Bab 7
Ya Allah, misteri siapa pemegang ATM belum terpecahkan, sudah datang masalah baru. Tak pernah kubayangkan, kalau aku akan mengalami kejadian tabu ini, diselingkuhi suami yang sudah belasan tahun kubersamai. Kutatap cermin yang menampilkan bayangan diri. Kurang apa aku sebagai istri? Tubuhku tetap langsing meski sudah beranak dua. Wajahku juga mulus dan glowing, cantik mempesona. Tentu saja karena aku rajin merawatnya. Urusan suami juga tak pernah kuabaikan, selalu kulayani dengan sepenuh hati. Lalu, apa yang membuatnya masih berpaling pada wanita lain? "Ma, aku bosan di rumah, pengen ke mall!" Rio tiba-tiba masuk kamar, membuatku berhenti meratapi diri. "Mau ngapain, Nak?" tanyaku sambil menoleh. "Bosen di rumah, Ma. Pengen main." Ini memang hari Minggu, jadi Rio libur sekolah. Begitu juga dengan Dian, dia dan seluruh karyawanku dan Mas Toro libur pada hari ini, kecuali tiga ART-ku. Jadi, sekarang rumahku cukup sunyi. Sebenarnya aku ingin istirahat, memikirkan masalah yang sedang kuhadapi benar-benar membuat mentalku down, shock, dan lelah. Namun, aku tidak ingin mengecewakan anak lelakiku yang masih polos itu. "Udah bilang sama Ayah belum?" tanyaku padanya. Terpaksa, jika ingin pergi harus mengajak ayahnya Rio. Karena aku tidak bisa nyetir sendiri, ini juga karena aku menuruti perintah lelaki yang kusebut suami melarangku belajar mengendarai mobil. Dan, sekarang aku menyesal. Mau nyuruh Lian nyetir juga tidak mungkin, hari ini tangan kanan Mas Toro itu juga libur. Andai hari ini Dian tidak libur, aku bisa pergi naik motor dengannya. Kalau cuma berdua dengan Rio, aku takut Rio kenapa-napa karena tidak ada yang jagain sementara aku fokus menyetir. Hm, ngomong-ngomong soal libur, aku justru memanfaatkan hari libur Dian dengan memberinya tugas khusus, yaitu menyelidiki keberadaan ATM Mas Toro, kemungkinan besar ada pada Sita. Semoga saja sepupuku itu berhasil mendapatkan info yang kuinginkan. "Ayah lagi sama Tante Vina, Ma." Jawaban Rio langsung membuatku mendelik. Vina datang, tapi aku kok tidak mendengar tanda-tanda kehadirannya? Biasanya kalau dia datang, suara cemprengnya akan memenuhi rumah. Apalagi ini hari libur, rumah cukup senyap. Mau apa dia ke mari? Paling mau minta uang, prasangkaku padanya begitu buruk. Apa transferan kemarin yang melebihi uang bulananku itu masih kurang? "Mama bilang sama Ayah dulu, Nak!" Aku keluar kamar, melangkah cepat mencari keberadaan lelaki yang sudah membersamaiku selama empat belas tahun itu. Tidak kutemukan mereka, hanya ada Bunga-anak Vina sedang bermain sendirian di playground mini yang ada di rumahku. "Bunga, kok sendirian? Mama ke mana?" tanyaku lembut, meski jengkel pada ibunya, jangan lampiaskan pada anaknya. "Masuk kamar sama Pakdhe, Budhe," jawabnya. Pakdhe dan Budhe adalah panggilan Bunga untukku dan Mas Toro karena lebih tua dari Vina. "Masuk kamar? Kamar mana?" tanyaku meminta kejelasan karena semua kamar nampak tertutup. "Kamar itu, Dhe," tunjuk anak perempuan sembilan tahun itu pada kamar yang ada di depan playground. Itu kan kamar tamu, ngapain mereka masuk ke sana? Mana pintunya ditutup rapat, Bunga juga tidak diajak masuk. Apa yang sedang mereka lakukan di dalam? Nggak mungkin kan mereka .... Bergegas kuputar gagang pintu kamar, tidak dikunci. Pintu kubuka pelan. Sedikit-demi sedikit terlihat isi kamar dan dua orang manusia yang sedang duduk di ranjang. Aku menghembuskan napas lega, tidak ada adegan yang ada dipikiran. Pakaian mereka juga masih