Yuki terbangun karena perutnya terasa lapar dan tenggorokannya sakit. Badannya terasa berat dan tidak bertenaga.
“Bunda ...!” teriaknya sekeras yang bisa dilakukan. “Bunda ...!” ulangnya hampir menangis.
Klek.
“Ada apa? Kenapa kau manja sekali begitu ada Bunda, hahh?! Ayo, aku akan menggendong dan mengantarmu pada indukmu.” Rangga menumpukan lututnya di atas ranjang dan meraih Yuki. “Hei, kau demam!”
“Sayang ...! Ra ...!” teriak Rangga panik. “Tunggu di sini. Aku akan membawa bunda kemari.” Rangga merebahkan Yuki lagi dengan hati-hati.
“Sayang ...!” Rangga membuka pintu kamarnya sedikit kasar, membuat Maura tersentak kaget dan cemberut.
“Kak, bisa tidak kamu bangunkan aku dengan lembut? Sisa kelembutanmu semalam sudah hilang bersama terbitnya matahari rupanya,” sungut Maura kesal.
“Maaf, tapi ini mendesak. Ayo, Yuki demam!” Rang
Evan berdiri dengan canggung di depan pintu vila. Jelas terlihat dari mimiknya, pria itu sedang menahan malu.“Kak ....”“Boleh aku masuk, Ra?”Maura menepi. “Masuk, Kak.”Evan duduk di sofa dengan punggung tegak layaknya seorang pria sedang menghadap keluarga kekasihnya. Maura memilih sofa kosong yang paling jauh dari Evan. Ia tidak bisa memungkiri bahwa melihat Evan masih menyisakan perasaan tak nyaman yang Elena tinggalkan.“Kamu gimana kabarnya?” tanya Evan canggung.“Aku baik, Kak.” Maura menyahut seperlunya.Evan memberanikan diri menatap Maura. “Aku datang untuk minta maaf atas sikap mamaku kemarin. Maaf juga karena aku gak bisa melindungi kamu.”Maura menggeleng. “Aku sudah maafkan kalian, tapi bekasnya masih ada. Jadi, aku juga minta maaf karena tidak bisa bersikap biasa hari ini. Aku harap kamu mengerti, Kak.”“Kamu masih
Kediaman Danutirta, JakartaRangga dan Maura duduk berdampingan di sofa ruang baca bersama Hanna dan Galih. Mereka sedang membahas tentang tindakan Rangga yang dinilai keterlaluan terkait Burhan dan Anggita.“Reno pasti sudah laporkan semuanya padamu, jadi kita tidak perlu membahasnya dari awal. Yang mau papa dengar adalah alasan kenapa kamu tega mengambil alih perusahaan Tante Sandra.”Rangga melonggarkan tenggorokannya sebelum menjawab, “Rangga awalnya tidak menduga kalau Burhan ….”“Paman Burhan,” tegur Hanna dengan sorot mata tajam.“Oke, Paman Burhan, akan berani menjual saham pabrik pengolahan kayu milik istrinya untuk membeli saham GD Grup. Lebih tidak menduga lagi kalau dia berani meminjam saham atas nama Dwiki dan Trias untuk ikut dalam permainan. Untungnya Paman Haryo bertindak cepat dan membeli saham pabrik kayu menggunakan nama sopirnya.”“Tapi itu tidak membenarkan sik
Mall GalaksiMaura berdiri di atas panggung setinggi lutut sambil memegang mic di tangan kanannya dan tangan kirinya memeluk bahu Yuki.“Halo semuanya! Bagaimana kabar kalian?”“BAIK ...!!” teriak anak-anak kompak.“Ada yang belum pernah ketemu Yuki Harrison?” Maura melempar pandangan ke seluruh teman kecil Yuki yang sedang sibuk menggelengkan kepala. “Kenal semua, ya?”“YA ...!” jawab mereka, kembali kompak.“Oke. Hari ini, Yuki mengundang kalian semua datang ke sini untuk bermain dan bergembira bersama. Apa kalian bersedia?!” tanya Maura penuh semangat.“BERSEDIA ...!!”“Tapi jangan ada Paman itu,” celetuk salah satu gadis berkepang dua seraya menunjuk Rangga dan Reno.Maura tersenyum mengerti. “Tidak masalah. Mereka di sini hanya untuk memastikan bahwa kita semua aman. Jadi, tidak perlu memikirkan mereka. Ang
Lukas adalah bocah terakhir yang dijemput orang tuanya. Acara bermain bersama yang Maura gagas, berdampak positif bagi hubungan pertemanan Yuki dan perbaikan image Rangga di mata teman-teman Yuki.“Bunda, thankyou so much.” Yuki bergelayut manja di leher Maura setelah Lukas menghilang di balik pintu lift.“Sama-sama. Kamu bahagia?” Maura meletakkan dua tangannya di pinggang Yuki.“Ya, sangat bahagia.”“Oke, itu yang terpenting. Bunda sudah janji di depan nisan mamamu bahwa akan selalu membahagiakanmu.”Cup. Cup.Yuki mendaratkan sebuah ciuman di masing-masing pipi. “Terima kasih sudah melakukan banyak hal buatku, Bunda.”“Kamu salah, Nak. Aku yang harus berterima kasih padamu karena sudah mengajarkan banyak hal dengan perilaku polosmu.” Maura membalas ciuman Yuki.“Apa kalian tidak merasa melupakan seseorang?” Rangga berdiri de
