Hari sudah larut, sudah kupastikan Rio tidur dengan nyenyak di kamarnya. Dian sudah pulang dari tadi, karena dia hanya bekerja dari pagi sampai sore.
Waktunya me time. Kugunakan waktu me time setiap malam untuk merawat wajahku. Jangan sampai skip perawatan wajah saat sebelum tidur, kalau ingin skincare-mu bekerja maksimal.Lihat nih hasil dari tidak pernah lupa pakai skincare sebelum tidur, kulit putih, mulus, glowing, licin kayak marmer hehe ... yang terakhir canda ya gaes, selain rajin perawatan tentu saja karena skincare yang kupakai harganya di atas lima juta. Buat apa uang banyak kalau nggak dinikmatin.Mas Toro masuk saat aku sedang mengoleskan krim di pipi."Tamunya udah pulang, Yah?" tanyaku memulai obrolan."Udah, Mah. Kayaknya besok Ayah harus keluar kota, deh, Ma," ujar suamiku yang sudah berbaring di ranjang besar kami."Ke mana, Yah? Bukannya jadwal ke Solo masih dua hari lagi?" tanyaku heran."Ada customer baru, Ma. Ayah takut ketipu, partai besar, tapi orangnya nggak mau transfer duluan, sayang kalau mau dilepas. Satu-satunya solusi ya, aku harus bawa barangnya sendiri, Ma, " jelas lelaki yang telah membersamaiku selama lima belas tahun itu."Terserah Ayah, aja. Tapi Mama nggak bisa ikut, loh, Yah. Orderan lagi banyak-banyaknya, sayang kalau ditinggal." Aku merapikan alat-alat skincare-ku yang telah selesai kupakai."Oh, ya, Ma, Ayah boleh pinjem duit nggak?""Buat apa, Yah?" tanyaku heran, beranjak mendekati ranjang."Kayaknya aku butuh suntikan modal, Ma. Nggak banyak kok, lima puluh juta aja.""Modal buat apa? Oh ya, Yah, tadi Mama lihat di depan ada paket isinya merk LO*S, Ayah mau nembak merk* itu?""Iya, Ma, ada temen yang ngajakin kerja sama.""Ayah tahu kan itu merk panas? Sangat panas malah.""Tenang aja, Ma. Temen Ayah ini udah biasa main aman, kalau ini berjalan, untungnya akan berlipat ganda daripada merk kita, Ma.""Tapi resikonya juga besar, Yah. Kalau ketahuan polisi bisa ludes semua harta yang sudah susah payah kita kumpulkan selama ini." Aku masih mencoba menasihati Suami supaya mengurungkan niatnya."Udah terlanjur, Ma. Merk udah datang, bahannya juga udah dipesan, tinggal nunggu datang aja besok," sahut suamiku tanpa rasa takut sedikitpun.Benar saja apa yang dikatakan Mas Toro. Keesokan harinya, lima truck besar datang membawa bahan jeans kwalitas premium. Aku hanya menyaksikan dari dalam, tidak mau ikut campur urusan berat ini.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Toro datang menghampiri dan meminta uang lima puluh juta sekarang juga, guna membayar bahan-bahan itu. Untung saja aku selalu menyimpan uang cash di rumah."Terima kasih ya, Ma. Ayah janji bakal ganti dua kali lipat," janji suamiku begitu meyakinkan saat aku menyodorkan segepok uang padanya.Sebenernya heran juga, hanya lima puluh juta kenapa dia sampai pinjam padaku, kemana perginya uangnya yang bermilyar-milyar itu.***Klunting.Ada pesan masuk, kuraih ponselku, aktifitasku menyiapkan pakaian Mas Toro otomatis terhenti. Setelah di-check tak ada pesan apapun. Kukembalikan ponsel ke atas nakas, kuraih ponsel yang satunya lagi, ponsel Mas Toro.Ponselnya tidak dikunci, jadi mudah saja bagiku untuk membukanya. Pesan pertama yang kulihat langsung membuatku melotot.