya sedikit kasar, membuat Maura tersentak kaget dan cemberut.“Kak, bisa tidak kamu bangunkan aku dengan lembut? Sisa kelembutanmu semalam sudah hilang bersama terbitnya matahari rupanya,” sungut Maura kesal.“Maaf, tapi ini mendesak. Ayo, Yuki demam!” Rang
Evan berdiri dengan canggung di depan pintu vila. Jelas terlihat dari mimiknya, pria itu sedang menahan malu.“Kak ....”“Boleh aku masuk, Ra?”Maura menepi. “Masuk, Kak.”Evan duduk di sofa dengan punggung tegak layaknya seorang pria sedang menghadap keluarga kekasihnya. Maura memilih sofa kosong yang paling jauh dari Evan. Ia tidak bisa memungkiri bahwa melihat Evan masih menyisakan perasaan tak nyaman yang Elena tinggalkan.“Kamu gimana kabarnya?” tanya Evan canggung.“Aku baik, Kak.” Maura menyahut seperlunya.Evan memberanikan diri menatap Maura. “Aku datang untuk minta maaf atas sikap mamaku kemarin. Maaf juga karena aku gak bisa melindungi kamu.”Maura menggeleng. “Aku sudah maafkan kalian, tapi bekasnya masih ada. Jadi, aku juga minta maaf karena tidak bisa bersikap biasa hari ini. Aku harap kamu mengerti, Kak.”“Kamu masih
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s