Rangga duduk di samping ranjang Yuki sambil terus menatap ke ranjang lain tempat wanita misterius pembuat masalah sedang terbaring dengan masker oksigen menutup hidung dan mulutnya hingga dagu.
“Coba perhatikan, apa dia mengingatkanmu pada seseorang?” tanya Rangga tiba-tiba, membuat Reno mengalihkan pandangannya dari layar laptop di pangkuan.
Reno mengamati sejenak wajah wanita misterius di depannya, lalu kemudian menggeleng sebagai jawaban.
Sebuah lenguhan penanda kesadaran mulai kembali, keluar dari bibir wanita misterius. Rangga menajamkan pandangannya, mengamati setiap gerakan Tante Peri.
“Air ...,” ucap wanita itu dengan suara serak.
Perlahan, Rangga bangkit dari kursinya, mengisi gelas dai atas nakas dan membawanya ke dalam jangkauan wanita itu. Tante Peri berusaha menarik dirinya agar duduk dengan susah payah, tapi Rangga bergeming di tempatnya, tidak berniat mengulurkan bantuan.
Wanita itu meloloskan masker ok
Rangga, Reno dan Paula tersentak mendengar besi pengait tirai bergeser kasar, menimbulkan suara berisik yang mengganggu telinga.“Beraninya kamu datang dengan tujuan jahat dan memanfaatkan kesedihanku untuk mengambil Yuki! Sangat tidak berperasaan!”“Sayang, kenapa balik kemari? Bukannya aku menyuruhmu beristirahat?” Mata Rangga tertuju pada Alina meskipun pertanyaannya tertuju untuk Maura.“Dan membiarkan wanita ini mengambil Yuki, begitu?!” Maura mengikis jarak hanya dengan tiga langkah lebar. “Biar aku yang jelaskan padamu kondisi yang kamu sebut dengan abai.”Paula terlihat kaget, tidak menyangka wanita mungil di depannya bisa mengeluarkan nada tegas sarat emosi. Tanpa sadar, tubuhnya bergeser ke belakang saat melihat Maura merapat ke ranjangnya.“Aku kehilangan ayahku dalam kondisi di luar normal beberapa hari yang lalu. Dia terkena serangan jantung di dalam penjara saat menjalani hukuman y
Ruang Perawatan VVIPSesuai instruksi tegas yang Maura berikan, Rangga memisahkan ruang perawatan Yuki dan Paula. Meskipun hanya dipisahkan dinding karena kamar mereka bersebelahan.Yuki masih pura-pura tidur, Rangga tahu itu. Kelopak matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, entah sejak kapan. Rangga hanya khawatir dia mendengar kalimat yang tidak seharusnya dia dengar.‘Apa aku minta Maura ke sini?’ batin Rangga bimbang.Rangga melihat ke sekeliling ruangan, matanya manngkap nampan makan malam dari Instalasi Gizi yang sudah diantar sejak satu jam yang lalu. Timbul ide untuk memancing Yuki menyudahi sandiwaranya.“Hmm, ada puding cokelat rupanya. Sayang sekali, Yuki masih tidur. Bukankah sebentar lagi petugas gizi akan mengambil piringnya?” gumam Rangga sambil melirik jam tangannya. “Wah, sepuluh menit lagi. Apa sebaiknya aku makan saja semuanya?”Rangga melirik ke atas ranjang. Yuki mulai menggeliat dan men
“Tanyakan saja sendiri saat dia datang. Aku sudah mengirim pesan pada Reno untuk menjemput Maura. Dan bersiaplah menentukan pilihanmu!” jawab Rangga datar.Mendengar itu, Yuki tertunduk lesu. Ketakutan terbesarnya setelah kehilangan Vivian adalah kehilangan Maura. Ibu angkatnya itu sudah berhasil menguasai hati dan pikiran Yuki, mengalihkan kesedihannya menjadi tawa dan melanjutkan hidup dengan limpahan kasih sayang dari orang yang menyayanginya.“Apa kau bisa membantuku membujuknya?” pinta Yuki dengan suara serak.“Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku tahu pasti, Maura kecewa padamu karena tidak memberitahu tentang alergimu. Apalagi saat ini, Paula yang baru beberapa hari dekat denganmu lebih tahu tentangmu.”“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya dari kalian, hanya saja aku tidak tahu –.”“Apa yang tidak kau tahu?” potong Rangga sinis.Yuki memberanikan diri menatap Rangga
