"Oh jadi gini kelakuanmu, Yah? Di belakangku kamu masih sering menghubungi mantan istrimu yang semok itu." Aku mendelik tajam sambil berkacak pinggang.
"Nggak, Ma, kami cuma sedang membahas uang bulanan Ana, wajarkan, Ma? Ana kan anak kandungku juga," cicit lelaki itu ketakutan."Uang bulanan apa, Yah? Semuanya udah Mama urus,uang makan, uang sekolah, uang jajan, semua sudah Mama kasih untuk bulan ini," jelasku berapi-api.Ana adalah anak sulung suamiku dan mantan istrinya, sekarang sedang menempuh pendidikan SMA di sebuah pesantren bersama Dita, anak sulungku dan suami yang masih SMP.Yang membiayai tentu saja suamiku, dulu waktu masih jadi kuli bangunan saja dia tetap tanggung jawab pada anaknya kok, apalagi sekarang sudah jadi sultan, makin menggelontor saja dana untuk anaknya itu.Memang yang membiayai suamiku, tapi dengan syarat aku yang mengatur semuanya. Semua itu kulakukan supaya suamiku dan mantan istrinya tidak ada alasan untuk berhubungan lagi, namun nyatanya aku masih kecolongan.Kurebut ponsel dari tangan Mas Toro, lalu menyalakan loudspeaker."Heh, Ulat Bulu! Nggak usah ya, kamu minta-minta uang sama suami orang, mau uang itu kerja, jangan tahunya morotin aja! Dikira gampang apa cari uang!" semprotku pada mantan istri suamiku di balik ponsel."Apa salahnya minta uang sama bapak anakku? Toh uangnya juga banyak, minta dikit nggak bakal ngurangin jatah bulanan kamu, serakah banget, sih," balas sebuah suara cempreng yang bikin telingaku langsung gatal-gatal."Yang berhak itu anak kamu, bukan kamunya. Ingat ya, kamu dan Mas Toro itu udah mantan, jadi udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, apalagi nikmatin kekayaan Mas Toro yang kamu tinggalin waktu masih miskin."Klik. Kuputus saja sambungan telpon itu, pagi-pagi udah bikin darah tinggi aja.Ponsel kuserahkan kembali pada suamiku yang sedari tadi hanya diam dan menunduk, "Ingat Mas, dia ninggalin kamu karena dulu kamu nggak punya apa-apa, kalau kamu bisa mikir, sih.""Tapi sekarang aku sudah punya segalanya, " lirih suamiku, namun aku masih cukup mendengarnya.***Siang hari, sepulang menjemput Rio aku pergi ke rumah Dian, sebelumnya mampir dulu ke toko buah dan camilan. Nggak enaklah jenguk orang sakit tapi tidak bawa apa-apa.Rumah Dian beda kampung dengan rumahku, tapi masih satu kelurahan. Rumahnya nampak sepi, berkali-kali aku mengetuk pintu, tak ada yang kunjung membukakannya juga. Akhirnya kuputuskan duduk di kursi yang ada di teras sambil menunggu. Mau pulang sayang, sudah jauh-jauh ke sini. Siapa tahu Dian sedang keluar dan sebentar lagi pulang.Benar saja, tak lama kemudian Dian datang sambil mengendarai motor matic-nya."Mbak Hasna, Rio," sapanya sedikit kaget, "kok di luar, Mbak? Udah dari tadi, ya?" tanya Dian sungkan."Pintunya dikunci, Di. Bude Rahmi lagi tidur, mungkin. Kamu dari mana? " jawabku sekaligus juga melempar tanya."Ini, Mbak, beli lauk buat makan siang." Dian memasukan kunci pintu ke lubangnya, "Mbak Wulan udah nggak jualan, jadi aku belinya jauh.""Wulan udah berhenti jualan?" Aku membeo sambil mengikuti Dian masuk rumah.Kalian tidak salah, Wulan yang dimaksud di sini adalah mantan istri suamiku yang pergi karena tidak kuat hidup miskin. Setelah bercerai dia sempat menikah lagi, namun rupanya suaminya itu kurang kaya hingga kembali ia tinggalkan, selepas menjanda dua kali dia memutuskan berjualan lauk pauk untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Rumah