Bab 25 POV TORO Hari ini Wulan dan Ana mengajak shopping dan jalan-jalan, kuiyakan saja ajakan mereka daripada ngambek ntar malah panjang urusannya. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, kami semua sudah siap. Wulan dengan dandanannya yang cetar membahana dan pakaian seksi nan modis yang mampu memgundang syahw4t lelaki yang melihatnya. Sebenernya aku tidak rela Wulan mengumbar auratnya begitu, jadi tontonan gratis laki-laki lain. Tapi dia pasti marah kalau kau tegur, jadi kubiarkan saja. Aku menghela napas keras melihat penampilan Ana saat ini yang tak jauh beda dengan ibunya. Kok, bisa loh dia berpakaian seperti itu, dia kan sudah mondok di pesantren bertahun-tahun, baru keluar pondok berapa minggu saja sudah hilang semua ajarannya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kenapa, sih, Mas, ngeliatinnya gitu banget? Terpesona sama kecantikan kita, ya?" goda Wulan penuh percaya diri. Aku hanya mengangkat bahu, "Ayok berangkat! Keburu siang ntar." Aku membuka pintu mobil y
Bab 26POV HasnaSebulan kemudian. Kutatap rumah megah itu untuk terakhir kalinya, rumah yang telah memberiku keamanan dan kenyamanan sekaligus banyak kenangan. Suka duka dan jatuh bangun perjuanganku selama belasan tahun, rumah inilah yang menjadi saksinya. Namun, sekarang harus kutinggalkan semua. Meski berat, tapi aku harus tetap melangkah. Selesai sudah masa iddahku hari ini dan sekarang waktunya bebas dari kewajibanku berdiam diri di rumah. Kini aku bebas, lepas, benar-benar lepas ikatan dari mantan suami zalim itu. Meski hanya secara agama, karena sampai sekarang aku belum menerima surat apapun dari pengadilan agama. Saat kutanyakan perihal itu padanya, dia bilang aku harus mengurusnya sendiri karena dia tidak mau keluar uang untuk membiayai perceraian ini. Toh, yang dirugikan dengan tidak adanya surat itu adalah aku si pihak perempuan. Karena aku tidak akan pernah bisa menikah lagi jika surat perpisahan itu tidak pernah turun, berarti statusku masih istri seorang Sutoro. Sed
Bab 27 Aku menatap pantulan diri ini di cermin rias yang ada di kamar. Perfect, make up tipis yang tidak begitu mencolok menunjang penampilanku yang elegant berupa gamis branded kekinian dengan jilbab yang menutup dada warna teracotta, sangat serasi dengan kulit wajahku yang putih bersih. Jika aku berdandan menor, bisa-bisa orang-orang akan melabeliku janda gatal penggoda suami orang, mengingat stigma janda di masyarakat masih dipandang rendah. Jadi, dandan sewajarnya saja. Hari ini, waktu libur pondok telah tiba. Aku akan menjemput Dita pulang ke rumah, menikmati liburan setelah setengah tahun menimba ilmu. Kebetulan ini hari Minggu, jadi para karyawan olshop libur. Rio juga akan ikut, dia kan juga libur sekolah, kangen juga sama Kak Dita katanya. "Rio, ayo, Nak! Kamu udah siap belum? Mama udah mau berangkat ini." Aku melongokkan kepala ke kamar Rio, anak SD itu nampak sedang memainkan ponsel pintarnya sambil rebahan, tapi dalam keadaan baju sudah rapi. "Udah, kok, Ma. Ayo bera
Bab 28 "Cie ... cie ... calon mantu Bu Nyai," ledek Dita sepanjang perjalanan tak henti-hentinya menggodaku. "Apaan, sih, Dita, orang Mama belum jawab juga," elakku dengan muka bersemu merah, malu juga diledekin anak sendiri. Hais, Bu Nyai ini, kenapa ngajuin lamaran di depan anakku sendiri, sih, kan jadi malu. "Tinggal iyain aja, sih, Ma. Buktikan sama Ayah kalau Mama itu bisa dapet ganti yang lebih baik daripada dia, udah soleh, ganteng, uangnya juga banyak, nggak kalah banyak, kok, sama uang Ayah," cerocos Dita mengompor-ngompori diriku. Andai saja kau tahu, Nak. Ayahmu tidak ada bandingannya sedikitpun dengan Gus Iqdam, harta aja sekarang sudah ludes semua, apalagi yang mau dibanggakan dari ayahmu itu? "Emang Dita mau kalau punya Ayah baru?" tanyaku pura-pura memancing. "Kalau Ayah barunya kayak Gus Iqdam ya nggak papa, Ma," jawab Dita enteng. "Mamamu itu kan emang kayak berlian, Dit, rugi banget ayahmu menggantinya dengan batu bata." Lian yang sedang fokus menyetir ikut
