Rizka
Aku meninggalkan Langit yang baru saja menciumku. Tubuhku masih bergetar efek dari ciuman kami yang panas. Setelah tiga tahun, ternyata aku masih belum bisa lepas dari pengaruhnya. Tubuhku masih mendambakan sentuhannya, hatiku berkhianat karena ikut mendamba, tapi untungnya pikiranku masih bisa menguasai hasrat dan kerinduanku pada Langit. Aku mengambil minuman yang dibawa seorang pelayan yang lewat di hadapanku, aku butuh minuman saat ini."Bunga apinya tadi bagus ya?" Tiba-tiba kakakku, Ronan, berdiri di sampingku.Aku yang sedang minum terbatuk karena terkejut."A-apa, Kak?""Bunga apinya bagus." Dia tersenyum menatapku sambil memainkan gelas di tangannya."Bunga api?" Aku bingung tak mengerti."Iya bunga api. Di langit." Sekarang dia terkekeh.Bunga api? Astaga adalah saat aku berciuman dengan Langit! Ingin rasanya aku ditelan bumi sekarang, pasti kakakku curiga dengan menghilangnya aku tadi."Oh iya Kak. Bunga apinya memang bagus." Aku menjawab dengan sedikit gugup."Kau sakit?" Dia menyergit menatapku."Sakit? Tidak." Aku menggeleng."Kenapa badanmu gemetar?" Dia menatapku serius tapi ada kejahilan dimatanya."Kakak salah lihat." Aku minum menutupi kegugupanku."Yakin?" Ronan semakin cerewet."Iya.""Tadi aku tidak melihatmu, kak Langit juga tidak kelihatan." Ronan mengangkat sebelah alisnya.Aku mengangkat bahuku pura-pura tidak tahu."Kak, aku menemui Jace dulu," kataku berkelit dan meninggalkannya yang tersenyum menatapku. Ya Tuhan, apa Ronan melihatku dan Langit waktu ciuman tadi? Aku menghampiri Jace yang sedang berbincang entah dengan siapa."Jace ... ""Hei, kau dari mana saja?" Jace terkejut melihat kedatanganku."Aku dari dalam rumah." Aku berbohong."Kau baik-baik saja kan?" Jace menatapku heran penuh selidik."Tentu saja."Dia mengangguk, tapi dia tetap memandangku dengan tatapan tidak percaya. "Kau belum makan kan?"Aku menggeleng."Aku juga belum, aku menunggumu dari tadi." Dia mengajakku untuk mengambil makanan.Aku menatapnya dengan rasa bersalah. "Ayo kita makan, aku juga lapar." Sebenarnya aku tidak lapar.Kami mengambil makanan di meja panjang yang penuh dengan berbagai makanan, lalu menuju meja untuk tempat kami makan. Saat kami sudah duduk, aku melihat Langit yang sudah muncul dari tempat kami berciuman tadi.Aku kembali gemetar. Malam ini dia sangat tampan, yah, dari dulu dia memang tampan. Kemeja putih dari bahan sutra yang membungkus tubuhnya yang berotot dan jas potongan eropa buatan desainer luar negeri itu sangat pas di badan Langit dan membuatnya sangat sexy. Rambutnya yang panjang bergelombang di cepol, dan aku tadi meremasnya. Perutku tiba-tiba menghangat. Kakinya dibungkus celana dengan jahitan yang rapi, membentuk otot kakinya dan bokongnya yang seksi, dan kaki itu tadi bersentuhan dengan pahaku."Wajahmu merah Rizka." Jace kembali menatapku heran, lalu dia mengikuti arah pandanganku, dan dia tertawa. "Apa karena pria itu? Diakah orangnya?""Siapa?" tanyaku pura-pura bingung."Kakakmu yang namanya Langit, yang pandangannya seolah membakarku hidup-hidup?" tanya Jace sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya."Oh dia ... yah begitulah," ucapku seolah tak peduli.Jace semakin tertawa dan aku menatapnya kesal."Kau tahu Rizka, aku takut tidak selamat pulang dari sini. Kau benar-benar membawaku dalam masalah""Kau berlebihan." Aku memutar mataku."Dan kau tadi hilang dengan Kakakmu." Jace sekarang berbisik sambil memandangku dengan tatapan menuduh.Aku memandangnya terkejut, dan malu."Tidak usah pura-pura terkejut, aku-oh sial, dia kemari." Jace berbisik gusar."Siapa?""Kekasihmu. Jangan melihatnya." Jace makan dengan lahap dan membuatku penasaran."Kekasihku