Wulan tidak begitu jauh dengan rumah Dian, tadi aku juga lewat depan rumahnya yang nampak sepi."Iya, Mbak, sudah hampir sebulanan, dan kamu tahu nggak Mbak? Sekarang penampilannya kayak Nyonya Sosialita, " ujar Dian otomatis melirihkan suaranya, khas emak-emak ghibah.Pintu terbuka."Emang gimana Nyonya Sosialita itu, Di?" tanyaku sambil berjalan masuk."Bajunya bagus-bagus, tas, sepatu semuannya branded, perhiasannya juga komplit, Mbak. Gelang, kalung, cincin sampai gelang kaki dia juga pakai, beda banget deh dengan penampilannya dulu yang sangat sederhana, glamor sekarang,Mbak, " terang Dian menggebu-gebu."Imitasi kali, Di." Bukannya aku menghina, malah aku sedang berbaik sangka, kalau berburuk sangka kan kupikir lelaki mana yang sedang dia porotin."Enggak, Mbak. Asli semua, Mbak. Barang-barang branded nya juga asli, bukan yang KW," kekeh Dian."Ini buah buat Bude Rahmi, Di." Aku menyerahkan kantong plastik yang aku bawa, mengalihkan pembicaraan pada mantan istri suamiku itu, Dian menerima dengan senang hati."Ke kamar aja, Mbak. Ibu lagi tidur mungkin." Dian menuntunku ke kamar Bude Rahmi.Rio sedari tadi mengekor di belakang, saat pintu kamar terbuka nampaklah sesosok tubuh sedang berbaring dengan mata terpejam.Dian mendekati wanita yang telah melahirkannya itu, mengguncang pelan tubuhnya sampai mata Bude Rahmi terbuka."Ada Mbak Hasna, Bu," ujar Dian memberi tahu."Hasna, anak Waluyo?" Bude Rahmi berusaha bangkit, aku berlari membantunya sampai duduk tegak punggung menyender tembok."Iya, Bude, siapa lagi ponakan Bude selain anak Pak Waluyo," balasku bergurau."Owalah, Nduk, kamu nggak ingin jenguk bapakmu?" tanya Bude Rahmi padaku.Bude Rahmi dan Bapak adalah kakak beradik sodara kandung, tadinya rumah bapak di kampung ini juga, namun sejak menikah lagi setelah ditinggal ibuku selamanya dari dunia, istri baru bapak meminta pindah hidup di perumahan elit.Dulu aku masih sering mengunjungi Bapak, saat Bapak masih sehat dan kaya dengan usaha konveksi nya, sedang aku hanya istri seorang kuli bangunan."Bude kan tahu, aku udah diusir Bapak, " kataku sendu, kembali teringat saat diri ini diusir bapak sendiri karena fitnah anak tirinya."Kamu nggak mau maafin bapak kamu, Nduk? Sekarang bapakmu kasihan, sakit tapi tidak ada yang ngurus, anak dan istrinya justru tidak peduli. Untung masih ada Mbok Asih yang mau merawat Waluyo," cerita Bude Rahmi sukses membuatku meneteskan air mata.Bapak, seberapa besar pun kesalahan yang kau perbuat, aku tetap mencintaimu, Pak. Apalagi Hasna tahu, Bapak melakukan semua itu karena pengaruh istri baru Bapak yang ingin menguasai harta Bapak. Tapi, kalau Hasna datang, apa Bapak mau nerima Hasna?"Apa Bapak masih mau nerima Hasna, Bude? Hasna takut, kalau ke sana Hasna kembali diusir," ungkapku jujur."Bapakmu sudah sadar, Nduk. Datanglah, bapakmu selalu memanggil-manggil namamu." Bude Rahmi menggenggam tanganku kuat, seolah memberi keyakinan."Baik, Bude. Nanti Hasna ke sana, sekarang Bude gimana keadaannya?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.Mengalir lah pembicaraan sampai waktu hampir dhuhur, aku pamit pulang. Dian berjanji besok akan datang ke rumah, karena aku kuwalahan kalau tidak ada Dian, selain ikut membantu jagain Rio, Dian juga merupakan orang kepercayaanku.