Rizka
Ponselku berdering, saat aku tiba di rumah. “Halo?“"Rizka, Kakak akan menjemputmu nanti malam jam tujuh." Panggilan kami terputus tanpa menunggu jawabanku. Sebelumnya, tadi siang Langit menghubungiku dan memberitahu kalau Opa meminta kami berdua datang ke rumahnya. Kakak? kakak apa yang mencium adiknya penuh nafsu?Aku tidak tahu apa yang ingin Opa bicarakan pada kami, dan kenapa harus bersama Langit?Aku melihat jam menunjukkan pukul enam. Aku langsung mandi dan bersiap-siap. Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku memakai riasan tipis. Ponselku berdering, aku mengangkatnya. "Kakak, di depan rumah, kau keluar sekarang." "Oke." Laki-laki ini, selalu menganggap dirinya berkuasa, memerintahku seperti anak kecil. Aku menatap diriku di cermin memastikan penampilanku. Aku memakai dress lace bermotif bunga dengan tali spageti berwarna mmerah maroon, dan aku menggerai rambutku. Lalu aku mengambil tas tangan kecil dan aku pun keluar dari kamarku, lalu turun ke bawah menemui Langit. Aku tinggal di salah satu rumah Papi, aku tidak suka tinggal di apartemen. Aku suka rumah ini karena memiliki kolam renang, dan aku bisa kapan saja melakukan hobby berenangku. Aku membuka pintu rumah dan menuju mobil Langit yang terparkir di teras rumah. Matanya menatapku seperti elang, aku mengendalikan diriku supaya tidak gemetar karena gugup. Cara Langit melihatku seolah-olah ingin melahapku . Kena kau Spartan!Dia membuka pintu mobil untukku. "Terima kasih," ucapku lalu masuk ke dalam mobil, dan dia menutup pintu lalu memutari mobil dan masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya. Aku merasa gerah, sudah jelas air conditioner di dalam mobil ini sangat dingin, tapi keberadaan Langit di sampingku membuatku gerah. "Bisa memutar musik?" Aku bertanya. "Silahkan." Langit menjawab kaku. Ya Tuhan perjalanan ini akan terasa panjang sampai ke rumah Opa. Aku memutar frekuensi radio, dan memilih saluran. Tanganku terhenti saat radio memutar lagu Send in the clowns, dari Judy Colins. "Jangan ganti lagu itu." Langit langsung reflek menghentikan tanganku. Dan saat tangan kami bersentuhan aku seperti terkena sengatan aliran listrik. Kami kembali diam. "Kau tahu kenapa Opa memanggil kita?" tanyanya padaku. Aku mengangkat bahuku. "Aku pikir kau tahu." Langit menggeleng. Lalu dia menatapku dari atas hingga bawah. "Kenapa kau memakai dress ini?" Dia tiba-tiba bertanya dan aku terkejut karena pertanyaannya. "Karena aku suka." Aku menjawab dengan tenang. "Aku tidak suka,” katanya ketus. "Dan kenapa aku harus memikirkan apa yang tidak kau sukai?" Aku menatapnya pura-pura bingung. "Ya, benar." Langit mengatupkan rahangnya, dan aku tersenyum dalam hati. Lihat, siapa yang terbakar sekarang. Dia berdehem. "Rizka yang kemarin malam antara kita, Kakak harap kau tidak salah paham." "Aku tidak salah paham, dan tidak usah menyebut dirimu Kakakku, karena tidak ada seorang kakak yang mencium bibir adiknya rakus, dan menjilat leher adiknya penuh nafsu." "Kau juga menikmatinya dan memberiku izin." Langit menatapku lalu kembali fokus memandang jalan. Aku tertawa mengejek. "Tipikal laki-laki, suka cuci tangan dari perbuatannya." Aku menyipitkan mataku menatapnya. "Dan aku sepertinya tidak