(Makasih, Bang, transferannya) begitulah bunyi pesan yang dikirim Vina.Aku menge-check notifikasi M-Banking di ponsel Mas Toro, benar ada bukti transfer yang membuatku menggeram sebesar dua puluh lima juta rupiah. Buat apa Vina minta uang sebanyak ini? Apakah kehidupan sehari-harinya ditanggung oleh Mas Toro, katanya suaminya pekerja kantoran, masak masih minta uang suami orang. Huh, aku harus minta kejelasan sama suamiku.Masih kutelusuri riwayat transaksi M-Banking itu, kutemukan berkali-kali transferan untuk Vina dengan nominal paling sedikit sepuluh juta, kenapa Mas Toro mau sih? Iya sih,Vina itu adiknya, tapi kan nggak sebanyak ini juga kalau cuma sekedar ngasih, lha ini kayak diperas aja.Kutemukan lagi beberapa kali transferan pada nomer rekening atas nama Toro Sudiro, itukan kartu suamiku sendiri. Aku memicingkan mata, berpikir keras siapa ya yang megang kartu ATM atas nama suamiku yang ini, masalahnya kartu ATM atas nama dia bukan cuma satu aja, aku juga pegang satu kartu atas nama dia, namun bukan nomer rekening yang ini.Pintu kamar mandi terbuka, Mas Toro keluar hanya mengenakan handuk sepinggang. Rambutnya masih basah, fresh sekali wajahnya."Ngapain, Dek?" tanyanya saat melihatku mengutak-atik ponselnya.Aku tidak gugup sama sekali, toh aku bukan maling."Kenapa kamu transfer uang Vina banyak sekali, Mas?" tanyaku menginterogasi, panggilanku otomatis akan ganti 'Mas' kalau aku sedang emosi."Apaan sih, Ma? Siapa yang ngijinin Mama buka-buka ponsel Ayah?" Bukannya menjawab, Mas Toro malah marah dan merebut ponsel dari tanganku.Sejak kapan ponsel jadi barang privasi bagi kami? Dulu aja ponsel satu dipakai berdua, nggak papa."Oh, sekarang kamu mau main kucing-kucingan sama aku, Mas?" seruku jengkel."Bisa nggak sih, kamu tuh nggak usah suka besar-besarin masalah, Ma! Cuma transfer Vina doang, apa salahnya? Dia kan adikku satu-satunya, jadi wajarlah kalau ikut nikmati sedikit yang kupunya," dalih Mas Toro fasih sekali."Dua puluh lima juta kamu bilang sedikit, Mas? Jatahku aja sebulan cuma lima belas juta, itupun untuk memenuhi semua kebutuhan di rumah ini, juga membiayai anak-anakmu yang di pesantren sana, lha ini dua puluh lima juta kamu berikan cuma-cuma pada Vina, bahkan seminggu yang lalu kamu juga sudah ngasih lima juta, motor kamu beliin, gaji pembantu kamu yang bayarin, nggak sekalian semua uangmu berikan saja padanya?" balasku dengan dada terbakar panas."Terus maumu gimana? Mau minta tambah jatah bulanan? Kamu kan juga dapat penghasilan dari jualan onlen, apa masih kurang?""Ini bukan masalah kurang atau nggak, ya. Tapi sikap kamu yang terlalu loyal kepada orang lain daripada kepada istri sendiri, Mas," ujarku dengan nada naik satu oktaf."Vina bukan orang lain, dia adikku, dia juga berhak menikmati apa yang aku punya," kekeh Mas Toro tidak mau kalah."Terserah kamu lah, Mas, aku capek debat sama kamu. O ya, jangan lupa utangmu segera kembalikan! Daripada untuk foya-foya adik