Joachim Bameswara menoleh ke arah pintu ruang tahanannya saat seorang penjaga penjara mengetuk pintu. "Ada tamu untuk, Bapak," kata si sipir penjara.
Joachim Bameswara, seorang mantan Menteri Pertahanan yang juga seorang Jendral dari militer Angkatan Darat republik Indonesia itu mengangkat wajahnya tinggi, ingin menunjukkan dia masih harus disegani.Tentu saja sipir penjaga itu takut padanya.
Dia bangkit dari tempat tidurnya yang empuk, dan mematikan televisi yang sedang dia tonton. Sudah bukan rahasia lagi kalau di negara ini, tahanan dari pejabat pemerintahan mendapat pelayanan eksklusif.
Kamar tahanan yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dan televisi, bahkan fasilitas mewah lainnya. Membuat para tikus-tikus penjahat berdasi itu tidak akan pernah kapok dengan kejahatan mereka. Fasilitas itu juga yang di dapatkan oleh Joachim Bameswara dan Keluarga Adhiyaksa yang saat ini juga sedang di tahan.
Langit Berita kematian Dharma dan Panji Adhiyaksa semakin menggegerkan negeri ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pistol yang ditemukan di tangan keduanya, menunjukkan seolah-olah mereka berdua bunuh diri. Spekulasi pun bermunculan. Mungkin karena malu, mereka memilih bunuh diri. Tapi tidak sedikit juga yang berasumsi kalau mereka sengaja di bunuh. Tentu saja berita bunuh diri itu bohong. Dharma bukan orang yang mudah putus asa sehingga harus membunuh dirinya sendiri dan mengajak putranya melakukan hal bodoh itu. Sudah jelas mereka di bunuh. Pihak kepolisian dikecam. Bagaimana mungkin kedua ayah anak itu lolos membawa senjata ke dalam tahanan. Atau bagaimana mereka mendapatkan senjata itu? Kalau mereka dibunuh, siapa yang melakukannya? Namun masyarakat kebanyakan tidak peduli pada kematian para Adhiyaksa itu. Kalau pun mereka hidup, tidak ada yang bisa menjamin mereka akan mendapat hukuman yang setimpal kejahatan mereka melihat bagaimana kondisi keadilan di negeri ini. Tidak ada
Langit Hari ini aku sangat lelah, akhirnya terungkap siapa dalang dibalik semua kejadian yang menimpa Camelia Soetedja, istri Abraham Soetedja. Esok lusa aku akan berangkat ke Rusia, dan aku belum tahu berapa lama tinggal di sana. Hidupku memang tidak punya kepastian. Ponselku tiba-tiba berdering, nama Ayah angkatku tertera di layar. "Ya Pi?" "Kau sekarang di mana?" "Baru sampai rumah Pi." "Kau tidak rindu pada papi? Sejak kau di Jakarta tidak pernah datang menemui papi." "Papi kan sedang tour?" Aku tertawa. "Papi sekarang sudah di Jakarta dan besok malam kau harus datang di acara ulang tahun papi. Kau juga sudah lama tidak datang ke rumah." "Iya Papi." "Kapan kau pergi dari Jakarta? Atau kau sudah ingin menetap di sini?" "Lusa aku berangkat ke Moskow." "Kau tunda dulu, dan lusa kau harus menemani papi memancing, jangan menolak!" Aku menarik nafas. "Iya P
Saat aku tiba di rumah keluarga Tahitu, di sana aku melihat sudah banyak mobil terparkir di halaman depan rumah kami yang luas. Aku turun dari mobil bersama dengan sahabatku Clara. Tadinya aku ingin datang sendiri, tapi entah mengapa aku merasa perlu membawa seseorang sebagai tameng. Awalnya Clara tidak mau kuajak, setelah dengan berbagai bujukan dan aku berjanji akan membuatnya pergi berkencan dengan sahabatku, Jack Bameswara, dia pun langsung bersedia. Malam ini ayahku akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Sejauh aku mengenal seorang Ray Tahitu, dia bukan orang yang sentimentil seperti merayakan ulang tahun. Aku sedikit heran dengan adanya acara ini. "Mas Langit, apa kabar? Sudah lama Mas tidak kemari." Pak Hendra, dia adalah security yang sudah lama bekerja pada keluarga Tahitu, menyapaku dengan gembira. "Kabar saya baik Pak Hendra. Bapak sendiri bagaimana?" Aku merangkul bahu pak Hendra yang sudah tua, dan sepertinya dia tetap be
