Bab 11 Rahasia Yang Terungkap"Sedang apa, Mas?" tanyaku datar tapi sukses membuat suamiku terlonjak kaget. "Eh, anu Ma, Ayah mau ... ngambil berkas di brankas Mama," jawab Mas Toro gugup. Aku mengerutkan kening mendengar alasannya, "Emang kamu pernah nyimpen berkas di brankasku, Mas? Perasaan itu brankas khusus untukku menyimpan uang.""Atau Ayah yang lupa, ya?" sahutnya cengengesan sambil garuk-garuk kepala, pinter banget aktingnya. Nggak mungkinlah lupa, orang udah bertahun-tahun brankasku hanya untuk menyimpan uangku sendiri, sedangkan berkas-berkas semua disimpan di ruang kerjanya. "Oh ya, Mas ... aku mau ngasih tahu kamu kalau sekarang Bapak tinggal di sini," ujarku sebelum tubuh Mas Toro melewati pintu. "APA?" Aku nggak menyangka kalau reaksinya akan seterkejut itu. Lelaki berkulit putih itu kembali mendekatiku, "kenapa nggak izin dulu padaku?""Kenapa harus minta izin dulu?" ulangku, "apa kamu tidak akan mengizinkan? Dia bapakku loh, Mas."Mas Toro tersenyum sinis, "Apa k
Bab 12"Mana tua bangka sialan itu? Kamu sembunyikan di mana dia? Beraninya dia menipuku!"Mendidih rasanya mendengar wanita itu lagi-lagi menyebut Bapak dengan sebutan itu, "Jangan sebut bapakku seperti itu! Apa kamu tidak sadar kalau dirimu juga sudah nenek peot? Makin tua bukannya tambah ibadah malah jadi germo!"Aku tahu dari Bapak kalau rumah itu benar sudah dijadikan tempat pelacuran, tentu saja Nenek Lampir itu sebagai germonya. Makanya Bapak ingin cepat pergi dari tempat itu dan tidak peduli sekalipun rumah itu sudah bukan jadi miliknya. "Jaga mulutmu, ya! Kamu pikir ...,""Pergi dari sini!" usirku tidak ingin mendengar apapun lagi darinya. "Mana tua bangka sialan itu?! Aku harus menemuinya!" teriak Nenek Lampir tak mau menyerah. "PERGI!" Kudorong tubuh tua yang masih sintal itu keras sampai keluar dari rumahku. Sampai di luar aku justru membelalak kaget, mendapatkan kejutan yang tak pernah kubayangkan. Mas Toro dan seorang wanita yang tak lain adalah Zeni sedang mengobrol
Aku terduduk lemas di depan cermin besar yang menampilkan bayangan diri. Air mataku mengalir deras mengingat talak yang begitu ringannya Mas Toro ucapkan, tanpa beban apalagi penyesalan. Resmi sudah diriku menyandang status janda secara agama, lelaki yang telah berubah status itu berjanji akan secepatnya mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. "Kamu boleh tinggal di sini sampai masa iddahmu selesai," ujarnya tanpa menatapku, lanjutnya lagi kemudian, "begitu masa iddahmu selesai, segera angkat kaki dari sini tanpa membawa apapun, tidak ada harta gono gini untukmu, semua hasil jerih payahku. Jadi, kamu tidak ada hak sama sekali!"Aku hanya tertawa mendengarnya. Sebegitu takutnyakah kalau aku akan membawa kabur semua hartanya? Tidak ada hakku dia bilang? Apa mendampinginya selama belasan tahun tetap tidak memberikanku hak untuk mendapatkan sedikit saja hartanya? Bullsh*t! Ambillah semua harta yang telah menjadikanmu lupa diri itu, lelaki br*ngs*k! Hartamu itu tidak ada seujung kuk
Bab 14"Ngapain pulang, Ma, kan tinggal sebulan lagi juga bakal liburan panjang, Dita nggak papa, kok, Ma, Dita nggak sendirian di sini, Ma, Dita punya temen yang masih mau temenan sama Dita meski yang lain pada ngejauhin Dita," cerita Dita dari sebrang sana. "Oh, ya?" Aku sedikit lega mendengar cerita itu, "siapa dia, Nak?""Namanya Lala, Ma, dia itu baiiiik banget, sampai uangku abis aja dia mau minjemin...,""O ya, Nak, Mama Minta maaf, ya, telat ngirimin kamu bulan ini, Mama beneran lupa, Mama sedang kalut, Sayang," ucapku memotong Dita yang belum selesai bercerita. "Iya, Ma, Dita ngerti, kok," jawabnya tanpa marah. "Jadi, temen kamu yang namanya Lala itu yang udah minjemin kamu u*ng?“ ulangku memastikan. " Iya, Ma.""Ya sudah, Mama udah kirim bulanan untuk kamu, terus u*ngnya Lala kamu balikin. Sebagai tanda terima kasih, balikinnya dikasih lebihan, ya!" perintahku. "Oke, Ma," jawab Dita riang.Selesai berbincang-bincang dengan anak perempuanku satu-satunya itu, aku menyimpa
