Senyum penuh keyakinan masih tersungging di bibir Rangga saat jarinya melepas earphone dari telinganya.
“Opa bilang apa? Kenapa Panda senyum-senyum setelah bicara dengan Opa?” Yuki tertarik dengan reaksi Rangga selama menerima panggilan singkat dari Galih.
“Opa bilang, kita harus berhasil membawa bunda pulang bersama kita atau melarang kita pulang selamanya.” Rangga mengerlingkan sebelah matanya dengan gaya jenaka. “Aku butuh bantuanmu, Nak!”
“Kita? Mana mungkin Opa bersikap begitu padaku? Ancaman itu hanya berlaku untukmu. Opa pasti akan meminta Paman Reno menjemputku kalau sampai malam ini kita belum berhasil bertemu bunda.” Yuki mencebikkan bibirnya ke arah Rangga.
“Apa kau akan meninggalkanku sendirian di sini?” tanya Rangga seraya memasang wajah memelas yang dibuat-buat.
“Panda terlalu tua untuk merajuk. Temukan bunda, maka aku akan memaafkanmu untuk semua yang sudah Pa
“Yuki! Yuki!” teriak Rangga panik.Alih-alih mengurangi kecepatan larinya, Yuki malah berlari makin kencang menuju sebuah bukit di dekat taman bunga. Rangga segera mengejar bocah kecil itu agar tidak kehilangan jejaknya.Sinar jingga di sebelah barat mulai pudar, menandakan hari semakin gelap. Lampu-lampu penerangan mulai menyala terang menggantikan fungsi matahari dan membantu tugas bulan.“YUKI! Berhenti kataku!”Srakk! Bug.Sepertinya pengurus taman sedang menggali beberapa lubang untuk menanam tanaman baru, tapi karena hari terlalu cepat gelap, dia tidak sempat menyelesaikan pekerjaannya dan membiarkan satu lubang terbuka.Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bukan Rangga yang menentukan segala sesuatu dalam hidup. Kaki kanannya memilih masuk ke lubang dan membuat pria jangkung bertubuh tegap itu tersungkur ke tanah.“SIAL!” umpat Rangga marah. “Aku akan buat perhitungan deng
Maura terus menguatkan hati dan langkahnya menuju lobi. Semua pikiran tentang hal buruk yang mungkin terjadi pada Yuki dan Rangga ditepisnya. Tak kurang dari delapan langkah lagi, Maura akan sampai di depan pintu lobi, tempat Rangga dan Yuki berada. Namun, kakinya semakin lemas.“Tunggu, Mas. Kaki saya lemas,” keluh Maura pada Praya yang sejak tadi setia menuntun langkahnya dari tepi danau menuju lobi.“Nyonya, sebaiknya Anda duduk dulu di sini. Saya akan masuk dan melihat kondisi suami dan anak Anda.” Praya menuntun Maura duduk di salah satu kursi rotan berbentuk setengah lingkaran yang terletak paling dekat dari mereka.“Terima kasih, Mas.”Teriring doa dan harapan bahwa semua baik-baik saja, Maura melihat pemuda itu setengah berlari masuk ke dalam lobi. Tidak lama, bahkan mungkin jauh lebih cepat dari perkiraan Maura, Praya sudah kembali menghampirinya.“Nyonya, maaf. Mereka sudah diantar ke Rumah Sakit.
Rangga dan Yuki sedang diperiksa oleh dokter ketika tirai biliknya disingkap dengan tak sabar dari luar.“Akhirnya aku menemukan kalian.” Maura berdiri memegang erat korden dengan wajah pucat karena khawatir.“BUNDA!”“MAURA!”Yuki dan Rangga berteriak bersamaan manakala melihat siapa yang berdiri di depan mereka, orang yang beberapa hari ini sibuk mereka cari. Maura berjalan cepat menghampiri ranjang Yuki dan memeluknya erat.“Aku pikir, aku akan kehilanganmu,” gumam Maura dengan suara dalam, tangannya tak henti menggosok punggung Yuki.“Bunda, aku takut. Airnya dingin dan dalam. Kakiku tidak mau bergerak,” keluh Yuki sambil terisak.“Maafkan aku.” Pelukan Maura makin erat.“Bu, permisi sebentar. Biarkan dokter menyelesaikan pemeriksaan terlebih dulu.” Seorang suster mengelus punggung Maura.Dengan cepat Maura mengusap pipinya dan melepa
