Langit
Hari ini aku sangat lelah, akhirnya terungkap siapa dalang dibalik semua kejadian yang menimpa Camelia Soetedja, istri Abraham Soetedja. Esok lusa aku akan berangkat ke Rusia, dan aku belum tahu berapa lama tinggal di sana. Hidupku memang tidak punya kepastian.
Ponselku tiba-tiba berdering, nama Ayah angkatku tertera di layar.
"Ya Pi?"
"Kau sekarang di mana?"
"Baru sampai rumah Pi."
"Kau tidak rindu pada papi? Sejak kau di Jakarta tidak pernah datang menemui papi."
"Papi kan sedang tour?" Aku tertawa.
"Papi sekarang sudah di Jakarta dan besok malam kau harus datang di acara ulang tahun papi. Kau juga sudah lama tidak datang ke rumah."
"Iya Papi."
"Kapan kau pergi dari Jakarta? Atau kau sudah ingin menetap di sini?"
"Lusa aku berangkat ke Moskow."
"Kau tunda dulu, dan lusa kau harus menemani papi memancing, jangan menolak!"
Aku menarik nafas.
"Iya Pi"
"Good. Ngomomg-ngomong apa besok kau akan membawa pacarmu?"
Aku tertawa mendengar perkataan ayahku.
Ray Tahitu adalah penolongku, kalau aku bisa seperti sekarang, semua karena beliau. Aku mencintainya seperti ayahku sendiri, dan mantan istrinya, mami Jenia juga sudah seperti ibuku sendiri, dia salah satu yang sangat rajin meneleponku dan menayakan kabarku, dan pasti selalu bertanya kapan aku akan menikah.
Anak-anak ayahku yaitu Ringgo dan juga kedua adiknya sudah aku anggap seperti saudara kandungku, begitu juga sebaliknya. Tapi ada yang satu orang yang tidak lagi menganggapku saudaranya, anak bungsu ayahku, Rizka Joanna Tahitu.
Aku tidak akan pernah lupa bagaimana aku bisa menjadi bagian keluarga mereka.
"Ringgo, Roe, papi mau mengenalkan seseorang pada kalian. Ini Langit, dia adalah saudara kalian yg baru."
"Anak Papi dari perempuan lain lagi?" Ringgo menatap ayahnya sinis.
Ayah kami tertawa. "Bukan, dia selama ini tinggal sama ibu Kasih dan pak Burhan, jadi sekarang Langit tinggal bersama kita."
Ringgo mengangguk, setelah dia tah aku dari panti asuhan milik keluarganya. Aku diam saja menatap kedua anak ayahku saat itu. Mereka juga memperhatikan aku penuh penilaian.
"Nah satu lagi, yang di box itu, adik perempuan kalian, Rizka, umurnya baru enam bulan.” Ayahku menunjuk seorang balita di dalam box yang tertawa melihat kami.
Bayi perempuan, gemuk dan putih, matanya berbinar menatapku. Lalu ia tertawa, saat itu yang terlintas dalam pikiranku, dia seperti boneka hidup. Ringgo dan Ronan pun mengajakku bicara, tapi aku diam saja.
Aku yang sudah biasa menderita tidak terlalu percaya dengan siapapun. Aku tidak mengenal ayah dan ibuku.
Aku besar di tempat pelacuran, dan dari mulai aku bisa mengingat, aku sudah terbiasa hidup dalam kesusahan, sejak aku sudah bisa berjalan aku sudah dipaksa bekerja. Aku disuruh mengemis, mengamen, mencopet dan masih banyak lagi. Aku akan dipukuli kalau kerja lambat atau salah melakukan perintah.
Topan, laki-laki itu adalah mucikari dan bos pemilik rumah pelacuran di tempat kumuh itu. Kawasan itu seperti sarang iblis, kami yang masih anak-anak sering disuruh menjual narkoba, membeli kondom, membeli pembalut untuk para pelacur. Jadi bukan hanya mengemis dan mengamen atau mencopet pekerjaan anak-anak di sana.
Aku sering dipukul Topan, katanya ibuku yang sudah mati adalah mantan pelacur. Ibuku katanya juga mempunyai banyak hutang padanya, dan aku harus bekerja pada Topan seumur hidupku untuk melunasinya. Aku sering tidak diberi makan. Kalau ada pelacur-pelacur yang kasihan padaku, mereka memberiku makanan secara diam-diam, karena kalau Topan tahu, mereka juga akan disiksa.
Aku tidak memiliki nama, Topan memanggilku si sial, anak haram, dan banyak nama menjijikkan lainnya. Orang-orang di sekitarku juga memanggilku dengan berbagai panggilan.
