Maura sedang bersandar di sofa kamar inap, mengistirahatkan kaki dan punggungnya yang terasa pegal. Yuki sudah pulang bersama Reno dan mereka berjanji akan kembali besok siang setelah Yuki pulang sekolah. Setelah tadi memastikan Rangga sudah terlelap dan napasnya mulai lega, Maura memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak.
Drtt. Drtt. Drtt.
Getar ponsel di atas meja pasien mengejutkan Maura. Tangannya terulur meraih ponselnya dan melihat daftar panggilan.
“Mama Aya, 15 panggilan tidak terjawab. Rupanya aku tertidur cukup lelap. Ada apa, ya? Sepertinya terjadi sesuatu,” gumam Maura sambil mengutak-atik ponselnya.
“Siapa?”
Maura berpaling menatap Rangga yang sedang melepas kanul oksigennya. “Sudah bangun? Kenapa dilepas?”
“Aku tidak sesak dan selang ini membuat hidungku gatal. Merangsangku untuk bersin. Hatchiiu ...!”
“Kakak mau makan apa? Buah mau gak?”
“Siapa y
“Keluarga pasien Armand!” teriak salah seorang suster yang baru keluar dari pintu ICU. “Keluarga pasien Armand!” ulang suster itu sambil melihat berkeliling.“Kami keluarganya,” Rangga yang pertama kali menjawab karena Soraya dan Maura hanya diam terpaku.“Dokter ingin bicara, Pak.” Suster itu merentangkan tangan kanannya meminta Rangga masuk.Rangga segera masuk, meninggalkan Soraya dan Maura yang saling mengaitkan tangan dan bergerak perlahan mengikutinya.“Anda keluarga Pak Armand?” tanya dokter berkacamata dengan aksen luar pulau yang sangat kental.“Ya, saya menantunya.”“Pak Armand sudah beberapa kali mengalami serangan jantung sejak dia dirawat di sini. Dengan sangat menyesal kami harus beritahukan bahwa nyawanya tidak tertolong. Kami sudah berusaha menyelamatkannya, tapi Tuhan berkata lain.”“Bukankah kalimat ini terlalu klise, Dok?&rdquo
Griya Tawang“Sayang, aku sudah buatkan susu dan bubur manado kesukaanmu. Bangunlah, ini hari kelima kau tidak merespon setiap perkataanku. Ayolah ....” Rangga berdiri di samping ranjang dengan nampan kayu di tangannya.“Aku tidak lapar, Kak.”“Kau boleh saja tidak merasa lapar, pikirkan anak kita, Ra!”Maura menggerakkan kepalanya sedikit, menghindari tatapan Rangga. “Aku sungguh tidak lapar, Kak.”Rangga meletakkan nampan di atas nakas dan merogoh sakunya. “Oke, aku akan telfon ambulans untuk membawamu ke rumah sakit!” ancam Rangga sungguh-sungguh.“Aku tidak perlu ke rumah sakit, Kak.”“Baiklah, terserah kau saja.” Rangga berbalik pergi dengan menahan marah.“Bagaimana?” Hanna terlihat khawatir.Rangga menggelengkan kepala lemah. “Dia tetap tidak mau makan. Ma, tolong bujuk Maura agar dia mau makan. Kasihan bayi dalam
Rangga mengulurkan tangannya meminta Yuki menyerahkan gawai miliknya. “Yuki, kasih lihat Panda!” tegurnya tegas.Yuki diam beberapa saat dalam posisi melindungi miliknya. Namun kemudian, perlahan ia angkat tubuhnya dan mengangsurkan gawai warna putih pada Rangga tanpa melihat.Rangga menerimanya dan membaliknya cepat, memeriksa siapa yang melakukan panggilan video mencurigakan tadi. Sayangnya, layar telah berubah gelap. Rangga membuka kunci layar dan mencari dalam riwayat panggilan.‘Tante Peri,’ bacanya dalam hati. ‘Siapa dia sebenarnya? Kenapa tidak ada kontak baru tersimpan?’“Aplikasi apa yang dia pakai untuk menghubungimu?”Yuki menggeleng dengan wajah tersembunyi di balik bantal.“Oke, Panda akan cari tahu sendiri. Jangan salahkan Panda kalau sampai berbuat kasar ke Tante Perimu karena kamu menutupinya begitu rapat.”Rangga keluar kamar dengan membawa serta gawai Yuki.
