Bab 14"Ngapain pulang, Ma, kan tinggal sebulan lagi juga bakal liburan panjang, Dita nggak papa, kok, Ma, Dita nggak sendirian di sini, Ma, Dita punya temen yang masih mau temenan sama Dita meski yang lain pada ngejauhin Dita," cerita Dita dari sebrang sana. "Oh, ya?" Aku sedikit lega mendengar cerita itu, "siapa dia, Nak?""Namanya Lala, Ma, dia itu baiiiik banget, sampai uangku abis aja dia mau minjemin...,""O ya, Nak, Mama Minta maaf, ya, telat ngirimin kamu bulan ini, Mama beneran lupa, Mama sedang kalut, Sayang," ucapku memotong Dita yang belum selesai bercerita. "Iya, Ma, Dita ngerti, kok," jawabnya tanpa marah. "Jadi, temen kamu yang namanya Lala itu yang udah minjemin kamu u*ng?“ ulangku memastikan. " Iya, Ma.""Ya sudah, Mama udah kirim bulanan untuk kamu, terus u*ngnya Lala kamu balikin. Sebagai tanda terima kasih, balikinnya dikasih lebihan, ya!" perintahku. "Oke, Ma," jawab Dita riang.Selesai berbincang-bincang dengan anak perempuanku satu-satunya itu, aku menyimpa
Bab 15 "Karena kupikir kamu anak orang kaya, aku menikahimu supaya bisa hidup enak, tapi nyatanya kamu hanya anak yang dibuang, boro-boro dapat warisan, tinggal di rumah mewah saja tidak kurasakan."Untuk kedua kalinya lukaku kembali dikucur cuka. Terbuka sudah semua topeng yang selama ini dia pakai, dengan sendirinya dia membukanya. Inikah wujud asli mantan suami yang telah ku dampingi selama ini? Tak lebih dari seorang lelaki b4jing4n yang tak punya perasaan. "Dan, sekarang kamu membawa bapakmu yang sudah sakit-sakitan itu tinggal di sini, menambah beban saja! Sekarang kamu jadi pembangkang dan tidak mau patuh padaku, makanya aku menceraikanmu!" tambahnya lagi dengan muka merah padam. Bruk! Suara sesuatu terjatuh dari arah pintu membuatku menoleh. "Bapaaak!" Aku reflek berteriak kaget melihat Bapak tersungkur dengan berurai air mata. Bergegas kumendekat."Kenapa Bapak ada di sini? Kenapa tidak sama Mbok Asih?" tanyaku cemas."Benarkah kalian bercerai karena Bapak?" tanya lelaki
Bab 16"Mak Inah," panggilku pada ART yang kebetulan melintas. "Iya, ada apa, Bu?" tanya wanita paruh baya itu setelah mendekat. "Siapa yang berani mengeluarkan barang-barang saya dari kamar?" tanyaku tajam, aku tidak bermaksud memarahinya, hanya saja suasana hati buruk mempengaruhi nada bicara dan ekspresi wajahku. "Tuan dan Nyonya, Bu," jawab Mak Inah nampak ketakutan. "Tuan dan Nyonya?" ulangku heran mendengar jawaban wanita itu, siapa yang dimaksud Tuan dan Nyonya. Jangan-jangan.... Ya ampun, sok bossy banget wewe gombel itu, belum juga satu hari tinggal di sini sudah mau dipanggil nyonya saja, nyonya ronggeng kali, ya. "Di mana mereka, Mak?" tanyaku berang. "Di kamar, Bu," jawab Mak Inah menunjuk kamar utama yang biasa aku tempati. Segera kuketuk pintu kamar dengan kasar, Mak Inah kusuruh ke belakang karena aku tidak mau dia melihat perang yang akan terjadi sebentar lagi. Wanita sundal itu seenaknya merebut daerah kekuasaanku, itu sama saja dia mengibarkan bendera perang p
Bab 17Wulan pergi masih dengan muka merah padam, untuk menutupi kemaluannya, ups ... maksudku rasa malunya sebelum pergi dia mengata-ngatai makanan yang ada di meja sebagai makanan kampung, tidak sudi dia memakan makanan orang miskin. Aku hanya tertawa, berarti dia menghina suaminya sendiri dong, karena suami sablengnya itu sukanya makanan kampungan dan tidak doyan makanan mahal di resto-resto itu. "Makanan untuk Bapak saya antar sendiri aja, Mak," ujarku pada Mak Inah. "Iya, Bu," jawab Mak Inah patuh. "Mak Inah makan duluan aja!" pesanku sebelum meninggalkan orang tua itu menuju kamar Bapak. "Hasna," sebut Bapak saat melihatku masuk. "Bapak sudah mandi, Pak?" tanyaku melihat Bapak yang sudah rapi. Meski masih tertatih-tatih, tapi Bapak sudah bisa melakukan apa-apa sendiri. "Sudah, Nduk," jawab Bapak sambil tersenyum. "Mbok Asih mana, Pak?" tanyaku lagi. "Masih nyuci baju kayaknya." "Ini makan dulu, Pak!" Aku meletakkan makanan yang kubawa di atas meja dekat tempat tidur.