Sampai suatu malam, saat hujan deras, sehabis aku pulang dari mencopet, uang yang kudapatkan tidak sesuai dengan target. Aku diseret Topan ke belakang rumah pelacurannya, di tempat barang rongsokan. Aku dipukul habis-habisan, Topan menendangku, saat itu umurku kira-kira sembilan tahun. Sebenarnya aku tidak tahu pasti berapa usiaku, karena aku juga tidak tahu tanggal lahirku, bulan dan tahunnya.
Badanku yang ringkih sudah tidak sanggup lagi menerima siksaannya, tidak ada yang berani menolongku. Setelah Topan puas, dia meludahiku dan pergi meninggalkanku yang sekarat di tengah-tengah hujan deras.
Aku menggigil kedinginan, aku pikir malam itu aku pasti mati, dan aku memang lebih suka andai saja aku mati saat itu. Aku sudah tidak kuat, aku pernah mencoba lari dari tempat itu, tetapi anak buah Topan menemukanku, dan aku akhirnya disiksa karena berani melarikan diri.
Petir sambar menyambar, dan aku melihat ke atas langit dengan tubuh penuh darah, dan perutku yang sangat sakit, mulutku berdarah akibat tendangan Topan. Aku menatap langit yang mencurahkan hujan deras, saat itu aku berpikir, kalau aku tidak berani melawan Topan, aku akan menjadi budaknya seumur hidupku.
Entah kekuatan dari mana, aku bangkit berdiri. Aku lihat ada besi runcing di sekitar barang rongsokan itu, aku pun mengambilnya, dan dengan tubuh bergetar aku berjalan mencari Topan. Aku sudah pasrah malam itu kalau aku mati di tangan Topan. Tapi tidak melawan sama sekali, itu sama saja dengan pecundang. Setidaknya kematianku tidak akan sia-sia jika aku mencoba melawan.
Suara musik berbaur dengan suara hujan dan petir. Aku melihat Topan sedang duduk dengan pelacur-pelacurnya di teras rumah-rumah penginapannya yang kumuh. Anak buahnya sedang tidak ada disekitarnya. Mereka sedang asik mendengar musik yang berdentum keras, minum alkohol oplosan, dan melakukan cumbuan menjijikkan. Mereka tidak sadar kalau aku datang diam-diam menghampiri.
Jleb ...
“Arghhhhh ... !”
Dengan sekuat tenaga aku menusuk perut Topan. Lalu aku kembali menusuknya berkali-kali dengan besi yang kutemukan tadi. Pria itu terkapar, matanya melotot memandangku, para pelacur itu menjerit ketakutan. Dan aku langsung berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu di ikuti anak buah Topan yang mengejarku. Aku pun melompat ke sungai di sekitar tempat itu daripada ditangkap oleh mereka. Aku memang sudah pasrah mati.
Arus deras membawaku entah ke mana. Di dalam arus sungai aku merasakan tubuhku terhempas di bebatuan, setelah itu aku tidak sadar lagi. Dan saat aku bangun aku sudah berada di sebuah kamar. Kamar yang bersih, dan ku pikir aku ada di surga, mungkin ini namanya surga, aku tidak pernah tidur di tempat seperti ini.
"Pak ...! Dia sudah bangun." Aku mendengar suara perempuan memanggil seseorang.
Mereka menghampiriku. "Jangan bergerak dulu nak." Wanita tua itu tersenyum padaku.
"Saya ibu Kasih, dan ini suami ibu, Bapak Burhan. Kamu sekarang ada rumah pengharapan, kemarin kami menemukanmu di tepi sungai." Dia tersenyum lembut menatapku.
Aku hanya diam menatapnya saja.
"Namamu siapa nak?"
Aku menggeleng.
Ibu Kasih tersenyum. "Ya sudah, Sekarang kamu makan dulu ya. Ibu suapin, biar cepat sembuh."
Aku diam tak menjawab, lalu ibu kasih menyuapkan bubur ke dalam mulutku, dan dari sini lah awal aku bebas dari Topan. Selama di panti aku tidak mau bicara pada siapa pun, anak-anak panti tidak berani mendekatiku.
Aku melakukan tugas yang diberikan ibu Kasih dan pak Burhan. Hanya dengan ibu Kasih aku mau bicara, itu pun kalau terpaksa. Suatu hari dia menayakan namaku lagi, karena langit malam itu yang memberiku kekuatan, kuputuskan sejak hari itu namaku adalah Langit.
Hari berlalu, dan tanpa kusadari aku sudah tiga tahun di panti ini. Tidak ada yang mau mengadopsiku karena sikapku yang tertutup. Sampai suatu hari, seorang bernama Ray Tahitu datang berkunjung. Aku ingat hari itu dia menatapku dalam dan lekat. Dan aku membalas tajam tatapannya.
