"Hal sepele seperti ini saja tidak bisa kalian selesaikan! Apa aku harus turun tangan mengurus masalah ini?! Siapa yang menghalangi pengiriman perempuan-perempuan itu?!" Seorang Pria bertubuh tinggi besar berteriak marah pada anak buahnya.
"Maaf Bos, masalahnya yang membuat pekerjaan kita sulit bukan dari kepolisian atau aparat pemerintah." Anak buahnya menjawab dengan suara ketakutan.
"Lalu siapa?! Kau tidak bisa menemukan siapa orangnya atau kelompoknya? Aku rugi besar brengsek! Dua kali ... dua kali perempuan-perempuan yang akan kita jual gagal, obat-obatanku juga tertangkap! Sebentar lagi kita semua yang akan di gulung habis, dan kalian tidak bisa melakukan apa-apa?!"
"Bos, mereka ini sangat sulit dan licin, siapa pun mereka ini Bos, mereka lebih cerdik dari kita."
"Tidak ada yang lebih cerdik dari seorang Topan! Kau cari tahu siapa mereka! Aku beri kalian waktu dua hari. Dan selama dua hari ini, informasi tentang mereka harus sudah sampai padaku." Topan mengamuk sampai wajahnya memerah.
"Siap Bos!" Lalu anak buahnya pergi dari ruangannya.
Tentu saja Topan marah, karena bisnis gelapnya selama ini tidak pernah tertangkap, dia menguasai semua aparat pemerintahan dengan uangnya.
Pria itu tersenyum pongah dan licik, menurutnya tidak ada yang bisa menghalangi seorang Topan, bahkan kematian.
Topan sering kali berhadapan dengan kematian, bahkan dulu, seorang anak kecil pernah berusaha membunuhnya, tapi lihatlah, Topan tetap hidup dan tegak berdiri. Bahkan menjadi penjahat kelas kakap saat ini.
Topan meludah lalu menghisap cerutunya.
"Tidak ada yang bisa menghalangi keinginan Topan, bahkan Tuhasekalipun pun," katanya dengan penuh kesombongan.
****
Aku sekarang berada di rumah Rizka, dan dia belum turun dari kamarnya. Tentu saja dia belum bangun, ini masih pukul setengah enam pagi.
Aku tadi membeli sarapan, karena aku tahu Rizka tidak memiliki pembantu yang menginap di rumah.
Tiba-tiba aku mendengar suara terkesiap.
"Astaga ! Kau mengejutkanku Langit!"
Kalau dia terkejut melihatku, aku terbakar melihatnya berdiri di pintu ruang makan dengan memakai gaun tidur satin berwarna putih sebatas paha, dan memakai kimono dengan warna yang sama tanpa mengikatnya, rambutnya disanggul tinggi keatas.
Pasti tidur dengannya sangat menyenangkan.
Sial!
"Ini masih terlalu pagi untuk menjemputku atau pun pindah." Rizka mengangkat alisnya sebelah.
Sepanjang malam ini aku dan timku mengurus kapal yang ditangkap oleh anak buahku, kapal-kapal itu membawa kontainer yang isinya perempuan-perempuan yang akan dijual sebagai pelacur, dan obat-obat terlarang.
Minggu lalu timku juga berhasil menangkap kapal dengan kasus yang sama.
Kami dibayar seseorang untuk melakukannya, tugas kami hanya menangkap kapal, membebaskan perempuan-perempuan itu dan juga memusnahkan obat-obatan yang kami temukan.
Hingga subuh kami menyelesaikan misi penangkapan kami. Setelah itu aku langsung ke rumah Rizka, lalu pagi ini mengantarkannya bekerja, setelah itu aku akan tidur hingga siang.
"Aku takut kau terlambat, jadi aku cepat datang," jawabku beralasan.
Dia menatapku curiga.
"Hmmm ... kau kelihatan kurang tidur, kau pasti bersenang-senang dengan perempuan tadi malam setelah mengantarkan," katanya berasumsi.
"Hmmm ... " Aku menjawab tidak peduli.
Rizka duduk di meja makan dan masih menatapku penuh selidik.
"kopi?" Aku bertanya padanya.
"Pakai susu sedikit," jawabnya sambil bertopang tangan.
Aku langsung memandang dadanya saat dia mengatakan susu. Astaga ... aku jadi bajingan penuh nafsu setiap di dekatnya.
"Susu yang ini belum ada," ujarnya dengan tatapan mengejek.
Aku terkejut gelagapan karena ketahuan melihat payudaranya.
Brengsek!
Lalu dia menatapku yang masih berdiri di depan mesin kopi dengan penuh penilaian.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Aku melotot padanya.
"Kau seperti si Johnny eating sugar, ketahuan mencuri gula, dan kau ketahuan mencuri pandang ke payudaraku."
Aku melongo tidak mengerti.
"Johnny siapa? Dan siapa yang mencuri pandang payudaramu? Kau terlalu percaya diri Rizka." aku mendengus menutupi kebohonganku.
Lalu tiba-tiba dia bernyanyi.
"Johnny ... Johnny ... yes Papa! Eating sugar ... no Papa ... telling lies ... no Papa ... open your mouth! Haahahaa ..."
"Langit Langit ... yes Mama! Looking my boobs .. no Mama ... telling lies ... no Mama ... open your Zipper ... hahahaha."
Mata Rizka menatap bagian bawahku.