Saat aku tiba di rumah keluarga Tahitu, di sana aku melihat sudah banyak mobil terparkir di halaman depan rumah kami yang luas. Aku turun dari mobil bersama dengan sahabatku Clara. Tadinya aku ingin datang sendiri, tapi entah mengapa aku merasa perlu membawa seseorang sebagai tameng. Awalnya Clara tidak mau kuajak, setelah dengan berbagai bujukan dan aku berjanji akan membuatnya pergi berkencan dengan sahabatku, Jack Bameswara, dia pun langsung bersedia. Malam ini ayahku akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Sejauh aku mengenal seorang Ray Tahitu, dia bukan orang yang sentimentil seperti merayakan ulang tahun. Aku sedikit heran dengan adanya acara ini. "Mas Langit, apa kabar? Sudah lama Mas tidak kemari." pak Hendra, dia adalah security yang sudah lama bekerja pada keluarga Tahitu, menyapaku dengan gembira. "Kabar saya baik Pak Hendra. Bapak sendiri bagaimana?" aku merangkul bahu pak Hendra yang sudah tua, dan seperti
RizkaAku meninggalkan Langit yang baru saja menciumku. Tubuhku masih bergetar efek dari ciuman kami yang panas. Setelah tiga tahun, ternyata aku masih belum bisa lepas dari pengaruhnya. Tubuhku masih mendambakan sentuhannya, hatiku berkhianat karena ikut mendamba, tapi untungnya pikiranku masih bisa menguasai hasrat dan kerinduanku pada Langit. Aku mengambil minuman yang dibawa seorang pelayan yang lewat di hadapanku, aku butuh minuman saat ini. "Bunga apinya tadi bagus ya?" Tiba-tiba kakakku, Ronan, berdiri di sampingku. Aku yang sedang minum terbatuk karena terkejut. "A-apa, Kak?""Bunga apinya bagus." Dia tersenyum menatapku sambil memainkan gelas di tangannya."Bunga api?" Aku bingung tak mengerti."Iya bunga api. Di langit." Sekarang dia terkekeh. Bunga api? Astaga adalah saat aku berciuman dengan Langit! Ingin rasanya aku ditelan bumi sekarang, pasti kakakku curiga den
RizkaPonselku berdering, saat aku tiba di rumah.“Halo?“"Rizka, Kakak akan menjemputmu nanti malam jam tujuh."Panggilan kami terputus tanpa menunggu jawabanku.Sebelumnya, tadi siang Langit menghubungiku dan memberitahu kalau Opa meminta kami berdua datang ke rumahnya.Kakak? kakak apa yang mencium adiknya penuh nafsu?Aku tidak tahu apa yang ingin Opa bicarakan pada kami, dan kenapa harus bersama Langit?Aku melihat jam menunjukkan pukul enam. Aku langsung mandi dan bersiap-siap.Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku memakai riasan tipis. Ponselku berdering, aku mengangkatnya."Kakak, di depan rumah, kau keluar sekarang.""Oke."Laki-laki ini, selalu menganggap dirinya berkuasa, memerintahku seperti anak kecil.Aku menatap diriku di cermin m
"Hal sepele seperti ini saja tidak bisa kalian selesaikan! Apa aku harus turun tangan mengurus masalah ini?! Siapa yang menghalangi pengiriman perempuan-perempuan itu?!" Seorang Pria bertubuh tinggi besar berteriak marah pada anak buahnya."Maaf Bos, masalahnya yang membuat pekerjaan kita sulit bukan dari kepolisian atau aparat pemerintah." Anak buahnya menjawab dengan suara ketakutan."Lalu siapa?! Kau tidak bisa menemukan siapa orangnya atau kelompoknya? Aku rugi besar brengsek! Dua kali ... dua kali perempuan-perempuan yang akan kita jual gagal, obat-obatanku juga tertangkap! Sebentar lagi kita semua yang akan di gulung habis, dan kalian tidak bisa melakukan apa-apa?!""Bos, mereka ini sangat sulit dan licin, siapa pun mereka ini Bos, mereka lebih cerdik dari kita.""Tidak ada yang lebih cerdik dari seorang Topan! Kau cari tahu siapa mereka! Aku beri kalian waktu dua hari. Dan selama dua hari ini, informasi tentang mereka harus sudah sampai padaku." To
Aku tiba di rumah Rizka pukul sembilan malam, setelah tadi sore aku menjemputnya dari kantor dan mengantarkannya pulang, dan setelah itu aku pergi sebentar ke markas karena ada urusan yang harus aku selesaikan.Aku membuka pintu dan langsung menguncinya. Ruang tengah terlihat gelap, hanya berkas cahaya dari lampu luar yang masuk.Aku mendapati Rizka di ruang tengah sedang menonton televisi dan berbagai makanan, minuman soda serta semangkuk besar es krim di atas meja.Rizka hanya mengenakan celana pendek dan tank top.Dia melirikku sekilas, lalu kembali menonton film yang sedang di putar.Aku duduk di sampingnya, lalu aku membuka sepatuku dan bersandar duduk di kursi.Dia menyodorkan makanan yang sedang di pegangannya, aku pun mengambilnya dan memasukkan ke mulutku."Kenapa lampunya dimatikan?" Aku bertanya sambil memperhatikannya."Aku suka mematikan lampu kalau sedang menonton," jawabn