siapa?""Kakakmu bodoh!" Dia mendesis kesal.Aku melirik arah lirikan Jace, aku melihat Langit dan pasangannya Clara berjalan ke arah meja kami. Dari jauh orang pasti berpikir kalau aku dan Jace berbicara hal-hal romantis dengan posisi kami yang dekat, yang sedang berbisik-bisik."Aku harus bagaimana?" Aku jadi gugup."Jadi perempuan tangguh seperti yang sering kau katakan selama tiga tahun ini.""Tapi-"Tiba-tiba suara berdehem mengintrupsi bisik-bisik kami."Apa aku mengganggu?"Kulihat Langit dan Clara menjulang di hadapan kami. Jace menginjak kakiku di bawah meja, aku menahan ringisanku."Bisa bergabung?" Wajah Langit kelihatan tegang, sedangkan Clara terlihat santai dan tersenyum memandangku dan Jace."Duduklah Kak." Aku tersenyum dan mengendalikan diriku setenang mungkin.Perempuan tangguh. Aku merapal mantra itu terus menerus dalam hatiku."Kalian berdua manis sekali, aku jadi ingat waktu seumur kalian. Oh iya, berapa umur kalian berdua?" Clara memecahkan suasana yang terasa tegang. Mungkin hanya aku yang merasa tegang."Dua puluh dua, Kak." Aku menjawab.Clara menatap kami geli, Clara memang sangat cantik, tipe perempuan kesukaan Langit, cantik dan seksi. Jace saja tertarik padanya, dan temanku ini sekarang salah tingkah di hadapan Clara."Masa muda memang masa yang berapi-api. Itu lirik lagu terkenal, pernah dengar?" Clara bertanya pada kami.Aku menggeleng, lalu Clara menatap Jace, dan dia juga menggeleng."Itu lagu yang sangat terkenal, darah muda darahnya para remaja, masa muda masa yang ber api-api."Aku dan Jace melongo tidak mengerti."Kalian tidak tahu api?"Aku dan Jace bertatapan, lalu kami mengangguk."Seperti bunga api tadi, cantik, indah, di langit." Clara tersenyum dan menekan kata-kata langit penuh arti.Sialan!Clara ternyata menyindirku. Jace tertawa, dan langsung diam saat Langit menatapnya tajam dan langsung memasukkan makanan ke mulutnya.Wajahku panas, dan pasti memerah, sepertinya perempuan ini mau bermain, baiklah aku terima."Api kalau di langit memang kelihatan indah Kak, indah dipandang, tapi sulit dijangkau." aku menjawab sesantai mungkin.Langit menatapku tajam."Benar sekali Rizka, dan langit yang indah akan semakin indah saat ada percikan bunga api yang menghiasinya." Clara sepertinya menikmati permainan ini."Aku pernah memercikkan api seperti itu di langit, tapi aku sadar ternyata tidak seindah yang kubayangkan. Jadi aku sedang mencari langit lain, untuk bermain api." Aku tersenyum menatap Clara mengabaikan Langit yang menatapku tajam."Kau pernah main api di langit Lang?" Clara tiba-tiba bertanya pada Langit"Aku langsung memadamkannya." Langit menjawab tanpa melepaskan pandangannya dariku.Baiklah anak muda, perempuan tangguh akan membalasmu."Tapi api yang dipadamkan bisa menyala kembali dan membuat si pemadam terbakar hangus di dalamnya." balasku. Baiklah, aku merasa sikap kami ini sudah mulai kekanak-kanakan dengan saling menyindir seperti sekarang.Clara tertawa puas. "Oke guys, cukup bermain apinya. Ayo kita makan."Aku tersenyum ke arah Clara, dan kami makan sambil berbincang-bincang, sedangkan Langit tidak bersuara sedikitpun. ****Langit Rizka membalasku telak, sialan Clara, dia berhasil menjebakku dalam permainan kata-katanya, dan Rizka mengikuti permainan dengan sangat baik.Sepanjang kami makan di meja ini, tidak sedikit pun Rizka melirikku. Tidak lama mami Jenia datang memanggil Rizka yang ingin dikenalkan pada teman-temannya, yang sangat ingin menjadikan Rizka menantu mereka.Aku mendengus."Kau terbakar Lang." Clara mengejekku setelah Rizka beranjak pergi."Diamlah." aku melotot padanya, Clara tertawa terbahak-bahak."Adikmu taringnya tajam juga