Sialan ... dia mengejekku. Gadis penggoda kurang ajar.
"Kau pasti menganggap ini semua permainan kan Rizka?" Aku menatapnya marah sambil membawa kopi dan Roti ke meja.
"Apa maksud tuduhan yang menyenangkan itu?" Dia bertanya seperti tersinggung.
"Tiba-tiba aku merasa panas di sini." Rizka membuka kimono tidurnya dan sekarang dia hanya memakai gaun tidur bertali spageti dengan potongan rendah di bagian dadanya.
Dia pasti ingin membunuhku.
"Kau ingin menggodaku Rizka?" Aku meminum kopiku dan mengendalikan diriku. Tidak akan kubiarkan kucing kecil ini mencakarku.
Lalu dia tertawa mendongakkan wajahnya ke atas. Dan demi neraka jahanam, leher itu membuat mulutku kering.
"Kau terlalu memandang dirimu tinggi Langit," katanya dengan nada mengejek.
Aku memakan rotiku dan menjawabnya.
"Tentu saja aku begitu, dan semua wanita mengakuinya."
"Tapi aku belum mengakuimu," katanya sambil memakan rotinya penuh provokatif.
"Dan kau tidak akan pernah mendapatkannya," balasku sambil meminum kopiku dengan percaya diri.
"Mau bertaruh?"
Oh, kucing kecil ini menantangku!
"Aku tidak mempertaruhkan aksi ranjangku." Aku menjawabnya enteng sambil menatapnya lekat.
Lalu dia melipat tangannya dan memperlihatkan payudaranya naik ke atas, seketika celanaku mengetat.
Sial!
"Oh jadi kita sedang membahas aksi ranjang ya? hmmm ... menarik." Dia memandangku dengan cara paling nakal yang pernah kulihat.
"Kau tahu Langit, aksi ranjangku juga tidak kalah denganmu," katanya dengan sombong.
Aku tertawa terbahak-bahak. "Kau pembohong kecil yang nakal." Aku tertawa mencemooh.
"Yah ... terserah kau saja kalau tidak percaya, bisa saja aku mengajakmu untuk mencobanya, tapi kau tidak akan mendapatkannya." Rizka mengedipkan sebelah matanya padaku.
Sialan!
Dan aku sekarang terus mengumpat karena Rizka.
"Selama di Inggris kau sepertinya bukan belajar bisnis ya? aku yakin kau di sana belajar bagaimana cara menggoda pria." kataku sinis.
Dia tertawa lepas, tidak tersinggung dengan sindiranku.
"Aku menyelam sambil minum air." Sahutnya sambil mengedipkan matanya padaku. Lalu dia menghabiskan kopinya setelah itu dia menatapku lekat.
"Aku beritahu kau sebuah rahasia Langit." Rizka mendekatkan wajahnya padaku, lalu dia berbisik, "Aku sangat mahir menjepit dan menjilat, dan aku belajar keras untuk itu."
"Fuck!" Aku terkejut bukan main.
"Try me," ucapnya berbisik dengan nada sensual. “On your dreams.” tambahnya.
Lalu dia meninggalkan aku seperti remaja bodoh. Dan aku ingin meledak sekarang.
Aku tiba di rumah Rizka pukul sembilan malam, setelah tadi sore aku menjemputnya dari kantor dan mengantarkannya pulang, dan setelah itu aku pergi sebentar ke markas karena ada urusan yang harus aku selesaikan.
Aku membuka pintu dan langsung menguncinya. Ruang tengah terlihat gelap, hanya berkas cahaya dari lampu luar yang masuk.
Aku mendapati Rizka di ruang tengah sedang menonton televisi dan berbagai makanan, minuman soda serta semangkuk besar es krim di atas meja.
Rizka hanya mengenakan celana pendek dan tank top.
Dia melirikku sekilas, lalu kembali menonton film yang sedang di putar.
Aku duduk di sampingnya, lalu aku membuka sepatuku dan bersandar duduk di kursi.
Dia menyodorkan makanan yang sedang di pegangannya, aku pun mengambilnya dan memasukkan ke mulutku.
"Kenapa lampunya dimatikan?" Aku bertanya sambil memperhatikannya.
"Aku suka mematikan lampu kalau sedang menonton."
Dia mengambil botol minuman soda, lalu meminumnya.
"Kau mau minum?" Dia menyerahkan botol tersebut.
Aku menerimanya dan langsung meneguk minuman soda itu.
"Cerita film ini tentang apa?" Aku juga akhirnya ikut menonton.
"Pembunuhan, penjahatnya Psikopat." Matanya terus ke arah televisi.
"Kau tidak takut melihat film jenis ini?"
"Tidak, aku malah suka. Dan aku juga suka film horor," ucapnya sambil tertawa kecil, lalu mengambil mangkuk es krim dan menyendok es tersebut ke dalam mulutnya.
"Kau kuat sekali makan." Aku meliriknya yang lahap menelan es krim.
"Aku juga hobby makan, tapi lihatlah aku tidak gemuk kan?" Dia mencondongkan badannya padaku.
Aku tidak menjawab dan langsung melihat film yang sedang di putar.
Ruangan yang gelap hanya di terangi cahaya lampu dari teras luar, sedangkan film saat ini menayangkan di mana Si psikopat sedang mengejar korbannya, membuat suasana jadi tegang.