***Sebuah paket besar teronggok di ruang tamu, tertera nama suamiku dan alamat rumah ini. Hm, penasaran juga suamiku pesan apa. Berat banget gini.Ku ambil gunting, dan kubuka ujung paket. Seketika mataku membelalak melihat tumpukan kertas yang memenuhi ruang kardus itu."Berani sekali suamiku ...,"***Hari sudah larut, sudah kupastikan Rio tidur dengan nyenyak di kamarnya. Dian sudah pulang dari tadi, karena dia hanya bekerja dari pagi sampai sore. Waktunya me time. Kugunakan waktu me time setiap malam untuk merawat wajahku. Jangan sampai skip perawatan wajah saat sebelum tidur, kalau ingin skincare-mu bekerja maksimal. Lihat nih hasil dari tidak pernah lupa pakai skincare sebelum tidur, kulit putih, mulus, glowing, licin kayak marmer hehe ... yang terakhir canda ya gaes, selain rajin perawatan tentu saja karena skincare yang kupakai harganya di atas lima juta. Buat apa uang banyak kalau nggak dinikmatin. Mas Toro masuk saat aku sedang mengoleskan krim di pipi. "Tamunya udah pulang, Yah?" tanyaku memulai obrolan. "Udah, Mah. Kayaknya besok Ayah harus keluar kota, deh, Ma," ujar suamiku yang sudah berbaring di ranjang besar kami. "Ke mana, Yah? Bukannya jadwal ke Solo masih dua hari lagi?" tanyaku heran. "Ada customer baru, Ma. Ayah takut ketipu, partai besar, tapi orangnya n
"Siapa dia, Lian?" Tanyaku tak sabar. "Waktu itu, Pak Bos menyuruh saya memberikan kartunya pada Dian, Bu," jawab Lian membuatku mengernyitkan dahi. "Dian? Dian yang biasa nganter Rio?" ulangku memastikan. "Iyalah, Bu, Dian sepupu Bu Hasna, emang siapa lagi," sahut mandor muda itu cepat. "Kamu nggak bohong 'kan, Yan?" Aku menyipitkan mata. "Sumpah Demi Allah, saya ngomong apa adanya, Bu," ujarnya begitu meyakinkan. "Ya sudah, terima kasih infonya," ucapku mengakhiri interogasi. Semakin berdenyut saja kepalaku memikirkan masalah ATM ini, dapat keterangan dari Lian bukannya semakin terang malah tambah suram. Kenapa pula Mas Toro memberikan kartu pada Dian? Apakah berarti orang yang dikirimi uang oleh Mas Toro adalah Dian? Tapi untuk apa? Bukannya gaji Dian aku yang membayarkannnya? Daripada tambah pelik, mending aku tanya langsung saja pada orangnya, semoga saja Dian mau jujur. "Halo Di, kamu bisa datang ke kamar Mbak nggak?" tanyaku pada Dian lewat telpon, daripada capek nya
Baiklah, aku akan mencari tahu kebenarannya sekarang juga, apakah benar suamiku tukang main perempuan seperti yang dituturkan Dian. Ya Allah, entahlah bagaimana hatiku jika ini benar. Tapi, kalau Dian berbohong, berani sekali dia mempermainkan nasib rumah tanggaku, rasanya nggak mungkin Dian setega itu padaku. Ah, sudahlah, lebih baik aku membuktikan langsung dengan menanyai para karyawanku itu. "Lagi pada sibuk, ya?" tanyaku setenang mungkin, meski dalam hatiku tak karuan. "Iya, nih Bu Bos, kita sibuk banget, dari tadi pesenan masuk terus," jawab Anita, salah satu karyawan packing. "Pesanan membludak, Bu Bos," kata Dara sang admin yang bekerja di depan komputer. "Stock pada abis, nih Bos," giliran Raya tukang catat stock bersuara. "Alhamdulillah, tapi saya mau ngomong sebentar, tolong tinggalin kesibukan kalian dulu, ya!" pintaku pada mereka. Semuanya nampak saling pandang, bertanya-tanya kira-kira ada apa?. "Semuanya ada di sini, kan? Hari ini ada yang ijin, nggak?" tanyaku