menyinggung ciuman kita kemarin malam, kau yang memulai, tapi kenapa aku merasa seolah-olah aku yang dipersalahkan di sini." Dia terlihat gusar. "Bukan begitu maksudku. Aku-" "Langit, tadi malam kita sama-sama menikmati ciuman itu, dan aku senang kali ini kau tidak kesakitan karena tidak ada lagi kawat gigi, jadi hal ini tidak perlu di bahas lagi dan kau bukan, kakakku." Aku memotongnya perkataannya. Dia bergumam sesuatu yang tidak bisa kudengar. Lampu merah membuat mobil kami berhenti. "Rizka, perkataanku yang dulu ...," "Lupakanlah, kita sekarang sudah memiliki hidup masing-masing," ucapku kembali memotongnya, kenapa sih dia malam ini?Dia tidak lagi bersuara, lagu Judy Collins sudah diganti oleh lagu lain. Lampu hijau menyala dan mobil bergerak berjalan. Kami terus diam sepanjang jalan hingga sampai ke rumah Opa."Silahkan masuk Mas Langit, Mbak Rizka, Bapak sudah menunggu dari tadi." Asisten pribadi Opa langsung menyambut kami di pintu. Kami tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dan kami pun memasuki rumah Opa, dan Opa sudah menunggu kami di ruang tamu. "Kau cantik sekali sayang." Opa mencium pipiku. "Thanks Opa." Aku menjawab sambil tersenyum. "Dan kau anak muda, kau jarang datang ke sini mengunjungimu. " Opa memeluk Langit sambil menepuk punggungnya. "Kalian ini, sama seperti Papi kalian yang tidak peduli padaku." Opa mendengus. "Kalian berdua juga mirip Opa." Langit menjawab sambil tertawa. Opa hanya tertawa. Rambut putihnya masih terlihat tebal. Wajah opa tetap terlihat berwibawa seperti dulu. Membuat siapa pun berpikir dulu sebelum bicara dengannya. "Kita makan dulu, setelah itu kita berbincang-bincang," ucap opa. Kami pun makan malam sambil mengobrol ringan, sedangkan aku dan Langit sedikit kaku, semoga opa tidak curiga. Selesai makan, kami menuju ruang tamu, opa yang sudah hampir berusia sembilan puluh tahun masih terlihat sehat. "Kalian pasti penasaran kenapa, opa, memanggil kalian bukan?" kata Opa sambil meminum teh Hijaunya. Aku dan Langit mengangguk. "Langit, Opa dengar kau yang mengurus yang kasus menantu keluarga Soetedja."Langit mengangguk. "Iya, Opa." "Peristiwa itu benar-benar mengerikan, semoga istri Abraham cepat pulih. "Opa menarik nafasnya dalam. Lalu Opa menatap Langit serius. "Langit, sekarang ini orang gila semakin banyak berkeliaran dan mereka kelihatan normal, siapa yang menyangka kalau Daniel Fukada bisa melakukan hal gila seperti itu." Langit mengangguk dan kami sama-sama menunggu kemana arah pembicaraan opa. "Jadi tujuan Opa meminta kalian datang ke sini, Opa ingin kau menjaga adikmu Rizka." Aku terkejut, begitu juga dengan Langit. "Maksud, Opa?" Aku bertanya bingung. "Langit akan menjagamu selama dua puluh empat jam. Opa tidak mau kau mengalami kejadian seperti istri Abraham," kata opa padaku. "Opa aku tidak bisa, besok aku harus berangkat ke Moskow, pekerjaanku menungguku di sana, dan apa yang menimpa istri Abraham Soetedja tidak ada hubungannya dengan Rizka." Langit menjawab tegas dan menatap opa lekat. "Iya, Opa, aku tidak perlu dijaga oleh siapa pun," kataku menambahkan. Ini benar-benar kejutan. "Jadi kau lebih mementingkan pekerjaanmu daripada keselamatan adikmu?" Suara opa mulai meninggi dan menatap Langit