“Awh! Sakit, Panda!”
“Ups, sori.” Rangga terus berusaha membuat ekor kuda yang rapi setelah empat kali gagal. “Aku menyerah!” Rangga melempar sisir ke atas ranjang dan mengangkat tangannya.
“Aku tidak ingin ke sekolah hari ini!” sungut Yuki kesal. Kepalanya berdenyut hampir di semua sisi setelah Rangga menyisir, mengikat dan menarik karetnya berulang kali. “Aku pusing, kepalaku berdenyut!” imbuhnya.
“Oke. Memang sebaiknya kau tidak perlu berangkat sekolah hari ini.”
Yuki memutar badannya dengan cepat. “Bunda melarangku bolos sekolah kecuali sakit atau ada hal mendesak. Dia akan marah kalau tahu aku bolos!”
“Kalau kau berkeras ingin pergi sekolah dengan ekor kuda, maka aku tidak bisa menolongmu.” Rangga melirik arlojinya.
“Sial! Aku hampir terlambat untuk rapat direksi pagi ini. Putuskan dalam setengah jam apa yang akan kau lakukan dan
Klik.Rangga menarik gagang pintu dan bergegas masuk ke kamar Yuki. Kosong.“Yuki?”Tidak ada jawaban.“Ke mana bocah itu?”Segera diambilnya ponsel dari saku kemeja. Rangga berniat mencari keberadaan Yuki pada orang terdekatnya. Matanya menangkap pesan dari Hanna yang memberitahu Rangga bahwa Yuki pergi ke sekolah bersama Hanna.“Syukurlah,” desah Rangga lega. “Ren, apa kau sudah turun ke lobi? Aku akan turun sekarang.”Dengan langkah lebar dan ringan, Rangga kembali ke dalam lift, turun ke lobi.“Satu tugas tersulit sudah terlewati hari ini,” gumam Rangga sambil menekan tombol lift.***Di dalam mobil van hitam, Yuki duduk tenang sambil menunggu ekor kudanya siap, mulutnya sibuk mengunyah roti lapis buatan Yuni.“Oke, selesai.” Hanna menyerahkan cermin kecil yang sengaja dipinjamnya dari Alina pagi ini. “Bagaimana?”
Yuki terkesiap mendengar pertanyaan Hanna. “Oma bilang apa? Pulang sekolah kita ketemu bunda. Beneran, Oma?!” pekik Yuki girang bercampur ragu.“Tapi, Yuki janji dulu sama Oma. Hanya kita berdua yang tahu. Hmm?”Alih-alih menjawab, Yuki mengulurkan jari kelingkingnya ke depan Hanna. “Janji kelingking,” sahutnya sambil tersenyum senang.***Usai jam sekolah, Yuki duduk di bangku taman bermain menunggu Hanna menjemputnya. Saat Yuki duduk termenung sambil menggerakkan ujung sepatunya menggambar di atas tanah, tiga gadis kecil menghampirinya dengan mimik kesal.“Hei, Gadis Pindahan!”Yuki mengabaikan panggilan dengan nada tidak bersahabat yang dilontarkan bocah yang berdiri di tengah. Sejak Yuki pindah ke sekolah ini, gadis itu memang tidak pernah ramah padanya.“Hei, apa kau tuli?! Dia bicara padamu!” ketus gadis lainnya.“Maaf, aku tidak merasa kalian ajak bicara,&
Yuki terpaksa pulang bersama Rangga karena pria angkuh itu memaksanya ikut, menggagalkan rencananya bersama Hanna untuk bertemu Maura.“Kau kenapa? Ada yang sakit?” tanya Rangga sambil menoleh ke belakang memastikan badan mobilnya terparkir dengan sempurna.Yuki hanya menjawab dengan mengendikkan bahunya.“Dan satu lagi. Jangan pernah pergi dari rumah tanpa meninggalkan pesan untukku. Apa kau tahu betapa khawatirnya aku?” tanya Rangga, kali ini menatap ke arah Yuki.Lagi-lagi Yuki hanya merespon dengan gerakan bahu yang malas. Rangga menduga, Yuki masih sedih dengan sebutan yatim piatu yang ditujukan padanya, jadi Rangga memilih diam. Hanna sempat bercerita sedikit tentang peristiwa tadi dan membuat Rangga merasa tidak nyaman.Yuki masih murung sampai malam tiba. Semua hal yang Rangga katakan dan lakukan untuk menghiburnya hanya dibalas dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. Rangga masih terjaga dan melakukan beberapa hal s
“YUKI!” teriak Rangga yang terkejut karena gadis itu sengaja mendorong tubuhnya ke belakang saat melewatinya.Langkah lebar Rangga baru berhasil menyusul Yuki saat gadis itu berhenti di pinggir tempat bermain.“Hei, ada apa denganmu?! Apa kali ini aku juga melakukan kesalahan?” heran Rangga melihat sikap Yuki padanya.Yuki berbalik menatap Rangga dengan mata basah dan wajah merah menahan marah. “Sudah aku katakan, jangan lakukan. Kenapa kau masih saja terus berbuat sesukamu?!” Buliran air mata jatuh bersamaan dengan amarah Yuki.“Aku hanya ingin memberitahu mereka bahwa kau bukan yatim piatu. Itu saja. Kau punya aku, punya Reno, punya Alina dan lainnya.”“Memiliki kalian tidak merubah kenyataan bahwa aku yatim piatu, Panda. Kau yang membuatku begini. Tuhan ambil mamaku dan kau ambil papaku. Apa kau belum juga mengerti kenapa aku marah?!”Tangis Yuki pecah tanpa bisa dibendung lagi,