tersayangmu itu, lebih baik buat modal usaha!" sindirku penuh penekanan, kutinggalkan kamar tanpa melanjutkan kegiatanku yang belum selesai, yaitu menyiapkan baju untuk Mas Toro. Bodo amat, biar dia cari sendiri.Kulangkahkan kaki menuju tempat konveksi, tujuanku adalah menemui orang kepercayaan suamiku atau mandor yang mengawasi para pekerja. Karena aku harus memastikan sesuatu."Lian!" panggilku pada pemuda yang sedang duduk di depan meja yang ada di pojok ruangan.Meski konveksi sangat bising karena suara puluhan mesin jahit yang berjalan bersamaan, namun suaraku tidak kalah nyaring sehingga pemuda yang kupanggil itu langsung menoleh."Bu Hasna, ada apa, Bu?" tanya Lian setelah berada di depanku."Aku mau bicara sebentar!" pintaku yang menyerupai perintah.Lian mengikutiku melangkah menjauhi kebisingan konveksi."Mau ngomong apa, Bu?" tanya Lian setelah aku berhenti."Kamu ada megang kartu ATM Pak Bos?" tanyaku to the point. Meski aku marah sama Vina, tapi justru ATM inilah yang mengganggu pikiranku."Nggak, Bu. Dulu pernah, tapi setelah saya bikin , kartu ATM Pak Bos saya kembalikan," jawab Lian menjelaskan."Kartu yang pernah kamu pegang itu nomer rekeningnya ini?" tanyaku lagi sambil menunjukkan layar HP."Iya, Bu, bener nomer rekening yang itu.""Kamu tahu siapa yang pakai kartu ini sekarang?" tanyaku lagi menyelidik.Lian terlihat ragu,namun meluncur juga pengakuan dari mulutnya, "Tahu, Bu, karena saya sendiri yang menyerahkannya atas perintah Pak Bos.""Kamu serahkan kartu itu pada siapa, Lian?""Siapa dia, Lian?" Tanyaku tak sabar. "Waktu itu, Pak Bos menyuruh saya memberikan kartunya pada Dian, Bu," jawab Lian membuatku mengernyitkan dahi. "Dian? Dian yang biasa nganter Rio?" ulangku memastikan. "Iyalah, Bu, Dian sepupu Bu Hasna, emang siapa lagi," sahut mandor muda itu cepat. "Kamu nggak bohong 'kan, Yan?" Aku menyipitkan mata. "Sumpah Demi Allah, saya ngomong apa adanya, Bu," ujarnya begitu meyakinkan. "Ya sudah, terima kasih infonya," ucapku mengakhiri interogasi. Semakin berdenyut saja kepalaku memikirkan masalah ATM ini, dapat keterangan dari Lian bukannya semakin terang malah tambah suram. Kenapa pula Mas Toro memberikan kartu pada Dian? Apakah berarti orang yang dikirimi uang oleh Mas Toro adalah Dian? Tapi untuk apa? Bukannya gaji Dian aku yang membayarkannnya? Daripada tambah pelik, mending aku tanya langsung saja pada orangnya, semoga saja Dian mau jujur. "Halo Di, kamu bisa datang ke kamar Mbak nggak?" tanyaku pada Dian lewat telpon, daripada capek nya
Baiklah, aku akan mencari tahu kebenarannya sekarang juga, apakah benar suamiku tukang main perempuan seperti yang dituturkan Dian. Ya Allah, entahlah bagaimana hatiku jika ini benar. Tapi, kalau Dian berbohong, berani sekali dia mempermainkan nasib rumah tanggaku, rasanya nggak mungkin Dian setega itu padaku. Ah, sudahlah, lebih baik aku membuktikan langsung dengan menanyai para karyawanku itu. "Lagi pada sibuk, ya?" tanyaku setenang mungkin, meski dalam hatiku tak karuan. "Iya, nih Bu Bos, kita sibuk banget, dari tadi pesenan masuk terus," jawab Anita, salah satu karyawan packing. "Pesanan membludak, Bu Bos," kata Dara sang admin yang bekerja di depan komputer. "Stock pada abis, nih Bos," giliran Raya tukang catat stock bersuara. "Alhamdulillah, tapi saya mau ngomong sebentar, tolong tinggalin kesibukan kalian dulu, ya!" pintaku pada mereka. Semuanya nampak saling pandang, bertanya-tanya kira-kira ada apa?. "Semuanya ada di sini, kan? Hari ini ada yang ijin, nggak?" tanyaku