ya. Hati-hati Lang, Simson jatuh karena Delilah.""Dan aku bukan Simson," ucapku jengkel."Benar, kau adalah pahlawan Spartan yang kesepian dan butuh api untuk menerangi duniamu yang gelap." Clara terkikik."Setahuku, kau bukan anak sastra, Cla." Aku menatap kesal perempuan yang duduk di sampingku ini.Dia tertawa."Aku Clara Shakespeare Wiraatmadja." Dia mengedipkan matanya."Pantas saja, Jack, gila menghadapimu." Clara tertawa terbahak-bahak menanggapiku."Kau harus ingat janjimu, mengatur kencanku dengan sahabatmu itu," ucapnya santai."Jack benar-benar sial." Aku mencemooh.Clara kembali tertawa.Malam semakin larut, aku pun mengantar Clara pulang. Besok aku harus menemani ayahku memancing, dan dia meminta kami semua anak-anaknya harus sarapan besok pagi di rumah. Jadi kami semua malam ini tidur di rumah utama Ray Tahitu. Setelah mengantar Clara aku singgah ke apartemenku mengambil baju ganti.Pagi ini kami semua berkumpul di meja, minus mami Jenia yang pulang tadi malam ke rumahnya. Rizka sudah berpakaian rapi dan sepertinya siap pergi bekerja, kami saling diam."Kau hari ini langsung kerja sayang?" Ayah kami bertanya pada Rizka."Iya, Pi.""Kakakmu Roe akan mengantarmu.""Riri bisa berangkat sendiri, Pi.""Oke. Tapi kalau opa memaksamu bekerja, beritahu pada papi."Rizka tertawa geli."Opa, pasti semakin panjang umur karena Rizka mau bergabung mengurus perusahaan," kata Ringgo sambil tertawa"Aku juga masih perlu banyak belajar Kak, kata opa dia akan lihat bahwa aku cocok atau tidak diberikan tanggung jawab," jawab Rizka sambil meakan rotinya.Ayahku mendengus kesal."Dasar orang tua, bukannya menikmati masa tuanya, malah memikirkan pekerjaan terus."Ayah kami memang tidak akur dengan Ayahnya itu."Papi, juga begitu, selalu memikirkan band, dan Papi, juga orang tua sama seperti opa." Ronan berkomentar yang kami sambut dengan tawa."Papi lebih keren dari Opa kalian." Ayah kami mendelik pada Ronan."Opa juga bilang kalau dia lebih hebat dari Papi, kalian berdua memang benar-benar ayah dan anak. Berdamailah kalian Papi." Ronan menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli ."Opa kalian itu yang keras kepala, sudah jelas papi seniman, masa dipaksa pakai dasi, yang benar saja." ucapnya mulai ketus. Dia memang selalu jengkel jika sudah menyangkut opa."Baiklah. Sekarang kita ganti topik," kata Ronan, lalu dia menatap Rizka."Rizka, kau pernah ditolak laki-laki yang kau taksir ya?" Tanya Ronan tiba-tiba.Rizka langsung tersedak, dan Ayah kami memarahi Ronan. Ringgo tertawa terbahak-bahak, dan Rizka langsung menatap Ringgo kesal."Kenapa kau bicara seperti itu Roe?" Ringgo bertanya geli."Kau tidak lihat Kak? Rizka banyak berubah. Dia semakin cantik, tidak lagi manja. Dan perempuan itu bisa berubah, biasanya karena putus cinta atau cintanya ditolak."Aku hampir tersedak. Ronan tertawa."Papi, Riri pergi kerja dulu ya. Kak Ronan sepertinya semakin kacau karena jomblo seumur hidup." Rizka melotot pada Ronan."Seperti kau pernah pacaran saja." Ronan tertawa terbahak-bahak, Ringgo menahan tawanya supaya Rizka tidak tersinggung.Rizka langsung pergi meninggalkan kami dengan kesal."Kau jangan suka jahil pada adikmu Roe," ucap Ayah kami."Mumpung Rizka masih bersama kita Pi, siapa tahu besok-besok dia menikah, aku tidak bisa lagi menjahili dia.""Apa maksudmu?" tanya ayah kami bingung."Tadi malam, Pap,i tidak tahu ya kalau ada laki-laki yang menemani Rizka melihat bunga api di samping rumah?" Ronan meminum kopinya."Apa?!" Ayah kami dan Ringgo kompak menjawab.Kali ini aku benar-benar tersedak."Bercanda, Pi."Ronan kembali tertawa terbahak-bahak dan menatapku penuh arti.
Sialan!Berarti Ronan melihat kami.