lengkap. Astaghfirullah, aku sudah berburuk sangka, nggak mungkin lah mereka melakukan perbuatan haram itu, lagian mereka kan juga kakak-adik. Sejak mengetahui kebusukan lelaki itu, aku selalu berpikir yang tidak-tidak. "Ingat ya, Bang! Bulan depan, harus lebih banyak lagi! Kalau nggak, semua orang akan tahu rahasia kita!" Kudengar suara Vina mengancam ayah anak-anakku itu. Rahasia apa yang Vina sembunyikan? Sampai lelaki itu mau saja, memberikan berapapun uang yang ia minta. Abang sendiri diperas, dasar adik nggak ada akhlak. Sebenarnya masih ingin menguping pembicaraan mereka. Namun, tanpa sengaja aku mendorong pintu sedikit keras. "Ada apa, Ma?" tanya Mas Toro begitu melihatku, terlihat sedikit kaget. "Dicariin Rio, Yah," jawabku yang kadung ketahuan, daripada malu. Kulihat Vina memasukkan sebuah amplop coklat yang cukup tebal. Sebenarnya, apa rahasia yang disembunyikan abangnya itu? Apakah tentang hobinya bermain wanita di belakangku? Atau ada rahasia lain, yang aku belum tahu? Daripada pusing mikirin, lebih baik aku segera keluar. Mas Toro mengikuti, tentu saja Vina juga. "Mama, mau iku Kak Rio ke mall," rengek Bunga begitu melihat sosok ibunya. Darimana Bunga tahu Rio mau ke mall? Pasti anakku itu pamer waktu kutinggal dengan Bunga tadi, dasar bocil ember. Malas sekali kalau harus pergi sama Vina, mau melarang juga pasti Mas Toro marah. "Kalian mau ke mall? Aku ikut, ya! Kasihan Bunga ingin ikut, sekalian aku juga udah lama tidak jalan-jalan," kata Vina dengan wajah semringah. Berbeda sekali dengan wajahku yang suram mendengar permintaannya. "Ya udah, Ayah ambil mobil dulu, ya!" pamit Mas Toro sebelum menghilang ke garasi. Sebelum masuk mobil, ponselku bergetar, ada panggilan masuk. Segera ku angkat, aku mendengar kabar yang membuat mataku membelalak. "Yah, kayaknya Mama nggak bisa ikut, deh," kataku pada Mas Toro yang duduk di belakang kemudi, "Mama harus segera ke rumah Bapak." "Bapakmu sudah ingat, kalau masih punya anak kamu? Apa dia ingat karena sekarang suamimu sudah banyak yang?" sahut Mas Toro sinis. Memang, sejak kami diusir dari rumah bapak, suamiku tidak respect lagi padanya. "Rio, kamu pergi sama Ayah dan Tante Vina, ya!" perintahku pada anak lelakiku itu. Mulanya Rio nampak keberatan. Namun, akhirnya mau juga setelah kubujuk-bujuk. Setelah mereka pergi, aku segera mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi, tak sabar rasanya ingin melihat kabar yang barusan kudengar.Bab 8 Ya, aku memang berbohong. Tidak ada kabar tentang Bapak sama sekali. Yang barusan menelponku adalah Dian, aku tidak mau Mas Toro tahu kalau aku sedang menyelidiki dirinya. Sebelum semuanya jelas, aku akan diam dulu sambil mengumpulkan bukti, kalau sudah waktunya, kan kusingkap topeng yang menutupi wajah busuknya itu. Sampai di rumah Dian, aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan, "Gimana, Di? Kamu udah dapat ATM-nya? Bener Sita kan yang pegang? Atau bukan dia? Atau Sita nggak mau ngaku?""Tenang dulu, Mbak. Duduk dulu, gih!" Bukannya menjawab, Dian malah menuntunku duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. "Nih, lihat dulu!"Kusambar beberapa lembar sekaligus kertas yang disodorkan Dian. Seketika mataku membelalak dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gambar yang terpampang di depan mata. Foto-foto Mas Toro dengan wanita lain yang berpakaian sexi dan berpose mesra, setiap foto menampilkan lelaki yang sama dengan wanita yang berbeda-beda. Benar dugaanku, bukan hanya sat
