Yuki terpaksa pulang bersama Rangga karena pria angkuh itu memaksanya ikut, menggagalkan rencananya bersama Hanna untuk bertemu Maura.
“Kau kenapa? Ada yang sakit?” tanya Rangga sambil menoleh ke belakang memastikan badan mobilnya terparkir dengan sempurna.
Yuki hanya menjawab dengan mengendikkan bahunya.
“Dan satu lagi. Jangan pernah pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan untukku. Apa kau tahu betapa khawatirnya aku?” tanya Rangga, kali ini menatap ke arah Yuki.
Lagi-lagi Yuki hanya merespon dengan gerakan bahu yang malas. Rangga menduga, Yuki masih sedih dengan sebutan yatim piatu yang ditujukan padanya, jadi Rangga memilih diam. Hanna sempat bercerita sedikit tentang peristiwa tadi dan membuat Rangga merasa tidak nyaman.
Yuki masih murung sampai malam tiba. Semua hal yang Rangga katakan dan lakukan untuk menghiburnya hanya dibalas dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. Rangga masih terjaga dan melakukan beberapa hal s
“YUKI!” teriak Rangga yang terkejut karena gadis itu sengaja mendorong tubuhnya ke belakang saat melewatinya.Langkah lebar Rangga baru berhasil menyusul Yuki saat gadis itu berhenti di pinggir tempat bermain.“Hei, ada apa denganmu?! Apa kali ini aku juga melakukan kesalahan?” heran Rangga melihat sikap Yuki padanya.Yuki berbalik menatap Rangga dengan mata basah dan wajah merah menahan marah. “Sudah aku katakan, jangan lakukan. Kenapa kau masih saja terus berbuat sesukamu?!” Buliran air mata jatuh bersamaan dengan amarah Yuki.“Aku hanya ingin memberitahu mereka bahwa kau bukan yatim piatu. Itu saja. Kau punya aku, punya Reno, punya Alina dan lainnya.”“Memiliki kalian tidak merubah kenyataan bahwa aku yatim piatu, Panda. Kau yang membuatku begini. Tuhan ambil mamaku dan kau ambil papaku. Apa kau belum juga mengerti kenapa aku marah?!”Tangis Yuki pecah tanpa bisa dibendung lagi,
“Apa Paman Reno tahu tentang teman dekat papaku?” tanya Yuki polos.Kali ini, Rangga benar-benar terhenyak. “Bagaimana denganmu? Dari mana kamu tahu tentang hal itu?” Rangga tak tahan untuk tidak bertanya.Pandangan mata bulat terang itu meredup, ada kabut yang menutupi kepolosannya. “Aku tidak sengaja mendengar mereka bertengkar dan menyebut sesuatu tentang wanita lain.” Yuki tertunduk malu karena membongkar aib keluarganya.“Sial!” umpat Rangga seraya bangkit dari kursinya dan berjongkok di samping kursi Yuki. “Kau terlalu kecil untuk mengetahui semua itu.” Rangga meraih Yuki dalam pelukannya.Sret.Yuki mendorong dada Rangga pelan. “Panda, tolong jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku sudah tujuh tahun dan segera memiliki seorang adik.”“Ups!” Yuki segera melipat mulutnya yang terlalu mudah membocorkan sebuah rahasia besar.“Apa maksudm
“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Rangga seraya memajukan badannya melampaui setengah lebar meja. “Aku bisa melihat bayangan gelap di matamu, Nona!”Yuki menarik hidung dan mulutnya ke atas, mencibir Rangga yang mengatakan kebohongan untuk menakutinya.“Bayangan hitam apa? Panda yang membuatku harus menginap di ranjang Rumah Sakit, ingat tidak? Jadi, bayangan hitam ini salah Panda!” sungut Yuki kesal.“Aku bukan anak kecil yang suka berbohong. Ingat itu!” imbuhnya masih dengan bersungut.“Oke, aku percaya padamu. Tapi tolong katakan padaku, di mana bundamu berada, hmm? Kau tahu, semua pasukan tanpa bayangan milik Reno tidak bisa melacak keberadaannya,” ungkap Rangga jujur.Yuki mulai tertarik. “Benarkah? Panda mencari Bunda selama ini? Tidak mengabaikannya? Sungguh?” cecar Yuki cepat.“Sungguh. Aku selalu mencarinya, setiap hari tanpa absen. Tapi ponse
