“Tanyakan saja sendiri saat dia datang. Aku sudah mengirim pesan pada Reno untuk menjemput Maura. Dan bersiaplah menentukan pilihanmu!” jawab Rangga datar.
Mendengar itu, Yuki tertunduk lesu. Ketakutan terbesarnya setelah kehilangan Vivian adalah kehilangan Maura. Ibu angkatnya itu sudah berhasil menguasai hati dan pikiran Yuki, mengalihkan kesedihannya menjadi tawa dan melanjutkan hidup dengan limpahan kasih sayang dari orang yang menyayanginya.
“Apa kau bisa membantuku membujuknya?” pinta Yuki dengan suara serak.
“Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku tahu pasti, Maura kecewa padamu karena tidak memberitahu tentang alergimu. Apalagi saat ini, Paula yang baru beberapa hari dekat denganmu lebih tahu tentangmu.”
“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya dari kalian, hanya saja aku tidak tahu –.”
“Apa yang tidak kau tahu?” potong Rangga sinis.
Yuki memberanikan diri menatap Rangga
“Aku tidak peduli! Aku harus bisa membawa pulang bocah itu bersamaku. Hanya dengan membawanya, maka aku bisa mewarisi semua yang papa tinggalkan untuk bocah sialan itu.”Paula mondar-mandir di kamarnya sambil memeluk botol infus. Baru saja Dolores, ibu tirinya, menghubunginya. Dimitri sudah memanggil dua pengacara kepercayaannya untuk membuat surat wasiat. Dolores meminta Paula segera pulang bersama Yuki.“Hhh, merepotkan saja!”Tok tok tok.Seorang perawat masuk dengan membawa nampan. “Permisi, saya akan melepas infusnya.”Paula berjalan ke tepi ranjang dan duduk tenang, berbanding terbalik dengan otaknya yang berputar mencari cara untuk membawa Yuki tanpa harus membuat keributan.“Selesai. Ini obat yang perlu Anda minum selama dua hari ke depan.” Pria muda itu mengulurkan plastik putih berisi obat. “Dokter berpesan agar Anda lebih hati-hati dalam memilih makanan, terutama yang menimbulk
Rangga menyeret pria muda berseragam biru dengan tangan kanannya di bagian kerah kemeja, sedang tangan kirinya menjinjing plastik putih berisi buah pesanan Maura.“Pak! Lepaskan saya! Apa yang Anda lakukan?!” teriak pemuda berseragam ketakutan.“Saya minta kamu ikut dengan baik-baik, tapi kamu melarikan diri. Saya terpaksa melakukannya.” Rangga terus berjalan cepat kembali ke kamar Yuki sambil membawa pria berseragam biru turut serta.“Banyak orang melihat. Anda mencemarkan nama baik saya!” teriak pemuda itu asal, mencontoh dialog-dialog dalam film yang sering ditontonnya ketika luang.Brug!Rangga melempar pemuda berseragam ke dinding terdekat darinya. Lengan kanannya menempel erat, mendesar leher pemuda berseragam menempel dinding.“Kamu bilang apa? Mencemarkan nama baik? Kamu tahu ke mana saya akan bawa kamu?” Rangga mendekatkan bibirnya ke telinga pemuda berseragam dengan gerakan intimidasi
VVIP 16“Kok sendirian, Al? Reno mana?” heran Maura manakala melihat Alina datang seorang diri.“Tadi papasan sama Bang Rangga dan dia titip ini buatmu.” Alina menyodorkan kantong plastik berisi buah-buahan yang Maura minta.Maura tersenyum puas. “Thank’s, ya.” Maura mengintip ke dalam kantong. “Sekarang Kak Rangganya mana?”Alina memalingkan muka, berlagak menaruh tas selempangnya di sofa. “Dia ada urusan sama Reno. Kondisi Yuki gimana, Kak?”“Sudah jauh lebih baik, Al. Ini baru tidur dia.” Maura mengusap perutnya yang sedang bergolak.Gerakan itu tak luput dari pengamatan Alina. “Kenapa, Kak? Sakit?”“Nggak, laper,” sahut Maura sambil nyengir kuda. “Yuk, kita makan buah dulu. Nanti kalau Kak Rangga sudah datang, baru kita tinggal Yuki ke kantin,” usul Maura sambil membuka kemasan buah potong berlabel rumah sakit