"Siapa namamu?" Dia bertanya.
"Langit." Entah kenapa aku mau menjawab pertanyaannya, biasanya aku tidak akan pernah menjawab siapa pun.
Ibu Kasih dan pak Burhan terkejut karena aku mau menjawab pria itu.
"Dia anaknya baik Pak, tapi pendiam. Langit ini anak yang paling rajin di panti." Ibu Kasih memberi penjelasan tanpa diminta siapa pun.
Ayah angkatku itu mengangguk, dia terus menatapku penuh penilaian, aku sedikit gugup, tapi aku tetap membalas tatapannya.
"Langit, ini pak Ray, pemilik panti ini." Ibu Kasih memperkenalkan pria tinggi besar dan berambut panjang itu padaku.
Kami masih saling berpandangan.
"Kau mau ikut denganku?" tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut karena dia mengajakku ikut dengannya, namun aku tidak menjawab.
"Bu Kasih, aku akan membawanya," ujarnya saat itu.
"Bapak mau mengadopsi Langit?"
Dia menangguk. “Aku akan mengurus surat-suratnya.” Dan hari itu aku langsung dibawa ke rumahnya, dan mengenalkanku pada anak-anaknya.
Itu lah awal aku menjadi anak seorang Ray Tahitu, yang ternyata seorang musisi terkenal dan berasal dari keluarga kaya raya. Dia seorang duda, dengan tiga anak dan satu istri yang sudah bercerai dan dia meiliki wanita simpanan yang tidak dia nikahi dan baru meninggal saat itu karena sakit. wanita itu meninggalkan dua anak dan yang satunya masih bayi. Ringgo anak dari istri sahnya sedangkan Ronan dan Rizka anak dari perempuan simpanannya.
Dan sampai hari ini, aku tidak tahu apa alasan ayahku mengangkatku jadi anaknya. Besok malam aku akan berkumpul dengan keluargaku, dan akan bertemu dengan Rizka. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya, terakhir tiga tahun lalu di New York, saat dia datang mengunjungiku.
Peristiwa tidak akan pernah aku lupakan.
"Kak, aku sekarang di New York, jemput aku di bandara ya." Pagi itu Rizka meneleponku saat aku masih tidur.
"Hah! Kau datang dengan siapa?" Aku sangat terkejut karena dia ada di New York saat itu.
"Sendirian Kak."
"Tunggu di situ, jangan ke mana-mana, kalau ada yang-"
"Iya Kak. Cerewet sekali, umurku sudah sembilan belas Kak." Suaranya terdengar kesal.
Aku terkekeh. Sudah bisa aku banyangkan wajahnya yang lucu karena kesal. "Oke, tunggu kakak di sana."
Aku pun menjemputnya ke bandara. Dan begitu aku tiba di bandara, kulihat adikku berdiri menungguku. Aku pun menghampirinya, dan dia langsung sumringah saat melihatku dan berlari menghampiriku.
"Kakakkk ... !" Rizka langsung memelukku dan aku membalas pelukannya, tentu saja aku sangat senang bertemu dengan adikku.
"Wah ... papi kasih izin princessnya datang sendiri menyebrangi benua ya?"
"Kalau menemui Kakak, papi pasti kasih izin."
"Bagaimana kabarmu?" Aku menatap adikku yang memakai kacamata mata, dan kawat gigi yang belum lepas dari giginya. Adikku ini cantik dan polos, dan kami benar-benar menjaganya, karena orang di sekeliling keluarga Tahitu banyak yang suka memanfaatkan.
"Aku baik, dan Kakak?" tanyanya dengan mata berbinar ceria.
"Semakin tampan pastinya." Aku mengerling jahil.
Aku tertawa saat Rizka memutar bola matanya mendengar jawabanku. Kami memasuki mobil, dan aku membawanya ke apartemenku. Aku tinggal di Manhattan.
Selama di Amerika aku membawanya jalan-jalan. Kami pergi ke Los Angeles, dan bebarapa negara bagian. Sampai suatu malam saat kami kembali ke apartemen, pulang dari perjalanan.
"Aku capek sekali." Rizka langsung membaringkan tubuhnya di sofa.
"Mandi dulu Ri, biar capeknya berkurang. Kakak akan pesan makananan untuk kita."
Riska pergi beranjak untuk mandi. Dan setelah aku memesan makanan, aku masuk kamarku dan mandi di sana. Selesai mandi aku keluar dan tidak lama makanan datang.
"Ri ... ! Kau sudah selesai? Kakak sudah lapar!" Aku berteriak memanggilnya.
