Bab 16"Mak Inah," panggilku pada ART yang kebetulan melintas. "Iya, ada apa, Bu?" tanya wanita paruh baya itu setelah mendekat. "Siapa yang berani mengeluarkan barang-barang saya dari kamar?" tanyaku tajam, aku tidak bermaksud memarahinya, hanya saja suasana hati buruk mempengaruhi nada bicara dan ekspresi wajahku. "Tuan dan Nyonya, Bu," jawab Mak Inah nampak ketakutan. "Tuan dan Nyonya?" ulangku heran mendengar jawaban wanita itu, siapa yang dimaksud Tuan dan Nyonya. Jangan-jangan.... Ya ampun, sok bossy banget wewe gombel itu, belum juga satu hari tinggal di sini sudah mau dipanggil nyonya saja, nyonya ronggeng kali, ya. "Di mana mereka, Mak?" tanyaku berang. "Di kamar, Bu," jawab Mak Inah menunjuk kamar utama yang biasa aku tempati. Segera kuketuk pintu kamar dengan kasar, Mak Inah kusuruh ke belakang karena aku tidak mau dia melihat perang yang akan terjadi sebentar lagi. Wanita sundal itu seenaknya merebut daerah kekuasaanku, itu sama saja dia mengibarkan bendera perang p
Bab 17Wulan pergi masih dengan muka merah padam, untuk menutupi kemaluannya, ups ... maksudku rasa malunya sebelum pergi dia mengata-ngatai makanan yang ada di meja sebagai makanan kampung, tidak sudi dia memakan makanan orang miskin. Aku hanya tertawa, berarti dia menghina suaminya sendiri dong, karena suami sablengnya itu sukanya makanan kampungan dan tidak doyan makanan mahal di resto-resto itu. "Makanan untuk Bapak saya antar sendiri aja, Mak," ujarku pada Mak Inah. "Iya, Bu," jawab Mak Inah patuh. "Mak Inah makan duluan aja!" pesanku sebelum meninggalkan orang tua itu menuju kamar Bapak. "Hasna," sebut Bapak saat melihatku masuk. "Bapak sudah mandi, Pak?" tanyaku melihat Bapak yang sudah rapi. Meski masih tertatih-tatih, tapi Bapak sudah bisa melakukan apa-apa sendiri. "Sudah, Nduk," jawab Bapak sambil tersenyum. "Mbok Asih mana, Pak?" tanyaku lagi. "Masih nyuci baju kayaknya." "Ini makan dulu, Pak!" Aku meletakkan makanan yang kubawa di atas meja dekat tempat tidur.
Bab 18"Mbak Hasna, Mbak Hasna, gawat, Mbak, gawat!" Tergesa-gesa Dian mendatangiku, mukanya nampak panik sekali. Aku masih bersantai setelah sarapan tadi, karena Bapak juga sudah tidak ada, Rio udah berangkat sekolah, tinggalah aku seorang diri tanpa ada yang perlu diurusi. Niat hati ingin menggunakan kesempatan ini untuk menelepon pondok, ingin mendengar kabar dari sulungku, Dita. Namun, sepertinya keinginanku itu harus ditunda dulu. "Gawat apanya, Di?" tanyaku penasaran. "Pesanan membludak ...." Dian berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Malah bagus, dong." Heran deh, banyak pesanan kenapa malah gawat? "Masalahnya stock celana kita habis, Mbak," ujar Dian lagi dengan intonasi cepat. "Tinggal ambil di gudang kan masih banyak." Aku masih belum mengerti kepanikan sepupuku ini. "Di gudang juga nggak ada, Mbak. Semua produk jualan kita kosong!""Masak, sih?" Aku jadi ikutan panik. Bergegas kuseret langkah menuju gudang penyimpanan dari hasil produksi konveksi, Dian mengekor di