“Apa Paman Reno tahu tentang teman dekat papaku?” tanya Yuki polos.Kali ini, Rangga benar-benar terhenyak. “Bagaimana denganmu? Dari mana kamu tahu tentang hal itu?” Rangga tak tahan untuk tidak bertanya.Pandangan mata bulat terang itu meredup, ada kabut yang menutupi kepolosannya. “Aku tidak sengaja mendengar mereka bertengkar dan menyebut sesuatu tentang wanita lain.” Yuki tertunduk malu karena membongkar aib keluarganya.“Sial!” umpat Rangga seraya bangkit dari kursinya dan berjongkok di samping kursi Yuki. “Kau terlalu kecil untuk mengetahui semua itu.” Rangga meraih Yuki dalam pelukannya.Sret.Yuki mendorong dada Rangga pelan. “Panda, tolong jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku sudah tujuh tahun dan segera memiliki seorang adik.”“Ups!” Yuki segera melipat mulutnya yang terlalu mudah membocorkan sebuah rahasia besar.“Apa maksudm
“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Rangga seraya memajukan badannya melampaui setengah lebar meja. “Aku bisa melihat bayangan gelap di matamu, Nona!”Yuki menarik hidung dan mulutnya ke atas, mencibir Rangga yang mengatakan kebohongan untuk menakutinya.“Bayangan hitam apa? Panda yang membuatku harus menginap di ranjang Rumah Sakit, ingat tidak? Jadi, bayangan hitam ini salah Panda!” sungut Yuki kesal.“Aku bukan anak kecil yang suka berbohong. Ingat itu!” imbuhnya masih dengan bersungut.“Oke, aku percaya padamu. Tapi tolong katakan padaku, di mana bundamu berada, hmm? Kau tahu, semua pasukan tanpa bayangan milik Reno tidak bisa melacak keberadaannya,” ungkap Rangga jujur.Yuki mulai tertarik. “Benarkah? Panda mencari Bunda selama ini? Tidak mengabaikannya? Sungguh?” cecar Yuki cepat.“Sungguh. Aku selalu mencarinya, setiap hari tanpa absen. Tapi ponse
Mereka sampai di kantor jasa keamanan yang dikelola Reno. Yuki turun dari mobil dengan mata terpaku pada kantor dua lantai yang terlihat sepi tanpa penghuni.“Apa kau akan terus berdiri di situ?” tanya Rangga saat sadar Yuki masih tertinggal di belakang.“Apa kantor ini ada penghuninya, Panda?”“Tentu. Kenapa?” heran Rangga.“Kenapa terlihat menyeramkan begini? Seperti kastil kosong penuh hantu,” celetuk Yuki seraya meraih tangan Rangga dengan cepat.“Tsk, ternyata kau punya takut juga. Aku kira kau bocah pemberani yang tak pernah kenal rasa takut. Ayo, kita masuk.”Di pintu masuk berdiri seorang pria memakai setelan rapi lengkap dengan sepatu yang mengkilap. Pria itu mengangguk saat Rangga masuk melewati pintu kaca yang bergeser terbuka begitu ada orang mendekat. Selanjutnya, ada sebuah meja putih tinggi, seorang pria berdiri di baliknya dengan penampilan kurang lebih sama seperti
Raut wajah pria dingin itu tidak terbaca. Rangga berdiri tegak tanpa mengatakan apapun, menatap Yuki dengan pandangan mata sayu.“Aku tidak akan memintamu untuk melepaskan papaku lagi,” ulang Yuki setelah melihat Rangga tidak bereaksi. “Aku hanya minta kau untuk segera menemukan bunda. Apa ini juga tidak mungkin?”Rangga mengusap wajahnya, mendesah dan mendongak menatap langit gedung. Pikirannya kacau, hatinya berkecamuk, campur aduk tidak karuan. Merasa dikalahkan telak oleh bocah kecil bernama Yuki Harrison yang sedang menatapnya dengan sebuah senyuman hangat tersungging di bibirnya.“Papaku memang pantas menerima hukuman karena sudah menyakiti mama dan meninggalkanku begitu lama tanpa berusaha mencariku. Jadi, tugasmu sekarang hanya menemukan bunda untukku. Apa kau sanggup, Panda?”Alih-alih menjawab, Rangga hanya bisa berlutut dengan satu kaki dan merentangkan kedua lengannya lebar. “Kemarilah.”E
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s