"Iya! Sebentar Kak."
Aku pun menuju pantry dan menuangkan makanan ke piring, dan menyajikan di meja. Dan aku hampir mati berdiri, saat Rizka, tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Dan dia hanya memakai lingerie tipis, rambut panjangnya tampak lembab, kulit putihnya yang seputih susu sangat kontras dengan lingerie merah maroon itu.
"Ri ... a—apa yang kau pakai?" Aku melotot marah.
Dia tampak gugup dan salah tingkah.
"Ini lingerie, masa tidak tahu?" katanya sambil menatapku malu-malu.
Aku yang tadinya terperangah sekarang tertawa geli melihat tingkahnya.
"Oke. Kakak tau, sekarang ganti dengan baju biasa atau piyama, cepatlah, kakak sudah lapar."
"Piyama? Yang benar saja!" Dia melipat tangannya di dada, dan payudara tampak membuncah.
Sialan!
Dia adikku!
Baiklah kami memang bukan saudara kandung, tapi dia adikku. Rizka yang lugu, dan mengapa dia berubah begini?
Aku memandangnya dengan tatapan marah.
"K-kau tidak suka Langit?" tanyanya, menatapku sambil menjilat bibirnya karena gugup
"Apa?!" Aku terperangah.
"Ck ... kau tidak suka melihatku memakai ini?" Sambil menunjuk lingerienya.
Sial!
Sudah berapa kali aku mengumpat.
"Riri—"
"Rizka, aku bukan lagi Riri. Aku sudah dewasa, dan panggil aku Rizka." Dia memotong perkataanku dengan kesal.
Aku semakin terkejut. Mungkin hormonnya sedang tidak stabil.
"Baiklah Ri. Dengar, kakak mengerti pada anak remaja sepertimu. Kalian suka bereksperimen, dan kau sepertinya ingin belajar menggoda pacarmu bukan? Tapi saran kakak, kau jangan lakukan hal ini, oke? Sekarang pergi ke kamarmu, dan ganti lingerie sialan itu. Sekarang!"
Tapi Rizka, justru semakin mendekatiku dan sekarang dia benar-benar dihadapanku, wangi sampo menguar dihidungku. Strawberry, dia masih suka wangi itu dari jaman anak-anak. Aku tertawa mengingat masa kecilnya.
"Kenapa kau tertawa?" Dia tampak tersinggung.
Aku terdiam, Rizka tidak lagi memanggilku kakak.
"Riri ... kakak tidak suka kalau—"
"Kau bukan kakakku," ujarnya sambil mengangkat dagu tinggi dengan percaya diri.
Aku terbelalak mendengar ucapannya.
"Ri ... "
"Aku mencintaimu Langit. Dari dulu." ucapnya sungguh-sungguh dan memandangku dengan tatapan polosnya.
Aku terkejut kembali dibuatnya.
Aku tertawa terbahak-bahak mengingat kemungkinan aku dikerjai olehnya.
"Ri ... kau ingin mengerjai kakak ya? Di mana kameranya? Kakak belum ulang tahun, dan sekarang bukan bukan April. Jadi—"
Tiba-tiba Bibir Rizka sudah di bibirku, di mengalungkan tangannya di leherku. Ciumannya yang amatir terus melumat bibirku.
Demi semua iblis di neraka, aku sangat terkejut! Aku mendorongnya, sampai dia melepaskanku dan mundur beberapa langkah. Untung kewarasan masih menguasaiku.
Aku mendesis, memejamkan mataku dan memunggunginya. Aku mengusap wajahku putus asa.
Sialan!
"Pergilah ke kamarmu, kakak akan anggap tidak terjadi apa-apa."
"Aku mencintaimu Langit, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Aku datang kemari karena aku mencintaimu. Aku—"
"Masuk ke kamarmu!" Aku membentaknya marah.
"Kenapa?! Kau tidak menyukaiku karena aku tidak seksi seperti pacar-pacarmu? Atau karena aku tidak berpengalaman? Kau hanya tinggal mengajariku saja Langit, dan aku pasti bisa me–"
"Rizka! Masuk sekarang! Atau kakak akan telepon papi dan melaporkan kelakuanmu ini," ucapku dengan tegas.
Wajahnya tampak terkejut dan pucat. Akhirnya dia menangis.
Double shit!
Aku sudah seperti binatang kalau sampai aku melakukan ini. Aku beranjak dan pergi keluar, membanting pintu kuat, dan meninggalkan dia menangis.
Brengsek!
Sejak Rizka beranjak remaja, aku tahu dia memandangku bukan lagi seperti seorang kakak. Tatapannya berubah dari tatapan seorang saudara menjadi tatapan memuja. Tapi dulu aku abaikan, karena kupikir itu biasa dalam masa pubertas. Tapi ternyata Rizka semakin memupuk perasaannya padaku.
