"Yah, tolong antar Rio sekolah, ya!" pintaku pagi ini.
"Kamu nggak lihat aku sedang mandiin burung? Kamu mau ngapain emang nggak bisa ngantar Rio?" sahut Mas Toro, suamiku itu nampak kesal karena kesenangannya terganggu.Mau nguji kamu, Mas, dan ternyata kamu lebih peduli dengan burung-burungmu itu daripada anakmu sendiri. Ingin rasanya kulontarkan perkataan ini, namun nyatanya hanya mampu kusuarakan dalam hati.Aku masuk, memanggil Rio yang sudah selesai sarapan. "Adek, ayo, hari ini Mama antar kamu, ya!""Iya, Ma, emang Mbak Dian nggak dateng, Ma?" tanya Rio mengikuti langkahku ke depan.Dian adalah sepupuku yang biasa bertugas mengantar-jemput Rio sekolah."Bude Rahmi sakit, Dek. Makanya Mbak Dian nggak bisa dateng, kalau Adek pengen ketemu Mbak Dian nanti siang kita mampir ke rumah Bude Rahmi, sekalian jenguk, gimana?" jelasku sekalian memberinya tawaran."Boleh, Ma. Nanti bawa oleh-oleh yang banyak buat Bude Rahmi, ya, Ma!" usul anakku yang masih berumur sepuluh tahun itu.Aku mengacungkan jempol tanda setuju. Aku masuk ke garasi, Rio menunggu di halaman. Kukeluarkan salah satu motor matic besar dari lima motor yang berjejer rapi di garasi."Mah, sekalian mampir ke rumah Vina, ya! Barusan dia telpon nyuruh Ayah nganterin Bunga, Mama aja sekalian nganter Rio!" suruh suamiku tanpa menatapku, pandangannya hanya lurus pada burung.Kulirik sinis lelakiku itu, "Emang Vina mau ngapain sampai nganter anaknya sekolah aja nggak bisa?'Kubalikkan sekalian kata-katanya tadi, yakin seratus persen dia bakal membela adik kesayangannya itu."Maklum lah, Ma. Vina itu wanita karir, jadi dia sibuk." Tuh kan, apa kubilang? Vina dia bilang wanita karir, iya sih dia punya karir, joget-joget nggak jelas di tiktak sepanjang hari sampai lupa ngurus anak dan suami."Iya, ya, Yah. Kalau Mama kan pengangguran, kerjaannya ongkang-ongkang kaki doang di rumah, uang tinggal minta butuh berapa aja pasti Ayah kasih ...." Belum selesai aku bicara, udah dipotong aja."Nah itu Mama tahu," sahut lelaki itu dengan santainya, tanpa merasa sedikitpun kalau aku baru saja habis-habisan menyindirnya.Dasar lelaki sableng, aku yang tiap hari bantuin kerja dibilang nganggur, adiknya yang kerjaannya joget-joget nggak jelas dibilang wanita karir. Awas aja, aku nggak bakal mampir ke rumah adik kesayanganmu itu.Daripada tambah dongkol mending nyuruh Rio segera naik ke jok belakang, setelah siap aku segera memacu kuda besi keluaran terbaru itu dengan kecepatan sedang. Demi keselamatan anak di belakang, kuurungkan niat untuk balapan.***Kuantar Rio hanya sampai di gerbang sekolahnya saja, selanjutnya biar dia masuk sendiri. Kayak baru kelas satu saja kudu diantar sampai depan kelas, dia kan sudah kelas empat. Sekolahan sudah ramai, Rio tak lupa salim dulu sebelum dia berlari bersama temannya menuju kelasnya.Niatku langsung tancap gas pulang ke rumah, rupanya ada gerombolan ibu-ibu yang nongkrong di warung depan, entah apa yang sedang mereka lakukan, menunggu anaknya sampai pulang sekolah? Emang anak mereka masih TK apa, yang kutahu mereka semua itu wali murid teman-temannya Rio."Mau kemana, Mbak Hasna?" sapa salah satunya padaku, "buru-buru amat,kumpul-kumpul dulu sini, gaul sama kita-kita."Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka. Daripada waktuku habis buat gibahin orang, mending pulang nyari cuan.Masih kudengar mereka mengataiku sombong sebelum motorku melaju kencang, bodo amatlah. Sampai di rumah, aku sudah disambut perempuan berdandan menor dan berpakaian ngepas body sambil berkacak pinggang."Mbak Hasna, gimana sih, disuruh jemput Bunga malah nggak datang-datang? Aku samperin kesini udah ditinggal," cerocosnya dengan nada tinggi."Maaf, aku bukan sopirmu, ya. Jadi jangan sembarangan kamu nyuruh-nyuruh aku buat jemput anak kamu," sahutku sambil turun dari motor."Yang bilang Mbak Hasna sopir siapa? Aku kan cuma minta tolong, Mbak?""Kamu mikir, dong! Rumah kamu itu berlawanan arah dengan sekolah Rio, kalau ke rumahmu dulu aku jadi harus muter, kejauhan, bisa-bisa anakku telat masuknya. Lagian apa susahnya sih nganter anak sendiri?" balasku panjang lebar."Aku kan si--, ""Sibuk joget depan kamera? Nggak mungkin kamu sibuk beberes rumahkan? Semua yang mengurus pekerjaan rumah, bahkan sampai kebutuhan anak dan suamimu itu pembantu, wanita karir sepertimu itu sibuk apa?" Kukeluarkan unek-unekku selama ini, dan asal kalian tahu aja kalau yang menggaji pembantu di rumah Vina adalah suamiku."Bang Toro, Mbak Hasna nih, Bang...," adunya pada suamiku yang belum selesai dengan ritual burung-burungnya yang berjumlah belasan itu."Udahlah, Ma. Tadinya kalau Mama nggak mau jemput Bunga, bilang! Biar Ayah aja yang jemput, nggak usah marah-marah, sih" kata suamiku menghentikan aktifitasnya."Ya udah sana Ayah anterin, tapi ingat, balikin motor PC* yang minggu kemarin Ayah beliin Vina dengan alasan buat nganter Bunga sekolah, Vina udah nggak butuh dong, dia kan kan udah nggak perlu nganter Bunga lagi."Kuputuskan sudah tidak mau meladeni adik Mas Toro yang manja itu lagi. Aku bergegas masuk, tak kuperdulikan Vina yang masih merengek pada abangnya itu, pekerjaan yang menumpuk sudah menungguku di gudang belakang.Jangan dibayangkan yang menungguku adalah seabrek pekerjaan rumah, karena kalau itu sudah ada tiga pembantu dengan tugasnya masing-masing.Kuteruskan langkah kaki melewati koridor panjang yang memisahkan rumah dan pabrik konveksi celana jeans milik kami. Masih pukul setengah delapan pagi, jadi masih sepi, nanti kalau sudah waktunya jam kerja sebelah ruangan besar sebelah rumah itu akan ramai oleh para pekerja yang berjumlah puluhan.Sampai di gudang belakang, pintu masih tertutup rapat, aku mengeluarkan anak kunci dari saku gamis yang kupakai. Setelah terbuka lebar, nampaklah sebuah ruangan luas dan bersih. Rak-rak kayu setinggi dua meter mengitari keempat sisi tembok. Tiga buah komputer berjejer dan sebuah kuluas. Inilah tempatku menganggur, bermain komputer sembari menunggu orderan masuk berkali-kali.Aku adalah penjual onlen,meski suamiku sudah kaya dan memberi nafkah yang cukup untukku, tapi aku tidak mau berpangku tangan begitu saja.Yang aku jual tentu saja berbagai model celana yang diproduksi konveksi suamiku. Setiap hari selalu banjir orderan, aku selalu kewalahan mesti sudah dibantu sepuluh karyawan yang akan datang sebentar lagi. Sementara rak-rak banyak yang kosong tidak ada isinya.Kucek satu persatu stock apa yang kurang, setelah selesai mencatat aku berniat keluar mengambil barang di gudang sebelah. Namun, saat akan membuka pintu, kulihat suamiku sedang menelpon sambil membelakangi."Memangnya uangnya kurang berapa, hem?" Kudengar suara suami bicara sambil menempelkan ponsel di telinga.Aku tidak berniat menguping, tapi suara selanjutnya membuatku naik darah."Wulan, halo, Wulan...," jadi dia sedang menelpon mantan istrinya.Aku keluar dari persembunyian, menatap tajam wajah suamiku yang terlihat pucat pasi."Oh jadi gini kelakuanmu, Yah? Di belakangku kamu masih sering menghubungi mantan istrimu yang semok itu." Aku mendelik tajam sambil berkacak pinggang. "Nggak, Ma, kami cuma sedang membahas uang bulanan Ana, wajarkan, Ma? Ana kan anak kandungku juga," cicit lelaki itu ketakutan."Uang bulanan apa, Yah? Semuanya udah Mama urus,uang makan, uang sekolah, uang jajan, semua sudah Mama kasih untuk bulan ini," jelasku berapi-api. Ana adalah anak sulung suamiku dan mantan istrinya, sekarang sedang menempuh pendidikan SMA di sebuah pesantren bersama Dita, anak sulungku dan suami yang masih SMP. Yang membiayai tentu saja suamiku, dulu waktu masih jadi kuli bangunan saja dia tetap tanggung jawab pada anaknya kok, apalagi sekarang sudah jadi sultan, makin menggelontor saja dana untuk anaknya itu. Memang yang membiayai suamiku, tapi dengan syarat aku yang mengatur semuanya. Semua itu kulakukan supaya suamiku dan mantan istrinya tidak ada alasan untuk berhubungan lagi, namun nyatanya aku masih