Rangga memutar bokongnya hingga membentuk gambar maya setengah lingkaran. Matanya membola saat melihat Maura berdiri sambil merangkul bahu Yuki yang wajahnya hampir tertutup buket bunga.“Panda! Kenapa duduk di situ?! Malu. Sudah tua masih saja merajuk.” Yuki mengintip dari pinggiran buket yang dibawanya.Rangga bangkit perlahan, menyesuaikan kekuatan lututnya yang belum sepenuhnya pulih.“Ini, Yuki beli buket besar untuk Panda. Sudah, jangan merajuk lagi.” Yuki meluruskan lengannya dan menjauhkan buket dari tubuhnya.Rangga berjalan cepat kemudian berlari menghampiri Yuki. Dua lengan kokohnya meraih Yuki dan buket bunga dalam pelukan.“Kau membuat jantungku berhenti berdetak,” gumam Rangga di antara rambut yang berserakan di wajahnya. “Jangan pernah pergi tanpa pamit. Kau mengerti?!” Kali ini kalimatnya penuh nada peringatan yang tegas.“Kak, turunkan Yuki. Kau menyakitinya,” tegur
Maura sedang bersandar di sofa kamar inap, mengistirahatkan kaki dan punggungnya yang terasa pegal. Yuki sudah pulang bersama Reno dan mereka berjanji akan kembali besok siang setelah Yuki pulang sekolah. Setelah tadi memastikan Rangga sudah terlelap dan napasnya mulai lega, Maura memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak.Drtt. Drtt. Drtt.Getar ponsel di atas meja pasien mengejutkan Maura. Tangannya terulur meraih ponselnya dan melihat daftar panggilan.“Mama Aya, 15 panggilan tidak terjawab. Rupanya aku tertidur cukup lelap. Ada apa, ya? Sepertinya terjadi sesuatu,” gumam Maura sambil mengutak-atik ponselnya.“Siapa?”Maura berpaling menatap Rangga yang sedang melepas kanul oksigennya. “Sudah bangun? Kenapa dilepas?”“Aku tidak sesak dan selang ini membuat hidungku gatal. Merangsangku untuk bersin. Hatchiiu ...!”“Kakak mau makan apa? Buah mau gak?”“Siapa y
“Keluarga pasien Armand!” teriak salah seorang suster yang baru keluar dari pintu ICU. “Keluarga pasien Armand!” ulang suster itu sambil melihat berkeliling.“Kami keluarganya,” Rangga yang pertama kali menjawab karena Soraya dan Maura hanya diam terpaku.“Dokter ingin bicara, Pak.” Suster itu merentangkan tangan kanannya meminta Rangga masuk.Rangga segera masuk, meninggalkan Soraya dan Maura yang saling mengaitkan tangan dan bergerak perlahan mengikutinya.“Anda keluarga Pak Armand?” tanya dokter berkacamata dengan aksen luar pulau yang sangat kental.“Ya, saya menantunya.”“Pak Armand sudah beberapa kali mengalami serangan jantung sejak dia dirawat di sini. Dengan sangat menyesal kami harus beritahukan bahwa nyawanya tidak tertolong. Kami sudah berusaha menyelamatkannya, tapi Tuhan berkata lain.”“Bukankah kalimat ini terlalu klise, Dok?&rdquo
Griya Tawang“Sayang, aku sudah buatkan susu dan bubur manado kesukaanmu. Bangunlah, ini hari kelima kau tidak merespon setiap perkataanku. Ayolah ....” Rangga berdiri di samping ranjang dengan nampan kayu di tangannya.“Aku tidak lapar, Kak.”“Kau boleh saja tidak merasa lapar, pikirkan anak kita, Ra!”Maura menggerakkan kepalanya sedikit, menghindari tatapan Rangga. “Aku sungguh tidak lapar, Kak.”Rangga meletakkan nampan di atas nakas dan merogoh sakunya. “Oke, aku akan telfon ambulans untuk membawamu ke rumah sakit!” ancam Rangga sungguh-sungguh.“Aku tidak perlu ke rumah sakit, Kak.”“Baiklah, terserah kau saja.” Rangga berbalik pergi dengan menahan marah.“Bagaimana?” Hanna terlihat khawatir.Rangga menggelengkan kepala lemah. “Dia tetap tidak mau makan. Ma, tolong bujuk Maura agar dia mau makan. Kasihan bayi dalam