“Aku tidak peduli! Aku harus bisa membawa pulang bocah itu bersamaku. Hanya dengan membawanya, maka aku bisa mewarisi semua yang papa tinggalkan untuk bocah sialan itu.”Paula mondar-mandir di kamarnya sambil memeluk botol infus. Baru saja Dolores, ibu tirinya, menghubunginya. Dimitri sudah memanggil dua pengacara kepercayaannya untuk membuat surat wasiat. Dolores meminta Paula segera pulang bersama Yuki.“Hhh, merepotkan saja!”Tok tok tok.Seorang perawat masuk dengan membawa nampan. “Permisi, saya akan melepas infusnya.”Paula berjalan ke tepi ranjang dan duduk tenang, berbanding terbalik dengan otaknya yang berputar mencari cara untuk membawa Yuki tanpa harus membuat keributan.“Selesai. Ini obat yang perlu Anda minum selama dua hari ke depan.” Pria muda itu mengulurkan plastik putih berisi obat. “Dokter berpesan agar Anda lebih hati-hati dalam memilih makanan, terutama yang menimbulk
Rangga menyeret pria muda berseragam biru dengan tangan kanannya di bagian kerah kemeja, sedang tangan kirinya menjinjing plastik putih berisi buah pesanan Maura.“Pak! Lepaskan saya! Apa yang Anda lakukan?!” teriak pemuda berseragam ketakutan.“Saya minta kamu ikut dengan baik-baik, tapi kamu melarikan diri. Saya terpaksa melakukannya.” Rangga terus berjalan cepat kembali ke kamar Yuki sambil membawa pria berseragam biru turut serta.“Banyak orang melihat. Anda mencemarkan nama baik saya!” teriak pemuda itu asal, mencontoh dialog-dialog dalam film yang sering ditontonnya ketika luang.Brug!Rangga melempar pemuda berseragam ke dinding terdekat darinya. Lengan kanannya menempel erat, mendesar leher pemuda berseragam menempel dinding.“Kamu bilang apa? Mencemarkan nama baik? Kamu tahu ke mana saya akan bawa kamu?” Rangga mendekatkan bibirnya ke telinga pemuda berseragam dengan gerakan intimidasi
VVIP 16“Kok sendirian, Al? Reno mana?” heran Maura manakala melihat Alina datang seorang diri.“Tadi papasan sama Bang Rangga dan dia titip ini buatmu.” Alina menyodorkan kantong plastik berisi buah-buahan yang Maura minta.Maura tersenyum puas. “Thank’s, ya.” Maura mengintip ke dalam kantong. “Sekarang Kak Rangganya mana?”Alina memalingkan muka, berlagak menaruh tas selempangnya di sofa. “Dia ada urusan sama Reno. Kondisi Yuki gimana, Kak?”“Sudah jauh lebih baik, Al. Ini baru tidur dia.” Maura mengusap perutnya yang sedang bergolak.Gerakan itu tak luput dari pengamatan Alina. “Kenapa, Kak? Sakit?”“Nggak, laper,” sahut Maura sambil nyengir kuda. “Yuk, kita makan buah dulu. Nanti kalau Kak Rangga sudah datang, baru kita tinggal Yuki ke kantin,” usul Maura sambil membuka kemasan buah potong berlabel rumah sakit
Maura menunjuk lurus ke muka Paula.“Itu balasan dariku karena rencana jahatmu! Aku sudah cukup menahan diri mengingat kau adalah bibi Yuki, tapi tidak akan lagi.” Maura mengangkat tangannya lagi, membuat Paula refleks menghindar. “Aku tidak akan membiarkanmu atau siapapun mengambil Yuki dariku! Ingat itu!”Maura berbalik perlahan dan melenggang keluar dengan anggun, khas keindahan galaksi Andromeda.“Wahh ...!” Rangga tak hentinya dibuat kagum oleh sikap Maura yang seringkali tidak terduga.“Kenapa?” tanya Mauara sambil terus berjalan ke kamar Yuki.Sret.Rangga meraih tangan Maura dan menghentikan langkahnya. “Aku tidak salah memilihmu menjadi Nyonya Ranggapati. Luar biasa dan tidak terduga.” Rangga mengacungkan dua jempolnya ke depan Maura.Bibir Maura mencebik mendengar pujian Rangga. “Ini terakhir kalinya kamu menyembunyikan sesuatu dan bertindak sendiri, Kak. Tamp
Jelita menunjuk ke arah layar dengan telunjuk gemetaran. Semua yang ada dalam ruangan turut memicingkan mata.“Bulatan apa itu, Tan?” tanya Alina was-was.“Tenang, biarkan aku periksa dulu sampai selesai.” Siska melanjutkan pemeriksaannya di bawah rasa penasaran keluarga Danutirta.Lima belas menit kemudian, semua sudah melingkari meja kerja Siska. Para wanita duduk di kursi, sedangkan prianya berdiri sambil menyilang tangan atau bersedekap.“Oke, tadi kita sudah tahu tentang kondisi kehamilan Maura. Sekarang aku akan jelaskan kondisi Alina, tentang bulatan yang kalian lihat tadi.”Siska menyodorkan selembar kertas menghadap Alina, dengan wajah serius menatap keponakannya yang paling cantik. “Aku rasa, sebaiknya kamu mulai memperbaiki pola makan dan tidur. Pentingkan asupan gizi dan istirahat.”“Tan, sebenarnya aku sakit apa?” tanya Alina sedih. “Tumor? Kanker? Apa?”