marah. Langit terlihat gelagapan. "Opa, Rizka baru tiba di sini, dan tidak ada yang mengancam keselamatannya." Dia berusaha menjelaskan sambil memandangku. Aku memasang ekspresi tidak tahu apa-apa. Aku memang tidak tahu rencana Opa!"Benar, Opa, ini terlalu berlebihan.” Aku menambahkan. Ini adalah kesempatan bagus untuk menaklukkan si Pria sombong ini, dan aku tidak boleh terlihat kentara mengambil kesempatan dalam situasi ini. "Begini saja, Opa, aku akan mengirim orang terbaikku untuk menjaga Rizka kalau Opa kuatir keselamatannya." Opa menghentakkan tongkatnya ke lantai dan membuat kami terkejut. "Opa, mau kau yang menjaga adikmu! Kau kirim saja orang terbaikmu itu ke Rusia! "Opa melotot marah pada Langit. "Opa-" Opa menatapku sengit, aku langsung menutup mulutku. Lanjutkan Opa!"Langit, opa menyekolahkanmu ke Amerika untuk bisnis, tapi di sana kau malah ikut gengster entah apapun namanya, dan saat sekolahmu selesai, kau tidak mau bergabung di perusahaan Opa. Tetapi selama ini, opa diam saja dan tidak memaksamu. Tapi kali ini, opa memaksamu untuk menjaga adikmu." Opa memandangnya penuh intimidasi. "Opa, memberimu waktu sebulan menjaga adikmu, kalau semua baik-baik saja, kau bisa pergi dan mengirimkan orangmu untuk menjaganya." Opa menarik nafasnya dalam."Aku berulang kali ingin dibunuh orang-orang dalam saingan bisnisku Langit, dan Rizka sekarang target mereka. Tadinya, opa akan menjual perusahaan keluarga kita karena di antara kalian tidak ada berminat, tapi setelah Rizka mau bergabung dan mengurus perusahaan ini kelak, rencana opa berubah, dan pasti banyak yang tidak menyukai keputusan opa ini. Dan Rizka akan menjadi target."
"Belum lagi ancaman lain yang tidak bisa opa prediksikan, jadi opa berharap kau bersedia melakukannya." Opa menatap Langit lekat penuh harap. Langit tampak berpikir keras, dan aku berdoa dalam hati agar dia bersedia. "Baik, Opa," jawab Langit sambil memandang Opa. Dan aku mengendalikan diri agar tidak bersorak senang. Opa tersenyum penuh kemenangan. "Oh iya, ngomong-ngomong, opa setuju kau menjalin hubungan dengan putri Jerry Wiraatmadja." Opa tersenyum pada Langit. Dan ucapan Opa membuat kegembiraanku lenyap seketika. Baiklah, kita akan mulai permainan ini. ****Langit "Besok pagi aku akan menjemputmu dan besok aku akan pindah ke rumahmu. Jadi katakan pada asistenmu menyiapkan kamar untukku." Aku memberi perintah pada gadis di sampingku ini saat kami pulang dari rumah opa. Dia mengangguk. Aroma lavender dari tubuhnya memenuhi udara dalam mobil. Lehernya yang mulus hingga diatas payudaranya membuatku tidak tenang. Dress sialan!Dress itu membuatnya terlihat sangat menggiurkan.
Safety belt yang terpasang semakin memperjelas bentuk payudaranya yang meminta untuk disentuh. Tidak pernah seumur hidupku seorang perempuan membangkitkan gairahku seperti ini. Dan ini terlarang, sangat terlarang. Aku memegang kemudi sangat kuat, aku menahan tanganku untuk tidak menyentuhnya. Dan Opa menyuruhku menjaga Gadis nakal penggoda ini selama satu bulan. Aku bukan biarawan atau pun biksu!Aku tahu Rizka menggodaku, membalas sakit hatinya padaku. Dan yang menjadi masalah, dia sekarang sangat menggoda dan aku terjerat. Ini benar-benar sialan! Kami tiba rumah yang