Yuki tertunduk.“Yuki, kita sudah sepakat bahwa tidak ada rahasia antara kita berdua. Kita sepakat menjadi teman baik, bukan?” Maura menelengkan kepala agar dapat melihat mimik Yuki.Perlahan, Yuki mengangguk. “Tapi, Tante Peri bilang, ini harus dirahasiakan. Katanya, Bunda dan Panda tidak akan suka kalau tahu.”‘Siapa lagi ini? Beraninya memberi pengaruh buruk pada Yuki!’ geram Maura dalam hati. “Apa itu yang Vivian ajarkan padamu selama ini?”Yuki cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Mama selalu bilang kalau antara ibu dan anak harus saling terbuka. Tapi, Yuki sekarang sudah tidak punya mama.”Maura memejamkan mata sejenak, berusaha menguasai diri. Siapapun tante peri yang Yuki maksud, jelas dia membawa pengaruh buruk pada gadis kecil ini. Maura membenarkan tindakan Rangga dalam hati.“Yuki, sejak Vivian meninggal, siapa yang kau anggap sebagai pengganti mamamu?”Kep
“Aku minta, jangan ikut campur dalam masalah ini, Kak. Bisa?” pinta Maura serius. “Permintaan macam apa itu?! Aku tidak bisa biarkan kalian berdua menghadapi bahaya sendirian, bukan?” “Bahaya? Bahaya apa?!” Maura mulai kesal dengan sikap curiga Rangga yang berlebihan. “Dia hanya seorang wanita, Kak. Kejahatan apa yang bisa dia lakukan padaku?” tanya Maura polos. “Hhh ... kau masih saja terlalu polos, Amor. Coba kau ingat lagi apa yang sudah Amelia dan Anggita lakukan padamu. Mereka wanita-wanita berbahaya yang ada di sekitarmu. Masih ada yang lebih berbahaya dari mereka di dunia ini.” Maura termenung, Rangga benar. Dia terlalu polos dalam menilai orang, hampir tidak menaruh kecurigaan. “Aku akan minta Pic mengawasimu dari jauh.” Sebuah senyuman tersungging di bibir Maura. “Picolo? Yakin? Bukannya kemarin ada yang cemburu sama Mas Pic, ya?” sindir Maura sambil tersenyum jenaka. “Mau tak mau. Dia satu-satunya yang bisa a
Alina terbeliak kagum. “Wah ... benar kata Reno, tidaklah mudah mengelabuimu. Ckckck.”“Jelaskan padaku, apa maksudnya ini?”Alina berdehem sekali dan mulai menjelaskan. “Jadi gini, kedai es krim ini adalah salah satu usaha yang aku rintis. Karena baru beberapa bulan opening, pengunjungnya belum terlalu ramai. Jadi, aku mengajakmu dan Yuki kemari sekaligus untuk menilai kualitas produk --.”“Al ....”“Oke. Alasan sebenarnya adalah Rangga tidak mengizinkan kalian keluar tanpa pengawasan. Jadi, aku memilih tempat ini. Satu-satunya tempat yang bisa menerima pegawai baru tanpa melalui proses yg rumit karena ini milik pribadi.”“Dan pria tadi? Aku tidak salah mengenalinya, bukan?”Alina mendesah pasrah. “Seratus persen benar.” Alina mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi bagaimana kamu bisa mengenalinya, Kak? Reno bilang, dia pegawai baru dan belum
Ruang IGD yang awalnya sepi, berubah sibuk dan gaduh setelah kedatangan Yuki dan seorang wanita dewasa dengan kondisi sama kritisnya karena alergi stroberi.“Pasang normal salin!” seru dokter jaga sambil sibuk memeriksa Yuki.Beberapa perawat bergegas menyiapkan peralatan yang dibutuhkan, sedang yang lain sibuk membantu dokter memeriksa dan memasang kanul oksigen.Maura mundur perlahan, menjauh dari kegaduhan yang sedang berusaha menyelamatkan Yuki dan tante peri.“Kak, duduk dulu.” Alina menggamit lengan Maura duduk di bangku stainless panjang hitam yang terasa lebih dingin dari biasanya.“Al, apa Yuki akan baik-baik saja? Aku sungguh tidak tahu kalau dia alergi stroberi,” sesal Maura sedih.“Kak, ini kecelakaan, bukan kesalahan seperti yang kamu pikirkan.” Alina meremas bahu Maura lembut. “Aku sudah menghubungi Rangga dan Reno, mereka dalam perjalanan kemari.”Maura hanya b
Rangga duduk di samping ranjang Yuki sambil terus menatap ke ranjang lain tempat wanita misterius pembuat masalah sedang terbaring dengan masker oksigen menutup hidung dan mulutnya hingga dagu.“Coba perhatikan, apa dia mengingatkanmu pada seseorang?” tanya Rangga tiba-tiba, membuat Reno mengalihkan pandangannya dari layar laptop di pangkuan.Reno mengamati sejenak wajah wanita misterius di depannya, lalu kemudian menggeleng sebagai jawaban.Sebuah lenguhan penanda kesadaran mulai kembali, keluar dari bibir wanita misterius. Rangga menajamkan pandangannya, mengamati setiap gerakan Tante Peri.“Air ...,” ucap wanita itu dengan suara serak.Perlahan, Rangga bangkit dari kursinya, mengisi gelas dai atas nakas dan membawanya ke dalam jangkauan wanita itu. Tante Peri berusaha menarik dirinya agar duduk dengan susah payah, tapi Rangga bergeming di tempatnya, tidak berniat mengulurkan bantuan.Wanita itu meloloskan masker ok