Yuki tertunduk.
“Yuki, kita sudah sepakat bahwa tidak ada rahasia antara kita berdua. Kita sepakat menjadi teman baik, bukan?” Maura menelengkan kepala agar dapat melihat mimik Yuki.
Perlahan, Yuki mengangguk. “Tapi, Tante Peri bilang, ini harus dirahasiakan. Katanya, Bunda dan Panda tidak akan suka kalau tahu.”
‘Siapa lagi ini? Beraninya memberi pengaruh buruk pada Yuki!’ geram Maura dalam hati. “Apa itu yang Vivian ajarkan padamu selama ini?”
Yuki cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Mama selalu bilang kalau antara ibu dan anak harus saling terbuka. Tapi, Yuki sekarang sudah tidak punya mama.”
Maura memejamkan mata sejenak, berusaha menguasai diri. Siapapun tante peri yang Yuki maksud, jelas dia membawa pengaruh buruk pada gadis kecil ini. Maura membenarkan tindakan Rangga dalam hati.
“Yuki, sejak Vivian meninggal, siapa yang kau anggap sebagai pengganti mamamu?”
Kep
“Aku minta, jangan ikut campur dalam masalah ini, Kak. Bisa?” pinta Maura serius. “Permintaan macam apa itu?! Aku tidak bisa biarkan kalian berdua menghadapi bahaya sendirian, bukan?” “Bahaya? Bahaya apa?!” Maura mulai kesal dengan sikap curiga Rangga yang berlebihan. “Dia hanya seorang wanita, Kak. Kejahatan apa yang bisa dia lakukan padaku?” tanya Maura polos. “Hhh ... kau masih saja terlalu polos, Amor. Coba kau ingat lagi apa yang sudah Amelia dan Anggita lakukan padamu. Mereka wanita-wanita berbahaya yang ada di sekitarmu. Masih ada yang lebih berbahaya dari mereka di dunia ini.” Maura termenung, Rangga benar. Dia terlalu polos dalam menilai orang, hampir tidak menaruh kecurigaan. “Aku akan minta Pic mengawasimu dari jauh.” Sebuah senyuman tersungging di bibir Maura. “Picolo? Yakin? Bukannya kemarin ada yang cemburu sama Mas Pic, ya?” sindir Maura sambil tersenyum jenaka. “Mau tak mau. Dia satu-satunya yang bisa a
Alina terbeliak kagum. “Wah ... benar kata Reno, tidaklah mudah mengelabuimu. Ckckck.”“Jelaskan padaku, apa maksudnya ini?”Alina berdehem sekali dan mulai menjelaskan. “Jadi gini, kedai es krim ini adalah salah satu usaha yang aku rintis. Karena baru beberapa bulan opening, pengunjungnya belum terlalu ramai. Jadi, aku mengajakmu dan Yuki kemari sekaligus untuk menilai kualitas produk --.”“Al ....”“Oke. Alasan sebenarnya adalah Rangga tidak mengizinkan kalian keluar tanpa pengawasan. Jadi, aku memilih tempat ini. Satu-satunya tempat yang bisa menerima pegawai baru tanpa melalui proses yg rumit karena ini milik pribadi.”“Dan pria tadi? Aku tidak salah mengenalinya, bukan?”Alina mendesah pasrah. “Seratus persen benar.” Alina mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi bagaimana kamu bisa mengenalinya, Kak? Reno bilang, dia pegawai baru dan belum
Ruang IGD yang awalnya sepi, berubah sibuk dan gaduh setelah kedatangan Yuki dan seorang wanita dewasa dengan kondisi sama kritisnya karena alergi stroberi.“Pasang normal salin!” seru dokter jaga sambil sibuk memeriksa Yuki.Beberapa perawat bergegas menyiapkan peralatan yang dibutuhkan, sedang yang lain sibuk membantu dokter memeriksa dan memasang kanul oksigen.Maura mundur perlahan, menjauh dari kegaduhan yang sedang berusaha menyelamatkan Yuki dan tante peri.“Kak, duduk dulu.” Alina menggamit lengan Maura duduk di bangku stainless panjang hitam yang terasa lebih dingin dari biasanya.“Al, apa Yuki akan baik-baik saja? Aku sungguh tidak tahu kalau dia alergi stroberi,” sesal Maura sedih.“Kak, ini kecelakaan, bukan kesalahan seperti yang kamu pikirkan.” Alina meremas bahu Maura lembut. “Aku sudah menghubungi Rangga dan Reno, mereka dalam perjalanan kemari.”Maura hanya b
Rangga duduk di samping ranjang Yuki sambil terus menatap ke ranjang lain tempat wanita misterius pembuat masalah sedang terbaring dengan masker oksigen menutup hidung dan mulutnya hingga dagu.“Coba perhatikan, apa dia mengingatkanmu pada seseorang?” tanya Rangga tiba-tiba, membuat Reno mengalihkan pandangannya dari layar laptop di pangkuan.Reno mengamati sejenak wajah wanita misterius di depannya, lalu kemudian menggeleng sebagai jawaban.Sebuah lenguhan penanda kesadaran mulai kembali, keluar dari bibir wanita misterius. Rangga menajamkan pandangannya, mengamati setiap gerakan Tante Peri.“Air ...,” ucap wanita itu dengan suara serak.Perlahan, Rangga bangkit dari kursinya, mengisi gelas dai atas nakas dan membawanya ke dalam jangkauan wanita itu. Tante Peri berusaha menarik dirinya agar duduk dengan susah payah, tapi Rangga bergeming di tempatnya, tidak berniat mengulurkan bantuan.Wanita itu meloloskan masker ok