Bab 6 Ketipu"Dian ...."Dian kah orangnya? Aku melirik Dian yang nampak terkesiap. "... tetangga kamu yang pernah kerja di sini hanya sebulan itu siapa, Di?" lanjut Airin membuatku bernapas lega, fyuh kirain. "Maksudmu Sita?" balas Dian balik bertanya. "Iya, si Sita itu, dia keluar dari sini karena mau jadi simpanannya Pak Bos," ujar Airin memberitahu. Aku tahu siapa Sita, orang dia tetangganya Dian otomatis dulu dia juga tetanggaku sebelum Ayah pindah ke perumahan. Dulu Dian lah yang mengajaknya bekerja padaku, baru sebulan yang lalu dia keluar. Jadi ini sebabnya dia keluar, dia telah terjebak dalam rayuan maut suamiku. Tidak heran sih, Sita memang agak centil dan suka berdandan menor, gaya hidupnya juga lumayan hedon, jadi dia lebih memilih jalan pintas daripada bekerja keras. Bisa jadi Sita lah pemegang ATM itu saat ini. "Kamu tahu dari mana, Rin?" "Pernah lihat Sita sama Pak Bos gandengan tangan di mall, Bu," jawab Airin tanpa sungkan lagi. Nggak perlu lah mencari bukti k
Bab 7 Ya Allah, misteri siapa pemegang ATM belum terpecahkan, sudah datang masalah baru. Tak pernah kubayangkan, kalau aku akan mengalami kejadian tabu ini, diselingkuhi suami yang sudah belasan tahun kubersamai. Kutatap cermin yang menampilkan bayangan diri. Kurang apa aku sebagai istri? Tubuhku tetap langsing meski sudah beranak dua. Wajahku juga mulus dan glowing, cantik mempesona. Tentu saja karena aku rajin merawatnya. Urusan suami juga tak pernah kuabaikan, selalu kulayani dengan sepenuh hati. Lalu, apa yang membuatnya masih berpaling pada wanita lain? "Ma, aku bosan di rumah, pengen ke mall!" Rio tiba-tiba masuk kamar, membuatku berhenti meratapi diri. "Mau ngapain, Nak?" tanyaku sambil menoleh. "Bosen di rumah, Ma. Pengen main." Ini memang hari Minggu, jadi Rio libur sekolah. Begitu juga dengan Dian, dia dan seluruh karyawanku dan Mas Toro libur pada hari ini, kecuali tiga ART-ku. Jadi, sekarang rumahku cukup sunyi. Sebenarnya aku ingin istirahat, memikirk
Bab 8 Ya, aku memang berbohong. Tidak ada kabar tentang Bapak sama sekali. Yang barusan menelponku adalah Dian, aku tidak mau Mas Toro tahu kalau aku sedang menyelidiki dirinya. Sebelum semuanya jelas, aku akan diam dulu sambil mengumpulkan bukti, kalau sudah waktunya, kan kusingkap topeng yang menutupi wajah busuknya itu. Sampai di rumah Dian, aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan, "Gimana, Di? Kamu udah dapat ATM-nya? Bener Sita kan yang pegang? Atau bukan dia? Atau Sita nggak mau ngaku?""Tenang dulu, Mbak. Duduk dulu, gih!" Bukannya menjawab, Dian malah menuntunku duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. "Nih, lihat dulu!"Kusambar beberapa lembar sekaligus kertas yang disodorkan Dian. Seketika mataku membelalak dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gambar yang terpampang di depan mata. Foto-foto Mas Toro dengan wanita lain yang berpakaian sexi dan berpose mesra, setiap foto menampilkan lelaki yang sama dengan wanita yang berbeda-beda. Benar dugaanku, bukan hanya sat
Bab 9 "Astaghfirullahal adhim!" Aku memekik kaget. Bukan Bapak yang kulihat di sana, melainkan dua manusia berlainan jenis tanpa busana. Keduanya nampak kaget, buru-buru mereka saling melepaskan diri dan menutupi tubuh dengan selimut. Namun, tidak ada raut malu apalagi penyesalan di wajah mereka. "Masih berani datang ke sini?" tanya wanita sebayaku itu sinis. "Di mana Bapak? Kenapa kamu melakukan perbuatan bejat ini di kamar ini?" tanyaku berang, kupastikan mereka berzina. Karena setahuku, wanita itu yang tak lain adalah Zeni, anak sambung Bapak, belum menikah sampai sekarang. "Bapak di kamar belakang, Mbak." Yang menjawab adalah Mbok Asih. "Kamar belakang mana, Mbok?" tanyaku bingung. Setahuku di belakang hanya ada kamar pembantu. "Kamar saya, Mbak Hasna." Pelan Mbok Asih menjawab. "APA?" Aku benar-benar kaget. Kuhampiri istri laknat Bapak yang masih berdiri di bawah tangga sedari tadi, mataku nyalang. Aku benar-benar tidak menyangka wanita yang memasang wajah tanpa dosa itu