Selesai sarapan, aku pergi memancing bersama Ayahku. Sebenarnya ini kolam buatan yang dibuat untuk hobbynya."Lang, kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama ya?""Iya, Pi."Kami melempar mata kail kami ke dalam kolam."Kalian semua sudah besar sekarang dan memiliki karir masing-masing walau pun Papi tetap berharap kau keluar dari duniamu yang berbahaya itu." ayahku melirik padaku.Aku hanya tersenyum."Papi, hanya ingin memintamu untuk terus menjaga adikmu Rizka Lang." Kali ini dia menatapku serius."Papi mau mati ya?" Aku tertawa geli."Kurang ajar kau." Ayahku melotot padaku.Aku tertawa. "Kenapa Papi memberi pesan aneh seperti orang yang akan mau mati?"Ayahku pun ikut tertawa."Papi serius Lang." lalu dia diam sejenak. "Kalau menjaga, Rizka, papi bebankan pada Ringgo, sudah terlalu banyak tanggung jawab yang diembannya. Sedangkan adikmu, Ronan, masih mencari dunianya. Papi berharap dia mau bergabung di perusahaan opa kalian, yah ... walaupun papi, tidak akan pernah memaksa kalian untuk itu."Aku terdiam."Hanya kau, yang papi percaya untuk menjaga, Rizka. Walaupun nanti dia menikah dengan pria yang dia cintai, kamu harus tetap menjaga adikmu, itu."Ayahku menarik nafasnya dalam. Kami sudah lupa pada kail pancing kami. "Kau pasti bertanya apa yang membuat, papi, membawamu keluar dari panti dulu."Aku mengangguk"Kau itu cahaya yang dikirim Tuhan untuk papi, Lang. Saat itu, papi, bisa lihat di matamu, kalau kau juga sedang berjuang keluar dari trauma masa lalu. Sama seperti apa yang Papi, rasakan saat itu. Ada kemarahan, dan penderitaan."Ayahku menatap jauh ke sebrang kolam sambil merenung.
"Saat itu, papi benar-benar hancur. Baru bercerai dari Jenia, mempunyai wanita simpanan yang baru meninggal dengan dua anak yang awalnya kusembunyikan dari dunia. Papi pecandu narkoba, alcoholic. Sebenarnya, papi sangat ingin berubah saat itu, tapi benar-benar sulit."
"Papi hari itu, papi sudah ingin bunuh diri Lang. Tapi kaki papi, membawa papi ke rumah harapan yang didirikan, mamiku, oma kalian. Hari itu tiba-tiba aku rindu padanya waktu papi kecil, oma kalian sering mengajak, papi ke sana, belajar makna hidup dari anak-anak di rumah harapan, dan hari itu, papi belajar darimu.""Kepergiannya yang cepat membuat, papi kesepian, sedangkan opa kalian selalu sibuk dengan perusahaannya. Opa kalian melimpahi papi dengan uang tapi tidak dengan kasih sayang dan perhatian. Papi jadi anak pemberontak, dan terus melawannya.""Tanpa papi sadari, papi, juga melakukan hal yang sama pada saudara-saudaramu. Dan setelah membawamu, papi pelan-pelan berubah, walau pun butuh waktu panjang untuk papi lepas dari semua kecanduan.""Tanpa terasa kalian semakin besar dan dewasa sekarang, kalian tidak lagi perlu papi untuk menjaga kalian." lalu dia menarik nafasnya dalam. "Tapi Rizka, dia perlu dijaga Lang, terlebih sekarang dia bergabung dengan opa kalian. Karena banyak yang akan mengincarnya. Akan banyak yang memanfaatkannya, dan menghancurkannya."Kami bertatapan. Ternyata ini tujuan ayahku mengajakku menghabiskan waktu hari ini dengannya.Dia menepuk bahuku dan tersenyum. "Rizka tidak terlalu berat kan menjadi tanggung jawabmu Lang? Kau bisa kan?"Aku memandang ayahku yang saat ini menatapku dengan penuh harap.Aku mengangguk. "Bisa, Papi."
Lalu dia tersenyum padaku."Sekarang papi tenang, dan jangan bermimpi papi akan cepat mati."
Kami berdua pun akhirnya terawa. Ponselku tiba-tiba berbunyi, opa Edward menghubungiku.
