Bab 6 Ketipu
"Dian ...."Dian kah orangnya? Aku melirik Dian yang nampak terkesiap."... tetangga kamu yang pernah kerja di sini hanya sebulan itu siapa, Di?" lanjut Airin membuatku bernapas lega, fyuh kirain."Maksudmu Sita?" balas Dian balik bertanya."Iya, si Sita itu, dia keluar dari sini karena mau jadi simpanannya Pak Bos," ujar Airin memberitahu.Aku tahu siapa Sita, orang dia tetangganya Dian otomatis dulu dia juga tetanggaku sebelum Ayah pindah ke perumahan. Dulu Dian lah yang mengajaknya bekerja padaku, baru sebulan yang lalu dia keluar. Jadi ini sebabnya dia keluar, dia telah terjebak dalam rayuan maut suamiku.Tidak heran sih, Sita memang agak centil dan suka berdandan menor, gaya hidupnya juga lumayan hedon, jadi dia lebih memilih jalan pintas daripada bekerja keras. Bisa jadi Sita lah pemegang ATM itu saat ini."Kamu tahu dari mana, Rin?""Pernah lihat Sita sama Pak Bos gandengan tangan di mall, Bu," jawab Airin tanpa sungkan lagi.Nggak perlu lah mencari bukti kebenaran perkataan Airin barusan, aku percaya kalau itu benar suamiku. Terima saja kenyataan ini, sudah lebih dari cukup bukti-bukti dari Dian dkk."Sampai sekarang apakah mereka masih berhubungan?" tanyaku lagi untuk yang terakhir kali."Tidak tahu, Bu.""Oke, terima kasih infonya, sekarang cek rekening kalian masing-masing, udah masuk belum bonus dari saya." Aku pergi diiringi sorak kecil beberapa karyawan yang melihat saldo di rekeningnya bertambah.Aku ikut tersenyum, semoga saja kebahagian kecil yang ku berikan pada mereka dapat menghapus kesedihan yang sedang membelenggu hatiku.***Menjelang senja, Mas Toro pulang. Tak ada rasa senang atau rindu yang menggebu melihat kedatangannya, yang ada aku ingin memukul wajahnya sekuat tenaga. Namun, aku harus tahan, jangan sampai bersikap bar-bar. Belum kuapa-apakan saja dia sudah terliha tak karuan, wajahnya kusut masai. Ada apa gerangan? Apakah dia tahu aku sudah mengetahui kebusukannya?"Mah, aku ketipu, Mah," ujarnya lemas.Hm, rupanya tebakanku salah. Bukan karena takut kehilanganku, tapi karena kehilangan uang dia sampai frustasi."Berapa, Yah?" tanyaku pura-pura ikut prihatin, padahal dalam hati bilang 'sukurin'."Lima ratus juta, Ma," jawabnya sambil nangis kejer, ah nggak ding, lebay amat.Hm, jumlah yang fantastis. Tapi, lebih baik uang itu hilang daripada dihambur-hamburkan para wanita simpanannya.Tak ada sedikitpun belas kasihan atau peduli padanya yang sedang kesusahan itu, hatiku seolah beku. Aku memang masih bersikap biasa saja di depannya, seolah-olah tidak tahu kalau dia telah mendua atau mentiga atau justru mengempat. Hah, rasanya aku yang ingin mengumpat.Bukti-bukti dari para karyawanku belum cukup kuat, buaya sepertinya pasti akan mudah sekali membantah. Aku harus menemukan bukti yang lebih kuat dan dia tidak akan bisa mengelak."Ya udah si, Yah. Sudah hilang, nggak mungkin balik lagi 'kan? Anggap aja itu pengganti sedekah Ayah yang selama ini masih kurang, kalau ikhlas pasti Allah ganti lebih banyak lagi," nasihatku sok bijak, coba kalau belum tahu sua— ah, malas rasanya menyebut dia sebagai suamiku lagi, coba kalau aku belum tahu kelakuan bejatnya, pasti aku akan ikut histeris kehilangan uang sebanyak itu."Ya udah, untuk sementara ganti uang Mama dulu, ya!" pintanya kemudian tanpa beban.Enak aja lo Bambang. Lo yang ngilangin duit, kenapa gue yang harus ganti? Nggak akan kuberikan sesen-pun uangku untuk menyenangkan gundik-gundikmu itu. Uangku hasil murni kerjaku, aku mengambil stock celana dari konveksi suami tapi tetep bayar, meski modal