Seminggu dia bersamaku, Rizka memang sangat manja, caranya bermanja padaku seperti seorang kekasih, sekali lagi aku mengabaikannya. Selama ini ku pikir semua itu hanya perasaanku saja, tapi malam ini kecurigaanku terjawab.
Aku pulang larut malam ke apartemenku setelah menenangkan diri. Kulihat makanan masih utuh. Aku masuk ke kamarnya, dan dia sudah tertidur dengan memakai piama, dan di wajahnya masih ada sisa-sisa air mata.
"Langit." Dia memanggilku lirih. Lalu nafasnya kembali teratur.
Aku memandang adikku itu. Aku tahu hubungan kami tidak akan lagi sama, Rizka memandangku bukan lagi sebagai seorang saudara, aku harus menjauh dan menjaga jarak, dan besok dia harus pulang ke indonesia.
Saat aku tiba di rumah keluarga Tahitu, di sana aku melihat sudah banyak mobil terparkir di halaman depan rumah kami yang luas. Aku turun dari mobil bersama dengan sahabatku Clara. Tadinya aku ingin datang sendiri, tapi entah mengapa aku merasa perlu membawa seseorang sebagai tameng. Awalnya Clara tidak mau kuajak, setelah dengan berbagai bujukan dan aku berjanji akan membuatnya pergi berkencan dengan sahabatku, Jack Bameswara, dia pun langsung bersedia. Malam ini ayahku akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Sejauh aku mengenal seorang Ray Tahitu, dia bukan orang yang sentimentil seperti merayakan ulang tahun. Aku sedikit heran dengan adanya acara ini. "Mas Langit, apa kabar? Sudah lama Mas tidak kemari." Pak Hendra, dia adalah security yang sudah lama bekerja pada keluarga Tahitu, menyapaku dengan gembira. "Kabar saya baik Pak Hendra. Bapak sendiri bagaimana?" Aku merangkul bahu pak Hendra yang sudah tua, dan sepertinya dia tetap be
Saat aku tiba di rumah keluarga Tahitu, di sana aku melihat sudah banyak mobil terparkir di halaman depan rumah kami yang luas. Aku turun dari mobil bersama dengan sahabatku Clara. Tadinya aku ingin datang sendiri, tapi entah mengapa aku merasa perlu membawa seseorang sebagai tameng. Awalnya Clara tidak mau kuajak, setelah dengan berbagai bujukan dan aku berjanji akan membuatnya pergi berkencan dengan sahabatku, Jack Bameswara, dia pun langsung bersedia. Malam ini ayahku akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Sejauh aku mengenal seorang Ray Tahitu, dia bukan orang yang sentimentil seperti merayakan ulang tahun. Aku sedikit heran dengan adanya acara ini. "Mas Langit, apa kabar? Sudah lama Mas tidak kemari." pak Hendra, dia adalah security yang sudah lama bekerja pada keluarga Tahitu, menyapaku dengan gembira. "Kabar saya baik Pak Hendra. Bapak sendiri bagaimana?" aku merangkul bahu pak Hendra yang sudah tua, dan seperti
RizkaAku meninggalkan Langit yang baru saja menciumku. Tubuhku masih bergetar efek dari ciuman kami yang panas. Setelah tiga tahun, ternyata aku masih belum bisa lepas dari pengaruhnya. Tubuhku masih mendambakan sentuhannya, hatiku berkhianat karena ikut mendamba, tapi untungnya pikiranku masih bisa menguasai hasrat dan kerinduanku pada Langit. Aku mengambil minuman yang dibawa seorang pelayan yang lewat di hadapanku, aku butuh minuman saat ini. "Bunga apinya tadi bagus ya?" Tiba-tiba kakakku, Ronan, berdiri di sampingku. Aku yang sedang minum terbatuk karena terkejut. "A-apa, Kak?""Bunga apinya bagus." Dia tersenyum menatapku sambil memainkan gelas di tangannya."Bunga api?" Aku bingung tak mengerti."Iya bunga api. Di langit." Sekarang dia terkekeh. Bunga api? Astaga adalah saat aku berciuman dengan Langit! Ingin rasanya aku ditelan bumi sekarang, pasti kakakku curiga den
RizkaPonselku berdering, saat aku tiba di rumah.“Halo?“"Rizka, Kakak akan menjemputmu nanti malam jam tujuh."Panggilan kami terputus tanpa menunggu jawabanku.Sebelumnya, tadi siang Langit menghubungiku dan memberitahu kalau Opa meminta kami berdua datang ke rumahnya.Kakak? kakak apa yang mencium adiknya penuh nafsu?Aku tidak tahu apa yang ingin Opa bicarakan pada kami, dan kenapa harus bersama Langit?Aku melihat jam menunjukkan pukul enam. Aku langsung mandi dan bersiap-siap.Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku memakai riasan tipis. Ponselku berdering, aku mengangkatnya."Kakak, di depan rumah, kau keluar sekarang.""Oke."Laki-laki ini, selalu menganggap dirinya berkuasa, memerintahku seperti anak kecil.Aku menatap diriku di cermin m
