Lukas adalah bocah terakhir yang dijemput orang tuanya. Acara bermain bersama yang Maura gagas, berdampak positif bagi hubungan pertemanan Yuki dan perbaikan image Rangga di mata teman-teman Yuki.
“Bunda, thankyou so much.” Yuki bergelayut manja di leher Maura setelah Lukas menghilang di balik pintu lift.
“Sama-sama. Kamu bahagia?” Maura meletakkan dua tangannya di pinggang Yuki.
“Ya, sangat bahagia.”
“Oke, itu yang terpenting. Bunda sudah janji di depan nisan mamamu bahwa akan selalu membahagiakanmu.”
Cup. Cup.
Yuki mendaratkan sebuah ciuman di masing-masing pipi. “Terima kasih sudah melakukan banyak hal buatku, Bunda.”
“Kamu salah, Nak. Aku yang harus berterima kasih padamu karena sudah mengajarkan banyak hal dengan perilaku polosmu.” Maura membalas ciuman Yuki.
“Apa kalian tidak merasa melupakan seseorang?” Rangga berdiri de
Rangga memutar bokongnya hingga membentuk gambar maya setengah lingkaran. Matanya membola saat melihat Maura berdiri sambil merangkul bahu Yuki yang wajahnya hampir tertutup buket bunga.“Panda! Kenapa duduk di situ?! Malu. Sudah tua masih saja merajuk.” Yuki mengintip dari pinggiran buket yang dibawanya.Rangga bangkit perlahan, menyesuaikan kekuatan lututnya yang belum sepenuhnya pulih.“Ini, Yuki beli buket besar untuk Panda. Sudah, jangan merajuk lagi.” Yuki meluruskan lengannya dan menjauhkan buket dari tubuhnya.Rangga berjalan cepat kemudian berlari menghampiri Yuki. Dua lengan kokohnya meraih Yuki dan buket bunga dalam pelukan.“Kau membuat jantungku berhenti berdetak,” gumam Rangga di antara rambut yang berserakan di wajahnya. “Jangan pernah pergi tanpa pamit. Kau mengerti?!” Kali ini kalimatnya penuh nada peringatan yang tegas.“Kak, turunkan Yuki. Kau menyakitinya,” tegur
Maura sedang bersandar di sofa kamar inap, mengistirahatkan kaki dan punggungnya yang terasa pegal. Yuki sudah pulang bersama Reno dan mereka berjanji akan kembali besok siang setelah Yuki pulang sekolah. Setelah tadi memastikan Rangga sudah terlelap dan napasnya mulai lega, Maura memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak.Drtt. Drtt. Drtt.Getar ponsel di atas meja pasien mengejutkan Maura. Tangannya terulur meraih ponselnya dan melihat daftar panggilan.“Mama Aya, 15 panggilan tidak terjawab. Rupanya aku tertidur cukup lelap. Ada apa, ya? Sepertinya terjadi sesuatu,” gumam Maura sambil mengutak-atik ponselnya.“Siapa?”Maura berpaling menatap Rangga yang sedang melepas kanul oksigennya. “Sudah bangun? Kenapa dilepas?”“Aku tidak sesak dan selang ini membuat hidungku gatal. Merangsangku untuk bersin. Hatchiiu ...!”“Kakak mau makan apa? Buah mau gak?”“Siapa y
“Keluarga pasien Armand!” teriak salah seorang suster yang baru keluar dari pintu ICU. “Keluarga pasien Armand!” ulang suster itu sambil melihat berkeliling.“Kami keluarganya,” Rangga yang pertama kali menjawab karena Soraya dan Maura hanya diam terpaku.“Dokter ingin bicara, Pak.” Suster itu merentangkan tangan kanannya meminta Rangga masuk.Rangga segera masuk, meninggalkan Soraya dan Maura yang saling mengaitkan tangan dan bergerak perlahan mengikutinya.“Anda keluarga Pak Armand?” tanya dokter berkacamata dengan aksen luar pulau yang sangat kental.“Ya, saya menantunya.”“Pak Armand sudah beberapa kali mengalami serangan jantung sejak dia dirawat di sini. Dengan sangat menyesal kami harus beritahukan bahwa nyawanya tidak tertolong. Kami sudah berusaha menyelamatkannya, tapi Tuhan berkata lain.”“Bukankah kalimat ini terlalu klise, Dok?&rdquo
Griya Tawang“Sayang, aku sudah buatkan susu dan bubur manado kesukaanmu. Bangunlah, ini hari kelima kau tidak merespon setiap perkataanku. Ayolah ....” Rangga berdiri di samping ranjang dengan nampan kayu di tangannya.“Aku tidak lapar, Kak.”“Kau boleh saja tidak merasa lapar, pikirkan anak kita, Ra!”Maura menggerakkan kepalanya sedikit, menghindari tatapan Rangga. “Aku sungguh tidak lapar, Kak.”Rangga meletakkan nampan di atas nakas dan merogoh sakunya. “Oke, aku akan telfon ambulans untuk membawamu ke rumah sakit!” ancam Rangga sungguh-sungguh.“Aku tidak perlu ke rumah sakit, Kak.”“Baiklah, terserah kau saja.” Rangga berbalik pergi dengan menahan marah.“Bagaimana?” Hanna terlihat khawatir.Rangga menggelengkan kepala lemah. “Dia tetap tidak mau makan. Ma, tolong bujuk Maura agar dia mau makan. Kasihan bayi dalam