Kami berdua begitu serius menonton film ini.
Si psikopat mengejar korbannya yang seorang perempuan. Aku heran kenapa selalu perempuan?
Sound effect film terdengar mencekam. Suara nafas si korban yang terengah ketakutan membuat suasana semakin tegang. Perempuan pirang di film itu bersembunyi, sedangkan si psikopat berjalan-jalan di sekitarnya mencari si perempuan pirang.
Teriakan si korban yang tiba-tiba karena telah ditemukan si psikopat membuat kami terkejut.
Aku mendengar Rizka di sampingku mengumpat dan aku menoleh padanya.
Tapi kenapa es krimnya tumpah?
"Kau kenapa?" Aku ingin tertawa melihat tampangnya saat ini .
"Film sialan!, aku terkejut karena si pirang sampai es krim ini terlepas dari tangank. Lihat bajuku." dia terlihat marah dan kesal
Aku tertawa terbahak-bahak.
"Kau bilang kau tidak takut."
"Aku memang tidak takut, aku hanya terkejut ! Astaga.. bajuku jadi lengket."
Aku melihat es krim tertumpah di dadanya sampai ke perutnya. Payudaranya tercetak jelas di balik tank topnya. Dan ternyata dia tidak memakai bra!
"Langit, tolong ambilkan aku tissue itu." dia menunjuk tissue di ujung meja.
Aku langsung sadar dan mengambil beberapa lembar tissue lalu menyerahkan padanya.
Aku memperhatikannya yang sedang membersihkan es krim dari tubuhnya.
Sialan!
Es krim sialan!
"Ya ampun, ini benar-benar lengket, aduh.. dingin lagi, minta lagi tissuenya."
Aku kembali mengambil tissue dan menyerahkan padanya.
"Ini benar-benar lengket, aku harus mandi, jangan lupa mematikan televisi kalau kau sudah selesai nonton."
Rizka beranjak pergi tapi bukan ke kamarnya, tapi ke arah belakang. Aku mengikuti dengan mataku ke mana dia pergi, dan ternyata dia ke kolam renang!
Malam-malam dia berenang!
Aku langsung mematikan televisi dan menyusulnya ke belakang.
"Kau mau berenang malam-malam begini?" aku bertanya sambil berkacak pinggang, dia terkejut karena aku tiba-tiba mengikutinya.
Lalu dia tersenyum. "Aku kan memang suka berenang pada malam hari."
Dia langsung membuka tank topnya dihadapanku, dan payudaranya langsung terpampang tanpa tertutupi apa pun!
Aku menelan ludahku sseperti seorang seorang yang pertama kali melihat payudara. Dan aku sudah sering melihat payudara!
Dia membuka celana pendeknya, dan sekarang dia hanya mengenakan celana dalam berenda tipis dan kecil, dan celana itu seolah-olah mengejekku.
Dia berjalan ke arah kolam renang, bokongnya bergoyang mengoda saat dia berjalan. Rizka tidak memperdulikan kehadiranku, seolah-olah aku tidak ada di sana.
Rizka berjalan masuk ke kolam renang, cahaya bulan berkilau di permukaan air kolam itu, dan saat Rizka berdiri di bagian kolam yang hanya sebatas pinggang, dengan rambutnya yang tergerai panjang membuatnya terlihat sangat indah, kulitnya berkilau terkena pantulan cahaya air kolam. Dia seperti dewi malam saat ini.
Dan sang dewi tiba-tiba berenang dan masuk menyelam ke dalam air.
Sedangkan aku seperti orang idiot menunggu sang dewi muncul ke permukaan.
Aku melihatnya bergerak di dalam air yang jernih itu. Dan sekarang dia berenang ke arahku. Tepat saat mencapai pinggir kolam yang dangkal, dia muncul, lalu berdiri dan berjalan perlahan-lahan, sambil menatap mataku.
Rambutnya yang basah dan tubuhnya yang basah, berkilau terkena cahaya, payudaranya yang padat, besar dan indah berayun lembut menggodaku.
Tetesan air jatuh dari tubuhnya, perutnya yang datar dan kulitnya yang berkilau membuatnya sangat indah dan misterius.
Aku seperti terhipnotis. Aku membuka pakaianku dan hanya memakai celana dalamku, lalu aku masuk menyusulnya ke dalam kolam. Dia berdiri menungguku.
Sekarang Kami berhadap-hadapan dan saling memandang.
Tiba-tiba dia kembali masuk menyelam ke dalam kolam, lalu aku menyusulnya dan kami saling mengejar di dalam kolam.
Aku berusaha menggampainya, tapi dia bisa menghindar dengan gesit, si dewi penggoda memang hebat berenang.
Kami naik ke permukaan, nafas kami terengah-engah, karena terlalu lama di dalam air.
"Satu putaran lagi, siapa yang paling lama bertahan di dalam air dia lah pemenangnya."
Dia berujar seolah kami tadi ada membuat perlombaan.
"Dan apa hadiah untuk pemenang?" aku bertanya.
"Pemenang bebas meminta apa saja."
Tantangan penuh godaan, dan aku ingin memenuhi tantangan ini.
"Oke."
Lalu dia mulai menghitung, dan kami kembali menyelam ke dalam kolam.
Aku bertahan dalam dua putaran, hingga akhirnya aku menyerah. Aku keluar dan menuju pinggir kolam.