Nyatanya, baru dua jam kemudian Rangga dan Maura bisa saling bicara sambil duduk berdampingan di sofa vila yang Maura sewa setelah mereka bertiga diperbolehkan pulang oleh dokter dan memastikan Yuki sudah tidur nyenyak.“Kapan kau berencana memberitahuku tentang kehamilanmu?” Rangga membuka suara.“Aku tidak berencana memberitahumu, Kak.” Maura menjawab dengan lugas dan tenang.Rangga tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh wanita paling keras kepala yang pernah dia kenal. “Kau berencana mennyembunyikannya dari selamanya?”“Hanya sampai aku yakin bahwa kamu bisa berubah, Kak.”“Dari mana kau tahu aku sudah berubah kalau kau berada jauh dariku?” Rangga meraih tangan kanan Maura. “Maura Andromeda, aku minta maaf atas semua yang aku lakukan yang mengecawakanmu dan membuatmu pergi.”“Lepaskan aku, Kak!” Maura berusaha melepaskan tangannya, tapi gagal.&l
Maura menarik Yuki yang masih mengalungkan lengannya di leher Rangga, mendekat padanya.“Terima kasih, Gadis Kecil. Kau sudah ajarkan banyak hal pada kami.”Yuki hanya bisa mengangguk dalam pelukan Maura. Rangga meraih keduanya dalam rekuhan lengan kokoh dan panjang miliknya.“Aku akan melindungi kalian. Do anything for you.” Rangga mengecup Maura dan Yuki bergantian.“Sudah, sudah. Jangan pamerkan kalau kalian bisa saling berpelukan di depan kami!” tegur Galih. “Kapan kalian pulang ke Jakarta? Ada hal penting yang perlu papa bicarakan dengan kalian berdua terkait rentetan masalah ini.”Rangga dan Maura kompak menjauh.“Besok setelah sarapan, kami pulang ke Jakarta,” putus Rangga cepat.Reno sudah melaporkan banyak hal pada Rangga di sela kebingungannya mencari Yuki. Reno bilang betapa marahnya Galih padanya karena menangani Burhan dan Damian tanpa meminta persetujua
Yuki terbangun karena perutnya terasa lapar dan tenggorokannya sakit. Badannya terasa berat dan tidak bertenaga.“Bunda ...!” teriaknya sekeras yang bisa dilakukan. “Bunda ...!” ulangnya hampir menangis.Klek.“Ada apa? Kenapa kau manja sekali begitu ada Bunda, hahh?! Ayo, aku akan menggendong dan mengantarmu pada indukmu.” Rangga menumpukan lututnya di atas ranjang dan meraih Yuki. “Hei, kau demam!”“Sayang ...! Ra ...!” teriak Rangga panik. “Tunggu di sini. Aku akan membawa bunda kemari.” Rangga merebahkan Yuki lagi dengan hati-hati.“Sayang ...!” Rangga membuka pintu kamarnya sedikit kasar, membuat Maura tersentak kaget dan cemberut.“Kak, bisa tidak kamu bangunkan aku dengan lembut? Sisa kelembutanmu semalam sudah hilang bersama terbitnya matahari rupanya,” sungut Maura kesal.“Maaf, tapi ini mendesak. Ayo, Yuki demam!” Rang
Evan berdiri dengan canggung di depan pintu vila. Jelas terlihat dari mimiknya, pria itu sedang menahan malu.“Kak ....”“Boleh aku masuk, Ra?”Maura menepi. “Masuk, Kak.”Evan duduk di sofa dengan punggung tegak layaknya seorang pria sedang menghadap keluarga kekasihnya. Maura memilih sofa kosong yang paling jauh dari Evan. Ia tidak bisa memungkiri bahwa melihat Evan masih menyisakan perasaan tak nyaman yang Elena tinggalkan.“Kamu gimana kabarnya?” tanya Evan canggung.“Aku baik, Kak.” Maura menyahut seperlunya.Evan memberanikan diri menatap Maura. “Aku datang untuk minta maaf atas sikap mamaku kemarin. Maaf juga karena aku gak bisa melindungi kamu.”Maura menggeleng. “Aku sudah maafkan kalian, tapi bekasnya masih ada. Jadi, aku juga minta maaf karena tidak bisa bersikap biasa hari ini. Aku harap kamu mengerti, Kak.”“Kamu masih
Kediaman Danutirta, JakartaRangga dan Maura duduk berdampingan di sofa ruang baca bersama Hanna dan Galih. Mereka sedang membahas tentang tindakan Rangga yang dinilai keterlaluan terkait Burhan dan Anggita.“Reno pasti sudah laporkan semuanya padamu, jadi kita tidak perlu membahasnya dari awal. Yang mau papa dengar adalah alasan kenapa kamu tega mengambil alih perusahaan Tante Sandra.”Rangga melonggarkan tenggorokannya sebelum menjawab, “Rangga awalnya tidak menduga kalau Burhan ….”“Paman Burhan,” tegur Hanna dengan sorot mata tajam.“Oke, Paman Burhan, akan berani menjual saham pabrik pengolahan kayu milik istrinya untuk membeli saham GD Grup. Lebih tidak menduga lagi kalau dia berani meminjam saham atas nama Dwiki dan Trias untuk ikut dalam permainan. Untungnya Paman Haryo bertindak cepat dan membeli saham pabrik kayu menggunakan nama sopirnya.”“Tapi itu tidak membenarkan sik