Bab 9 "Astaghfirullahal adhim!" Aku memekik kaget. Bukan Bapak yang kulihat di sana, melainkan dua manusia berlainan jenis tanpa busana. Keduanya nampak kaget, buru-buru mereka saling melepaskan diri dan menutupi tubuh dengan selimut. Namun, tidak ada raut malu apalagi penyesalan di wajah mereka. "Masih berani datang ke sini?" tanya wanita sebayaku itu sinis. "Di mana Bapak? Kenapa kamu melakukan perbuatan bejat ini di kamar ini?" tanyaku berang, kupastikan mereka berzina. Karena setahuku, wanita itu yang tak lain adalah Zeni, anak sambung Bapak, belum menikah sampai sekarang. "Bapak di kamar belakang, Mbak." Yang menjawab adalah Mbok Asih. "Kamar belakang mana, Mbok?" tanyaku bingung. Setahuku di belakang hanya ada kamar pembantu. "Kamar saya, Mbak Hasna." Pelan Mbok Asih menjawab. "APA?" Aku benar-benar kaget. Kuhampiri istri laknat Bapak yang masih berdiri di bawah tangga sedari tadi, mataku nyalang. Aku benar-benar tidak menyangka wanita yang memasang wajah tanpa dosa itu
Bab 10"Keluar kalian dari rumah ini, sekarang juga!!!" sentak Nenek Lampir sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar. Ya, mulai sekarang aku akan menyebut istri Bapak yang jahat itu Nenek Lampir saja, sangat cocok dengan karakter dan penampilannya, rambut panjang awut-awutan. Aku maju ke depan, "Memangnya kamu siapa mengusir kami dari sini? Ini rumah Bapak, jadi aku juga berhak ada di sini!"Wanita itu tertawa sinis, "Bukan hanya kamu yang kuusir, tapi bawa pergi juga lelaki tua penyakitan itu!!""Atas dasar apa kamu mengusir Bapakku? Ini rumah Bapakku, harusnya kamu yang pergi dari sini!" balasku sengit. "Sertifikat rumah ini atas namaku, jadi rumah ini milikku, bukan milik bapakmu. Selama ini kubiarkan lelaki tua itu tinggal di sini karena belas kasihan tidak ada tempat lain untuk berteduh. Dan, sekarang kamu sudah datang, jadi segera bawa pergi lelaki tidak berguna itu!" Aku terpengarah mendengar Nenek Lampir itu bicara. "Baik, kami akan pergi. Akan tetapi, beri kami wak
Bab 11 Rahasia Yang Terungkap"Sedang apa, Mas?" tanyaku datar tapi sukses membuat suamiku terlonjak kaget. "Eh, anu Ma, Ayah mau ... ngambil berkas di brankas Mama," jawab Mas Toro gugup. Aku mengerutkan kening mendengar alasannya, "Emang kamu pernah nyimpen berkas di brankasku, Mas? Perasaan itu brankas khusus untukku menyimpan uang.""Atau Ayah yang lupa, ya?" sahutnya cengengesan sambil garuk-garuk kepala, pinter banget aktingnya. Nggak mungkinlah lupa, orang udah bertahun-tahun brankasku hanya untuk menyimpan uangku sendiri, sedangkan berkas-berkas semua disimpan di ruang kerjanya. "Oh ya, Mas ... aku mau ngasih tahu kamu kalau sekarang Bapak tinggal di sini," ujarku sebelum tubuh Mas Toro melewati pintu. "APA?" Aku nggak menyangka kalau reaksinya akan seterkejut itu. Lelaki berkulit putih itu kembali mendekatiku, "kenapa nggak izin dulu padaku?""Kenapa harus minta izin dulu?" ulangku, "apa kamu tidak akan mengizinkan? Dia bapakku loh, Mas."Mas Toro tersenyum sinis, "Apa k
Bab 12"Mana tua bangka sialan itu? Kamu sembunyikan di mana dia? Beraninya dia menipuku!"Mendidih rasanya mendengar wanita itu lagi-lagi menyebut Bapak dengan sebutan itu, "Jangan sebut bapakku seperti itu! Apa kamu tidak sadar kalau dirimu juga sudah nenek peot? Makin tua bukannya tambah ibadah malah jadi germo!"Aku tahu dari Bapak kalau rumah itu benar sudah dijadikan tempat pelacuran, tentu saja Nenek Lampir itu sebagai germonya. Makanya Bapak ingin cepat pergi dari tempat itu dan tidak peduli sekalipun rumah itu sudah bukan jadi miliknya. "Jaga mulutmu, ya! Kamu pikir ...,""Pergi dari sini!" usirku tidak ingin mendengar apapun lagi darinya. "Mana tua bangka sialan itu?! Aku harus menemuinya!" teriak Nenek Lampir tak mau menyerah. "PERGI!" Kudorong tubuh tua yang masih sintal itu keras sampai keluar dari rumahku. Sampai di luar aku justru membelalak kaget, mendapatkan kejutan yang tak pernah kubayangkan. Mas Toro dan seorang wanita yang tak lain adalah Zeni sedang mengobrol