Aku bersandar di pinggir kolam, nafasku terengah-engah, tidak lama sang dewi penggoda muncul keluar dari air dengan nafas terengah dan tersenyum penuh kemenangan.
Aku kalah.
Dia menyusulku ke pinggir kolam, dia berenang dengan sangat indah seperti kupu-kupu.
"Aku menang." Katanya bangga dan dia sekarang berdiri di hadapanku dengan payudara yang menggantung indah berkilau.
Aku mencengkeram tubir kolam menahan gejolakku yang rasanya ingin meledak.
"Apa yang ingin kau minta?" Aku langsung bertanya karena dia lah pemenangnya.
"Hadiahnya tidak harus malam ini kan? Aku mau mengumpulkan poin dulu. Bagaimana menurutmu?"
"Terserahmu saja."
Tiba-tiba tangannya menyentuh dadaku dan membelai pelan ke arah putingku.
"Kapan kau menindik ini?" Dia membelai tindik di dadaku.
Darahku berdesir hebat, nafasku tiba-tiba tersengal, mataku berkabut karena gairah.
Aku mengendalikan diriku.
"Saat kuliah di Amerika."
"Oh." Dia bergumam pelan.
Dewi penggoda ini benar-benar menyiksaku.
Dia menatap mataku sedangkan tangannya masih membelai putingku yang tertindik dengan jarinya.
"Apakah sakit kalau aku menyentuhnya?" dia bertanya dengan wajah polos.
"Tidak." aku menjawab dengan nafas tertahan.
"Tindik ini sangat seksi." Lalu dia mendekatkan mulutnya ke mulutku dan berbisik pelan. "Aku suka tindikmu Spartan."
Aku mendesah dan mencengkeram kuat pinggir kolam, karena kalau aku melepas pegangannku, maka aku tidak akan bisa menghentikan diriku saat ini.
Lalu dia menunduk dan menjilat putingku yang ditindik.
"Rizka." Aku menahan nafasku.
Dia memandangku, lalu kembali menjulurkan lidahnya menjilat tindikku.
Aku menggenggam rambutnya yang panjang dan menarik wajahnya menengadah ke arahku.
"Jangan menggodaku." Aku membelai bibirnya dengan jariku.
Dia tersenyum dan menghisap dua jariku yang membelai bibirnya.
Sialan!!
Dia merapatkan tubuhnya padaku, payudaranya yang padat dan lembut menekan dadaku, lalu dia menggesekkan payudaranya ke putingku yang di tindik.
"Bagaimana menurutmu kalau aku menindik puting payudaraku?" Dia bertanya malu-malu.
"Jangan! Jangan coba-coba, siapapun tidak boleh menyentuh payudaramu!"
"Kalau kau yang menyentuhnya?" dia berbisik di mulutku.
Aku menggeram.
"Semoga Tuhan mencabut nyawaku setelah ini." aku langsung menciumnya, dan memeluknya erat, dia juga membalas ciumanku.
Aku memutar tubuhku, sekarang dia yang bersandar di pinggir kolam. Aku meletakkan kedua tangannya di pinggir kolam.
"Lihat aku gadis nakal." Dia menatapku dengan mata sayup dan membusungkan dadanya, nafasnya yang terengah membuat payudaranya naik turun.
Aku menyentuh puting payudaranya.
"Ini bukan untuk di tindik, tapi untuk di sentuh seperti ini." Aku melingkari putingnya dengan jari telunjukku, lalu kutekan pelan dan kujepit dengan jariku lalu menariknya lembut.
Dia mendesah dan memejamkan matanya.
"Dan Ini bukan untuk ditindik, tapi diperlakukan seperti ini." aku menundukkan kepalaku dan menjilatnya pelan dengan melingkar, ujung lidahku menekan putingnya, lalu aku menghembusnya pelan.
Dia semakin melengkungkan tubuhnya. Aku pun langsung menjilat payudaranya. Aku menghisap kuat payudaranya di bagian atas, dan aku meninggalkan tandaku di sana. "Dan ini harus aku tandai agar siapa pun tidak bisa menyentuhnya."
Lalu aku melahap payudaranya bergantian, jarinya menyusup ke dalam rambutku. Dan aku memegang kedua payudaranya dan meremasnya, lalu kumasukkan ke mulutku.
Tiba-tiba kakinya melingkar di kakiku, aku memegang bokongnya dan mengangkatnya. Kejantananku yang bengkak tepat di depan intinya yang terasa hangat walau kami sekarang di dalam air.
Dia mengalungkan tangannya di leherku, kami berciuman seperti orang kelaparan.
Aku menjauhkan wajahku, kami saling menatap, aku menekan bokongnya sehingga pusat diri dalam saling merasakan dibalik celana kami.
"Kau mau kita keluar?" Aku bertanya.
Dia mengangguk.
Kami keluar dari kolam, dan aku masih menggendongnya.
Aku membawanya ke kamarku. Sesampainya di kamar dia melepas kakinya dari pinggangku dan kami kembali berciuman sambil berdiri.
Kami berciuman seolah tidak ada hari esok.
Aku turunkan celananya, begitu juga sebaliknya. Kami sama-sama telanjang, aku menjatuhkan tubuh kami di atas tempat tidur, kami masih saling berciuman.
Nafsu menguasai kami, saat aku menatap matanya yang tulus menatapku, kesadaran menghantamku.
"Kau mau kita melakukannya sayang?" aku bertanya lembut.