Bab 6 Ketipu"Dian ...."Dian kah orangnya? Aku melirik Dian yang nampak terkesiap. "... tetangga kamu yang pernah kerja di sini hanya sebulan itu siapa, Di?" lanjut Airin membuatku bernapas lega, fyuh kirain. "Maksudmu Sita?" balas Dian balik bertanya. "Iya, si Sita itu, dia keluar dari sini karena mau jadi simpanannya Pak Bos," ujar Airin memberitahu. Aku tahu siapa Sita, orang dia tetangganya Dian otomatis dulu dia juga tetanggaku sebelum Ayah pindah ke perumahan. Dulu Dian lah yang mengajaknya bekerja padaku, baru sebulan yang lalu dia keluar. Jadi ini sebabnya dia keluar, dia telah terjebak dalam rayuan maut suamiku. Tidak heran sih, Sita memang agak centil dan suka berdandan menor, gaya hidupnya juga lumayan hedon, jadi dia lebih memilih jalan pintas daripada bekerja keras. Bisa jadi Sita lah pemegang ATM itu saat ini. "Kamu tahu dari mana, Rin?" "Pernah lihat Sita sama Pak Bos gandengan tangan di mall, Bu," jawab Airin tanpa sungkan lagi. Nggak perlu lah mencari bukti k
Bab 7 Ya Allah, misteri siapa pemegang ATM belum terpecahkan, sudah datang masalah baru. Tak pernah kubayangkan, kalau aku akan mengalami kejadian tabu ini, diselingkuhi suami yang sudah belasan tahun kubersamai. Kutatap cermin yang menampilkan bayangan diri. Kurang apa aku sebagai istri? Tubuhku tetap langsing meski sudah beranak dua. Wajahku juga mulus dan glowing, cantik mempesona. Tentu saja karena aku rajin merawatnya. Urusan suami juga tak pernah kuabaikan, selalu kulayani dengan sepenuh hati. Lalu, apa yang membuatnya masih berpaling pada wanita lain? "Ma, aku bosan di rumah, pengen ke mall!" Rio tiba-tiba masuk kamar, membuatku berhenti meratapi diri. "Mau ngapain, Nak?" tanyaku sambil menoleh. "Bosen di rumah, Ma. Pengen main." Ini memang hari Minggu, jadi Rio libur sekolah. Begitu juga dengan Dian, dia dan seluruh karyawanku dan Mas Toro libur pada hari ini, kecuali tiga ART-ku. Jadi, sekarang rumahku cukup sunyi. Sebenarnya aku ingin istirahat, memikirk
Bab 8 Ya, aku memang berbohong. Tidak ada kabar tentang Bapak sama sekali. Yang barusan menelponku adalah Dian, aku tidak mau Mas Toro tahu kalau aku sedang menyelidiki dirinya. Sebelum semuanya jelas, aku akan diam dulu sambil mengumpulkan bukti, kalau sudah waktunya, kan kusingkap topeng yang menutupi wajah busuknya itu. Sampai di rumah Dian, aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan, "Gimana, Di? Kamu udah dapat ATM-nya? Bener Sita kan yang pegang? Atau bukan dia? Atau Sita nggak mau ngaku?""Tenang dulu, Mbak. Duduk dulu, gih!" Bukannya menjawab, Dian malah menuntunku duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. "Nih, lihat dulu!"Kusambar beberapa lembar sekaligus kertas yang disodorkan Dian. Seketika mataku membelalak dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gambar yang terpampang di depan mata. Foto-foto Mas Toro dengan wanita lain yang berpakaian sexi dan berpose mesra, setiap foto menampilkan lelaki yang sama dengan wanita yang berbeda-beda. Benar dugaanku, bukan hanya sat