ditempati Rizka, gerbang dibuka oleh penjaga. Aku mematikan mesin mobil saat sudah di teras rumah. "Kenapa ini susah dibuka." Rizka mengomel saat berusaha membuka safety belt. "Biar aku buka., ucapku sambil mengulurkan tanganku ke arah sabuk tersebut. Dan benar saja, safety belt itu ternyata memang susah dibuka, dan ini tidak pernah terjadi. Tanpa kusadari wajah kami sudah sangat dekat saat aku membantunya. Payudaranya terangkat dan kemerahan. Aroma lavender memasuki hidungku, nafasnya yang beraroma segar terasa hangat di pipiku. Aku mencoba sekali lagi membuka safety belt sialan ini. Klik!Akhirnya. Tapi aku enggan menjauhkan tubuhku dari hadapannya. Kami saling bertatapan. "Persetan!" Aku menariknya dan dia tidak menolak. Aku mendudukkannya di pangkuanku. Tangannya melingkar di leherku, aku melumat bibirnya, dan dia membalas ciumanku. Aku membuka mulutku, lidah kami saling melilit. Saat aku mengisap bibir bawahnya, Rizka semakin memelukku erat. Tanganku membelai pahanya yang halus. Dia mendesah pelan. Kejantananku tiba-tiba keras, dan aku menekan bokongnya ke arah bukti gairahku. Dirinya bertemu dengan kejantananku yang membengkak karena gairah. "Langit," ucapnya lembut sambil mendesah.Mulutku mengecup lehernya dan tanganku menyelusup kedalam celana dalamnya dan membelai bokongnyaDia semakin menekan kepalaku saat aku menjilat lehernya. Sekarang tanganku membelai punggungnya yang mulus dan halus.Mulutku mengisap payudaranya di bagian atas dan meninggalkan tanda merah di sana. Dia merintih. Satu tanganku memeluk pinggangnya, lalu aku menurunkan tali dressnya yang kecil, yang sudah menggodaku sejak tadi. Payudaranya terpampang dihadapanku, aku langsung menatapnya lapar. Kuhisap puting payudaranya untuk memenuhi hasratku yang lapar. Tanganku meremas payudaranya yang bulat, penuh dan kenyal. Lalu aku menyelusupkan wajahku di antara ppayudaranya yang hangat dan indah. Dia mendesah dan menggerakkan pinggulnya. Aku melepaskan tanganku dari payudaranya dan memeluknya erat, tapi aku masih membenamkan wajahku di sana. Dia menekan kepalaku dan meremas rambutku. "Sayangku." Aku berbisik dengan nafas terengah. Tiba-tiba kesadaran memukulku. Aku menjauhkan wajahku dari payudaranya. Nafas kami berpacu, payudaranya menggantung menggoda dihadapanku. Aku menarik wajahnya dan menyatukan kening kami, tangannya masih melingkar di leherku. Aku mencium bibirnya lembut. "Aku benar-benar menginginkanmu, Rizka, tapi ini harus dihentikan.” "Tidak." Dia menjawab serak. "Harus, Sayang." Aku menariknya dan memeluknya erat, lalu mencium bahunya yang telanjang. "Kau bisa rasakan gairahku?" Aku berbisik di telinganya dan dia mengangguk. "Aku si pemadam yang sudah terbakar hangus, Rizka." Lalu dia menarik dirinya dan membuat jarak di antara kami, payudaranya masih menggantung dan aku menatapnya tanpa sungkan. "Pasang kembali dressku yang sudah kau turunkan,” perintahnya padaku.Aku berdehem menenangkan diriku, lalu mengangkat tali dressnya dan memasangkan kembali kebahunya. Saat dia ingin beranjak dari pangkuanku, aku menahannya. "Ini tidak akan terulang lagi." Aku menatapnya serius. Dia mengangkat bahunya, dan dia hanya tersenyum, lalu beranjak keluar dari mobil. Aku ingin menembak diriku saat ini.