Bab 10"Keluar kalian dari rumah ini, sekarang juga!!!" sentak Nenek Lampir sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar. Ya, mulai sekarang aku akan menyebut istri Bapak yang jahat itu Nenek Lampir saja, sangat cocok dengan karakter dan penampilannya, rambut panjang awut-awutan. Aku maju ke depan, "Memangnya kamu siapa mengusir kami dari sini? Ini rumah Bapak, jadi aku juga berhak ada di sini!"Wanita itu tertawa sinis, "Bukan hanya kamu yang kuusir, tapi bawa pergi juga lelaki tua penyakitan itu!!""Atas dasar apa kamu mengusir Bapakku? Ini rumah Bapakku, harusnya kamu yang pergi dari sini!" balasku sengit. "Sertifikat rumah ini atas namaku, jadi rumah ini milikku, bukan milik bapakmu. Selama ini kubiarkan lelaki tua itu tinggal di sini karena belas kasihan tidak ada tempat lain untuk berteduh. Dan, sekarang kamu sudah datang, jadi segera bawa pergi lelaki tidak berguna itu!" Aku terpengarah mendengar Nenek Lampir itu bicara. "Baik, kami akan pergi. Akan tetapi, beri kami wak
Bab 41"Aku ... aku ...," Ana tergagap, tiba-tiba dia memegang tanganku dan memohon, "Tante, tolongin aku, Tante! Aku terpaksa melakukan ini, tapi aku takut."Wajah Ana hampir menangis. "Memangnya kamu ngapain, An?" tanyaku penasaran dan kasihan. "Aku butuh uang, Tante, Mama sakit—"Cerita Ana harus terpotong karena seorang lelaki paruh baya datang menghampiri, "Ayo ke atas, Dek! Om udah selesai check in, nih!"Ana nampak ketakutan menatap lelaki yang mengajaknya pergi itu. "Maaf, Anda ini siapa, ya? Apa maksud Anda mengajak gadis ini check in? Anda mau melakukan asusila pada anak di bawah umur?" Aku maju mencoba melindungi Ana. "Saya sudah membayar gadis ini untuk semalam penuh, jadi terserah mau saya apain!" Lelaki itu menarik Ana dengan kasar.Ana diseret lelaki itu sambil menatapku berharap aku akan menolongnya, aku maju akan mengejar, tapi Mas Dwingga menahanku, melarangku untuk ikut campur. "Tapi, Mas...," protesku yang tak tega melihat wajah sembab Ana. "Biar Mas yang m
Bab 40"Ini, lihat sendiri saja!" Aku menyodorkan sebuah alat yang nampak dua garis biru. "Kamu hamil?" tanyanya kegirangan. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, "Iya, Mas, ini buah cinta kita.""Terima kasih ya, Sayang. Mulai sekarang aku akan tambah rajin cari uang demi masa depan buah cinta kita ini!" Mas Dwingga mencium perutku berkali-kali sampai aku geli sendiri, lalu dia lari ngibrit ke kamar mandi. Aku mengeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah lakunya. Bisa aja si crazy rich itu, mau nggak kerja selama setahun pun hartanya nggak akan habis sampai tujuh turunan. Setelah menikah, aku dan anak-anak diboyong tinggal di istana Mas Dwingga, sebagai istri solihah tentu saja aku manut apa kata suami, tak lupa Bapak juga ikut tinggal di sini bersama kami. Mak Inah dan Santi tetap tinggal di rumah lama dan ditugaskan untuk merawarnya, sedang Siyam pulang kampung dan tidak kembali lagi karena telah menikah dengan kekasihnya di sana. Sekarang rumahku hanya digunakan untuk berjua