"Hal sepele seperti ini saja tidak bisa kalian selesaikan! Apa aku harus turun tangan mengurus masalah ini?! Siapa yang menghalangi pengiriman perempuan-perempuan itu?!" Seorang Pria bertubuh tinggi besar berteriak marah pada anak buahnya."Maaf Bos, masalahnya yang membuat pekerjaan kita sulit bukan dari kepolisian atau aparat pemerintah." Anak buahnya menjawab dengan suara ketakutan."Lalu siapa?! Kau tidak bisa menemukan siapa orangnya atau kelompoknya? Aku rugi besar brengsek! Dua kali ... dua kali perempuan-perempuan yang akan kita jual gagal, obat-obatanku juga tertangkap! Sebentar lagi kita semua yang akan di gulung habis, dan kalian tidak bisa melakukan apa-apa?!""Bos, mereka ini sangat sulit dan licin, siapa pun mereka ini Bos, mereka lebih cerdik dari kita.""Tidak ada yang lebih cerdik dari seorang Topan! Kau cari tahu siapa mereka! Aku beri kalian waktu dua hari. Dan selama dua hari ini, informasi tentang mereka harus sudah sampai padaku." To
Aku tiba di rumah Rizka pukul sembilan malam, setelah tadi sore aku menjemputnya dari kantor dan mengantarkannya pulang, dan setelah itu aku pergi sebentar ke markas karena ada urusan yang harus aku selesaikan.Aku membuka pintu dan langsung menguncinya. Ruang tengah terlihat gelap, hanya berkas cahaya dari lampu luar yang masuk.Aku mendapati Rizka di ruang tengah sedang menonton televisi dan berbagai makanan, minuman soda serta semangkuk besar es krim di atas meja.Rizka hanya mengenakan celana pendek dan tank top.Dia melirikku sekilas, lalu kembali menonton film yang sedang di putar.Aku duduk di sampingnya, lalu aku membuka sepatuku dan bersandar duduk di kursi.Dia menyodorkan makanan yang sedang di pegangannya, aku pun mengambilnya dan memasukkan ke mulutku."Kenapa lampunya dimatikan?" Aku bertanya sambil memperhatikannya."Aku suka mematikan lampu kalau sedang menonton," jawabn
RizkaMenikah? Langit tiba-tiba mengajakku menikah!,yang benar saja? Aku akui sebenarnya ini hanya balas dendam kecil karena sakit hatiku padanya, dan aku tadi hampir kehilangan keperawananku karena aku terjebak dalam permainanku sendiri, dan untungnya Langit masih bisa mengendalikan dirinya.Ini benar-benar kebodohanku, tapi menikah dengan Langit tidak masuk dalam rencana pembalasan ini, harusnya ini pembalasan sempurna, tapi karena kedua kakakku sudah memergoki kami, semuanya jadi berantakan.Tentu saja aku akan sangat bahagia kalau aku menikah dengan Langit, tapi bukan dengan cara seperti ini.Langit mengambil pakaiannya dari koper yang dia bawa tadi sore saat mengantarkan aku, dia juga mengambil pakaiannya untukku, dan dia memakaikan kemejanya padaku dan juga celana boxer miliknya saat kami harus keluar dari kamar ini.Sialan!Baju kami berdua ternyata masih tergeletak di pinggir kolam renang."Bajingan kau!" Kaka
LangitDulu kau berlutut dikakiku, untuk mengharap cintakuhingga terbuka pintu hatiku tuk menerima cintamutapi setelah aku jatuh cinta padamuengkau begitu mudah melupakan dirikuSurga yang engkau janjikanneraka yang kau berikanmanis yang aku harapkanpahit yang aku rasakan"Asikkk ... Geboyyyy ...!"Lagu sialan! Pasti Stephen yang memutar lagu dangdut."Stephen!" Aku berteriak memanggil salah seorang anak buahku dari ruang kerjaku di dalam gudang markas kami tapi tidak ada sahutan dari dia.Lagu dangdut itu terus mengalun."Stephen!" Aku kembali berteriak manggilnya.Tiba-tiba Stephen si bocah biang rusuh di timku muncul di depan pintu. "Iya Boss?" dia menyengir lebar."Matikan speaker itu! Sekarang juga!" perintahku marah,"Kenapa Bos? Itu kan