Bab 15 "Karena kupikir kamu anak orang kaya, aku menikahimu supaya bisa hidup enak, tapi nyatanya kamu hanya anak yang dibuang, boro-boro dapat warisan, tinggal di rumah mewah saja tidak kurasakan."Untuk kedua kalinya lukaku kembali dikucur cuka. Terbuka sudah semua topeng yang selama ini dia pakai, dengan sendirinya dia membukanya. Inikah wujud asli mantan suami yang telah ku dampingi selama ini? Tak lebih dari seorang lelaki b4jing4n yang tak punya perasaan. "Dan, sekarang kamu membawa bapakmu yang sudah sakit-sakitan itu tinggal di sini, menambah beban saja! Sekarang kamu jadi pembangkang dan tidak mau patuh padaku, makanya aku menceraikanmu!" tambahnya lagi dengan muka merah padam. Bruk! Suara sesuatu terjatuh dari arah pintu membuatku menoleh. "Bapaaak!" Aku reflek berteriak kaget melihat Bapak tersungkur dengan berurai air mata. Bergegas kumendekat."Kenapa Bapak ada di sini? Kenapa tidak sama Mbok Asih?" tanyaku cemas."Benarkah kalian bercerai karena Bapak?" tanya lelaki
Bab 16"Mak Inah," panggilku pada ART yang kebetulan melintas. "Iya, ada apa, Bu?" tanya wanita paruh baya itu setelah mendekat. "Siapa yang berani mengeluarkan barang-barang saya dari kamar?" tanyaku tajam, aku tidak bermaksud memarahinya, hanya saja suasana hati buruk mempengaruhi nada bicara dan ekspresi wajahku. "Tuan dan Nyonya, Bu," jawab Mak Inah nampak ketakutan. "Tuan dan Nyonya?" ulangku heran mendengar jawaban wanita itu, siapa yang dimaksud Tuan dan Nyonya. Jangan-jangan.... Ya ampun, sok bossy banget wewe gombel itu, belum juga satu hari tinggal di sini sudah mau dipanggil nyonya saja, nyonya ronggeng kali, ya. "Di mana mereka, Mak?" tanyaku berang. "Di kamar, Bu," jawab Mak Inah menunjuk kamar utama yang biasa aku tempati. Segera kuketuk pintu kamar dengan kasar, Mak Inah kusuruh ke belakang karena aku tidak mau dia melihat perang yang akan terjadi sebentar lagi. Wanita sundal itu seenaknya merebut daerah kekuasaanku, itu sama saja dia mengibarkan bendera perang p
Bab 17Wulan pergi masih dengan muka merah padam, untuk menutupi kemaluannya, ups ... maksudku rasa malunya sebelum pergi dia mengata-ngatai makanan yang ada di meja sebagai makanan kampung, tidak sudi dia memakan makanan orang miskin. Aku hanya tertawa, berarti dia menghina suaminya sendiri dong, karena suami sablengnya itu sukanya makanan kampungan dan tidak doyan makanan mahal di resto-resto itu. "Makanan untuk Bapak saya antar sendiri aja, Mak," ujarku pada Mak Inah. "Iya, Bu," jawab Mak Inah patuh. "Mak Inah makan duluan aja!" pesanku sebelum meninggalkan orang tua itu menuju kamar Bapak. "Hasna," sebut Bapak saat melihatku masuk. "Bapak sudah mandi, Pak?" tanyaku melihat Bapak yang sudah rapi. Meski masih tertatih-tatih, tapi Bapak sudah bisa melakukan apa-apa sendiri. "Sudah, Nduk," jawab Bapak sambil tersenyum. "Mbok Asih mana, Pak?" tanyaku lagi. "Masih nyuci baju kayaknya." "Ini makan dulu, Pak!" Aku meletakkan makanan yang kubawa di atas meja dekat tempat tidur.
Bab 18"Mbak Hasna, Mbak Hasna, gawat, Mbak, gawat!" Tergesa-gesa Dian mendatangiku, mukanya nampak panik sekali. Aku masih bersantai setelah sarapan tadi, karena Bapak juga sudah tidak ada, Rio udah berangkat sekolah, tinggalah aku seorang diri tanpa ada yang perlu diurusi. Niat hati ingin menggunakan kesempatan ini untuk menelepon pondok, ingin mendengar kabar dari sulungku, Dita. Namun, sepertinya keinginanku itu harus ditunda dulu. "Gawat apanya, Di?" tanyaku penasaran. "Pesanan membludak ...." Dian berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Malah bagus, dong." Heran deh, banyak pesanan kenapa malah gawat? "Masalahnya stock celana kita habis, Mbak," ujar Dian lagi dengan intonasi cepat. "Tinggal ambil di gudang kan masih banyak." Aku masih belum mengerti kepanikan sepupuku ini. "Di gudang juga nggak ada, Mbak. Semua produk jualan kita kosong!""Masak, sih?" Aku jadi ikutan panik. Bergegas kuseret langkah menuju gudang penyimpanan dari hasil produksi konveksi, Dian mengekor di