Share

Bab 2 Suamiku Mulai Berulah

"Oh jadi gini kelakuanmu, Yah? Di belakangku kamu masih sering menghubungi mantan istrimu yang semok itu." Aku mendelik tajam sambil berkacak pinggang.

"Nggak, Ma, kami cuma sedang membahas uang bulanan Ana, wajarkan, Ma? Ana kan anak kandungku juga," cicit lelaki itu ketakutan.

"Uang bulanan apa, Yah? Semuanya udah Mama urus,uang makan, uang sekolah, uang jajan, semua sudah Mama kasih untuk bulan ini," jelasku berapi-api.

Ana adalah anak sulung suamiku dan mantan istrinya, sekarang sedang menempuh pendidikan SMA di sebuah pesantren bersama Dita, anak sulungku dan suami yang masih SMP.

Yang membiayai tentu saja suamiku, dulu waktu masih jadi kuli bangunan saja dia tetap tanggung jawab pada anaknya kok, apalagi sekarang sudah jadi sultan, makin menggelontor saja dana untuk anaknya itu.

Memang yang membiayai suamiku, tapi dengan syarat aku yang mengatur semuanya. Semua itu kulakukan supaya suamiku dan mantan istrinya tidak ada alasan untuk berhubungan lagi, namun nyatanya aku masih kecolongan.

Kurebut ponsel dari tangan Mas Toro, lalu menyalakan loudspeaker.

"Heh, Ulat Bulu! Nggak usah ya, kamu minta-minta uang sama suami orang, mau uang itu kerja, jangan tahunya morotin aja! Dikira gampang apa cari uang!" semprotku pada mantan istri suamiku di balik ponsel.

"Apa salahnya minta uang sama bapak anakku? Toh uangnya juga banyak, minta dikit nggak bakal ngurangin jatah bulanan kamu, serakah banget, sih," balas sebuah suara cempreng yang bikin telingaku langsung gatal-gatal.

"Yang berhak itu anak kamu, bukan kamunya. Ingat ya, kamu dan Mas Toro itu udah mantan, jadi udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, apalagi nikmatin kekayaan Mas Toro yang kamu tinggalin waktu masih miskin."

Klik. Kuputus saja sambungan telpon itu, pagi-pagi udah bikin darah tinggi aja.

Ponsel kuserahkan kembali pada suamiku yang sedari tadi hanya diam dan menunduk, "Ingat Mas, dia ninggalin kamu karena dulu kamu nggak punya apa-apa, kalau kamu bisa mikir, sih."

"Tapi sekarang aku sudah punya segalanya, " lirih suamiku, namun aku masih cukup mendengarnya.

***

Siang hari, sepulang menjemput Rio aku pergi ke rumah Dian, sebelumnya mampir dulu ke toko buah dan camilan. Nggak enaklah jenguk orang sakit tapi tidak bawa apa-apa.

Rumah Dian beda kampung dengan rumahku, tapi masih satu kelurahan. Rumahnya nampak sepi, berkali-kali aku mengetuk pintu, tak ada yang kunjung membukakannya juga. Akhirnya kuputuskan duduk di kursi yang ada di teras sambil menunggu. Mau pulang sayang, sudah jauh-jauh ke sini. Siapa tahu Dian sedang keluar dan sebentar lagi pulang.

Benar saja, tak lama kemudian Dian datang sambil mengendarai motor matic-nya.

"Mbak Hasna, Rio," sapanya sedikit kaget, "kok di luar, Mbak? Udah dari tadi, ya?" tanya Dian sungkan.

"Pintunya dikunci, Di. Bude Rahmi lagi tidur, mungkin. Kamu dari mana? " jawabku sekaligus juga melempar tanya.

"Ini, Mbak, beli lauk buat makan siang." Dian memasukan kunci pintu ke lubangnya, "Mbak Wulan udah nggak jualan, jadi aku belinya jauh."

"Wulan udah berhenti jualan?" Aku membeo sambil mengikuti Dian masuk rumah.

Kalian tidak salah, Wulan yang dimaksud di sini adalah mantan istri suamiku yang pergi karena tidak kuat hidup miskin. Setelah bercerai dia sempat menikah lagi, namun rupanya suaminya itu kurang kaya hingga kembali ia tinggalkan, selepas menjanda dua kali dia memutuskan berjualan lauk pauk untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Rumah Wulan tidak begitu jauh dengan rumah Dian, tadi aku juga lewat depan rumahnya yang nampak sepi.