"Ya Opa?""Malam ini kau dan Rizka datang ke rumah opa, kita makan malam di rumah, ada yang ingin opa bicarakan pada kalian berdua.""Baik, Opa."Aku menutup ponselku."Kenapa?" tanya ayahku."Opa minta aku dan Rizka ke rumahnya malam ini.""Selamat bersenang-senang untuk kalian berdua, kalian pasti kuat menghadapinya." Ayahku tertawa mengejekku.Aku menjadi tidak tenang, mengapa opa memanggil kami.RizkaPonselku berdering, saat aku tiba di rumah.“Halo?“"Rizka, Kakak akan menjemputmu nanti malam jam tujuh."Panggilan kami terputus tanpa menunggu jawabanku.Sebelumnya, tadi siang Langit menghubungiku dan memberitahu kalau Opa meminta kami berdua datang ke rumahnya.Kakak? kakak apa yang mencium adiknya penuh nafsu?Aku tidak tahu apa yang ingin Opa bicarakan pada kami, dan kenapa harus bersama Langit?Aku melihat jam menunjukkan pukul enam. Aku langsung mandi dan bersiap-siap.Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku memakai riasan tipis. Ponselku berdering, aku mengangkatnya."Kakak, di depan rumah, kau keluar sekarang.""Oke."Laki-laki ini, selalu menganggap dirinya berkuasa, memerintahku seperti anak kecil.Aku menatap diriku di cermin m
"Hal sepele seperti ini saja tidak bisa kalian selesaikan! Apa aku harus turun tangan mengurus masalah ini?! Siapa yang menghalangi pengiriman perempuan-perempuan itu?!" Seorang Pria bertubuh tinggi besar berteriak marah pada anak buahnya."Maaf Bos, masalahnya yang membuat pekerjaan kita sulit bukan dari kepolisian atau aparat pemerintah." Anak buahnya menjawab dengan suara ketakutan."Lalu siapa?! Kau tidak bisa menemukan siapa orangnya atau kelompoknya? Aku rugi besar brengsek! Dua kali ... dua kali perempuan-perempuan yang akan kita jual gagal, obat-obatanku juga tertangkap! Sebentar lagi kita semua yang akan di gulung habis, dan kalian tidak bisa melakukan apa-apa?!""Bos, mereka ini sangat sulit dan licin, siapa pun mereka ini Bos, mereka lebih cerdik dari kita.""Tidak ada yang lebih cerdik dari seorang Topan! Kau cari tahu siapa mereka! Aku beri kalian waktu dua hari. Dan selama dua hari ini, informasi tentang mereka harus sudah sampai padaku." To
Aku tiba di rumah Rizka pukul sembilan malam, setelah tadi sore aku menjemputnya dari kantor dan mengantarkannya pulang, dan setelah itu aku pergi sebentar ke markas karena ada urusan yang harus aku selesaikan.Aku membuka pintu dan langsung menguncinya. Ruang tengah terlihat gelap, hanya berkas cahaya dari lampu luar yang masuk.Aku mendapati Rizka di ruang tengah sedang menonton televisi dan berbagai makanan, minuman soda serta semangkuk besar es krim di atas meja.Rizka hanya mengenakan celana pendek dan tank top.Dia melirikku sekilas, lalu kembali menonton film yang sedang di putar.Aku duduk di sampingnya, lalu aku membuka sepatuku dan bersandar duduk di kursi.Dia menyodorkan makanan yang sedang di pegangannya, aku pun mengambilnya dan memasukkan ke mulutku."Kenapa lampunya dimatikan?" Aku bertanya sambil memperhatikannya."Aku suka mematikan lampu kalau sedang menonton," jawabn
RizkaMenikah? Langit tiba-tiba mengajakku menikah!,yang benar saja? Aku akui sebenarnya ini hanya balas dendam kecil karena sakit hatiku padanya, dan aku tadi hampir kehilangan keperawananku karena aku terjebak dalam permainanku sendiri, dan untungnya Langit masih bisa mengendalikan dirinya.Ini benar-benar kebodohanku, tapi menikah dengan Langit tidak masuk dalam rencana pembalasan ini, harusnya ini pembalasan sempurna, tapi karena kedua kakakku sudah memergoki kami, semuanya jadi berantakan.Tentu saja aku akan sangat bahagia kalau aku menikah dengan Langit, tapi bukan dengan cara seperti ini.Langit mengambil pakaiannya dari koper yang dia bawa tadi sore saat mengantarkan aku, dia juga mengambil pakaiannya untukku, dan dia memakaikan kemejanya padaku dan juga celana boxer miliknya saat kami harus keluar dari kamar ini.Sialan!Baju kami berdua ternyata masih tergeletak di pinggir kolam renang."Bajingan kau!" Kaka