Bab 9 "Astaghfirullahal adhim!" Aku memekik kaget. Bukan Bapak yang kulihat di sana, melainkan dua manusia berlainan jenis tanpa busana. Keduanya nampak kaget, buru-buru mereka saling melepaskan diri dan menutupi tubuh dengan selimut. Namun, tidak ada raut malu apalagi penyesalan di wajah mereka. "Masih berani datang ke sini?" tanya wanita sebayaku itu sinis. "Di mana Bapak? Kenapa kamu melakukan perbuatan bejat ini di kamar ini?" tanyaku berang, kupastikan mereka berzina. Karena setahuku, wanita itu yang tak lain adalah Zeni, anak sambung Bapak, belum menikah sampai sekarang. "Bapak di kamar belakang, Mbak." Yang menjawab adalah Mbok Asih. "Kamar belakang mana, Mbok?" tanyaku bingung. Setahuku di belakang hanya ada kamar pembantu. "Kamar saya, Mbak Hasna." Pelan Mbok Asih menjawab. "APA?" Aku benar-benar kaget. Kuhampiri istri laknat Bapak yang masih berdiri di bawah tangga sedari tadi, mataku nyalang. Aku benar-benar tidak menyangka wanita yang memasang wajah tanpa dosa itu
Bab 10"Keluar kalian dari rumah ini, sekarang juga!!!" sentak Nenek Lampir sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar. Ya, mulai sekarang aku akan menyebut istri Bapak yang jahat itu Nenek Lampir saja, sangat cocok dengan karakter dan penampilannya, rambut panjang awut-awutan. Aku maju ke depan, "Memangnya kamu siapa mengusir kami dari sini? Ini rumah Bapak, jadi aku juga berhak ada di sini!"Wanita itu tertawa sinis, "Bukan hanya kamu yang kuusir, tapi bawa pergi juga lelaki tua penyakitan itu!!""Atas dasar apa kamu mengusir Bapakku? Ini rumah Bapakku, harusnya kamu yang pergi dari sini!" balasku sengit. "Sertifikat rumah ini atas namaku, jadi rumah ini milikku, bukan milik bapakmu. Selama ini kubiarkan lelaki tua itu tinggal di sini karena belas kasihan tidak ada tempat lain untuk berteduh. Dan, sekarang kamu sudah datang, jadi segera bawa pergi lelaki tidak berguna itu!" Aku terpengarah mendengar Nenek Lampir itu bicara. "Baik, kami akan pergi. Akan tetapi, beri kami wak
Bab 11 Rahasia Yang Terungkap"Sedang apa, Mas?" tanyaku datar tapi sukses membuat suamiku terlonjak kaget. "Eh, anu Ma, Ayah mau ... ngambil berkas di brankas Mama," jawab Mas Toro gugup. Aku mengerutkan kening mendengar alasannya, "Emang kamu pernah nyimpen berkas di brankasku, Mas? Perasaan itu brankas khusus untukku menyimpan uang.""Atau Ayah yang lupa, ya?" sahutnya cengengesan sambil garuk-garuk kepala, pinter banget aktingnya. Nggak mungkinlah lupa, orang udah bertahun-tahun brankasku hanya untuk menyimpan uangku sendiri, sedangkan berkas-berkas semua disimpan di ruang kerjanya. "Oh ya, Mas ... aku mau ngasih tahu kamu kalau sekarang Bapak tinggal di sini," ujarku sebelum tubuh Mas Toro melewati pintu. "APA?" Aku nggak menyangka kalau reaksinya akan seterkejut itu. Lelaki berkulit putih itu kembali mendekatiku, "kenapa nggak izin dulu padaku?""Kenapa harus minta izin dulu?" ulangku, "apa kamu tidak akan mengizinkan? Dia bapakku loh, Mas."Mas Toro tersenyum sinis, "Apa k