Langit Berita kematian Dharma dan Panji Adhiyaksa semakin menggegerkan negeri ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pistol yang ditemukan di tangan keduanya, menunjukkan seolah-olah mereka berdua bunuh diri. Spekulasi pun bermunculan. Mungkin karena malu, mereka memilih bunuh diri. Tapi tidak sedikit juga yang berasumsi kalau mereka sengaja di bunuh. Tentu saja berita bunuh diri itu bohong. Dharma bukan orang yang mudah putus asa sehingga harus membunuh dirinya sendiri dan mengajak putranya melakukan hal bodoh itu. Sudah jelas mereka di bunuh. Pihak kepolisian dikecam. Bagaimana mungkin kedua ayah anak itu lolos membawa senjata ke dalam tahanan. Atau bagaimana mereka mendapatkan senjata itu? Kalau mereka dibunuh, siapa yang melakukannya? Namun masyarakat kebanyakan tidak peduli pada kematian para Adhiyaksa itu. Kalau pun mereka hidup, tidak ada yang bisa menjamin mereka akan mendapat hukuman yang setimpal kejahatan mereka melihat bagaimana kondisi keadilan di negeri ini. Tidak ada
Joachim Bameswara menoleh ke arah pintu ruang tahanannya saat seorang penjaga penjara mengetuk pintu. "Ada tamu untuk, Bapak," kata si sipir penjara. Joachim Bameswara, seorang mantan Menteri Pertahanan yang juga seorang Jendral dari militer Angkatan Darat republik Indonesia itu mengangkat wajahnya tinggi, ingin menunjukkan dia masih harus disegani.Tentu saja sipir penjaga itu takut padanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya yang empuk, dan mematikan televisi yang sedang dia tonton. Sudah bukan rahasia lagi kalau di negara ini, tahanan dari pejabat pemerintahan mendapat pelayanan eksklusif. Kamar tahanan yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dan televisi, bahkan fasilitas mewah lainnya. Membuat para tikus-tikus penjahat berdasi itu tidak akan pernah kapok dengan kejahatan mereka. Fasilitas itu juga yang di dapatkan oleh Joachim Bameswara dan Keluarga Adhiyaksa yang saat ini juga sedang di tahan.
Dharma langsung menatap Boots angkuh menutupi keterkejutannya. "Jadi kau ingin balas dendam padaku?" Dharma tertawa mencemooh. "Ibumu hanya anak haram tak berarti, dia dan ibunya sama-sama murahan, dia pantas diperkosa. Dan aku sangat menikmatinya saat melakukan itu." Pria itu menyeringai bak iblis.Boots tersenyum. "Sepertinya tidak akan ada acara haru biru di antara kita ... Ayah." Boots menekan kata ayah dengan nada jijik.Dharma kembali tertawa sampai wajahnya terangkat keatas. Lalu memandang Boots rendah. "Kau pikir aku sudi mengakuimu sebagai anak?" Dia meludah.Boots mengangkat bahunya. "Kalau begitu, aku akan jadi anak durhaka sepertinya." Boots pura-pura sedih."Apa maksudmu?"Boots tersenyum. "Bukti kejahatanmu dan putramu sudah di tanganku selama ini, dan sudah kuserahkan pada Langit, anak Alfredo. Jadi walaupun kau membunuhku malam ini, kau akan tetap hancur
"Lang, berita sudah viral walaupun banyak juga yang tidak percaya, karena yang menyebarkan namanya tidak jelas," kata Clara tertawa saat kami di ruang kerjaku."Tidak masalah yang kita mau reaksi Dharma""Jadi apa rencana kita selanjutnya?" Dia bertanya lagi.Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka dan kami terkejut melihat siapa yang datang. Walau pun aku sudah menduganya."Kalian punya kopi?" Boots masuk dengan tenang dan langsung duduk, lalu meletakkan amplop cokelat besar dan tebal di hadapanku."Kopi segera datang," jawab Clara antusias dan langsung memesan pada anak buahku."Jadi semua ini rencanamu?" tanyaku tajam.Dia mengangkat bahunya. "Semua bukti kejahatan Dharma dan anaknya ada di situ." dia menatapku sambil menunjuk amplop."Dan kau ..." Dia melirik Clara. "Jangan mempublikasikan ini sebelum