Dia mengangguk dengan wajah memerah.
"Kalau begitu kita harus menikah, aku akan bicara pada keluarga kita." Aku tahu ini keputusan yang gila, tapi aku tidak bisa melakukan ini tanpa komitmen dengan Rizka. Dia tidak sama dengan perempuan-perempuan yang kubayar selama ini memenuhi kebutuhan seksku.
Tiba-tiba dia mendorongku, dia langsung berdiri dengan tubuh telanjang.
"Menikah?!" dia terbelalak terkejut.
"Iya, kita harus menikah untuk melakukan ini." Aku menatapnya serius.
"Kau tidak sama dengan perempuan-perempuan tolol yang aku bawa selama ini ke ranjangku Rizka, jadi kita harus dalam ikatan komitmen melakukan ini." Aku melanjutkan.
"Aku tidak mau menikah." Katanya dengan suara bergetar. "Dan kenapa kita harus menikah Langit?"
Aku terkejut dengan penolakannya.
"Karena kau dan aku sama-sama tertarik dalam gairah ini Rizka."
"Aku tidak mau menikah." dia membalas tatapanku.
Aku terkekeh.
"Jadi kau hanya ingin bermain kan?"
"Siapa yang bermain?!" dia melotot padaku.
"Kau terus menggodaku, di pesta Papi, tadi pagi dan malam ini." Aku mengangkat alisku.
"Aku tidak menggodamu, kau yang menyusulku masuk ke dalam kolam itu." Dia melawan dengan tidak yakin.
Aku mendengus.
"Kau melakukan hal-hal provokatif padaku, semua laki-laki sehat pasti akan melakukan apa yang aku lakukan tadi."
Wajahnya merah, lalu dia mengangkat wajahnya tinggi menantangku.
"Kalau begitu, itu karena kau sehat!, bukan karena aku menggodamu! kenapa kau selalu menuduhku? padahal kau yang tidak bisa mengendalikan dirimu!" Suaranya meninggi.
Benar, aku yang tidak bisa mengendalikan diriku, aku menjadi merasa bersalah.
"Maafkan aku, maksudku_"
"Aku tahu maksudmu, aku yang menggodamu jadi aku yang salah." Dia menyelaku, dan terlihat seksi sekaligus menggairahkan saat dia marah.
Aku mendekatinya.
"Jadi kau tidak mau menikah?"
"Tidak." Dia menatapku yakin.
"Jadi kita akan terus terbakar seperti ini tanpa komitmen?"
"K-kalau begitu kita harus menjaga jarak." Suaranya terdengar kurang yakin.
Aku tersenyum.
"Rizka, sebulan kedepan aku akan menjagamu, dan kita belum sampai dua hari bersama, kau lihat kan apa yang terjadi antara kita?" dia diam.
"Aku yang akan bicara pada Papi, Ringgo dan Opa." Aku melanjutkan.
"Kita belum melakukan apa-apa!, untuk apa kau bicara pada mereka?" Rizka membentakku.
"Banyak yang sudah kita lakukan Rizka." Jawabku sambil terkekeh.
"Tidak! aku__" tiba-tiba pintu terbuka.
"Lang, apa kalian _" Ronan berhenti berbicara.
Ringgo dan Ronan berdiri di pintu dengan mata terbelalak melihatku dan Rizka di kamarku.
Dan kami masih telanjang.
Sempurna!
"What the hell !!" Ringgo berteriak dan ingin menerjangku tapi langsung di tahan Ronan.
"Pakai baju kalian!" Ronan menarik Ringgo menjauh dari pintu.
"Lepaskan aku Roe!" Ringgo berteriak dan memukul Ronan.
Aku langsung menutup pintu dan menguncinya, pintu di gedor dan di tendang, Ringgo memakiku dari luar.
Rizka mematung, terlihat pucat dan terkejut.
Aku langsung memeluknya. "Aku akan mengurusnya Sayang."