Bab 39 "O ya, Hasna, saya mau ngomong sesuatu penting sama kamu.""Ya udah, ngomong aja!""Besok malam, apa kamu punya waktu luang?" "Ada, mau ngapain emang?""Besok, pukul tujuh malam saya jemput kamu sama Bapak kamu, aku datang kamu harus sudah siap!" perintahnya tanpa menerima penolakan. Aku hanya bisa mengiyakan dan menyimpan rasa penasaran pada omongan penting yang akan Mas Dwingga katakan, kenapa harus menunggu besok malam? Kenapa harus ngomong di luar? Kenapa nggak di rumah aja? Kenapa Bapak juga diajak? Memangnya mau ngomong apa, sih? Seharian Mas Dwingga menyiksaku dalam rasa penasaran. Hingga akhirnya, pukul tujuh malam yang dinanti telah tiba. Aku dan Bapak telah bersiap sesuai instruksi Mas Dwingga, begitu dia datang kami langsung masuk mobil, tentu saja Rio kuajak juga, kasihan kalau hanya ditinggal dengan para ART. Aku, Bapak, dan Rio naik mobil yang disopiri Mas Dwingga sendiri, sedang mobilku yang kemarin dikasih bos celana itu masih teronggok manis di halaman dep
Bab 38 Aku masuk ke dalam untuk menyembunyikan rona merah di pipi, juga mentralkan detak jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Baru juga digombali begituan, hatiku sudah jungkir balik tak karuan, apalagi kalau sudah sampai disahkan, eh. Daripada pikiranku berkelana ke mana-mana, mending aku membuat es sirup untuk para karyawanku, pasti mereka kelelahan setelah riwa-riwi mengangkuti lusinan celana ke dalam, apalagi cuaca panas gini, minum es sirup pasti segar. Aku membawa es sirup ke depan, kulihat tinggal Dian yang masih tertinggal membawa barang terakhir. "Sudah selesai, Di?" tanyaku pada Dian. "Ini yang terakhir, Mbak," jawabnya memperlihatkan barang yang dibawanya. "Habis ini ke sini lagi, ya, minum es sirup dulu! Ajak yang lain ke sini juga, o ya, jangan lupa suruh ambil gelas sendiri-sendiri di dapur, soalnya Mbak cuma bawa dua gelas aja ini" pesanku banyak-banyak. Dian mengiyakan sebelum menghilang ke dalam, tak lama kemudian keluar lagi bersama anak-anak l
Bab 37"Udah, si, Mah, pulang aja, yuk!" ajak Dita melihat sambutan Wulan yang tidak ramah sama sekali. "Nanggung, Nak, udah sampai sini," bisikku menolak. Aku mengajak anak-anakku mendekati Wulan, "Nggak nyuruh kami masuk, gitu? Kami tamu, loh!"Wulan mencebik, "Kalian itu tamu tak diundang!"Aku benar-benar sakit hati, kenapa Wulan memperlakukan kami seperti ini? Aku tahu aku hanyalah mantan istri Mas Toro, tapi Dita dan Rio tetaplah darah dagingnya, tidak ada istilah mantan anak. Apa dia lupa saat dia masih menjadi mantan istri Mas Toro, aku memperlakukan Ana seperti anakku sendiri, bukan cuma masalah materi, aku juga menyayangi Ana setulus hati. "Udah, Ma, ayo pulang, Ma! Mama nggak denger tadi Tante Wulan bilang apa? Kita ke sini bukan mau mengemis, Ma!" Dita menarik tanganku mengajak segera pergi. Namun, saat kami akan pergi sebuah mobil memasuki halaman. Mas Toro turun setelah memarkirkan mobilnya. "Mau apa kalian ke sini?" tanya Mas Toro saat melihatku dan anak-anak. "Ma
Bab 36Dwingga menghembuskan napas kasar. "Lala kenapa, Kek?" tanya sebuah suara yang membuat kami semua menoleh. "Lala!" seruku saat melihat gadis itu berdiri di di pintu rumahku. "Tante Zeni tinggal di sini karena Kakek takut dia bakal gangguin Lala?" tanya Lala lagi lebih perinci. Semua mata menatap Bapak, menanti orang tuaku itu bersuara. Bapak menghela napas berat sebelum menjawab, "Iya, La, Kakek takut kalau tantemu itu akan mengganggu kamu kalau dilarang tinggal di sini. Kamu pasti merindukan ibu kandungmu 'kan? Tante Zeni bilang akan memanfaatkan wajahnya yang sama persis dengan wajah ibumu untuk mempengaruhi kamu, Kakek takut kamu akan beneran terpengaruh.""Tapi Lala sudah besar, Kek. Lala tahu kalau Mama udah tiada, meski jujur Lala sangat merindukan Mama, tapi Lala nggak mau posisi Mama digantikan Tante Zeni, Lala tahu kok kelakuan Tante Zeni kayak apa, dia sering godain dan merayu Papa buat dijadikan istrinya, tapi Lala nggak setuju kalau punya Mama seperti Tante Zen