Bab 19"Pak, apa Bapak dulu belum mendaftarkan merk yang Bapak berikan pada Mas Toro atas nama Bapak?""Iya, Nduk, Bapak tidak sempat. Kamu tahu kan, kalau dulu merk punya Bapak tidak cuma satu, dan prioritas Bapak bukan merk itu, makanya Bapak serahkan pada suamimu-.""Pak, mantan suami!" tekanku mengingatkan. "Oh iya, mantan suamimu itu hebat loh, Nduk, buktinya bisa mengembangkan merk yang tadinya hanya dipandang sebelah mata." Hais, masih aja Bapak muji-muji orang yang jelas-jelas udah menyakiti hati anaknya ini. "Memang dia orang yang bertalenta, Pak. Tapi sayang, semua itu dibarengi dengan sifat sombong dan angkuh yang menjadikannya lupa diri," sahutku lirih. Kembali kuingat bagaimana perjuanganku dulu bersamanya, saat dia hanya kuli bangunan dan aku penjual gorengan. Sebelum bertemu Mas Toro, Bapak sempat menjodohkanku dengan anak temannya, tapi aku tidak mau. Tentu saja Bapak marah dan menarik semua fasilitas mewah yang diberikannya padaku. Bukannya menyerah, aku malah be
Bab 20"Apa mantan suamimu masih memproduksi merk LO*S, Nduk?" tanya Bapak tiba-tiba. "Iya, Pak.""Suruh dia secepatnya berhenti, Nduk!""Dari awal Hasna sudah melarang, . Tapi Mas Toro tidak peduli, apalagi sekarang kami sudah bercerai tambah tidak penting omonganku baginya, Pak." keluhku menanggapi perintah Bapak. "Tapi keadaannya sedang rawan, Nduk. Dwingga sedang mengadakan .... besar-besaran, kalau Toro sampai kena, bisa ludes semua harta kalian." Bapak masih belum berhenti memperingatkan. "Biarin ajalah, Pak. Biar dia tahu rasa, sudah punya merk sendiri malah buat merk lain, apalagi alasannya kalau bukan karena serakah, belum cukup rupanya harta berlimpah yang sudah dia punya, dia masih ingin terus menambah harta meski dengan cara ilegal," sungutku kesal. "Apa kamu nggak sayang, Nduk? Itu kan perjuangan kalian berdua."Aku tertawa miris, "Baginya Hasna tidak berhak sedikitpun atas harta itu, Pak, karena menurutnya semua harta itu hasil kerja kerasnya tanpa ada andilku di da
Bab 21Pagi hariku sekarang berubah, tidak ada kegiatan di dapur yang perlu kulakukan lagi, karena sekarang sudah ada nyonya baru yang mengatur segala kebutuhan rumah. Wulan tidak membiarkan aku mengatur apapun yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, bahkan para ART dilarang menuruti perintahku. Aku dibuatnya menjadi orang asing di istanaku sendiri. Untung aku masih punya para karyawan olshop yang ada di bawah kendaliku. Kegiatan pagiku hanyalah mengurus diriku dan Rio, urusan makan aku memasak sendiri dalam porsi sedikit karena hanya untuk makan aku dan Rio. Tapi pagi ini aku memilih beli. Mak Inah sekarang memasak atas instruksi dari Wulan. Menu masakannya tidak lepas dari olahan ayam atau daging, kadang memesan menu dari restoran. Seolah-olah menunjukkan betapa seleranya sangat berbeda denganku, selera orang kaya. Seperti pagi ini, dia menyuruh Mak Inah memasak udang asam manis. Apa dia tidak tahu kalau Mas Toro alergi sama seafood? Benar saja, begitu melihat menu masakan yang
"Ada apa ini? Kenapa tempatnya berantakan gini?" seruku bingung saat melihat gudang olshopku, ribuan celana berhamburan dari tempat penyimpanan. Sejak celana merk Mas Toro tidak produksi lagi dan stock punyaku benar-benar habis tak tersisa, aku menyuruh para admin untuk mengganti produk jualan yang dipajang di etalase dengan produk baru, yaitu celana merk LO*S yang ori seperti saran Bapak. Berkat Bapaklah aku bisa mendapatkan stock barang, anak buah teman Bapaklah yang mengantarkan langsung ke rumah. Penjualannya memang belum sepesat celana milik Mas Toro, tapi lumayan masih bisa menyelamatkan toko olshop dan para karyawanku tetap gajian. Semua karyawan nampak diam dan menunduk, ekspresi kesal dan marah tergambar jelas di wajah mereka. "Ada apa, Di?" tanyaku langsung meminta penjelasan pada orang kepercayaanku itu, "siapa yang berani melakukan ini?"Sebelum Dian menjawab, masuk seorang perempuan diikuti dua orang laki-laki. Aku menatap heran melihat perempuan itu yang tak lain ad