Aku tiba di rumah Rizka pukul sembilan malam, setelah tadi sore aku menjemputnya dari kantor dan mengantarkannya pulang, dan setelah itu aku pergi sebentar ke markas karena ada urusan yang harus aku selesaikan.Aku membuka pintu dan langsung menguncinya. Ruang tengah terlihat gelap, hanya berkas cahaya dari lampu luar yang masuk.Aku mendapati Rizka di ruang tengah sedang menonton televisi dan berbagai makanan, minuman soda serta semangkuk besar es krim di atas meja.Rizka hanya mengenakan celana pendek dan tank top.Dia melirikku sekilas, lalu kembali menonton film yang sedang di putar.Aku duduk di sampingnya, lalu aku membuka sepatuku dan bersandar duduk di kursi.Dia menyodorkan makanan yang sedang di pegangannya, aku pun mengambilnya dan memasukkan ke mulutku."Kenapa lampunya dimatikan?" Aku bertanya sambil memperhatikannya."Aku suka mematikan lampu kalau sedang menonton," jawabn
RizkaMenikah? Langit tiba-tiba mengajakku menikah!,yang benar saja? Aku akui sebenarnya ini hanya balas dendam kecil karena sakit hatiku padanya, dan aku tadi hampir kehilangan keperawananku karena aku terjebak dalam permainanku sendiri, dan untungnya Langit masih bisa mengendalikan dirinya.Ini benar-benar kebodohanku, tapi menikah dengan Langit tidak masuk dalam rencana pembalasan ini, harusnya ini pembalasan sempurna, tapi karena kedua kakakku sudah memergoki kami, semuanya jadi berantakan.Tentu saja aku akan sangat bahagia kalau aku menikah dengan Langit, tapi bukan dengan cara seperti ini.Langit mengambil pakaiannya dari koper yang dia bawa tadi sore saat mengantarkan aku, dia juga mengambil pakaiannya untukku, dan dia memakaikan kemejanya padaku dan juga celana boxer miliknya saat kami harus keluar dari kamar ini.Sialan!Baju kami berdua ternyata masih tergeletak di pinggir kolam renang."Bajingan kau!" Kaka
LangitDulu kau berlutut dikakiku, untuk mengharap cintakuhingga terbuka pintu hatiku tuk menerima cintamutapi setelah aku jatuh cinta padamuengkau begitu mudah melupakan dirikuSurga yang engkau janjikanneraka yang kau berikanmanis yang aku harapkanpahit yang aku rasakan"Asikkk ... Geboyyyy ...!"Lagu sialan! Pasti Stephen yang memutar lagu dangdut."Stephen!" Aku berteriak memanggil salah seorang anak buahku dari ruang kerjaku di dalam gudang markas kami tapi tidak ada sahutan dari dia.Lagu dangdut itu terus mengalun."Stephen!" Aku kembali berteriak manggilnya.Tiba-tiba Stephen si bocah biang rusuh di timku muncul di depan pintu. "Iya Boss?" dia menyengir lebar."Matikan speaker itu! Sekarang juga!" perintahku marah,"Kenapa Bos? Itu kan
Rizka"Mbak Rizka, perkenalkan ini Suci Faranda, dia yang akan mendampingi, Mbak Rizka, selama mempelajari semua administrasi perusahaan ini dan Suci juga akan menjadi asisten Mbak Rizka ke depannya." Salah satu manager departemen di perusahaan kami dimana aku akan di tempatkan, memperkenalkanku pada seorang gadis cantik yang tersenyum ramah padaku."Terima kasih, Ibu Angel," jawabku sambil tersenyum sopan. Lalu manager itu permisi dan meninggalkan kami berdua di ruanganku yang baru."Hai, namaku Rizka, tolong bimbingannya ya, aku baru bergabung di perusahaan ini." Aku menyapa asisten baruku tersebut.Tadi pagi Opa meneleponku dan memberitahu kalau aku akan memiliki asisten pribadi, walau pun sebenarnya aku merasa tidak perlu karena aku masih dalam tahap belajar. Dan aku sebenarnya belum mendapatkan posisi yang jelas di perusahaan Opa, karena aku masih mempelajari semua bagian-bagian yang ada di perusahaan."Baik, Ibu Rizka. Saya S
"Selamat pagi Mbak? Kopi atau teh?" Ternyata Stephen sudah di dapur saat aku siap-siap akan berangkat ke kantor."Kopi, please, no sugar.""Siap, Mbak."Aku memandang Stephen yang sedang menyiapkan kopi untuk kami, rambutnya masih lembab karena sehabis keramas, memakai T-shirt dan celana jeans, tiba-tiba aku ingat beberapa hari yang lalu Langit disini menyiapkan kopi untuk kami."Mbak Bos! Mbak!"Stephen menyadarkanku dari lamunanku."Eh, iya?""Ini kopinya, jangan melamun, Mbak, masih pagi ini."Aku menunduk memandang kopi hitamku, aromanya benar-benar harum."Kenapa lagi Mbak? Masih kepikiran, si bos, ya?" Stephen memandangku sambil meminum kopinya."Stephen, apa Langit punya pacar?""Setauku sih nggak ada, Mbak , tapi si bos kan jarang di sini, jadi aku nggak tau kalau di luar dia punya pacar."Aku memutar jariku di permukaan gelas kopiku. "Hmm ... bagaimana ya