Hari sudah larut, sudah kupastikan Rio tidur dengan nyenyak di kamarnya. Dian sudah pulang dari tadi, karena dia hanya bekerja dari pagi sampai sore. Waktunya me time. Kugunakan waktu me time setiap malam untuk merawat wajahku. Jangan sampai skip perawatan wajah saat sebelum tidur, kalau ingin skincare-mu bekerja maksimal. Lihat nih hasil dari tidak pernah lupa pakai skincare sebelum tidur, kulit putih, mulus, glowing, licin kayak marmer hehe ... yang terakhir canda ya gaes, selain rajin perawatan tentu saja karena skincare yang kupakai harganya di atas lima juta. Buat apa uang banyak kalau nggak dinikmatin. Mas Toro masuk saat aku sedang mengoleskan krim di pipi. "Tamunya udah pulang, Yah?" tanyaku memulai obrolan. "Udah, Mah. Kayaknya besok Ayah harus keluar kota, deh, Ma," ujar suamiku yang sudah berbaring di ranjang besar kami. "Ke mana, Yah? Bukannya jadwal ke Solo masih dua hari lagi?" tanyaku heran. "Ada customer baru, Ma. Ayah takut ketipu, partai besar, tapi orangnya n
"Siapa dia, Lian?" Tanyaku tak sabar. "Waktu itu, Pak Bos menyuruh saya memberikan kartunya pada Dian, Bu," jawab Lian membuatku mengernyitkan dahi. "Dian? Dian yang biasa nganter Rio?" ulangku memastikan. "Iyalah, Bu, Dian sepupu Bu Hasna, emang siapa lagi," sahut mandor muda itu cepat. "Kamu nggak bohong 'kan, Yan?" Aku menyipitkan mata. "Sumpah Demi Allah, saya ngomong apa adanya, Bu," ujarnya begitu meyakinkan. "Ya sudah, terima kasih infonya," ucapku mengakhiri interogasi. Semakin berdenyut saja kepalaku memikirkan masalah ATM ini, dapat keterangan dari Lian bukannya semakin terang malah tambah suram. Kenapa pula Mas Toro memberikan kartu pada Dian? Apakah berarti orang yang dikirimi uang oleh Mas Toro adalah Dian? Tapi untuk apa? Bukannya gaji Dian aku yang membayarkannnya? Daripada tambah pelik, mending aku tanya langsung saja pada orangnya, semoga saja Dian mau jujur. "Halo Di, kamu bisa datang ke kamar Mbak nggak?" tanyaku pada Dian lewat telpon, daripada capek nya
Baiklah, aku akan mencari tahu kebenarannya sekarang juga, apakah benar suamiku tukang main perempuan seperti yang dituturkan Dian. Ya Allah, entahlah bagaimana hatiku jika ini benar. Tapi, kalau Dian berbohong, berani sekali dia mempermainkan nasib rumah tanggaku, rasanya nggak mungkin Dian setega itu padaku. Ah, sudahlah, lebih baik aku membuktikan langsung dengan menanyai para karyawanku itu. "Lagi pada sibuk, ya?" tanyaku setenang mungkin, meski dalam hatiku tak karuan. "Iya, nih Bu Bos, kita sibuk banget, dari tadi pesenan masuk terus," jawab Anita, salah satu karyawan packing. "Pesanan membludak, Bu Bos," kata Dara sang admin yang bekerja di depan komputer. "Stock pada abis, nih Bos," giliran Raya tukang catat stock bersuara. "Alhamdulillah, tapi saya mau ngomong sebentar, tolong tinggalin kesibukan kalian dulu, ya!" pintaku pada mereka. Semuanya nampak saling pandang, bertanya-tanya kira-kira ada apa?. "Semuanya ada di sini, kan? Hari ini ada yang ijin, nggak?" tanyaku