Mereka sampai di kantor jasa keamanan yang dikelola Reno. Yuki turun dari mobil dengan mata terpaku pada kantor dua lantai yang terlihat sepi tanpa penghuni.“Apa kau akan terus berdiri di situ?” tanya Rangga saat sadar Yuki masih tertinggal di belakang.“Apa kantor ini ada penghuninya, Panda?”“Tentu. Kenapa?” heran Rangga.“Kenapa terlihat menyeramkan begini? Seperti kastil kosong penuh hantu,” celetuk Yuki seraya meraih tangan Rangga dengan cepat.“Tsk, ternyata kau punya takut juga. Aku kira kau bocah pemberani yang tak pernah kenal rasa takut. Ayo, kita masuk.”Di pintu masuk berdiri seorang pria memakai setelan rapi lengkap dengan sepatu yang mengkilap. Pria itu mengangguk saat Rangga masuk melewati pintu kaca yang bergeser terbuka begitu ada orang mendekat. Selanjutnya, ada sebuah meja putih tinggi, seorang pria berdiri di baliknya dengan penampilan kurang lebih sama seperti
Raut wajah pria dingin itu tidak terbaca. Rangga berdiri tegak tanpa mengatakan apapun, menatap Yuki dengan pandangan mata sayu.“Aku tidak akan memintamu untuk melepaskan papaku lagi,” ulang Yuki setelah melihat Rangga tidak bereaksi. “Aku hanya minta kau untuk segera menemukan bunda. Apa ini juga tidak mungkin?”Rangga mengusap wajahnya, mendesah dan mendongak menatap langit gedung. Pikirannya kacau, hatinya berkecamuk, campur aduk tidak karuan. Merasa dikalahkan telak oleh bocah kecil bernama Yuki Harrison yang sedang menatapnya dengan sebuah senyuman hangat tersungging di bibirnya.“Papaku memang pantas menerima hukuman karena sudah menyakiti mama dan meninggalkanku begitu lama tanpa berusaha mencariku. Jadi, tugasmu sekarang hanya menemukan bunda untukku. Apa kau sanggup, Panda?”Alih-alih menjawab, Rangga hanya bisa berlutut dengan satu kaki dan merentangkan kedua lengannya lebar. “Kemarilah.”E
“Panda, stop!” pekik Yuki seraya berlari menempel pada kaki Rangga.Srak.Secepat Rangga meraihnya, secepat itu pula Rangga melepas Evan. “Jawab saja pertanyaan Yuki. Tidak perlu melimpahkan kesalahan pada kami. Kau yang menjauhkan Maura dari keluarganya.”“Itu karena kau yang membuatnya takut tinggal denganmu. Jangan hanya menyalahkan orang lain, koreksi dirimu dulu!” balas Evan tak mau kalah.“STOP!” teriak Yuki sebal.“Yuki, ayo kita pulang. Tidak ada gunanya meladeni orang terbuang.” Rangga berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruang praktek Evan.“Panda! Panda, tunggu!” Yuki menarik lengan Rangga agar pria itu berhenti berjalan. “Kita belum tahu bunda tinggal di mana. Apa kita menyerah begitu saja?”“Hap!” Rangga mengangkat Yuki dalam gendongannya. “Tenang saja. Biar Harry Potter yang bertindak selanjutnya,” ujar Rangga
Maura membeku begitu pintu rumah terbuka.“Benar dugaanku. Kamu di sini.” Elena masuk tanpa menunggu Maura mempersilakannya.Wanita itu terlihat marah dari bahasa tubuhnya dan derap langkahnya yang cepat. “Sudah berapa lama kamu tinggal di sini, Ra?” tanya Elena sambil melempar tasnya ke sofa.“Ibu ...,” sapa Suci sembarei melangkah mendekat.“Ibu, Ibu. Apa kamu masih menganggapku pemilik rumah? Beraninya bersekongkol dengan Evan menyembunyikan istri orang!” hardik Elena marah seraya menepis tangan Suci yang terulur padanya.“Istri orang? Waduh, kalau itu Cici tidak tahu, Bu. Cici dan Abah hanya dipesan untuk menemani Mbak Maura karena sedang proses pemulihan dari sakit.” Suci tertunduk merasa bersalah.“Memangnya sakit apa dia? Setelah ini kalian yang akan dikirim ke penjara oleh suaminya karena dituduh menyembunyikan istri orang! Heran, saya yang gaji kalian, kenapa patuhnya
Perasaan Evan mendadak campur aduk saat memasuki halaman vila dan melihatElena sedang memegang selang air, menyiram anggrek bulan favoritnya.“Mama. Kok di sini?” tanya Evan dengan nada kesal yang tidak seharusnya dia gunakan menegur ibunya.“Kenapa memangnya, gak boleh? Ini masih vila anak mama, ‘kan?” balas Elena sambil terus melanjutkan menyiram tanaman.Alih-alih mendebat ibunya, Evan memilih mengabaikannya dan masuk ke dalam. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka pintu kamar tamu tempat Maura tidur.“SUCI!” teriaknya marah saat melihat kamar itu kosong.“Ya, Mas!” Suci setengah berlari menghampiri Evan. “Kenapa teriak-teriak? Kayak kebakaran jenggot saja.”“Maura ke mana? Kenapa kamarnya ksoong?” tanya Evan dengan mata mendelik marah.“Dia sudah pergi!” sahut Elena dari ambang pintu depan.Evan makin emosi mendengar jawaban Ele