LangitDulu kau berlutut dikakiku, untuk mengharap cintakuhingga terbuka pintu hatiku tuk menerima cintamutapi setelah aku jatuh cinta padamuengkau begitu mudah melupakan dirikuSurga yang engkau janjikanneraka yang kau berikanmanis yang aku harapkanpahit yang aku rasakan"Asikkk ... Geboyyyy ...!"Lagu sialan! Pasti Stephen yang memutar lagu dangdut."Stephen!" Aku berteriak memanggil salah seorang anak buahku dari ruang kerjaku di dalam gudang markas kami tapi tidak ada sahutan dari dia.Lagu dangdut itu terus mengalun."Stephen!" Aku kembali berteriak manggilnya.Tiba-tiba Stephen si bocah biang rusuh di timku muncul di depan pintu. "Iya Boss?" dia menyengir lebar."Matikan speaker itu! Sekarang juga!" perintahku marah,"Kenapa Bos? Itu kan
Rizka"Mbak Rizka, perkenalkan ini Suci Faranda, dia yang akan mendampingi, Mbak Rizka, selama mempelajari semua administrasi perusahaan ini dan Suci juga akan menjadi asisten Mbak Rizka ke depannya." Salah satu manager departemen di perusahaan kami dimana aku akan di tempatkan, memperkenalkanku pada seorang gadis cantik yang tersenyum ramah padaku."Terima kasih, Ibu Angel," jawabku sambil tersenyum sopan. Lalu manager itu permisi dan meninggalkan kami berdua di ruanganku yang baru."Hai, namaku Rizka, tolong bimbingannya ya, aku baru bergabung di perusahaan ini." Aku menyapa asisten baruku tersebut.Tadi pagi Opa meneleponku dan memberitahu kalau aku akan memiliki asisten pribadi, walau pun sebenarnya aku merasa tidak perlu karena aku masih dalam tahap belajar. Dan aku sebenarnya belum mendapatkan posisi yang jelas di perusahaan Opa, karena aku masih mempelajari semua bagian-bagian yang ada di perusahaan."Baik, Ibu Rizka. Saya S
"Selamat pagi Mbak? Kopi atau teh?" Ternyata Stephen sudah di dapur saat aku siap-siap akan berangkat ke kantor."Kopi, please, no sugar.""Siap, Mbak."Aku memandang Stephen yang sedang menyiapkan kopi untuk kami, rambutnya masih lembab karena sehabis keramas, memakai T-shirt dan celana jeans, tiba-tiba aku ingat beberapa hari yang lalu Langit disini menyiapkan kopi untuk kami."Mbak Bos! Mbak!"Stephen menyadarkanku dari lamunanku."Eh, iya?""Ini kopinya, jangan melamun, Mbak, masih pagi ini."Aku menunduk memandang kopi hitamku, aromanya benar-benar harum."Kenapa lagi Mbak? Masih kepikiran, si bos, ya?" Stephen memandangku sambil meminum kopinya."Stephen, apa Langit punya pacar?""Setauku sih nggak ada, Mbak , tapi si bos kan jarang di sini, jadi aku nggak tau kalau di luar dia punya pacar."Aku memutar jariku di permukaan gelas kopiku. "Hmm ... bagaimana ya
LangitAku melihat di layar ponselku nama sahabatku Rafael, saat ponselku berdering."Halo, Raf ....""Lang ... Fabrizio De Palma dibunuh tadi malam.""Apa?! Bagaimana bisa?""Dia di bunuh di kamar hotel tempatnya menginap yang berlokasi di kawasan Mekong River, dan aku baru sampai di Phnom Pehn dari Sihanouk.""Astaga ... Apa kalian sempat bertemu?""Ya, dua hari yang lalu aku akhirnya menemukan dia di Sihanouk ville, dan sore harinya dia kembali ke Phnom Pehn. Sebenarnya aku sudah melarang dia hari itu pergi, tapi dia bersikeras untuk pergi.""Dan kenapa menurutmu?""Menurutku itu adalah pengalihan, Lang, dia sengaja menghindariku. Fabrizio memberiku sebuah chip dan dia mau chip ini selamat.""Chip?""Iya, chip ini lah yang membuat Fabrizio menjadi target, itu yang menyebabkan dia di bunuh. Dan di kamar hotelnya aku menemukan Purple Paper.""P