Aku terduduk lemas di depan cermin besar yang menampilkan bayangan diri. Air mataku mengalir deras mengingat talak yang begitu ringannya Mas Toro ucapkan, tanpa beban apalagi penyesalan. Resmi sudah diriku menyandang status janda secara agama, lelaki yang telah berubah status itu berjanji akan secepatnya mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. "Kamu boleh tinggal di sini sampai masa iddahmu selesai," ujarnya tanpa menatapku, lanjutnya lagi kemudian, "begitu masa iddahmu selesai, segera angkat kaki dari sini tanpa membawa apapun, tidak ada harta gono gini untukmu, semua hasil jerih payahku. Jadi, kamu tidak ada hak sama sekali!"Aku hanya tertawa mendengarnya. Sebegitu takutnyakah kalau aku akan membawa kabur semua hartanya? Tidak ada hakku dia bilang? Apa mendampinginya selama belasan tahun tetap tidak memberikanku hak untuk mendapatkan sedikit saja hartanya? Bullsh*t! Ambillah semua harta yang telah menjadikanmu lupa diri itu, lelaki br*ngs*k! Hartamu itu tidak ada seujung kuk
Bab 14"Ngapain pulang, Ma, kan tinggal sebulan lagi juga bakal liburan panjang, Dita nggak papa, kok, Ma, Dita nggak sendirian di sini, Ma, Dita punya temen yang masih mau temenan sama Dita meski yang lain pada ngejauhin Dita," cerita Dita dari sebrang sana. "Oh, ya?" Aku sedikit lega mendengar cerita itu, "siapa dia, Nak?""Namanya Lala, Ma, dia itu baiiiik banget, sampai uangku abis aja dia mau minjemin...,""O ya, Nak, Mama Minta maaf, ya, telat ngirimin kamu bulan ini, Mama beneran lupa, Mama sedang kalut, Sayang," ucapku memotong Dita yang belum selesai bercerita. "Iya, Ma, Dita ngerti, kok," jawabnya tanpa marah. "Jadi, temen kamu yang namanya Lala itu yang udah minjemin kamu u*ng?“ ulangku memastikan. " Iya, Ma.""Ya sudah, Mama udah kirim bulanan untuk kamu, terus u*ngnya Lala kamu balikin. Sebagai tanda terima kasih, balikinnya dikasih lebihan, ya!" perintahku. "Oke, Ma," jawab Dita riang.Selesai berbincang-bincang dengan anak perempuanku satu-satunya itu, aku menyimpa
Bab 15 "Karena kupikir kamu anak orang kaya, aku menikahimu supaya bisa hidup enak, tapi nyatanya kamu hanya anak yang dibuang, boro-boro dapat warisan, tinggal di rumah mewah saja tidak kurasakan."Untuk kedua kalinya lukaku kembali dikucur cuka. Terbuka sudah semua topeng yang selama ini dia pakai, dengan sendirinya dia membukanya. Inikah wujud asli mantan suami yang telah ku dampingi selama ini? Tak lebih dari seorang lelaki b4jing4n yang tak punya perasaan. "Dan, sekarang kamu membawa bapakmu yang sudah sakit-sakitan itu tinggal di sini, menambah beban saja! Sekarang kamu jadi pembangkang dan tidak mau patuh padaku, makanya aku menceraikanmu!" tambahnya lagi dengan muka merah padam. Bruk! Suara sesuatu terjatuh dari arah pintu membuatku menoleh. "Bapaaak!" Aku reflek berteriak kaget melihat Bapak tersungkur dengan berurai air mata. Bergegas kumendekat."Kenapa Bapak ada di sini? Kenapa tidak sama Mbok Asih?" tanyaku cemas."Benarkah kalian bercerai karena Bapak?" tanya lelaki