Rangga mengulurkan tangannya meminta Yuki menyerahkan gawai miliknya. “Yuki, kasih lihat Panda!” tegurnya tegas.Yuki diam beberapa saat dalam posisi melindungi miliknya. Namun kemudian, perlahan ia angkat tubuhnya dan mengangsurkan gawai warna putih pada Rangga tanpa melihat.Rangga menerimanya dan membaliknya cepat, memeriksa siapa yang melakukan panggilan video mencurigakan tadi. Sayangnya, layar telah berubah gelap. Rangga membuka kunci layar dan mencari dalam riwayat panggilan.‘Tante Peri,’ bacanya dalam hati. ‘Siapa dia sebenarnya? Kenapa tidak ada kontak baru tersimpan?’“Aplikasi apa yang dia pakai untuk menghubungimu?”Yuki menggeleng dengan wajah tersembunyi di balik bantal.“Oke, Panda akan cari tahu sendiri. Jangan salahkan Panda kalau sampai berbuat kasar ke Tante Perimu karena kamu menutupinya begitu rapat.”Rangga keluar kamar dengan membawa serta gawai Yuki.
Yuki tertunduk.“Yuki, kita sudah sepakat bahwa tidak ada rahasia antara kita berdua. Kita sepakat menjadi teman baik, bukan?” Maura menelengkan kepala agar dapat melihat mimik Yuki.Perlahan, Yuki mengangguk. “Tapi, Tante Peri bilang, ini harus dirahasiakan. Katanya, Bunda dan Panda tidak akan suka kalau tahu.”‘Siapa lagi ini? Beraninya memberi pengaruh buruk pada Yuki!’ geram Maura dalam hati. “Apa itu yang Vivian ajarkan padamu selama ini?”Yuki cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Mama selalu bilang kalau antara ibu dan anak harus saling terbuka. Tapi, Yuki sekarang sudah tidak punya mama.”Maura memejamkan mata sejenak, berusaha menguasai diri. Siapapun tante peri yang Yuki maksud, jelas dia membawa pengaruh buruk pada gadis kecil ini. Maura membenarkan tindakan Rangga dalam hati.“Yuki, sejak Vivian meninggal, siapa yang kau anggap sebagai pengganti mamamu?”Kep
“Aku minta, jangan ikut campur dalam masalah ini, Kak. Bisa?” pinta Maura serius. “Permintaan macam apa itu?! Aku tidak bisa biarkan kalian berdua menghadapi bahaya sendirian, bukan?” “Bahaya? Bahaya apa?!” Maura mulai kesal dengan sikap curiga Rangga yang berlebihan. “Dia hanya seorang wanita, Kak. Kejahatan apa yang bisa dia lakukan padaku?” tanya Maura polos. “Hhh ... kau masih saja terlalu polos, Amor. Coba kau ingat lagi apa yang sudah Amelia dan Anggita lakukan padamu. Mereka wanita-wanita berbahaya yang ada di sekitarmu. Masih ada yang lebih berbahaya dari mereka di dunia ini.” Maura termenung, Rangga benar. Dia terlalu polos dalam menilai orang, hampir tidak menaruh kecurigaan. “Aku akan minta Pic mengawasimu dari jauh.” Sebuah senyuman tersungging di bibir Maura. “Picolo? Yakin? Bukannya kemarin ada yang cemburu sama Mas Pic, ya?” sindir Maura sambil tersenyum jenaka. “Mau tak mau. Dia satu-satunya yang bisa a
Alina terbeliak kagum. “Wah ... benar kata Reno, tidaklah mudah mengelabuimu. Ckckck.”“Jelaskan padaku, apa maksudnya ini?”Alina berdehem sekali dan mulai menjelaskan. “Jadi gini, kedai es krim ini adalah salah satu usaha yang aku rintis. Karena baru beberapa bulan opening, pengunjungnya belum terlalu ramai. Jadi, aku mengajakmu dan Yuki kemari sekaligus untuk menilai kualitas produk --.”“Al ....”“Oke. Alasan sebenarnya adalah Rangga tidak mengizinkan kalian keluar tanpa pengawasan. Jadi, aku memilih tempat ini. Satu-satunya tempat yang bisa menerima pegawai baru tanpa melalui proses yg rumit karena ini milik pribadi.”“Dan pria tadi? Aku tidak salah mengenalinya, bukan?”Alina mendesah pasrah. “Seratus persen benar.” Alina mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi bagaimana kamu bisa mengenalinya, Kak? Reno bilang, dia pegawai baru dan belum