Langit Berita kematian Dharma dan Panji Adhiyaksa semakin menggegerkan negeri ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pistol yang ditemukan di tangan keduanya, menunjukkan seolah-olah mereka berdua bunuh diri. Spekulasi pun bermunculan. Mungkin karena malu, mereka memilih bunuh diri. Tapi tidak sedikit juga yang berasumsi kalau mereka sengaja di bunuh. Tentu saja berita bunuh diri itu bohong. Dharma bukan orang yang mudah putus asa sehingga harus membunuh dirinya sendiri dan mengajak putranya melakukan hal bodoh itu. Sudah jelas mereka di bunuh. Pihak kepolisian dikecam. Bagaimana mungkin kedua ayah anak itu lolos membawa senjata ke dalam tahanan. Atau bagaimana mereka mendapatkan senjata itu? Kalau mereka dibunuh, siapa yang melakukannya? Namun masyarakat kebanyakan tidak peduli pada kematian para Adhiyaksa itu. Kalau pun mereka hidup, tidak ada yang bisa menjamin mereka akan mendapat hukuman yang setimpal kejahatan mereka melihat bagaimana kondisi keadilan di negeri ini. Tidak ada
Joachim Bameswara menoleh ke arah pintu ruang tahanannya saat seorang penjaga penjara mengetuk pintu. "Ada tamu untuk, Bapak," kata si sipir penjara. Joachim Bameswara, seorang mantan Menteri Pertahanan yang juga seorang Jendral dari militer Angkatan Darat republik Indonesia itu mengangkat wajahnya tinggi, ingin menunjukkan dia masih harus disegani.Tentu saja sipir penjaga itu takut padanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya yang empuk, dan mematikan televisi yang sedang dia tonton. Sudah bukan rahasia lagi kalau di negara ini, tahanan dari pejabat pemerintahan mendapat pelayanan eksklusif. Kamar tahanan yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dan televisi, bahkan fasilitas mewah lainnya. Membuat para tikus-tikus penjahat berdasi itu tidak akan pernah kapok dengan kejahatan mereka. Fasilitas itu juga yang di dapatkan oleh Joachim Bameswara dan Keluarga Adhiyaksa yang saat ini juga sedang di tahan.
Dharma langsung menatap Boots angkuh menutupi keterkejutannya. "Jadi kau ingin balas dendam padaku?" Dharma tertawa mencemooh. "Ibumu hanya anak haram tak berarti, dia dan ibunya sama-sama murahan, dia pantas diperkosa. Dan aku sangat menikmatinya saat melakukan itu." Pria itu menyeringai bak iblis.Boots tersenyum. "Sepertinya tidak akan ada acara haru biru di antara kita ... Ayah." Boots menekan kata ayah dengan nada jijik.Dharma kembali tertawa sampai wajahnya terangkat keatas. Lalu memandang Boots rendah. "Kau pikir aku sudi mengakuimu sebagai anak?" Dia meludah.Boots mengangkat bahunya. "Kalau begitu, aku akan jadi anak durhaka sepertinya." Boots pura-pura sedih."Apa maksudmu?"Boots tersenyum. "Bukti kejahatanmu dan putramu sudah di tanganku selama ini, dan sudah kuserahkan pada Langit, anak Alfredo. Jadi walaupun kau membunuhku malam ini, kau akan tetap hancur
"Lang, berita sudah viral walaupun banyak juga yang tidak percaya, karena yang menyebarkan namanya tidak jelas," kata Clara tertawa saat kami di ruang kerjaku."Tidak masalah yang kita mau reaksi Dharma""Jadi apa rencana kita selanjutnya?" Dia bertanya lagi.Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka dan kami terkejut melihat siapa yang datang. Walau pun aku sudah menduganya."Kalian punya kopi?" Boots masuk dengan tenang dan langsung duduk, lalu meletakkan amplop cokelat besar dan tebal di hadapanku."Kopi segera datang," jawab Clara antusias dan langsung memesan pada anak buahku."Jadi semua ini rencanamu?" tanyaku tajam.Dia mengangkat bahunya. "Semua bukti kejahatan Dharma dan anaknya ada di situ." dia menatapku sambil menunjuk amplop."Dan kau ..." Dia melirik Clara. "Jangan mempublikasikan ini sebelum