Maura menunjuk lurus ke muka Paula.“Itu balasan dariku karena rencana jahatmu! Aku sudah cukup menahan diri mengingat kau adalah bibi Yuki, tapi tidak akan lagi.” Maura mengangkat tangannya lagi, membuat Paula refleks menghindar. “Aku tidak akan membiarkanmu atau siapapun mengambil Yuki dariku! Ingat itu!”Maura berbalik perlahan dan melenggang keluar dengan anggun, khas keindahan galaksi Andromeda.“Wahh ...!” Rangga tak hentinya dibuat kagum oleh sikap Maura yang seringkali tidak terduga.“Kenapa?” tanya Mauara sambil terus berjalan ke kamar Yuki.Sret.Rangga meraih tangan Maura dan menghentikan langkahnya. “Aku tidak salah memilihmu menjadi Nyonya Ranggapati. Luar biasa dan tidak terduga.” Rangga mengacungkan dua jempolnya ke depan Maura.Bibir Maura mencebik mendengar pujian Rangga. “Ini terakhir kalinya kamu menyembunyikan sesuatu dan bertindak sendiri, Kak. Tamp
Jelita menunjuk ke arah layar dengan telunjuk gemetaran. Semua yang ada dalam ruangan turut memicingkan mata.“Bulatan apa itu, Tan?” tanya Alina was-was.“Tenang, biarkan aku periksa dulu sampai selesai.” Siska melanjutkan pemeriksaannya di bawah rasa penasaran keluarga Danutirta.Lima belas menit kemudian, semua sudah melingkari meja kerja Siska. Para wanita duduk di kursi, sedangkan prianya berdiri sambil menyilang tangan atau bersedekap.“Oke, tadi kita sudah tahu tentang kondisi kehamilan Maura. Sekarang aku akan jelaskan kondisi Alina, tentang bulatan yang kalian lihat tadi.”Siska menyodorkan selembar kertas menghadap Alina, dengan wajah serius menatap keponakannya yang paling cantik. “Aku rasa, sebaiknya kamu mulai memperbaiki pola makan dan tidur. Pentingkan asupan gizi dan istirahat.”“Tan, sebenarnya aku sakit apa?” tanya Alina sedih. “Tumor? Kanker? Apa?”
Dua insan mendekatkan wajah, tak kuasa menahan diri dalam balutan kerinduan, menyuguhkan romansa yang selalu berhasil menarik perhatian, tak terkecuali perhatian Yuki. Hanna berulang kali menutup mata gadis kecil itu dengan telapaknya, tapi selalu saja diturunkan oleh pemilik mata.“CUT!” teriak Hanna membuyarkan kemesraan Rangga-Maura yang lama tak terlihat. “Kalian berencana syuting film roman di sini? Bisa tidak kalian lanjutkan di kamar?”Hidung yang sudah saling menempel, mendadak menjauh dengan malu-malu dan rona merah menghiasi pipi keduanya.“Maaf!” pekik Maura sambil menutup wajahnya.“Wah, hormon kehamilan memang luar biasa pengaruhnya pada pribadi seorang wanita,” celetuk Reno jenaka.Sret.Rangga mengangkat Maura dalam gendongan dan berbisik, “Kita lanjutkan di kamar seperti yang mereka minta, hmm?”Maura yang tersentak kaget, perlahan tersipu malu. Menyembunyikan
Tiga Puluh Menit SebelumnyaRangga dan Reno duduk di bangku pinggiran lapangan tenis di dekat rumah sambil mengatur napas setelah bermain dua set.“Kenapa berhenti? Sudah tidak sanggup melawanku?” cibir Rangga dengan senyum miring khas saat dia meremehkan sesuatu. “Memang susah kalau usia lanjut!” imbuhnya dengan nada mengejek yang kentara.“Sialan!” umpat Reno sembari meremas botol air mineral miliknya. “Ini karena kau sering memberiku pekerjaan di balik meja. Kapan kau mulai kembali bekerja? Aku juga punya pekerjaan yang harus aku selesaikan,” gerutu Reno kesal.“Heh! Di mana-mana, namanya asisten harus nurut sama bos, namanya adik ipar harus hormat sama kakak ipar, meskipun usianya jauh lebih tua. Hahaha ...!”“Sialan!” Reno menonjok lengan Rangga dengan setengah tenaganya agar tidak menyakiti atasan sekaligus kakak iparnya.“Tapi kamu benar, sudah lama kita tid
Kantor Presdir GD GrupRangga termenung menghadap laptop yang sedang menyala di meja kerjanya. Di belakang mejanya—di sudut ruangan—Reno melakukan hal yang sama. Dua pria paling disegani di GD Grup setelah Galih Danutirta, tentunya, sedang memikirkan tentang percakapan dengan Jelita di meja makan beberapa hari yang lalu.“Ren, menurutmu sebaiknya kita harus bagaimana?” Rangga merasa otaknya menolak diajak bekerja sama selama beberapa hari ini.“Kita ikuti saja, Bos. Demi keselamatan dan kesehatan bayi kita. Kerugiannya lebih besar dibanding rasa puas karena berhasil menentang keinginan Eyang,” saran Reno dengan nada pasrah.“Hmm, benar juga katamu. Resikonya besar kalau sampai terjadi. Lagipula, ini menyangkut masa depan anak-anak. Oke, aku setuju denganmu!” Rangga bangkit dari kursinya diiringi kernyitan di dahi asistennya.“Mau ke mana, Bos?”“Aku harus melakukan yang harus