Langit Kami tiba di Jakarta tadi malam, dan pagi ini, aku, Jack dan Clara duduk bersama di ruang kerjaku.Stephen masih kutugaskan untuk menjaga Rizka. Walaupun sekarang Ronan yang mengambil alih perusahaan keluarga, tapi Rizka masih tetap bekerja."Jack, aku melihat Baron kemarin di club, dia yang menolong kami keluar.""Baron adalah belahan jiwa Boots setelah Stephen. Kau mengerti maksudku kan?" jawab Jack"Berarti yang mengirim pesan padaku adalah Boots." Aku bergumam.Jack hanya menatapku. "Ngomong-ngomong , aku sudah memeriksa berkas yang ada pada Clara" Jack meletakkan beberapa kertas yang dijepit jadi satu."Dokumen-dokumen ini adalah surat pernyataan persetujuan Presiden untuk ekspor minyak besar-besaran ke luar negeri, tapi menurut informanku di dalam istana, pengeksporan minyak dibatalkan , karena kuota di dalam negeri bisa mi
"Tolong antar ke kamarku susu dan madu! sekarang!"Aku langsung mematikan telepon kamar setelah meminta room service mengantar pesananku. Susu dan madu akan membantu menetralisir obat perangsang yang terminum oleh Rizka."Lang ... panas, akuuhhh..." Dia sekarang melenguh sambil menggosok-gosokan badannya dengan tangannya dan menghampiriku."Rizka−" Dia langsung menciumku dengan ganas sambil menggosok-gosokan tubuhnya di tubuhku.Sialan!Dia memelukku erat, pupil matanya membesar, nafasnya memburu. Tubuhnya panas. Dan sekarang dia menggesekkan dirinya padaku.Holy shitAku menarik wajahnya dan memperhatikan apa yang dia rasa. Rizka tersiksa. Aku lebih tersiksa. Nafasnya semakin memburu. Kuhusap pipinya dengan lembut. Ketukan pintu terdengar, aku mendorong tubuh Rizka pelan, lalu membuka pintu. Room service membawa s
Rizka Aku terbangun dan badanku semua sakit juga pegal. Kepalaku juga pusing dan rasanya aku ingin muntah."Wah, sepertinya reaksi obat itu tidak terlalu baik untukmu sleeping beauty."Suara laki-laki?Aku menoleh ke suara tersebut.Seorang pria bertubuh tinggi, tidak terlalu besar tapi berotot, umurnya kira-kira di atas dua puluh lima tahun dan tampan berdiri memandangku sambil tersenyum."Namaku, Baron." Dia memperkenalkan dirinya.Aku menggerakkan badanku. Ternyata kedua tangan dan kakiku di ikat dengan rantai di empat sisi tempat tidur. Dan baju yang kupakai masih dressku tadi malam.Di mana aku?Siapa pria ini?Terakhir aku berada di pesta Cameron, lalu aku ke toilet dan tiba-tiba gelap. Aku yang baru sadar dan juga pusing membuatku masih bingung dengan situasi sekarang.
Saat ini aku sudah di rumah opa bersama semua keluarga Tahitu.Kami semua duduk di kursi ruang tengah dan suasana terasa tegang. Ayahku terlihat sangat marah tapi memilih tidak banyak berkomentar dan tidak berusaha menyalahkan siapa pun.Mami Jenia yang terus menangis, Ringgo yang memandangku dengan tatapan membunuh tapi memilih bersikap bijaksana tanpa memperkeruh keadaan.Ronan yang masih dalam proses pemulihan juga memilih tidak berkomentar. Sedangkan opa, dia terlihat bingung, dan merasa bersalah, bersamaan juga kelihatan marah."Jadi sekarang ini Rizka di Inggris?" Ringgo bertanya setelah aku menceritakan surat kaleng yang dikirim tadi pagi padaku."Bisa, ya, bisa, tidak, kami sudah mencari keberadaan Rizka di sini, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sini." Aku menjelaskan padanya."Jadi pesta apa yang dimaksud dalam pesan itu dan apa hubu
"Adikmu Rizka akan di bawa ke Yorksire, Inggris, untuk upacara Paradise party di festival minggu ini dan dia akan dijadikan budak sebagai korban persembahan untuk acara itu"Aku meremas kertas yang berisi pesan yang ditemukan anak buahku tadi pagi di halaman markas. Aku mengambil pistolku dan berjalan ke arah pintu ruanganku."Kau mau ke mana?" Jack menahanku saat aku membuka pintu. Dia baru tiba bersama dengan Clara."Aku akan membunuh Boots sekarang juga," ucapku geram."Kau jangan gila Langit, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan kemarahan. Kita harus hati-hati bertindak." Jack mendorongku masuk kembali ke ruang kerjaku.Aku melemparkan kertas pesan tadi pada Jack."Menurutmu ini dari Boots?" Jack menatapku setelah membaca isi pesan itu.Aku terdi