Bab 41"Aku ... aku ...," Ana tergagap, tiba-tiba dia memegang tanganku dan memohon, "Tante, tolongin aku, Tante! Aku terpaksa melakukan ini, tapi aku takut."Wajah Ana hampir menangis. "Memangnya kamu ngapain, An?" tanyaku penasaran dan kasihan. "Aku butuh uang, Tante, Mama sakit—"Cerita Ana harus terpotong karena seorang lelaki paruh baya datang menghampiri, "Ayo ke atas, Dek! Om udah selesai check in, nih!"Ana nampak ketakutan menatap lelaki yang mengajaknya pergi itu. "Maaf, Anda ini siapa, ya? Apa maksud Anda mengajak gadis ini check in? Anda mau melakukan asusila pada anak di bawah umur?" Aku maju mencoba melindungi Ana. "Saya sudah membayar gadis ini untuk semalam penuh, jadi terserah mau saya apain!" Lelaki itu menarik Ana dengan kasar.Ana diseret lelaki itu sambil menatapku berharap aku akan menolongnya, aku maju akan mengejar, tapi Mas Dwingga menahanku, melarangku untuk ikut campur. "Tapi, Mas...," protesku yang tak tega melihat wajah sembab Ana. "Biar Mas yang m
Bab 40"Ini, lihat sendiri saja!" Aku menyodorkan sebuah alat yang nampak dua garis biru. "Kamu hamil?" tanyanya kegirangan. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, "Iya, Mas, ini buah cinta kita.""Terima kasih ya, Sayang. Mulai sekarang aku akan tambah rajin cari uang demi masa depan buah cinta kita ini!" Mas Dwingga mencium perutku berkali-kali sampai aku geli sendiri, lalu dia lari ngibrit ke kamar mandi. Aku mengeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah lakunya. Bisa aja si crazy rich itu, mau nggak kerja selama setahun pun hartanya nggak akan habis sampai tujuh turunan. Setelah menikah, aku dan anak-anak diboyong tinggal di istana Mas Dwingga, sebagai istri solihah tentu saja aku manut apa kata suami, tak lupa Bapak juga ikut tinggal di sini bersama kami. Mak Inah dan Santi tetap tinggal di rumah lama dan ditugaskan untuk merawarnya, sedang Siyam pulang kampung dan tidak kembali lagi karena telah menikah dengan kekasihnya di sana. Sekarang rumahku hanya digunakan untuk berjua
Bab 39 "O ya, Hasna, saya mau ngomong sesuatu penting sama kamu.""Ya udah, ngomong aja!""Besok malam, apa kamu punya waktu luang?" "Ada, mau ngapain emang?""Besok, pukul tujuh malam saya jemput kamu sama Bapak kamu, aku datang kamu harus sudah siap!" perintahnya tanpa menerima penolakan. Aku hanya bisa mengiyakan dan menyimpan rasa penasaran pada omongan penting yang akan Mas Dwingga katakan, kenapa harus menunggu besok malam? Kenapa harus ngomong di luar? Kenapa nggak di rumah aja? Kenapa Bapak juga diajak? Memangnya mau ngomong apa, sih? Seharian Mas Dwingga menyiksaku dalam rasa penasaran. Hingga akhirnya, pukul tujuh malam yang dinanti telah tiba. Aku dan Bapak telah bersiap sesuai instruksi Mas Dwingga, begitu dia datang kami langsung masuk mobil, tentu saja Rio kuajak juga, kasihan kalau hanya ditinggal dengan para ART. Aku, Bapak, dan Rio naik mobil yang disopiri Mas Dwingga sendiri, sedang mobilku yang kemarin dikasih bos celana itu masih teronggok manis di halaman dep