"Hal sepele seperti ini saja tidak bisa kalian selesaikan! Apa aku harus turun tangan mengurus masalah ini?! Siapa yang menghalangi pengiriman perempuan-perempuan itu?!" Seorang Pria bertubuh tinggi besar berteriak marah pada anak buahnya."Maaf Bos, masalahnya yang membuat pekerjaan kita sulit bukan dari kepolisian atau aparat pemerintah." Anak buahnya menjawab dengan suara ketakutan."Lalu siapa?! Kau tidak bisa menemukan siapa orangnya atau kelompoknya? Aku rugi besar brengsek! Dua kali ... dua kali perempuan-perempuan yang akan kita jual gagal, obat-obatanku juga tertangkap! Sebentar lagi kita semua yang akan di gulung habis, dan kalian tidak bisa melakukan apa-apa?!""Bos, mereka ini sangat sulit dan licin, siapa pun mereka ini Bos, mereka lebih cerdik dari kita.""Tidak ada yang lebih cerdik dari seorang Topan! Kau cari tahu siapa mereka! Aku beri kalian waktu dua hari. Dan selama dua hari ini, informasi tentang mereka harus sudah sampai padaku." To
Aku tiba di rumah Rizka pukul sembilan malam, setelah tadi sore aku menjemputnya dari kantor dan mengantarkannya pulang, dan setelah itu aku pergi sebentar ke markas karena ada urusan yang harus aku selesaikan.Aku membuka pintu dan langsung menguncinya. Ruang tengah terlihat gelap, hanya berkas cahaya dari lampu luar yang masuk.Aku mendapati Rizka di ruang tengah sedang menonton televisi dan berbagai makanan, minuman soda serta semangkuk besar es krim di atas meja.Rizka hanya mengenakan celana pendek dan tank top.Dia melirikku sekilas, lalu kembali menonton film yang sedang di putar.Aku duduk di sampingnya, lalu aku membuka sepatuku dan bersandar duduk di kursi.Dia menyodorkan makanan yang sedang di pegangannya, aku pun mengambilnya dan memasukkan ke mulutku."Kenapa lampunya dimatikan?" Aku bertanya sambil memperhatikannya."Aku suka mematikan lampu kalau sedang menonton," jawabn
RizkaMenikah? Langit tiba-tiba mengajakku menikah!,yang benar saja? Aku akui sebenarnya ini hanya balas dendam kecil karena sakit hatiku padanya, dan aku tadi hampir kehilangan keperawananku karena aku terjebak dalam permainanku sendiri, dan untungnya Langit masih bisa mengendalikan dirinya.Ini benar-benar kebodohanku, tapi menikah dengan Langit tidak masuk dalam rencana pembalasan ini, harusnya ini pembalasan sempurna, tapi karena kedua kakakku sudah memergoki kami, semuanya jadi berantakan.Tentu saja aku akan sangat bahagia kalau aku menikah dengan Langit, tapi bukan dengan cara seperti ini.Langit mengambil pakaiannya dari koper yang dia bawa tadi sore saat mengantarkan aku, dia juga mengambil pakaiannya untukku, dan dia memakaikan kemejanya padaku dan juga celana boxer miliknya saat kami harus keluar dari kamar ini.Sialan!Baju kami berdua ternyata masih tergeletak di pinggir kolam renang."Bajingan kau!" Kaka
LangitDulu kau berlutut dikakiku, untuk mengharap cintakuhingga terbuka pintu hatiku tuk menerima cintamutapi setelah aku jatuh cinta padamuengkau begitu mudah melupakan dirikuSurga yang engkau janjikanneraka yang kau berikanmanis yang aku harapkanpahit yang aku rasakan"Asikkk ... Geboyyyy ...!"Lagu sialan! Pasti Stephen yang memutar lagu dangdut."Stephen!" Aku berteriak memanggil salah seorang anak buahku dari ruang kerjaku di dalam gudang markas kami tapi tidak ada sahutan dari dia.Lagu dangdut itu terus mengalun."Stephen!" Aku kembali berteriak manggilnya.Tiba-tiba Stephen si bocah biang rusuh di timku muncul di depan pintu. "Iya Boss?" dia menyengir lebar."Matikan speaker itu! Sekarang juga!" perintahku marah,"Kenapa Bos? Itu kan