Bab 23Hari beranjak senja, semua karyawanku sudah kusuruh pulang lebih awal, tinggal aku sendirian di ruang kosong itu sampai waktu salat Asar hampir habis. Kalau tidak ingat kewajiban, rasanya aku masih ingin menyendiri, tapi aku harus bangkit. Memasuki rumah utama, kaki terasa berat. Kulihat komputer yang tadi di ambil dari ruang olshopku berisisihan manis di ruang tengah, salah satunya sedang dioperasikan oleh Ana yang didampingi oleh ibunya, Wulan. "Udah jadi?" tanya Wulan pada Ana."Udah, Ma. Ini aku udah pasang produk yang mau dijual juga, celana LO*S 'kan, Ma?" sahut Ana masih konsentrasi menatap layar menyala yang menampilkan sebuah aplikasi belanja online berwarna oranye. Jadi benar kalau Wulan borokokok itu menginginkan usahaku, untung aku sudah menghapus semua akun jualanku dari semua komputer itu. "Celana merk Papamu sendiri juga masukan!" perintah Wulan yang tak sadar kalau ada aku di sana. Aku tercengang mendengar perintah itu. Jadi celana itu masih ada? Lelaki b4ji
Bab 41"Aku ... aku ...," Ana tergagap, tiba-tiba dia memegang tanganku dan memohon, "Tante, tolongin aku, Tante! Aku terpaksa melakukan ini, tapi aku takut."Wajah Ana hampir menangis. "Memangnya kamu ngapain, An?" tanyaku penasaran dan kasihan. "Aku butuh uang, Tante, Mama sakit—"Cerita Ana harus terpotong karena seorang lelaki paruh baya datang menghampiri, "Ayo ke atas, Dek! Om udah selesai check in, nih!"Ana nampak ketakutan menatap lelaki yang mengajaknya pergi itu. "Maaf, Anda ini siapa, ya? Apa maksud Anda mengajak gadis ini check in? Anda mau melakukan asusila pada anak di bawah umur?" Aku maju mencoba melindungi Ana. "Saya sudah membayar gadis ini untuk semalam penuh, jadi terserah mau saya apain!" Lelaki itu menarik Ana dengan kasar.Ana diseret lelaki itu sambil menatapku berharap aku akan menolongnya, aku maju akan mengejar, tapi Mas Dwingga menahanku, melarangku untuk ikut campur. "Tapi, Mas...," protesku yang tak tega melihat wajah sembab Ana. "Biar Mas yang m
Bab 40"Ini, lihat sendiri saja!" Aku menyodorkan sebuah alat yang nampak dua garis biru. "Kamu hamil?" tanyanya kegirangan. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, "Iya, Mas, ini buah cinta kita.""Terima kasih ya, Sayang. Mulai sekarang aku akan tambah rajin cari uang demi masa depan buah cinta kita ini!" Mas Dwingga mencium perutku berkali-kali sampai aku geli sendiri, lalu dia lari ngibrit ke kamar mandi. Aku mengeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah lakunya. Bisa aja si crazy rich itu, mau nggak kerja selama setahun pun hartanya nggak akan habis sampai tujuh turunan. Setelah menikah, aku dan anak-anak diboyong tinggal di istana Mas Dwingga, sebagai istri solihah tentu saja aku manut apa kata suami, tak lupa Bapak juga ikut tinggal di sini bersama kami. Mak Inah dan Santi tetap tinggal di rumah lama dan ditugaskan untuk merawarnya, sedang Siyam pulang kampung dan tidak kembali lagi karena telah menikah dengan kekasihnya di sana. Sekarang rumahku hanya digunakan untuk berjua