Bab 38 Aku masuk ke dalam untuk menyembunyikan rona merah di pipi, juga mentralkan detak jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Baru juga digombali begituan, hatiku sudah jungkir balik tak karuan, apalagi kalau sudah sampai disahkan, eh. Daripada pikiranku berkelana ke mana-mana, mending aku membuat es sirup untuk para karyawanku, pasti mereka kelelahan setelah riwa-riwi mengangkuti lusinan celana ke dalam, apalagi cuaca panas gini, minum es sirup pasti segar. Aku membawa es sirup ke depan, kulihat tinggal Dian yang masih tertinggal membawa barang terakhir. "Sudah selesai, Di?" tanyaku pada Dian. "Ini yang terakhir, Mbak," jawabnya memperlihatkan barang yang dibawanya. "Habis ini ke sini lagi, ya, minum es sirup dulu! Ajak yang lain ke sini juga, o ya, jangan lupa suruh ambil gelas sendiri-sendiri di dapur, soalnya Mbak cuma bawa dua gelas aja ini" pesanku banyak-banyak. Dian mengiyakan sebelum menghilang ke dalam, tak lama kemudian keluar lagi bersama anak-anak l
Bab 37"Udah, si, Mah, pulang aja, yuk!" ajak Dita melihat sambutan Wulan yang tidak ramah sama sekali. "Nanggung, Nak, udah sampai sini," bisikku menolak. Aku mengajak anak-anakku mendekati Wulan, "Nggak nyuruh kami masuk, gitu? Kami tamu, loh!"Wulan mencebik, "Kalian itu tamu tak diundang!"Aku benar-benar sakit hati, kenapa Wulan memperlakukan kami seperti ini? Aku tahu aku hanyalah mantan istri Mas Toro, tapi Dita dan Rio tetaplah darah dagingnya, tidak ada istilah mantan anak. Apa dia lupa saat dia masih menjadi mantan istri Mas Toro, aku memperlakukan Ana seperti anakku sendiri, bukan cuma masalah materi, aku juga menyayangi Ana setulus hati. "Udah, Ma, ayo pulang, Ma! Mama nggak denger tadi Tante Wulan bilang apa? Kita ke sini bukan mau mengemis, Ma!" Dita menarik tanganku mengajak segera pergi. Namun, saat kami akan pergi sebuah mobil memasuki halaman. Mas Toro turun setelah memarkirkan mobilnya. "Mau apa kalian ke sini?" tanya Mas Toro saat melihatku dan anak-anak. "Ma
Bab 36Dwingga menghembuskan napas kasar. "Lala kenapa, Kek?" tanya sebuah suara yang membuat kami semua menoleh. "Lala!" seruku saat melihat gadis itu berdiri di di pintu rumahku. "Tante Zeni tinggal di sini karena Kakek takut dia bakal gangguin Lala?" tanya Lala lagi lebih perinci. Semua mata menatap Bapak, menanti orang tuaku itu bersuara. Bapak menghela napas berat sebelum menjawab, "Iya, La, Kakek takut kalau tantemu itu akan mengganggu kamu kalau dilarang tinggal di sini. Kamu pasti merindukan ibu kandungmu 'kan? Tante Zeni bilang akan memanfaatkan wajahnya yang sama persis dengan wajah ibumu untuk mempengaruhi kamu, Kakek takut kamu akan beneran terpengaruh.""Tapi Lala sudah besar, Kek. Lala tahu kalau Mama udah tiada, meski jujur Lala sangat merindukan Mama, tapi Lala nggak mau posisi Mama digantikan Tante Zeni, Lala tahu kok kelakuan Tante Zeni kayak apa, dia sering godain dan merayu Papa buat dijadikan istrinya, tapi Lala nggak setuju kalau punya Mama seperti Tante Zen