Rangga, Reno dan Paula tersentak mendengar besi pengait tirai bergeser kasar, menimbulkan suara berisik yang mengganggu telinga.“Beraninya kamu datang dengan tujuan jahat dan memanfaatkan kesedihanku untuk mengambil Yuki! Sangat tidak berperasaan!”“Sayang, kenapa balik kemari? Bukannya aku menyuruhmu beristirahat?” Mata Rangga tertuju pada Alina meskipun pertanyaannya tertuju untuk Maura.“Dan membiarkan wanita ini mengambil Yuki, begitu?!” Maura mengikis jarak hanya dengan tiga langkah lebar. “Biar aku yang jelaskan padamu kondisi yang kamu sebut dengan abai.”Paula terlihat kaget, tidak menyangka wanita mungil di depannya bisa mengeluarkan nada tegas sarat emosi. Tanpa sadar, tubuhnya bergeser ke belakang saat melihat Maura merapat ke ranjangnya.“Aku kehilangan ayahku dalam kondisi di luar normal beberapa hari yang lalu. Dia terkena serangan jantung di dalam penjara saat menjalani hukuman y
Ruang Perawatan VVIPSesuai instruksi tegas yang Maura berikan, Rangga memisahkan ruang perawatan Yuki dan Paula. Meskipun hanya dipisahkan dinding karena kamar mereka bersebelahan.Yuki masih pura-pura tidur, Rangga tahu itu. Kelopak matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, entah sejak kapan. Rangga hanya khawatir dia mendengar kalimat yang tidak seharusnya dia dengar.‘Apa aku minta Maura ke sini?’ batin Rangga bimbang.Rangga melihat ke sekeliling ruangan, matanya manngkap nampan makan malam dari Instalasi Gizi yang sudah diantar sejak satu jam yang lalu. Timbul ide untuk memancing Yuki menyudahi sandiwaranya.“Hmm, ada puding cokelat rupanya. Sayang sekali, Yuki masih tidur. Bukankah sebentar lagi petugas gizi akan mengambil piringnya?” gumam Rangga sambil melirik jam tangannya. “Wah, sepuluh menit lagi. Apa sebaiknya aku makan saja semuanya?”Rangga melirik ke atas ranjang. Yuki mulai menggeliat dan men
“Tanyakan saja sendiri saat dia datang. Aku sudah mengirim pesan pada Reno untuk menjemput Maura. Dan bersiaplah menentukan pilihanmu!” jawab Rangga datar.Mendengar itu, Yuki tertunduk lesu. Ketakutan terbesarnya setelah kehilangan Vivian adalah kehilangan Maura. Ibu angkatnya itu sudah berhasil menguasai hati dan pikiran Yuki, mengalihkan kesedihannya menjadi tawa dan melanjutkan hidup dengan limpahan kasih sayang dari orang yang menyayanginya.“Apa kau bisa membantuku membujuknya?” pinta Yuki dengan suara serak.“Aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku tahu pasti, Maura kecewa padamu karena tidak memberitahu tentang alergimu. Apalagi saat ini, Paula yang baru beberapa hari dekat denganmu lebih tahu tentangmu.”“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya dari kalian, hanya saja aku tidak tahu –.”“Apa yang tidak kau tahu?” potong Rangga sinis.Yuki memberanikan diri menatap Rangga
“Aku tidak peduli! Aku harus bisa membawa pulang bocah itu bersamaku. Hanya dengan membawanya, maka aku bisa mewarisi semua yang papa tinggalkan untuk bocah sialan itu.”Paula mondar-mandir di kamarnya sambil memeluk botol infus. Baru saja Dolores, ibu tirinya, menghubunginya. Dimitri sudah memanggil dua pengacara kepercayaannya untuk membuat surat wasiat. Dolores meminta Paula segera pulang bersama Yuki.“Hhh, merepotkan saja!”Tok tok tok.Seorang perawat masuk dengan membawa nampan. “Permisi, saya akan melepas infusnya.”Paula berjalan ke tepi ranjang dan duduk tenang, berbanding terbalik dengan otaknya yang berputar mencari cara untuk membawa Yuki tanpa harus membuat keributan.“Selesai. Ini obat yang perlu Anda minum selama dua hari ke depan.” Pria muda itu mengulurkan plastik putih berisi obat. “Dokter berpesan agar Anda lebih hati-hati dalam memilih makanan, terutama yang menimbulk
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s