Bab 39 "O ya, Hasna, saya mau ngomong sesuatu penting sama kamu.""Ya udah, ngomong aja!""Besok malam, apa kamu punya waktu luang?" "Ada, mau ngapain emang?""Besok, pukul tujuh malam saya jemput kamu sama Bapak kamu, aku datang kamu harus sudah siap!" perintahnya tanpa menerima penolakan. Aku hanya bisa mengiyakan dan menyimpan rasa penasaran pada omongan penting yang akan Mas Dwingga katakan, kenapa harus menunggu besok malam? Kenapa harus ngomong di luar? Kenapa nggak di rumah aja? Kenapa Bapak juga diajak? Memangnya mau ngomong apa, sih? Seharian Mas Dwingga menyiksaku dalam rasa penasaran. Hingga akhirnya, pukul tujuh malam yang dinanti telah tiba. Aku dan Bapak telah bersiap sesuai instruksi Mas Dwingga, begitu dia datang kami langsung masuk mobil, tentu saja Rio kuajak juga, kasihan kalau hanya ditinggal dengan para ART. Aku, Bapak, dan Rio naik mobil yang disopiri Mas Dwingga sendiri, sedang mobilku yang kemarin dikasih bos celana itu masih teronggok manis di halaman dep
Bab 38 Aku masuk ke dalam untuk menyembunyikan rona merah di pipi, juga mentralkan detak jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Baru juga digombali begituan, hatiku sudah jungkir balik tak karuan, apalagi kalau sudah sampai disahkan, eh. Daripada pikiranku berkelana ke mana-mana, mending aku membuat es sirup untuk para karyawanku, pasti mereka kelelahan setelah riwa-riwi mengangkuti lusinan celana ke dalam, apalagi cuaca panas gini, minum es sirup pasti segar. Aku membawa es sirup ke depan, kulihat tinggal Dian yang masih tertinggal membawa barang terakhir. "Sudah selesai, Di?" tanyaku pada Dian. "Ini yang terakhir, Mbak," jawabnya memperlihatkan barang yang dibawanya. "Habis ini ke sini lagi, ya, minum es sirup dulu! Ajak yang lain ke sini juga, o ya, jangan lupa suruh ambil gelas sendiri-sendiri di dapur, soalnya Mbak cuma bawa dua gelas aja ini" pesanku banyak-banyak. Dian mengiyakan sebelum menghilang ke dalam, tak lama kemudian keluar lagi bersama anak-anak l
Bab 37"Udah, si, Mah, pulang aja, yuk!" ajak Dita melihat sambutan Wulan yang tidak ramah sama sekali. "Nanggung, Nak, udah sampai sini," bisikku menolak. Aku mengajak anak-anakku mendekati Wulan, "Nggak nyuruh kami masuk, gitu? Kami tamu, loh!"Wulan mencebik, "Kalian itu tamu tak diundang!"Aku benar-benar sakit hati, kenapa Wulan memperlakukan kami seperti ini? Aku tahu aku hanyalah mantan istri Mas Toro, tapi Dita dan Rio tetaplah darah dagingnya, tidak ada istilah mantan anak. Apa dia lupa saat dia masih menjadi mantan istri Mas Toro, aku memperlakukan Ana seperti anakku sendiri, bukan cuma masalah materi, aku juga menyayangi Ana setulus hati. "Udah, Ma, ayo pulang, Ma! Mama nggak denger tadi Tante Wulan bilang apa? Kita ke sini bukan mau mengemis, Ma!" Dita menarik tanganku mengajak segera pergi. Namun, saat kami akan pergi sebuah mobil memasuki halaman. Mas Toro turun setelah memarkirkan mobilnya. "Mau apa kalian ke sini?" tanya Mas Toro saat melihatku dan anak-anak. "Ma
Bab 36Dwingga menghembuskan napas kasar. "Lala kenapa, Kek?" tanya sebuah suara yang membuat kami semua menoleh. "Lala!" seruku saat melihat gadis itu berdiri di di pintu rumahku. "Tante Zeni tinggal di sini karena Kakek takut dia bakal gangguin Lala?" tanya Lala lagi lebih perinci. Semua mata menatap Bapak, menanti orang tuaku itu bersuara. Bapak menghela napas berat sebelum menjawab, "Iya, La, Kakek takut kalau tantemu itu akan mengganggu kamu kalau dilarang tinggal di sini. Kamu pasti merindukan ibu kandungmu 'kan? Tante Zeni bilang akan memanfaatkan wajahnya yang sama persis dengan wajah ibumu untuk mempengaruhi kamu, Kakek takut kamu akan beneran terpengaruh.""Tapi Lala sudah besar, Kek. Lala tahu kalau Mama udah tiada, meski jujur Lala sangat merindukan Mama, tapi Lala nggak mau posisi Mama digantikan Tante Zeni, Lala tahu kok kelakuan Tante Zeni kayak apa, dia sering godain dan merayu Papa buat dijadikan istrinya, tapi Lala nggak setuju kalau punya Mama seperti Tante Zen