Bab 29 "Lala!" sentak lelaki itu membuat kami semua terlonjak kaget. Lelaki itu mendekat, wajahnya terlihat marah, "Sedang apa kamu di sini? Kamu minggat dari pondok?" Lala menatap lelaki itu sebal, tidak ada rasa takut sedikit pun meski lelaki itu memasang mimik garang, "Apa Papa menyuruhku jadi penjaga pondok sementara semua santri lainnya pulang ke rumah untuk liburan?" Lelaki yang ternyata papanya Lala itu nampak terkesiap, eh, tunggu, tunggu ... dia papanya Lala? Berarti lelaki ini adalah Pak Dwingga, dong. Tapi, kok, masih muda gini? Seumuran sama ayahnya Dita paling, kupikir Pak Dwingga itu udah kakek-kakek seperti Bapak, ternyata masih muda. Kok, bisa temen Bapak masih muda gini, mana tampan lagi, eh. "Papa kan udah janji mau jemput Lala kalau sudah liburan, kenapa Papa tadi nggak datang?" tanya Lala merajuk. "Maaf, La, Papa lupa kalau hari ini waktunya kamu pulang," ucap papanya Lala menyesal, suaranya turun satu oktaf dibanding tadi. "Papa jahat! Papa hanya
Bab 30"Jadi... ibumu adalah Zeni?" tanyaku setengah tak percaya. "Bukan, Tan," sanggah Lala cepat, "Tante Zeni itu kembaran mamaku.""Kembar? Aku kok baru tahu kalau Zeni punya saudara kembar," gumamku lirih."Apa, Tan?" tanya Lala, mungkin karena gumamanku tidak terlalu jelas di telinganya. "Ah, bukan apa-apa. Udah, yuk, katanya mau makan!" ajakku kemudian, lebih baik kutanyakan ini pada Bapak saja, pasti Bapak tahu. Sampai di dapur yang luas dengan perabotan yang super lengkap, seorang koki dengan apron di kepalanya menyambut kedatangan kami dengan gembira. "Selamat datang kembali di dapur umami, Non Lala," sambut koki perempuan itu ceria. "Makasih, Bu Denok," balas Lala tersenyum ramah. "No, no, no, Chef Denok!" koreksi koki itu yang tidak mau dipanggil 'Bu'. "Ah iya, Chef Denok, masakannya udah matang belum?" tanya Lala. "Belum, Non, ini kan belum waktunya makan siang," jawab Chef Denok halus. "Kebetulan kalau gitu," ujar Lala girang. Chef Denok nampak bingung mendenga
Bab 31"Andai Lala juga anaknya Tante Hasna," imbuh Lala membuat Pak Dwingga tiba-tiba tersedak. Uhuk! "Nih, minum dulu, Pa!" Lala cepat-cepat menyodorkan gelas yang sudah terisi air putih. Pak Dwingga meraih gelas itu, lalu meneguknya sampai habis. "Udah enakan, Ngga?" tanya Bapak perhatian. Aku pun sebenarnya ikut khawatir melihat keadaan lelaki itu yang masih mengusap-usap dadanya. "Udah lumayan, Om," jawab Pak Dwingga pada Bapak. "Makan nggak usah buru-buru, kayak nggak pernah makan aja kamu," canda Bapak mencairkan suasana. "Emang Papa nggak pernah makan, Kek, kerja teroooos!" ledek Lala tanpa sungkan. Lelaki itu menatap Lala tajam, tapi rupanya anak itu tidak gentar sama sekali dengan tatapan bapaknya. "O ya, ngomong-ngomong kalian belum bercerita bagaimana bisa datang bersamaan ke rumah ini?" Kakek mengalihkan pembicaraan. "Ini semua gara-gara Papa yang tidak peduli pada anaknya, Kek." Lagi-lagi Lala memojokkan Pak Dwingga. Pak Dwingga menghela napas, mimik menyesal
Bab 32"Kenapa dia langsung mau? Apa mereka saling mencintai sampai mau dijodohkan?""Bapak tidak tahu, Nduk. Mungkin karena Dwingga merasa berhutang budi pada Bapak, makanya dia menyanggupi permintaan Bapak. Setelah Dwingga dan Zunay menikah, mereka langsung dikarunia buah hati, tapi rupanya kebahagiaan pasangan muda itu harus ditukar dengan nyawa Zunay saat melahirkan bayinya ke dunia. Sejak saat itulah, Bapak dan Dwingga terputus hubungan karena lelaki itu menarik diri dari pergaulan dan menggunakan seluruh waktu yang dimilikinya hanya untuk bekerja, mungkin itu cara dia melampiaskan kesedihannya karena ditinggal Zunay untuk selamanya." Berakhirlah cerita Bapak yang mampu membuat aku mengusap air yang ada di sudut mata. Bikin terharu juga jalan cerita Pak Dwingga dan almarhumah istrinya itu, "Jadi, Lala sudah ditinggal mati ibunya sejak lahir? Dia tidak mengenal sosok ibunya sama sekali? Dan Pak Dwingga juga tidak begitu peduli dengan Lala karena yang diurusnya hanya pekerjaan saj