Bab 18"Mbak Hasna, Mbak Hasna, gawat, Mbak, gawat!" Tergesa-gesa Dian mendatangiku, mukanya nampak panik sekali. Aku masih bersantai setelah sarapan tadi, karena Bapak juga sudah tidak ada, Rio udah berangkat sekolah, tinggalah aku seorang diri tanpa ada yang perlu diurusi. Niat hati ingin menggunakan kesempatan ini untuk menelepon pondok, ingin mendengar kabar dari sulungku, Dita. Namun, sepertinya keinginanku itu harus ditunda dulu. "Gawat apanya, Di?" tanyaku penasaran. "Pesanan membludak ...." Dian berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Malah bagus, dong." Heran deh, banyak pesanan kenapa malah gawat? "Masalahnya stock celana kita habis, Mbak," ujar Dian lagi dengan intonasi cepat. "Tinggal ambil di gudang kan masih banyak." Aku masih belum mengerti kepanikan sepupuku ini. "Di gudang juga nggak ada, Mbak. Semua produk jualan kita kosong!""Masak, sih?" Aku jadi ikutan panik. Bergegas kuseret langkah menuju gudang penyimpanan dari hasil produksi konveksi, Dian mengekor di
Bab 19"Pak, apa Bapak dulu belum mendaftarkan merk yang Bapak berikan pada Mas Toro atas nama Bapak?""Iya, Nduk, Bapak tidak sempat. Kamu tahu kan, kalau dulu merk punya Bapak tidak cuma satu, dan prioritas Bapak bukan merk itu, makanya Bapak serahkan pada suamimu-.""Pak, mantan suami!" tekanku mengingatkan. "Oh iya, mantan suamimu itu hebat loh, Nduk, buktinya bisa mengembangkan merk yang tadinya hanya dipandang sebelah mata." Hais, masih aja Bapak muji-muji orang yang jelas-jelas udah menyakiti hati anaknya ini. "Memang dia orang yang bertalenta, Pak. Tapi sayang, semua itu dibarengi dengan sifat sombong dan angkuh yang menjadikannya lupa diri," sahutku lirih. Kembali kuingat bagaimana perjuanganku dulu bersamanya, saat dia hanya kuli bangunan dan aku penjual gorengan. Sebelum bertemu Mas Toro, Bapak sempat menjodohkanku dengan anak temannya, tapi aku tidak mau. Tentu saja Bapak marah dan menarik semua fasilitas mewah yang diberikannya padaku. Bukannya menyerah, aku malah be
Bab 20"Apa mantan suamimu masih memproduksi merk LO*S, Nduk?" tanya Bapak tiba-tiba. "Iya, Pak.""Suruh dia secepatnya berhenti, Nduk!""Dari awal Hasna sudah melarang, . Tapi Mas Toro tidak peduli, apalagi sekarang kami sudah bercerai tambah tidak penting omonganku baginya, Pak." keluhku menanggapi perintah Bapak. "Tapi keadaannya sedang rawan, Nduk. Dwingga sedang mengadakan .... besar-besaran, kalau Toro sampai kena, bisa ludes semua harta kalian." Bapak masih belum berhenti memperingatkan. "Biarin ajalah, Pak. Biar dia tahu rasa, sudah punya merk sendiri malah buat merk lain, apalagi alasannya kalau bukan karena serakah, belum cukup rupanya harta berlimpah yang sudah dia punya, dia masih ingin terus menambah harta meski dengan cara ilegal," sungutku kesal. "Apa kamu nggak sayang, Nduk? Itu kan perjuangan kalian berdua."Aku tertawa miris, "Baginya Hasna tidak berhak sedikitpun atas harta itu, Pak, karena menurutnya semua harta itu hasil kerja kerasnya tanpa ada andilku di da
Bab 21Pagi hariku sekarang berubah, tidak ada kegiatan di dapur yang perlu kulakukan lagi, karena sekarang sudah ada nyonya baru yang mengatur segala kebutuhan rumah. Wulan tidak membiarkan aku mengatur apapun yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, bahkan para ART dilarang menuruti perintahku. Aku dibuatnya menjadi orang asing di istanaku sendiri. Untung aku masih punya para karyawan olshop yang ada di bawah kendaliku. Kegiatan pagiku hanyalah mengurus diriku dan Rio, urusan makan aku memasak sendiri dalam porsi sedikit karena hanya untuk makan aku dan Rio. Tapi pagi ini aku memilih beli. Mak Inah sekarang memasak atas instruksi dari Wulan. Menu masakannya tidak lepas dari olahan ayam atau daging, kadang memesan menu dari restoran. Seolah-olah menunjukkan betapa seleranya sangat berbeda denganku, selera orang kaya. Seperti pagi ini, dia menyuruh Mak Inah memasak udang asam manis. Apa dia tidak tahu kalau Mas Toro alergi sama seafood? Benar saja, begitu melihat menu masakan yang