Bab 6 Ketipu"Dian ...."Dian kah orangnya? Aku melirik Dian yang nampak terkesiap. "... tetangga kamu yang pernah kerja di sini hanya sebulan itu siapa, Di?" lanjut Airin membuatku bernapas lega, fyuh kirain. "Maksudmu Sita?" balas Dian balik bertanya. "Iya, si Sita itu, dia keluar dari sini karena mau jadi simpanannya Pak Bos," ujar Airin memberitahu. Aku tahu siapa Sita, orang dia tetangganya Dian otomatis dulu dia juga tetanggaku sebelum Ayah pindah ke perumahan. Dulu Dian lah yang mengajaknya bekerja padaku, baru sebulan yang lalu dia keluar. Jadi ini sebabnya dia keluar, dia telah terjebak dalam rayuan maut suamiku. Tidak heran sih, Sita memang agak centil dan suka berdandan menor, gaya hidupnya juga lumayan hedon, jadi dia lebih memilih jalan pintas daripada bekerja keras. Bisa jadi Sita lah pemegang ATM itu saat ini. "Kamu tahu dari mana, Rin?" "Pernah lihat Sita sama Pak Bos gandengan tangan di mall, Bu," jawab Airin tanpa sungkan lagi. Nggak perlu lah mencari bukti k
Bab 7 Ya Allah, misteri siapa pemegang ATM belum terpecahkan, sudah datang masalah baru. Tak pernah kubayangkan, kalau aku akan mengalami kejadian tabu ini, diselingkuhi suami yang sudah belasan tahun kubersamai. Kutatap cermin yang menampilkan bayangan diri. Kurang apa aku sebagai istri? Tubuhku tetap langsing meski sudah beranak dua. Wajahku juga mulus dan glowing, cantik mempesona. Tentu saja karena aku rajin merawatnya. Urusan suami juga tak pernah kuabaikan, selalu kulayani dengan sepenuh hati. Lalu, apa yang membuatnya masih berpaling pada wanita lain? "Ma, aku bosan di rumah, pengen ke mall!" Rio tiba-tiba masuk kamar, membuatku berhenti meratapi diri. "Mau ngapain, Nak?" tanyaku sambil menoleh. "Bosen di rumah, Ma. Pengen main." Ini memang hari Minggu, jadi Rio libur sekolah. Begitu juga dengan Dian, dia dan seluruh karyawanku dan Mas Toro libur pada hari ini, kecuali tiga ART-ku. Jadi, sekarang rumahku cukup sunyi. Sebenarnya aku ingin istirahat, memikirk
Bab 8 Ya, aku memang berbohong. Tidak ada kabar tentang Bapak sama sekali. Yang barusan menelponku adalah Dian, aku tidak mau Mas Toro tahu kalau aku sedang menyelidiki dirinya. Sebelum semuanya jelas, aku akan diam dulu sambil mengumpulkan bukti, kalau sudah waktunya, kan kusingkap topeng yang menutupi wajah busuknya itu. Sampai di rumah Dian, aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan, "Gimana, Di? Kamu udah dapat ATM-nya? Bener Sita kan yang pegang? Atau bukan dia? Atau Sita nggak mau ngaku?""Tenang dulu, Mbak. Duduk dulu, gih!" Bukannya menjawab, Dian malah menuntunku duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. "Nih, lihat dulu!"Kusambar beberapa lembar sekaligus kertas yang disodorkan Dian. Seketika mataku membelalak dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gambar yang terpampang di depan mata. Foto-foto Mas Toro dengan wanita lain yang berpakaian sexi dan berpose mesra, setiap foto menampilkan lelaki yang sama dengan wanita yang berbeda-beda. Benar dugaanku, bukan hanya sat
Bab 9 "Astaghfirullahal adhim!" Aku memekik kaget. Bukan Bapak yang kulihat di sana, melainkan dua manusia berlainan jenis tanpa busana. Keduanya nampak kaget, buru-buru mereka saling melepaskan diri dan menutupi tubuh dengan selimut. Namun, tidak ada raut malu apalagi penyesalan di wajah mereka. "Masih berani datang ke sini?" tanya wanita sebayaku itu sinis. "Di mana Bapak? Kenapa kamu melakukan perbuatan bejat ini di kamar ini?" tanyaku berang, kupastikan mereka berzina. Karena setahuku, wanita itu yang tak lain adalah Zeni, anak sambung Bapak, belum menikah sampai sekarang. "Bapak di kamar belakang, Mbak." Yang menjawab adalah Mbok Asih. "Kamar belakang mana, Mbok?" tanyaku bingung. Setahuku di belakang hanya ada kamar pembantu. "Kamar saya, Mbak Hasna." Pelan Mbok Asih menjawab. "APA?" Aku benar-benar kaget. Kuhampiri istri laknat Bapak yang masih berdiri di bawah tangga sedari tadi, mataku nyalang. Aku benar-benar tidak menyangka wanita yang memasang wajah tanpa dosa itu