pertama dari uang belanja yang kusisihkan, itu kan memang sudah hakku mendapat nafkah dari suami, jadi hasil jualan onlen itu sepenuhnya milikku."Aduh, gimana ya, Yah? Uang Mama kan udah buat lunasin stock barang, uangnya juga di Ayah kan? Lagian, yang kemarin lima puluh juta juga belum Ayah balikin," alasanku menolak permintaannya.Tiba-tiba ponselku bergetar, aku merogohnya dari saku gamis. Ternyata panggilan dari Dita di pondok."Halo, assalamu'alaikum, Ma." Begitu kuangkat, terdengar sapaan dari anak yang selalu kurindukan itu."Wa'alaikum salam, Nak," balasku lembut, tanyaku kemudian, "gimana kabar Dita di pondok, sehat?""Alhamdulillah Dita baik-baik aja, Ma. Mama gimana?""Syukurlah, Mama juga baik sayang, alhamdulillah," jawabku supaya Dita tidak khawatir."Ma, tadi kenapa nggak ikut Ayah ke pondok? Dita kan juga kangen pengen ketemu Mama," rajuk Dita kemudian, membuatku kaget.Aku segera menyingkir agar Mas Toro tidak bisa mendengarku berbicara."Emang tadi Ayah ke pondok, Nak?" tanyaku dengan suara lirih."Aku nggak lihat si, Ma. Tapi, kata temenku lihat Ayah datang sama ibunya Kak Ana, terus mereka pergi bareng." Jawaban Dita benar-benar membuatku terkejut."Terus Ayah nggak nengokin kamu sama sekali?""Nggak, Ma. Orang aku tahunya aja dari temenku.""Temen kamu yakin kalau yang datang itu Ayah sama ibunya Kak Ana?""Yakin, Ma. Yang diajak pergi aja Kak Ana, pasti mereka lah. Jangan-jangan Mama nggak tahu, ya, kalau Ayah pergi ke pondok?" tanya Dita curiga."Mama tahu, kok, Nak. Ya udah, kamu nggak usah sedih, besok Mama jengukin, deh!" rayuku demi mengalihkan kecurigaan Dita."Janji ya, Ma! Soalnya Dita udah kangen banget sama Mama sama Rio," ujar Dita kegirangan, "dah dulu ya, Ma. Banyak yang antri HP-nya, nih.""Iya, Sayang. Belajar yang rajin, ya!" Tak lupa kuberikan pesan sebelum panggilan ditutup.Keterlaluan kamu, Mas. Jadi, kau sudah mulai berani menipuku. Bilangnya mau kirim barang, ternyata pergi sama yang bukan mahram. Hm, jangan-jangan selama ini Mas Toro kembali berhubungan dengan mantan istrinya itu?Bodoh atau gimana sih? Apa tidak ingat apa yang dulu sudah dilakukan wanita itu dulu?Bab 7 Ya Allah, misteri siapa pemegang ATM belum terpecahkan, sudah datang masalah baru. Tak pernah kubayangkan, kalau aku akan mengalami kejadian tabu ini, diselingkuhi suami yang sudah belasan tahun kubersamai. Kutatap cermin yang menampilkan bayangan diri. Kurang apa aku sebagai istri? Tubuhku tetap langsing meski sudah beranak dua. Wajahku juga mulus dan glowing, cantik mempesona. Tentu saja karena aku rajin merawatnya. Urusan suami juga tak pernah kuabaikan, selalu kulayani dengan sepenuh hati. Lalu, apa yang membuatnya masih berpaling pada wanita lain? "Ma, aku bosan di rumah, pengen ke mall!" Rio tiba-tiba masuk kamar, membuatku berhenti meratapi diri. "Mau ngapain, Nak?" tanyaku sambil menoleh. "Bosen di rumah, Ma. Pengen main." Ini memang hari Minggu, jadi Rio libur sekolah. Begitu juga dengan Dian, dia dan seluruh karyawanku dan Mas Toro libur pada hari ini, kecuali tiga ART-ku. Jadi, sekarang rumahku cukup sunyi. Sebenarnya aku ingin istirahat, memikirk