Rizka"Mbak Rizka, perkenalkan ini Suci Faranda, dia yang akan mendampingi, Mbak Rizka, selama mempelajari semua administrasi perusahaan ini dan Suci juga akan menjadi asisten Mbak Rizka ke depannya." Salah satu manager departemen di perusahaan kami dimana aku akan di tempatkan, memperkenalkanku pada seorang gadis cantik yang tersenyum ramah padaku."Terima kasih, Ibu Angel," jawabku sambil tersenyum sopan. Lalu manager itu permisi dan meninggalkan kami berdua di ruanganku yang baru."Hai, namaku Rizka, tolong bimbingannya ya, aku baru bergabung di perusahaan ini." Aku menyapa asisten baruku tersebut.Tadi pagi Opa meneleponku dan memberitahu kalau aku akan memiliki asisten pribadi, walau pun sebenarnya aku merasa tidak perlu karena aku masih dalam tahap belajar. Dan aku sebenarnya belum mendapatkan posisi yang jelas di perusahaan Opa, karena aku masih mempelajari semua bagian-bagian yang ada di perusahaan."Baik, Ibu Rizka. Saya S
"Selamat pagi Mbak? Kopi atau teh?" Ternyata Stephen sudah di dapur saat aku siap-siap akan berangkat ke kantor."Kopi, please, no sugar.""Siap, Mbak."Aku memandang Stephen yang sedang menyiapkan kopi untuk kami, rambutnya masih lembab karena sehabis keramas, memakai T-shirt dan celana jeans, tiba-tiba aku ingat beberapa hari yang lalu Langit disini menyiapkan kopi untuk kami."Mbak Bos! Mbak!"Stephen menyadarkanku dari lamunanku."Eh, iya?""Ini kopinya, jangan melamun, Mbak, masih pagi ini."Aku menunduk memandang kopi hitamku, aromanya benar-benar harum."Kenapa lagi Mbak? Masih kepikiran, si bos, ya?" Stephen memandangku sambil meminum kopinya."Stephen, apa Langit punya pacar?""Setauku sih nggak ada, Mbak , tapi si bos kan jarang di sini, jadi aku nggak tau kalau di luar dia punya pacar."Aku memutar jariku di permukaan gelas kopiku. "Hmm ... bagaimana ya
LangitAku melihat di layar ponselku nama sahabatku Rafael, saat ponselku berdering."Halo, Raf ....""Lang ... Fabrizio De Palma dibunuh tadi malam.""Apa?! Bagaimana bisa?""Dia di bunuh di kamar hotel tempatnya menginap yang berlokasi di kawasan Mekong River, dan aku baru sampai di Phnom Pehn dari Sihanouk.""Astaga ... Apa kalian sempat bertemu?""Ya, dua hari yang lalu aku akhirnya menemukan dia di Sihanouk ville, dan sore harinya dia kembali ke Phnom Pehn. Sebenarnya aku sudah melarang dia hari itu pergi, tapi dia bersikeras untuk pergi.""Dan kenapa menurutmu?""Menurutku itu adalah pengalihan, Lang, dia sengaja menghindariku. Fabrizio memberiku sebuah chip dan dia mau chip ini selamat.""Chip?""Iya, chip ini lah yang membuat Fabrizio menjadi target, itu yang menyebabkan dia di bunuh. Dan di kamar hotelnya aku menemukan Purple Paper.""P
Dorr ...!! Dorr ...!! Dorr ...!! Tembakan itu tidak berhenti. "Stephen!" Aku berteriak melihat tubuh Stephen yang terus di terjang peluru. Di mana senjataku?! Aku harus menyelamatkan Stephen. "Bos ...." Stephen memanggilku lirih dan menatapku sendu, darah keluar dari mulutnya. Tembakan itu masih tidak berhenti. "Langit ...." Aku terkejut mendengar suara lirih yang memanggilku. Aku berbalik ke arah suara dan kulihat Rizka berdiri di lantai ruangan yang gelap dan pengap menatapku sedih. Tidak!Aku berusaha lari menghampirinya tapi kakiku tidak bisa bergerak. "Langit, aku−" Sekarang tembakan bertubi-tubi menerjang tubuhnya. Rizka ...!!Tolong ... siapa pun tolong. Ya Tuhan, aku tidak bisa bergerak!Tubuhnya sekarang jatuh ke lantai, seluruh tubuhnya berlumuran darah, dia menatap
