Bab 18"Mbak Hasna, Mbak Hasna, gawat, Mbak, gawat!" Tergesa-gesa Dian mendatangiku, mukanya nampak panik sekali. Aku masih bersantai setelah sarapan tadi, karena Bapak juga sudah tidak ada, Rio udah berangkat sekolah, tinggalah aku seorang diri tanpa ada yang perlu diurusi. Niat hati ingin menggunakan kesempatan ini untuk menelepon pondok, ingin mendengar kabar dari sulungku, Dita. Namun, sepertinya keinginanku itu harus ditunda dulu. "Gawat apanya, Di?" tanyaku penasaran. "Pesanan membludak ...." Dian berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Malah bagus, dong." Heran deh, banyak pesanan kenapa malah gawat? "Masalahnya stock celana kita habis, Mbak," ujar Dian lagi dengan intonasi cepat. "Tinggal ambil di gudang kan masih banyak." Aku masih belum mengerti kepanikan sepupuku ini. "Di gudang juga nggak ada, Mbak. Semua produk jualan kita kosong!""Masak, sih?" Aku jadi ikutan panik. Bergegas kuseret langkah menuju gudang penyimpanan dari hasil produksi konveksi, Dian mengekor di
Bab 19"Pak, apa Bapak dulu belum mendaftarkan merk yang Bapak berikan pada Mas Toro atas nama Bapak?""Iya, Nduk, Bapak tidak sempat. Kamu tahu kan, kalau dulu merk punya Bapak tidak cuma satu, dan prioritas Bapak bukan merk itu, makanya Bapak serahkan pada suamimu-.""Pak, mantan suami!" tekanku mengingatkan. "Oh iya, mantan suamimu itu hebat loh, Nduk, buktinya bisa mengembangkan merk yang tadinya hanya dipandang sebelah mata." Hais, masih aja Bapak muji-muji orang yang jelas-jelas udah menyakiti hati anaknya ini. "Memang dia orang yang bertalenta, Pak. Tapi sayang, semua itu dibarengi dengan sifat sombong dan angkuh yang menjadikannya lupa diri," sahutku lirih. Kembali kuingat bagaimana perjuanganku dulu bersamanya, saat dia hanya kuli bangunan dan aku penjual gorengan. Sebelum bertemu Mas Toro, Bapak sempat menjodohkanku dengan anak temannya, tapi aku tidak mau. Tentu saja Bapak marah dan menarik semua fasilitas mewah yang diberikannya padaku. Bukannya menyerah, aku malah be
Bab 20"Apa mantan suamimu masih memproduksi merk LO*S, Nduk?" tanya Bapak tiba-tiba. "Iya, Pak.""Suruh dia secepatnya berhenti, Nduk!""Dari awal Hasna sudah melarang, . Tapi Mas Toro tidak peduli, apalagi sekarang kami sudah bercerai tambah tidak penting omonganku baginya, Pak." keluhku menanggapi perintah Bapak. "Tapi keadaannya sedang rawan, Nduk. Dwingga sedang mengadakan .... besar-besaran, kalau Toro sampai kena, bisa ludes semua harta kalian." Bapak masih belum berhenti memperingatkan. "Biarin ajalah, Pak. Biar dia tahu rasa, sudah punya merk sendiri malah buat merk lain, apalagi alasannya kalau bukan karena serakah, belum cukup rupanya harta berlimpah yang sudah dia punya, dia masih ingin terus menambah harta meski dengan cara ilegal," sungutku kesal. "Apa kamu nggak sayang, Nduk? Itu kan perjuangan kalian berdua."Aku tertawa miris, "Baginya Hasna tidak berhak sedikitpun atas harta itu, Pak, karena menurutnya semua harta itu hasil kerja kerasnya tanpa ada andilku di da
Bab 21Pagi hariku sekarang berubah, tidak ada kegiatan di dapur yang perlu kulakukan lagi, karena sekarang sudah ada nyonya baru yang mengatur segala kebutuhan rumah. Wulan tidak membiarkan aku mengatur apapun yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, bahkan para ART dilarang menuruti perintahku. Aku dibuatnya menjadi orang asing di istanaku sendiri. Untung aku masih punya para karyawan olshop yang ada di bawah kendaliku. Kegiatan pagiku hanyalah mengurus diriku dan Rio, urusan makan aku memasak sendiri dalam porsi sedikit karena hanya untuk makan aku dan Rio. Tapi pagi ini aku memilih beli. Mak Inah sekarang memasak atas instruksi dari Wulan. Menu masakannya tidak lepas dari olahan ayam atau daging, kadang memesan menu dari restoran. Seolah-olah menunjukkan betapa seleranya sangat berbeda denganku, selera orang kaya. Seperti pagi ini, dia menyuruh Mak Inah memasak udang asam manis. Apa dia tidak tahu kalau Mas Toro alergi sama seafood? Benar saja, begitu melihat menu masakan yang