LangitAku melihat di layar ponselku nama sahabatku Rafael, saat ponselku berdering."Halo, Raf ....""Lang ... Fabrizio De Palma dibunuh tadi malam.""Apa?! Bagaimana bisa?""Dia di bunuh di kamar hotel tempatnya menginap yang berlokasi di kawasan Mekong River, dan aku baru sampai di Phnom Pehn dari Sihanouk.""Astaga ... Apa kalian sempat bertemu?""Ya, dua hari yang lalu aku akhirnya menemukan dia di Sihanouk ville, dan sore harinya dia kembali ke Phnom Pehn. Sebenarnya aku sudah melarang dia hari itu pergi, tapi dia bersikeras untuk pergi.""Dan kenapa menurutmu?""Menurutku itu adalah pengalihan, Lang, dia sengaja menghindariku. Fabrizio memberiku sebuah chip dan dia mau chip ini selamat.""Chip?""Iya, chip ini lah yang membuat Fabrizio menjadi target, itu yang menyebabkan dia di bunuh. Dan di kamar hotelnya aku menemukan Purple Paper.""P
Dorr ...!! Dorr ...!! Dorr ...!! Tembakan itu tidak berhenti. "Stephen!" Aku berteriak melihat tubuh Stephen yang terus di terjang peluru. Di mana senjataku?! Aku harus menyelamatkan Stephen. "Bos ...." Stephen memanggilku lirih dan menatapku sendu, darah keluar dari mulutnya. Tembakan itu masih tidak berhenti. "Langit ...." Aku terkejut mendengar suara lirih yang memanggilku. Aku berbalik ke arah suara dan kulihat Rizka berdiri di lantai ruangan yang gelap dan pengap menatapku sedih. Tidak!Aku berusaha lari menghampirinya tapi kakiku tidak bisa bergerak. "Langit, aku−" Sekarang tembakan bertubi-tubi menerjang tubuhnya. Rizka ...!!Tolong ... siapa pun tolong. Ya Tuhan, aku tidak bisa bergerak!Tubuhnya sekarang jatuh ke lantai, seluruh tubuhnya berlumuran darah, dia menatap
Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya sambil menatap keluar, malam ini langit di penuhi bintang. Seorang wanita tiba-tiba memeluknya dari belakang, dan mencium punggungnya yang telanjang. "Kau sedang apa?" Dia bertanya lembut, lalu Pria itu membalikkan tubuhnya dan memeluk wanita tadi, yang adalah istrinya. "Apa Maxim sudah tidur?" Suaminya bertanya sambil menciumi pipi istrinya. "Sudah, dia persis seperti Papanya, terlalu banyak energi," jawab istrinya sambil tertawa."Kau pasti lelah Sayang , seharian menjaga jagoanku," kata pria itu sambil memijat bahu istrinya dan mencium bahu itu mesra. "Kau harus melihatku." Pinta Istrinya manja. "Tentu saja Sayang, segalanya hanya untuk tuan putri." Suaminya mengangkatnya dan membawanya ke tempat tidur. &
Langit Berita kematian Dharma dan Panji Adhiyaksa semakin menggegerkan negeri ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pistol yang ditemukan di tangan keduanya, menunjukkan seolah-olah mereka berdua bunuh diri. Spekulasi pun bermunculan. Mungkin karena malu, mereka memilih bunuh diri. Tapi tidak sedikit juga yang berasumsi kalau mereka sengaja di bunuh. Tentu saja berita bunuh diri itu bohong. Dharma bukan orang yang mudah putus asa sehingga harus membunuh dirinya sendiri dan mengajak putranya melakukan hal bodoh itu. Sudah jelas mereka di bunuh. Pihak kepolisian dikecam. Bagaimana mungkin kedua ayah anak itu lolos membawa senjata ke dalam tahanan. Atau bagaimana mereka mendapatkan senjata itu? Kalau mereka dibunuh, siapa yang melakukannya? Namun masyarakat kebanyakan tidak peduli pada kematian para Adhiyaksa itu. Kalau pun mereka hidup, tidak ada yang bisa menjamin mereka akan mendapat hukuman yang setimpal kejahatan mereka melihat bagaimana kondisi keadilan di negeri ini. Tidak ada
Joachim Bameswara menoleh ke arah pintu ruang tahanannya saat seorang penjaga penjara mengetuk pintu. "Ada tamu untuk, Bapak," kata si sipir penjara. Joachim Bameswara, seorang mantan Menteri Pertahanan yang juga seorang Jendral dari militer Angkatan Darat republik Indonesia itu mengangkat wajahnya tinggi, ingin menunjukkan dia masih harus disegani.Tentu saja sipir penjaga itu takut padanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya yang empuk, dan mematikan televisi yang sedang dia tonton. Sudah bukan rahasia lagi kalau di negara ini, tahanan dari pejabat pemerintahan mendapat pelayanan eksklusif. Kamar tahanan yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dan televisi, bahkan fasilitas mewah lainnya. Membuat para tikus-tikus penjahat berdasi itu tidak akan pernah kapok dengan kejahatan mereka. Fasilitas itu juga yang di dapatkan oleh Joachim Bameswara dan Keluarga Adhiyaksa yang saat ini juga sedang di tahan.