Langit Berita kematian Dharma dan Panji Adhiyaksa semakin menggegerkan negeri ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pistol yang ditemukan di tangan keduanya, menunjukkan seolah-olah mereka berdua bunuh diri. Spekulasi pun bermunculan. Mungkin karena malu, mereka memilih bunuh diri. Tapi tidak sedikit juga yang berasumsi kalau mereka sengaja di bunuh. Tentu saja berita bunuh diri itu bohong. Dharma bukan orang yang mudah putus asa sehingga harus membunuh dirinya sendiri dan mengajak putranya melakukan hal bodoh itu. Sudah jelas mereka di bunuh. Pihak kepolisian dikecam. Bagaimana mungkin kedua ayah anak itu lolos membawa senjata ke dalam tahanan. Atau bagaimana mereka mendapatkan senjata itu? Kalau mereka dibunuh, siapa yang melakukannya? Namun masyarakat kebanyakan tidak peduli pada kematian para Adhiyaksa itu. Kalau pun mereka hidup, tidak ada yang bisa menjamin mereka akan mendapat hukuman yang setimpal kejahatan mereka melihat bagaimana kondisi keadilan di negeri ini. Tidak ada
Joachim Bameswara menoleh ke arah pintu ruang tahanannya saat seorang penjaga penjara mengetuk pintu. "Ada tamu untuk, Bapak," kata si sipir penjara. Joachim Bameswara, seorang mantan Menteri Pertahanan yang juga seorang Jendral dari militer Angkatan Darat republik Indonesia itu mengangkat wajahnya tinggi, ingin menunjukkan dia masih harus disegani.Tentu saja sipir penjaga itu takut padanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya yang empuk, dan mematikan televisi yang sedang dia tonton. Sudah bukan rahasia lagi kalau di negara ini, tahanan dari pejabat pemerintahan mendapat pelayanan eksklusif. Kamar tahanan yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dan televisi, bahkan fasilitas mewah lainnya. Membuat para tikus-tikus penjahat berdasi itu tidak akan pernah kapok dengan kejahatan mereka. Fasilitas itu juga yang di dapatkan oleh Joachim Bameswara dan Keluarga Adhiyaksa yang saat ini juga sedang di tahan.
Dharma langsung menatap Boots angkuh menutupi keterkejutannya. "Jadi kau ingin balas dendam padaku?" Dharma tertawa mencemooh. "Ibumu hanya anak haram tak berarti, dia dan ibunya sama-sama murahan, dia pantas diperkosa. Dan aku sangat menikmatinya saat melakukan itu." Pria itu menyeringai bak iblis.Boots tersenyum. "Sepertinya tidak akan ada acara haru biru di antara kita ... Ayah." Boots menekan kata ayah dengan nada jijik.Dharma kembali tertawa sampai wajahnya terangkat keatas. Lalu memandang Boots rendah. "Kau pikir aku sudi mengakuimu sebagai anak?" Dia meludah.Boots mengangkat bahunya. "Kalau begitu, aku akan jadi anak durhaka sepertinya." Boots pura-pura sedih."Apa maksudmu?"Boots tersenyum. "Bukti kejahatanmu dan putramu sudah di tanganku selama ini, dan sudah kuserahkan pada Langit, anak Alfredo. Jadi walaupun kau membunuhku malam ini, kau akan tetap hancur
"Lang, berita sudah viral walaupun banyak juga yang tidak percaya, karena yang menyebarkan namanya tidak jelas," kata Clara tertawa saat kami di ruang kerjaku."Tidak masalah yang kita mau reaksi Dharma""Jadi apa rencana kita selanjutnya?" Dia bertanya lagi.Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka dan kami terkejut melihat siapa yang datang. Walau pun aku sudah menduganya."Kalian punya kopi?" Boots masuk dengan tenang dan langsung duduk, lalu meletakkan amplop cokelat besar dan tebal di hadapanku."Kopi segera datang," jawab Clara antusias dan langsung memesan pada anak buahku."Jadi semua ini rencanamu?" tanyaku tajam.Dia mengangkat bahunya. "Semua bukti kejahatan Dharma dan anaknya ada di situ." dia menatapku sambil menunjuk amplop."Dan kau ..." Dia melirik Clara. "Jangan mempublikasikan ini sebelum