Langit Kami tiba di Jakarta tadi malam, dan pagi ini, aku, Jack dan Clara duduk bersama di ruang kerjaku.Stephen masih kutugaskan untuk menjaga Rizka. Walaupun sekarang Ronan yang mengambil alih perusahaan keluarga, tapi Rizka masih tetap bekerja."Jack, aku melihat Baron kemarin di club, dia yang menolong kami keluar.""Baron adalah belahan jiwa Boots setelah Stephen. Kau mengerti maksudku kan?" jawab Jack"Berarti yang mengirim pesan padaku adalah Boots." Aku bergumam.Jack hanya menatapku. "Ngomong-ngomong , aku sudah memeriksa berkas yang ada pada Clara" Jack meletakkan beberapa kertas yang dijepit jadi satu."Dokumen-dokumen ini adalah surat pernyataan persetujuan Presiden untuk ekspor minyak besar-besaran ke luar negeri, tapi menurut informanku di dalam istana, pengeksporan minyak dibatalkan , karena kuota di dalam negeri bisa mi
"Tolong antar ke kamarku susu dan madu! sekarang!"Aku langsung mematikan telepon kamar setelah meminta room service mengantar pesananku. Susu dan madu akan membantu menetralisir obat perangsang yang terminum oleh Rizka."Lang ... panas, akuuhhh..." Dia sekarang melenguh sambil menggosok-gosokan badannya dengan tangannya dan menghampiriku."Rizka−" Dia langsung menciumku dengan ganas sambil menggosok-gosokan tubuhnya di tubuhku.Sialan!Dia memelukku erat, pupil matanya membesar, nafasnya memburu. Tubuhnya panas. Dan sekarang dia menggesekkan dirinya padaku.Holy shitAku menarik wajahnya dan memperhatikan apa yang dia rasa. Rizka tersiksa. Aku lebih tersiksa. Nafasnya semakin memburu. Kuhusap pipinya dengan lembut. Ketukan pintu terdengar, aku mendorong tubuh Rizka pelan, lalu membuka pintu. Room service membawa s
Rizka Aku terbangun dan badanku semua sakit juga pegal. Kepalaku juga pusing dan rasanya aku ingin muntah."Wah, sepertinya reaksi obat itu tidak terlalu baik untukmu sleeping beauty."Suara laki-laki?Aku menoleh ke suara tersebut.Seorang pria bertubuh tinggi, tidak terlalu besar tapi berotot, umurnya kira-kira di atas dua puluh lima tahun dan tampan berdiri memandangku sambil tersenyum."Namaku, Baron." Dia memperkenalkan dirinya.Aku menggerakkan badanku. Ternyata kedua tangan dan kakiku di ikat dengan rantai di empat sisi tempat tidur. Dan baju yang kupakai masih dressku tadi malam.Di mana aku?Siapa pria ini?Terakhir aku berada di pesta Cameron, lalu aku ke toilet dan tiba-tiba gelap. Aku yang baru sadar dan juga pusing membuatku masih bingung dengan situasi sekarang.
Saat ini aku sudah di rumah opa bersama semua keluarga Tahitu.Kami semua duduk di kursi ruang tengah dan suasana terasa tegang. Ayahku terlihat sangat marah tapi memilih tidak banyak berkomentar dan tidak berusaha menyalahkan siapa pun.Mami Jenia yang terus menangis, Ringgo yang memandangku dengan tatapan membunuh tapi memilih bersikap bijaksana tanpa memperkeruh keadaan.Ronan yang masih dalam proses pemulihan juga memilih tidak berkomentar. Sedangkan opa, dia terlihat bingung, dan merasa bersalah, bersamaan juga kelihatan marah."Jadi sekarang ini Rizka di Inggris?" Ringgo bertanya setelah aku menceritakan surat kaleng yang dikirim tadi pagi padaku."Bisa, ya, bisa, tidak, kami sudah mencari keberadaan Rizka di sini, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sini." Aku menjelaskan padanya."Jadi pesta apa yang dimaksud dalam pesan itu dan apa hubu
"Adikmu Rizka akan di bawa ke Yorksire, Inggris, untuk upacara Paradise party di festival minggu ini dan dia akan dijadikan budak sebagai korban persembahan untuk acara itu"Aku meremas kertas yang berisi pesan yang ditemukan anak buahku tadi pagi di halaman markas. Aku mengambil pistolku dan berjalan ke arah pintu ruanganku."Kau mau ke mana?" Jack menahanku saat aku membuka pintu. Dia baru tiba bersama dengan Clara."Aku akan membunuh Boots sekarang juga," ucapku geram."Kau jangan gila Langit, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan kemarahan. Kita harus hati-hati bertindak." Jack mendorongku masuk kembali ke ruang kerjaku.Aku melemparkan kertas pesan tadi pada Jack."Menurutmu ini dari Boots?" Jack menatapku setelah membaca isi pesan itu.Aku terdi