Langit Berita kematian Dharma dan Panji Adhiyaksa semakin menggegerkan negeri ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pistol yang ditemukan di tangan keduanya, menunjukkan seolah-olah mereka berdua bunuh diri. Spekulasi pun bermunculan. Mungkin karena malu, mereka memilih bunuh diri. Tapi tidak sedikit juga yang berasumsi kalau mereka sengaja di bunuh. Tentu saja berita bunuh diri itu bohong. Dharma bukan orang yang mudah putus asa sehingga harus membunuh dirinya sendiri dan mengajak putranya melakukan hal bodoh itu. Sudah jelas mereka di bunuh. Pihak kepolisian dikecam. Bagaimana mungkin kedua ayah anak itu lolos membawa senjata ke dalam tahanan. Atau bagaimana mereka mendapatkan senjata itu? Kalau mereka dibunuh, siapa yang melakukannya? Namun masyarakat kebanyakan tidak peduli pada kematian para Adhiyaksa itu. Kalau pun mereka hidup, tidak ada yang bisa menjamin mereka akan mendapat hukuman yang setimpal kejahatan mereka melihat bagaimana kondisi keadilan di negeri ini. Tidak ada
Joachim Bameswara menoleh ke arah pintu ruang tahanannya saat seorang penjaga penjara mengetuk pintu. "Ada tamu untuk, Bapak," kata si sipir penjara. Joachim Bameswara, seorang mantan Menteri Pertahanan yang juga seorang Jendral dari militer Angkatan Darat republik Indonesia itu mengangkat wajahnya tinggi, ingin menunjukkan dia masih harus disegani.Tentu saja sipir penjaga itu takut padanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya yang empuk, dan mematikan televisi yang sedang dia tonton. Sudah bukan rahasia lagi kalau di negara ini, tahanan dari pejabat pemerintahan mendapat pelayanan eksklusif. Kamar tahanan yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dan televisi, bahkan fasilitas mewah lainnya. Membuat para tikus-tikus penjahat berdasi itu tidak akan pernah kapok dengan kejahatan mereka. Fasilitas itu juga yang di dapatkan oleh Joachim Bameswara dan Keluarga Adhiyaksa yang saat ini juga sedang di tahan.
Dharma langsung menatap Boots angkuh menutupi keterkejutannya. "Jadi kau ingin balas dendam padaku?" Dharma tertawa mencemooh. "Ibumu hanya anak haram tak berarti, dia dan ibunya sama-sama murahan, dia pantas diperkosa. Dan aku sangat menikmatinya saat melakukan itu." Pria itu menyeringai bak iblis.Boots tersenyum. "Sepertinya tidak akan ada acara haru biru di antara kita ... Ayah." Boots menekan kata ayah dengan nada jijik.Dharma kembali tertawa sampai wajahnya terangkat keatas. Lalu memandang Boots rendah. "Kau pikir aku sudi mengakuimu sebagai anak?" Dia meludah.Boots mengangkat bahunya. "Kalau begitu, aku akan jadi anak durhaka sepertinya." Boots pura-pura sedih."Apa maksudmu?"Boots tersenyum. "Bukti kejahatanmu dan putramu sudah di tanganku selama ini, dan sudah kuserahkan pada Langit, anak Alfredo. Jadi walaupun kau membunuhku malam ini, kau akan tetap hancur
"Lang, berita sudah viral walaupun banyak juga yang tidak percaya, karena yang menyebarkan namanya tidak jelas," kata Clara tertawa saat kami di ruang kerjaku."Tidak masalah yang kita mau reaksi Dharma""Jadi apa rencana kita selanjutnya?" Dia bertanya lagi.Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka dan kami terkejut melihat siapa yang datang. Walau pun aku sudah menduganya."Kalian punya kopi?" Boots masuk dengan tenang dan langsung duduk, lalu meletakkan amplop cokelat besar dan tebal di hadapanku."Kopi segera datang," jawab Clara antusias dan langsung memesan pada anak buahku."Jadi semua ini rencanamu?" tanyaku tajam.Dia mengangkat bahunya. "Semua bukti kejahatan Dharma dan anaknya ada di situ." dia menatapku sambil menunjuk amplop."Dan kau ..." Dia melirik Clara. "Jangan mempublikasikan ini sebelum