Langit Kami tiba di Jakarta tadi malam, dan pagi ini, aku, Jack dan Clara duduk bersama di ruang kerjaku.Stephen masih kutugaskan untuk menjaga Rizka. Walaupun sekarang Ronan yang mengambil alih perusahaan keluarga, tapi Rizka masih tetap bekerja."Jack, aku melihat Baron kemarin di club, dia yang menolong kami keluar.""Baron adalah belahan jiwa Boots setelah Stephen. Kau mengerti maksudku kan?" jawab Jack"Berarti yang mengirim pesan padaku adalah Boots." Aku bergumam.Jack hanya menatapku. "Ngomong-ngomong , aku sudah memeriksa berkas yang ada pada Clara" Jack meletakkan beberapa kertas yang dijepit jadi satu."Dokumen-dokumen ini adalah surat pernyataan persetujuan Presiden untuk ekspor minyak besar-besaran ke luar negeri, tapi menurut informanku di dalam istana, pengeksporan minyak dibatalkan , karena kuota di dalam negeri bisa mi
"Tolong antar ke kamarku susu dan madu! sekarang!"Aku langsung mematikan telepon kamar setelah meminta room service mengantar pesananku. Susu dan madu akan membantu menetralisir obat perangsang yang terminum oleh Rizka."Lang ... panas, akuuhhh..." Dia sekarang melenguh sambil menggosok-gosokan badannya dengan tangannya dan menghampiriku."Rizka−" Dia langsung menciumku dengan ganas sambil menggosok-gosokan tubuhnya di tubuhku.Sialan!Dia memelukku erat, pupil matanya membesar, nafasnya memburu. Tubuhnya panas. Dan sekarang dia menggesekkan dirinya padaku.Holy shitAku menarik wajahnya dan memperhatikan apa yang dia rasa. Rizka tersiksa. Aku lebih tersiksa. Nafasnya semakin memburu. Kuhusap pipinya dengan lembut. Ketukan pintu terdengar, aku mendorong tubuh Rizka pelan, lalu membuka pintu. Room service membawa s
Rizka Aku terbangun dan badanku semua sakit juga pegal. Kepalaku juga pusing dan rasanya aku ingin muntah."Wah, sepertinya reaksi obat itu tidak terlalu baik untukmu sleeping beauty."Suara laki-laki?Aku menoleh ke suara tersebut.Seorang pria bertubuh tinggi, tidak terlalu besar tapi berotot, umurnya kira-kira di atas dua puluh lima tahun dan tampan berdiri memandangku sambil tersenyum."Namaku, Baron." Dia memperkenalkan dirinya.Aku menggerakkan badanku. Ternyata kedua tangan dan kakiku di ikat dengan rantai di empat sisi tempat tidur. Dan baju yang kupakai masih dressku tadi malam.Di mana aku?Siapa pria ini?Terakhir aku berada di pesta Cameron, lalu aku ke toilet dan tiba-tiba gelap. Aku yang baru sadar dan juga pusing membuatku masih bingung dengan situasi sekarang.
Saat ini aku sudah di rumah opa bersama semua keluarga Tahitu.Kami semua duduk di kursi ruang tengah dan suasana terasa tegang. Ayahku terlihat sangat marah tapi memilih tidak banyak berkomentar dan tidak berusaha menyalahkan siapa pun.Mami Jenia yang terus menangis, Ringgo yang memandangku dengan tatapan membunuh tapi memilih bersikap bijaksana tanpa memperkeruh keadaan.Ronan yang masih dalam proses pemulihan juga memilih tidak berkomentar. Sedangkan opa, dia terlihat bingung, dan merasa bersalah, bersamaan juga kelihatan marah."Jadi sekarang ini Rizka di Inggris?" Ringgo bertanya setelah aku menceritakan surat kaleng yang dikirim tadi pagi padaku."Bisa, ya, bisa, tidak, kami sudah mencari keberadaan Rizka di sini, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sini." Aku menjelaskan padanya."Jadi pesta apa yang dimaksud dalam pesan itu dan apa hubu
"Adikmu Rizka akan di bawa ke Yorksire, Inggris, untuk upacara Paradise party di festival minggu ini dan dia akan dijadikan budak sebagai korban persembahan untuk acara itu"Aku meremas kertas yang berisi pesan yang ditemukan anak buahku tadi pagi di halaman markas. Aku mengambil pistolku dan berjalan ke arah pintu ruanganku."Kau mau ke mana?" Jack menahanku saat aku membuka pintu. Dia baru tiba bersama dengan Clara."Aku akan membunuh Boots sekarang juga," ucapku geram."Kau jangan gila Langit, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan kemarahan. Kita harus hati-hati bertindak." Jack mendorongku masuk kembali ke ruang kerjaku.Aku melemparkan kertas pesan tadi pada Jack."Menurutmu ini dari Boots?" Jack menatapku setelah membaca isi pesan itu.Aku terdi