Bab 35"Jadi benar, Mbak Hasna telah menyembunyikan lelaki asing di rumah dan hanya berdua-duaan dengan lelaki tersebut?" "Siapa yang membuat fitnah ini?" Mas Dwingga maju ke depan, sikapnya tenang dan penuh wibawa. "Ini bukan fitnah, tapi fakta! Buktinya kamu ada di sini kan?" Zeni tersenyum licik. "Tapi kami tidak berdua saja, ada orang lain di rumah ini," sangkalku cepat supaya orang-orang tidak terpancing kembali dengan provokasi Zeni. "Mana buktinya? Tidak ada orang lain selain kalian, kok," kata sesebapak ngotot. "Ada saya." Nyai muncul dan bersuara lantang diikuti Gus Iqdam, "saya dan anak saya bersama mereka!"Zeni melotot kaget melihat ada orang lain selain diriku dan Mas Dwingga, gumamnya lirih, "Tapi, tadi ...,""Jadi sudah terbukti 'kan kalau kami tidak seperti yang wanita ini tuduhkan." Aku menunjuk Zeni yang menatap marah padaku. "Kalau begitu kami minta maaf atas keributan yang kami buat dan mengganggu waktu Mbak Hasna," ucap lelaki yang memimpin kerumunan itu. "
Bab 34Ya Allah, aku benar-benar tidak bisa bergerak. Sedetik lagi bibir menjijikan itu akan menyentuh bibirku. Namun, tiba-tiba... Sebuah tangan kekar menarik kerah kemeja lelaki brengsek itu dari belakang. Sebelum lelaki itu sadar, sebuah tinju telah mendarat di mukanya dengan keras. Bugh! Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bugh! Bugh! Bugh! Lelaki brengsek itu mencoba melawan, tapi berhasil dipatahkan. Sebuah tendangan melempar tubuh lelaki kurang ajar itu keluar rumah. "Brengsek!" umpat lelaki itu, tubuhnya pasti terasa remuk. Namun, dia pergi begitu saja tanpa berani kembali melawan. Zeni juga tidak mencegah kepergian teman bejatnya itu, justru dia berlari masuk ke rumah menghampiri orang yang baru saja menyelamatkanku. "Dwingga!" sapa Zeni senang. "Kamu nggak papa?" tanya orang yang baru menolongku itu yang tak lain adalah Pak Dwingga prihatin, dia tidak perduli dengan Zeni yang menyapanya. "Aku masih takut," jawabku lirih, tubuhku masih sedikit gemetar membayangkan
Bab 33 Siang hari, mataku membelalak kaget melihat tubuh renta Bapak nampak kewalahan menarik kasur dari kamar Zeni seorang diri. "Bapak!" pekikku marah, "apa yang sedang Bapak lakukan?" "Hasna, bisa tolong bantu Bapak?" tanya Bapak seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Aku menarik tubuh Bapak agar melepas kasur Zeni, "Kenapa Bapak lakukan ini?" Zeni menampakkan diri, tersenyum penuh kemenangan, "Lihat 'kan, aku masih bisa membuat Bapak menuruti semua perintahku." "Jangan kurang ajar kamu, Zeni! Kamu pasti ngancam Bapak supaya mau menuruti perintah konyolmu itu 'kan?" kataku marah. "O ya pasti, makanya jangan macam-macam sama aku kalau nggak ingin Bapak kamu kenapa-napa!" sentak Zeni padaku, lalu perintahnya pada Bapak, "buruan bawa kasurnya ke depan! Ntar panasnya keburu ilang lagi. Ingat ya, Pak, Bapak kesusahan seperti ini karena ulah anak Bapak sendiri. Makanya, Pak, suruh anak Bapak itu jangan banyak tingkah dan macam-macam sama aku!" Aku hanya bisa menangis meli