Dharma langsung menatap Boots angkuh menutupi keterkejutannya. "Jadi kau ingin balas dendam padaku?" Dharma tertawa mencemooh. "Ibumu hanya anak haram tak berarti, dia dan ibunya sama-sama murahan, dia pantas diperkosa. Dan aku sangat menikmatinya saat melakukan itu." Pria itu menyeringai bak iblis.Boots tersenyum. "Sepertinya tidak akan ada acara haru biru di antara kita ... Ayah." Boots menekan kata ayah dengan nada jijik.Dharma kembali tertawa sampai wajahnya terangkat keatas. Lalu memandang Boots rendah. "Kau pikir aku sudi mengakuimu sebagai anak?" Dia meludah.Boots mengangkat bahunya. "Kalau begitu, aku akan jadi anak durhaka sepertinya." Boots pura-pura sedih."Apa maksudmu?"Boots tersenyum. "Bukti kejahatanmu dan putramu sudah di tanganku selama ini, dan sudah kuserahkan pada Langit, anak Alfredo. Jadi walaupun kau membunuhku malam ini, kau akan tetap hancur
"Lang, berita sudah viral walaupun banyak juga yang tidak percaya, karena yang menyebarkan namanya tidak jelas," kata Clara tertawa saat kami di ruang kerjaku."Tidak masalah yang kita mau reaksi Dharma""Jadi apa rencana kita selanjutnya?" Dia bertanya lagi.Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka dan kami terkejut melihat siapa yang datang. Walau pun aku sudah menduganya."Kalian punya kopi?" Boots masuk dengan tenang dan langsung duduk, lalu meletakkan amplop cokelat besar dan tebal di hadapanku."Kopi segera datang," jawab Clara antusias dan langsung memesan pada anak buahku."Jadi semua ini rencanamu?" tanyaku tajam.Dia mengangkat bahunya. "Semua bukti kejahatan Dharma dan anaknya ada di situ." dia menatapku sambil menunjuk amplop."Dan kau ..." Dia melirik Clara. "Jangan mempublikasikan ini sebelum
Langit Kami tiba di Jakarta tadi malam, dan pagi ini, aku, Jack dan Clara duduk bersama di ruang kerjaku.Stephen masih kutugaskan untuk menjaga Rizka. Walaupun sekarang Ronan yang mengambil alih perusahaan keluarga, tapi Rizka masih tetap bekerja."Jack, aku melihat Baron kemarin di club, dia yang menolong kami keluar.""Baron adalah belahan jiwa Boots setelah Stephen. Kau mengerti maksudku kan?" jawab Jack"Berarti yang mengirim pesan padaku adalah Boots." Aku bergumam.Jack hanya menatapku. "Ngomong-ngomong , aku sudah memeriksa berkas yang ada pada Clara" Jack meletakkan beberapa kertas yang dijepit jadi satu."Dokumen-dokumen ini adalah surat pernyataan persetujuan Presiden untuk ekspor minyak besar-besaran ke luar negeri, tapi menurut informanku di dalam istana, pengeksporan minyak dibatalkan , karena kuota di dalam negeri bisa mi
"Tolong antar ke kamarku susu dan madu! sekarang!"Aku langsung mematikan telepon kamar setelah meminta room service mengantar pesananku. Susu dan madu akan membantu menetralisir obat perangsang yang terminum oleh Rizka."Lang ... panas, akuuhhh..." Dia sekarang melenguh sambil menggosok-gosokan badannya dengan tangannya dan menghampiriku."Rizka−" Dia langsung menciumku dengan ganas sambil menggosok-gosokan tubuhnya di tubuhku.Sialan!Dia memelukku erat, pupil matanya membesar, nafasnya memburu. Tubuhnya panas. Dan sekarang dia menggesekkan dirinya padaku.Holy shitAku menarik wajahnya dan memperhatikan apa yang dia rasa. Rizka tersiksa. Aku lebih tersiksa. Nafasnya semakin memburu. Kuhusap pipinya dengan lembut. Ketukan pintu terdengar, aku mendorong tubuh Rizka pelan, lalu membuka pintu. Room service membawa s
Rizka Aku terbangun dan badanku semua sakit juga pegal. Kepalaku juga pusing dan rasanya aku ingin muntah."Wah, sepertinya reaksi obat itu tidak terlalu baik untukmu sleeping beauty."Suara laki-laki?Aku menoleh ke suara tersebut.Seorang pria bertubuh tinggi, tidak terlalu besar tapi berotot, umurnya kira-kira di atas dua puluh lima tahun dan tampan berdiri memandangku sambil tersenyum."Namaku, Baron." Dia memperkenalkan dirinya.Aku menggerakkan badanku. Ternyata kedua tangan dan kakiku di ikat dengan rantai di empat sisi tempat tidur. Dan baju yang kupakai masih dressku tadi malam.Di mana aku?Siapa pria ini?Terakhir aku berada di pesta Cameron, lalu aku ke toilet dan tiba-tiba gelap. Aku yang baru sadar dan juga pusing membuatku masih bingung dengan situasi sekarang.
Saat ini aku sudah di rumah opa bersama semua keluarga Tahitu.Kami semua duduk di kursi ruang tengah dan suasana terasa tegang. Ayahku terlihat sangat marah tapi memilih tidak banyak berkomentar dan tidak berusaha menyalahkan siapa pun.Mami Jenia yang terus menangis, Ringgo yang memandangku dengan tatapan membunuh tapi memilih bersikap bijaksana tanpa memperkeruh keadaan.Ronan yang masih dalam proses pemulihan juga memilih tidak berkomentar. Sedangkan opa, dia terlihat bingung, dan merasa bersalah, bersamaan juga kelihatan marah."Jadi sekarang ini Rizka di Inggris?" Ringgo bertanya setelah aku menceritakan surat kaleng yang dikirim tadi pagi padaku."Bisa, ya, bisa, tidak, kami sudah mencari keberadaan Rizka di sini, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sini." Aku menjelaskan padanya."Jadi pesta apa yang dimaksud dalam pesan itu dan apa hubu
"Adikmu Rizka akan di bawa ke Yorksire, Inggris, untuk upacara Paradise party di festival minggu ini dan dia akan dijadikan budak sebagai korban persembahan untuk acara itu"Aku meremas kertas yang berisi pesan yang ditemukan anak buahku tadi pagi di halaman markas. Aku mengambil pistolku dan berjalan ke arah pintu ruanganku."Kau mau ke mana?" Jack menahanku saat aku membuka pintu. Dia baru tiba bersama dengan Clara."Aku akan membunuh Boots sekarang juga," ucapku geram."Kau jangan gila Langit, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan kemarahan. Kita harus hati-hati bertindak." Jack mendorongku masuk kembali ke ruang kerjaku.Aku melemparkan kertas pesan tadi pada Jack."Menurutmu ini dari Boots?" Jack menatapku setelah membaca isi pesan itu.Aku terdi