Bab 35"Jadi benar, Mbak Hasna telah menyembunyikan lelaki asing di rumah dan hanya berdua-duaan dengan lelaki tersebut?" "Siapa yang membuat fitnah ini?" Mas Dwingga maju ke depan, sikapnya tenang dan penuh wibawa. "Ini bukan fitnah, tapi fakta! Buktinya kamu ada di sini kan?" Zeni tersenyum licik. "Tapi kami tidak berdua saja, ada orang lain di rumah ini," sangkalku cepat supaya orang-orang tidak terpancing kembali dengan provokasi Zeni. "Mana buktinya? Tidak ada orang lain selain kalian, kok," kata sesebapak ngotot. "Ada saya." Nyai muncul dan bersuara lantang diikuti Gus Iqdam, "saya dan anak saya bersama mereka!"Zeni melotot kaget melihat ada orang lain selain diriku dan Mas Dwingga, gumamnya lirih, "Tapi, tadi ...,""Jadi sudah terbukti 'kan kalau kami tidak seperti yang wanita ini tuduhkan." Aku menunjuk Zeni yang menatap marah padaku. "Kalau begitu kami minta maaf atas keributan yang kami buat dan mengganggu waktu Mbak Hasna," ucap lelaki yang memimpin kerumunan itu. "
Bab 34Ya Allah, aku benar-benar tidak bisa bergerak. Sedetik lagi bibir menjijikan itu akan menyentuh bibirku. Namun, tiba-tiba... Sebuah tangan kekar menarik kerah kemeja lelaki brengsek itu dari belakang. Sebelum lelaki itu sadar, sebuah tinju telah mendarat di mukanya dengan keras. Bugh! Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bugh! Bugh! Bugh! Lelaki brengsek itu mencoba melawan, tapi berhasil dipatahkan. Sebuah tendangan melempar tubuh lelaki kurang ajar itu keluar rumah. "Brengsek!" umpat lelaki itu, tubuhnya pasti terasa remuk. Namun, dia pergi begitu saja tanpa berani kembali melawan. Zeni juga tidak mencegah kepergian teman bejatnya itu, justru dia berlari masuk ke rumah menghampiri orang yang baru saja menyelamatkanku. "Dwingga!" sapa Zeni senang. "Kamu nggak papa?" tanya orang yang baru menolongku itu yang tak lain adalah Pak Dwingga prihatin, dia tidak perduli dengan Zeni yang menyapanya. "Aku masih takut," jawabku lirih, tubuhku masih sedikit gemetar membayangkan
Bab 33 Siang hari, mataku membelalak kaget melihat tubuh renta Bapak nampak kewalahan menarik kasur dari kamar Zeni seorang diri. "Bapak!" pekikku marah, "apa yang sedang Bapak lakukan?" "Hasna, bisa tolong bantu Bapak?" tanya Bapak seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Aku menarik tubuh Bapak agar melepas kasur Zeni, "Kenapa Bapak lakukan ini?" Zeni menampakkan diri, tersenyum penuh kemenangan, "Lihat 'kan, aku masih bisa membuat Bapak menuruti semua perintahku." "Jangan kurang ajar kamu, Zeni! Kamu pasti ngancam Bapak supaya mau menuruti perintah konyolmu itu 'kan?" kataku marah. "O ya pasti, makanya jangan macam-macam sama aku kalau nggak ingin Bapak kamu kenapa-napa!" sentak Zeni padaku, lalu perintahnya pada Bapak, "buruan bawa kasurnya ke depan! Ntar panasnya keburu ilang lagi. Ingat ya, Pak, Bapak kesusahan seperti ini karena ulah anak Bapak sendiri. Makanya, Pak, suruh anak Bapak itu jangan banyak tingkah dan macam-macam sama aku!" Aku hanya bisa menangis meli