Bab 35"Jadi benar, Mbak Hasna telah menyembunyikan lelaki asing di rumah dan hanya berdua-duaan dengan lelaki tersebut?" "Siapa yang membuat fitnah ini?" Mas Dwingga maju ke depan, sikapnya tenang dan penuh wibawa. "Ini bukan fitnah, tapi fakta! Buktinya kamu ada di sini kan?" Zeni tersenyum licik. "Tapi kami tidak berdua saja, ada orang lain di rumah ini," sangkalku cepat supaya orang-orang tidak terpancing kembali dengan provokasi Zeni. "Mana buktinya? Tidak ada orang lain selain kalian, kok," kata sesebapak ngotot. "Ada saya." Nyai muncul dan bersuara lantang diikuti Gus Iqdam, "saya dan anak saya bersama mereka!"Zeni melotot kaget melihat ada orang lain selain diriku dan Mas Dwingga, gumamnya lirih, "Tapi, tadi ...,""Jadi sudah terbukti 'kan kalau kami tidak seperti yang wanita ini tuduhkan." Aku menunjuk Zeni yang menatap marah padaku. "Kalau begitu kami minta maaf atas keributan yang kami buat dan mengganggu waktu Mbak Hasna," ucap lelaki yang memimpin kerumunan itu. "
Bab 34Ya Allah, aku benar-benar tidak bisa bergerak. Sedetik lagi bibir menjijikan itu akan menyentuh bibirku. Namun, tiba-tiba... Sebuah tangan kekar menarik kerah kemeja lelaki brengsek itu dari belakang. Sebelum lelaki itu sadar, sebuah tinju telah mendarat di mukanya dengan keras. Bugh! Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bugh! Bugh! Bugh! Lelaki brengsek itu mencoba melawan, tapi berhasil dipatahkan. Sebuah tendangan melempar tubuh lelaki kurang ajar itu keluar rumah. "Brengsek!" umpat lelaki itu, tubuhnya pasti terasa remuk. Namun, dia pergi begitu saja tanpa berani kembali melawan. Zeni juga tidak mencegah kepergian teman bejatnya itu, justru dia berlari masuk ke rumah menghampiri orang yang baru saja menyelamatkanku. "Dwingga!" sapa Zeni senang. "Kamu nggak papa?" tanya orang yang baru menolongku itu yang tak lain adalah Pak Dwingga prihatin, dia tidak perduli dengan Zeni yang menyapanya. "Aku masih takut," jawabku lirih, tubuhku masih sedikit gemetar membayangkan
Bab 33 Siang hari, mataku membelalak kaget melihat tubuh renta Bapak nampak kewalahan menarik kasur dari kamar Zeni seorang diri. "Bapak!" pekikku marah, "apa yang sedang Bapak lakukan?" "Hasna, bisa tolong bantu Bapak?" tanya Bapak seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Aku menarik tubuh Bapak agar melepas kasur Zeni, "Kenapa Bapak lakukan ini?" Zeni menampakkan diri, tersenyum penuh kemenangan, "Lihat 'kan, aku masih bisa membuat Bapak menuruti semua perintahku." "Jangan kurang ajar kamu, Zeni! Kamu pasti ngancam Bapak supaya mau menuruti perintah konyolmu itu 'kan?" kataku marah. "O ya pasti, makanya jangan macam-macam sama aku kalau nggak ingin Bapak kamu kenapa-napa!" sentak Zeni padaku, lalu perintahnya pada Bapak, "buruan bawa kasurnya ke depan! Ntar panasnya keburu ilang lagi. Ingat ya, Pak, Bapak kesusahan seperti ini karena ulah anak Bapak sendiri. Makanya, Pak, suruh anak Bapak itu jangan banyak tingkah dan macam-macam sama aku!" Aku hanya bisa menangis meli