Langit Kami tiba di Jakarta tadi malam, dan pagi ini, aku, Jack dan Clara duduk bersama di ruang kerjaku.Stephen masih kutugaskan untuk menjaga Rizka. Walaupun sekarang Ronan yang mengambil alih perusahaan keluarga, tapi Rizka masih tetap bekerja."Jack, aku melihat Baron kemarin di club, dia yang menolong kami keluar.""Baron adalah belahan jiwa Boots setelah Stephen. Kau mengerti maksudku kan?" jawab Jack"Berarti yang mengirim pesan padaku adalah Boots." Aku bergumam.Jack hanya menatapku. "Ngomong-ngomong , aku sudah memeriksa berkas yang ada pada Clara" Jack meletakkan beberapa kertas yang dijepit jadi satu."Dokumen-dokumen ini adalah surat pernyataan persetujuan Presiden untuk ekspor minyak besar-besaran ke luar negeri, tapi menurut informanku di dalam istana, pengeksporan minyak dibatalkan , karena kuota di dalam negeri bisa mi
"Tolong antar ke kamarku susu dan madu! sekarang!"Aku langsung mematikan telepon kamar setelah meminta room service mengantar pesananku. Susu dan madu akan membantu menetralisir obat perangsang yang terminum oleh Rizka."Lang ... panas, akuuhhh..." Dia sekarang melenguh sambil menggosok-gosokan badannya dengan tangannya dan menghampiriku."Rizka−" Dia langsung menciumku dengan ganas sambil menggosok-gosokan tubuhnya di tubuhku.Sialan!Dia memelukku erat, pupil matanya membesar, nafasnya memburu. Tubuhnya panas. Dan sekarang dia menggesekkan dirinya padaku.Holy shitAku menarik wajahnya dan memperhatikan apa yang dia rasa. Rizka tersiksa. Aku lebih tersiksa. Nafasnya semakin memburu. Kuhusap pipinya dengan lembut. Ketukan pintu terdengar, aku mendorong tubuh Rizka pelan, lalu membuka pintu. Room service membawa s
Rizka Aku terbangun dan badanku semua sakit juga pegal. Kepalaku juga pusing dan rasanya aku ingin muntah."Wah, sepertinya reaksi obat itu tidak terlalu baik untukmu sleeping beauty."Suara laki-laki?Aku menoleh ke suara tersebut.Seorang pria bertubuh tinggi, tidak terlalu besar tapi berotot, umurnya kira-kira di atas dua puluh lima tahun dan tampan berdiri memandangku sambil tersenyum."Namaku, Baron." Dia memperkenalkan dirinya.Aku menggerakkan badanku. Ternyata kedua tangan dan kakiku di ikat dengan rantai di empat sisi tempat tidur. Dan baju yang kupakai masih dressku tadi malam.Di mana aku?Siapa pria ini?Terakhir aku berada di pesta Cameron, lalu aku ke toilet dan tiba-tiba gelap. Aku yang baru sadar dan juga pusing membuatku masih bingung dengan situasi sekarang.
Saat ini aku sudah di rumah opa bersama semua keluarga Tahitu.Kami semua duduk di kursi ruang tengah dan suasana terasa tegang. Ayahku terlihat sangat marah tapi memilih tidak banyak berkomentar dan tidak berusaha menyalahkan siapa pun.Mami Jenia yang terus menangis, Ringgo yang memandangku dengan tatapan membunuh tapi memilih bersikap bijaksana tanpa memperkeruh keadaan.Ronan yang masih dalam proses pemulihan juga memilih tidak berkomentar. Sedangkan opa, dia terlihat bingung, dan merasa bersalah, bersamaan juga kelihatan marah."Jadi sekarang ini Rizka di Inggris?" Ringgo bertanya setelah aku menceritakan surat kaleng yang dikirim tadi pagi padaku."Bisa, ya, bisa, tidak, kami sudah mencari keberadaan Rizka di sini, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sini." Aku menjelaskan padanya."Jadi pesta apa yang dimaksud dalam pesan itu dan apa hubu
"Adikmu Rizka akan di bawa ke Yorksire, Inggris, untuk upacara Paradise party di festival minggu ini dan dia akan dijadikan budak sebagai korban persembahan untuk acara itu"Aku meremas kertas yang berisi pesan yang ditemukan anak buahku tadi pagi di halaman markas. Aku mengambil pistolku dan berjalan ke arah pintu ruanganku."Kau mau ke mana?" Jack menahanku saat aku membuka pintu. Dia baru tiba bersama dengan Clara."Aku akan membunuh Boots sekarang juga," ucapku geram."Kau jangan gila Langit, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan kemarahan. Kita harus hati-hati bertindak." Jack mendorongku masuk kembali ke ruang kerjaku.Aku melemparkan kertas pesan tadi pada Jack."Menurutmu ini dari Boots?" Jack menatapku setelah membaca isi pesan itu.Aku terdi