"Ada apa ini? Kenapa tempatnya berantakan gini?" seruku bingung saat melihat gudang olshopku, ribuan celana berhamburan dari tempat penyimpanan. Sejak celana merk Mas Toro tidak produksi lagi dan stock punyaku benar-benar habis tak tersisa, aku menyuruh para admin untuk mengganti produk jualan yang dipajang di etalase dengan produk baru, yaitu celana merk LO*S yang ori seperti saran Bapak. Berkat Bapaklah aku bisa mendapatkan stock barang, anak buah teman Bapaklah yang mengantarkan langsung ke rumah. Penjualannya memang belum sepesat celana milik Mas Toro, tapi lumayan masih bisa menyelamatkan toko olshop dan para karyawanku tetap gajian. Semua karyawan nampak diam dan menunduk, ekspresi kesal dan marah tergambar jelas di wajah mereka. "Ada apa, Di?" tanyaku langsung meminta penjelasan pada orang kepercayaanku itu, "siapa yang berani melakukan ini?"Sebelum Dian menjawab, masuk seorang perempuan diikuti dua orang laki-laki. Aku menatap heran melihat perempuan itu yang tak lain ad
Bab 23Hari beranjak senja, semua karyawanku sudah kusuruh pulang lebih awal, tinggal aku sendirian di ruang kosong itu sampai waktu salat Asar hampir habis. Kalau tidak ingat kewajiban, rasanya aku masih ingin menyendiri, tapi aku harus bangkit. Memasuki rumah utama, kaki terasa berat. Kulihat komputer yang tadi di ambil dari ruang olshopku berisisihan manis di ruang tengah, salah satunya sedang dioperasikan oleh Ana yang didampingi oleh ibunya, Wulan. "Udah jadi?" tanya Wulan pada Ana."Udah, Ma. Ini aku udah pasang produk yang mau dijual juga, celana LO*S 'kan, Ma?" sahut Ana masih konsentrasi menatap layar menyala yang menampilkan sebuah aplikasi belanja online berwarna oranye. Jadi benar kalau Wulan borokokok itu menginginkan usahaku, untung aku sudah menghapus semua akun jualanku dari semua komputer itu. "Celana merk Papamu sendiri juga masukan!" perintah Wulan yang tak sadar kalau ada aku di sana. Aku tercengang mendengar perintah itu. Jadi celana itu masih ada? Lelaki b4ji
Bab 24Lelaki yang punya jantung tapi tak punya hati macam pohon pisang itu malah menyeringai, "Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu berbohong?""A—pa maksudmu, Mas?" tanyaku gugup. "Aku tahu kamu mencoba menipu kami, dasar wanita ular!" umpatnya kasar, "asal kamu tahu, polisi mencariku itu bukan untuk menangkapku tapi malah ingin mengajak kerja sama denganku hahaha ...."Apa? Tidak mungkin! Kenapa polisi malah mengajak kerja sama seorang penj4hat seperti Mas Toro? Dia pasti hanya menggertakku saja, aku tidak boleh kalah. "Aku memang telah melaporkan produksi celana ilegalmu pada polisi. Kita lihat saja nanti, dalam waktu dua puluh empat jam kamu tidak mengembalikan celana-celanaku yang kau rampas, biar polisi yang merampas semua yang kau punya!" ancam ku dengan suara bergetar, tenang Hasna, jangan gugup supaya ancamanmu terdengar meyakinkan. "Silahkan kau panggil satu unit tim polisi sekalian kesini, aku tidak takut hahaha ...." Begitu jumawanya lelaki di hadapanku ini. Mas Toro
Bab 25 POV TORO Hari ini Wulan dan Ana mengajak shopping dan jalan-jalan, kuiyakan saja ajakan mereka daripada ngambek ntar malah panjang urusannya. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, kami semua sudah siap. Wulan dengan dandanannya yang cetar membahana dan pakaian seksi nan modis yang mampu memgundang syahw4t lelaki yang melihatnya. Sebenernya aku tidak rela Wulan mengumbar auratnya begitu, jadi tontonan gratis laki-laki lain. Tapi dia pasti marah kalau kau tegur, jadi kubiarkan saja. Aku menghela napas keras melihat penampilan Ana saat ini yang tak jauh beda dengan ibunya. Kok, bisa loh dia berpakaian seperti itu, dia kan sudah mondok di pesantren bertahun-tahun, baru keluar pondok berapa minggu saja sudah hilang semua ajarannya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kenapa, sih, Mas, ngeliatinnya gitu banget? Terpesona sama kecantikan kita, ya?" goda Wulan penuh percaya diri. Aku hanya mengangkat bahu, "Ayok berangkat! Keburu siang ntar." Aku membuka pintu mobil y