"Iya, Mbak, sudah hampir sebulanan, dan kamu tahu nggak Mbak? Sekarang penampilannya kayak Nyonya Sosialita, " ujar Dian otomatis melirihkan suaranya, khas emak-emak ghibah.

Pintu terbuka.

"Emang gimana Nyonya Sosialita itu, Di?" tanyaku sambil berjalan masuk.

"Bajunya bagus-bagus, tas, sepatu semuannya branded, perhiasannya juga komplit, Mbak. Gelang, kalung, cincin sampai gelang kaki dia juga pakai, beda banget deh dengan penampilannya dulu yang sangat sederhana, glamor sekarang,Mbak, " terang Dian menggebu-gebu.

"Imitasi kali, Di." Bukannya aku menghina, malah aku sedang berbaik sangka, kalau berburuk sangka kan kupikir lelaki mana yang sedang dia porotin.

"Enggak, Mbak. Asli semua, Mbak. Barang-barang branded nya juga asli, bukan yang KW," kekeh Dian.

"Ini buah buat Bude Rahmi, Di." Aku menyerahkan kantong plastik yang aku bawa, mengalihkan pembicaraan pada mantan istri suamiku itu, Dian menerima dengan senang hati.

"Ke kamar aja, Mbak. Ibu lagi tidur mungkin." Dian menuntunku ke kamar Bude Rahmi.

Rio sedari tadi mengekor di belakang, saat pintu kamar terbuka nampaklah sesosok tubuh sedang berbaring dengan mata terpejam.

Dian mendekati wanita yang telah melahirkannya itu, mengguncang pelan tubuhnya sampai mata Bude Rahmi terbuka.

"Ada Mbak Hasna, Bu," ujar Dian memberi tahu.

"Hasna, anak Waluyo?" Bude Rahmi berusaha bangkit, aku berlari membantunya sampai duduk tegak punggung menyender tembok.

"Iya, Bude, siapa lagi ponakan Bude selain anak Pak Waluyo," balasku bergurau.

"Owalah, Nduk, kamu nggak ingin jenguk bapakmu?" tanya Bude Rahmi padaku.

Bude Rahmi dan Bapak adalah kakak beradik sodara kandung, tadinya rumah bapak di kampung ini juga, namun sejak menikah lagi setelah ditinggal ibuku selamanya dari dunia, istri baru bapak meminta pindah hidup di perumahan elit.

Dulu aku masih sering mengunjungi Bapak, saat Bapak masih sehat dan kaya dengan usaha konveksi nya, sedang aku hanya istri seorang kuli bangunan.

"Bude kan tahu, aku udah diusir Bapak, " kataku sendu, kembali teringat saat diri ini diusir bapak sendiri karena fitnah anak tirinya.

"Kamu nggak mau maafin bapak kamu, Nduk? Sekarang bapakmu kasihan, sakit tapi tidak ada yang ngurus, anak dan istrinya justru tidak peduli. Untung masih ada Mbok Asih yang mau merawat Waluyo," cerita Bude Rahmi sukses membuatku meneteskan air mata.

Bapak, seberapa besar pun kesalahan yang kau perbuat, aku tetap mencintaimu, Pak. Apalagi Hasna tahu, Bapak melakukan semua itu karena pengaruh istri baru Bapak yang ingin menguasai harta Bapak. Tapi, kalau Hasna datang, apa Bapak mau nerima Hasna?

"Apa Bapak masih mau nerima Hasna, Bude? Hasna takut, kalau ke sana Hasna kembali diusir," ungkapku jujur.

"Bapakmu sudah sadar, Nduk. Datanglah, bapakmu selalu memanggil-manggil namamu." Bude Rahmi menggenggam tanganku kuat, seolah memberi keyakinan.

"Baik, Bude. Nanti Hasna ke sana, sekarang Bude gimana keadaannya?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Mengalir lah pembicaraan sampai waktu hampir dhuhur, aku pamit pulang. Dian berjanji besok akan datang ke rumah, karena aku kuwalahan kalau tidak ada Dian, selain ikut membantu jagain Rio, Dian juga merupakan orang kepercayaanku.

***

Sebuah paket besar teronggok di ruang tamu, tertera nama suamiku dan alamat rumah ini. Hm, penasaran juga suamiku pesan apa. Berat banget gini.

Ku ambil gunting, dan kubuka ujung paket. Seketika mataku membelalak melihat tumpukan kertas yang memenuhi ruang kardus itu.

"Berani sekali suamiku ...,"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status