Bab 8 Ya, aku memang berbohong. Tidak ada kabar tentang Bapak sama sekali. Yang barusan menelponku adalah Dian, aku tidak mau Mas Toro tahu kalau aku sedang menyelidiki dirinya. Sebelum semuanya jelas, aku akan diam dulu sambil mengumpulkan bukti, kalau sudah waktunya, kan kusingkap topeng yang menutupi wajah busuknya itu. Sampai di rumah Dian, aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan, "Gimana, Di? Kamu udah dapat ATM-nya? Bener Sita kan yang pegang? Atau bukan dia? Atau Sita nggak mau ngaku?""Tenang dulu, Mbak. Duduk dulu, gih!" Bukannya menjawab, Dian malah menuntunku duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. "Nih, lihat dulu!"Kusambar beberapa lembar sekaligus kertas yang disodorkan Dian. Seketika mataku membelalak dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gambar yang terpampang di depan mata. Foto-foto Mas Toro dengan wanita lain yang berpakaian sexi dan berpose mesra, setiap foto menampilkan lelaki yang sama dengan wanita yang berbeda-beda. Benar dugaanku, bukan hanya sat
Bab 9 "Astaghfirullahal adhim!" Aku memekik kaget. Bukan Bapak yang kulihat di sana, melainkan dua manusia berlainan jenis tanpa busana. Keduanya nampak kaget, buru-buru mereka saling melepaskan diri dan menutupi tubuh dengan selimut. Namun, tidak ada raut malu apalagi penyesalan di wajah mereka. "Masih berani datang ke sini?" tanya wanita sebayaku itu sinis. "Di mana Bapak? Kenapa kamu melakukan perbuatan bejat ini di kamar ini?" tanyaku berang, kupastikan mereka berzina. Karena setahuku, wanita itu yang tak lain adalah Zeni, anak sambung Bapak, belum menikah sampai sekarang. "Bapak di kamar belakang, Mbak." Yang menjawab adalah Mbok Asih. "Kamar belakang mana, Mbok?" tanyaku bingung. Setahuku di belakang hanya ada kamar pembantu. "Kamar saya, Mbak Hasna." Pelan Mbok Asih menjawab. "APA?" Aku benar-benar kaget. Kuhampiri istri laknat Bapak yang masih berdiri di bawah tangga sedari tadi, mataku nyalang. Aku benar-benar tidak menyangka wanita yang memasang wajah tanpa dosa itu
Bab 10"Keluar kalian dari rumah ini, sekarang juga!!!" sentak Nenek Lampir sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar. Ya, mulai sekarang aku akan menyebut istri Bapak yang jahat itu Nenek Lampir saja, sangat cocok dengan karakter dan penampilannya, rambut panjang awut-awutan. Aku maju ke depan, "Memangnya kamu siapa mengusir kami dari sini? Ini rumah Bapak, jadi aku juga berhak ada di sini!"Wanita itu tertawa sinis, "Bukan hanya kamu yang kuusir, tapi bawa pergi juga lelaki tua penyakitan itu!!""Atas dasar apa kamu mengusir Bapakku? Ini rumah Bapakku, harusnya kamu yang pergi dari sini!" balasku sengit. "Sertifikat rumah ini atas namaku, jadi rumah ini milikku, bukan milik bapakmu. Selama ini kubiarkan lelaki tua itu tinggal di sini karena belas kasihan tidak ada tempat lain untuk berteduh. Dan, sekarang kamu sudah datang, jadi segera bawa pergi lelaki tidak berguna itu!" Aku terpengarah mendengar Nenek Lampir itu bicara. "Baik, kami akan pergi. Akan tetapi, beri kami wak
Bab 11 Rahasia Yang Terungkap"Sedang apa, Mas?" tanyaku datar tapi sukses membuat suamiku terlonjak kaget. "Eh, anu Ma, Ayah mau ... ngambil berkas di brankas Mama," jawab Mas Toro gugup. Aku mengerutkan kening mendengar alasannya, "Emang kamu pernah nyimpen berkas di brankasku, Mas? Perasaan itu brankas khusus untukku menyimpan uang.""Atau Ayah yang lupa, ya?" sahutnya cengengesan sambil garuk-garuk kepala, pinter banget aktingnya. Nggak mungkinlah lupa, orang udah bertahun-tahun brankasku hanya untuk menyimpan uangku sendiri, sedangkan berkas-berkas semua disimpan di ruang kerjanya. "Oh ya, Mas ... aku mau ngasih tahu kamu kalau sekarang Bapak tinggal di sini," ujarku sebelum tubuh Mas Toro melewati pintu. "APA?" Aku nggak menyangka kalau reaksinya akan seterkejut itu. Lelaki berkulit putih itu kembali mendekatiku, "kenapa nggak izin dulu padaku?""Kenapa harus minta izin dulu?" ulangku, "apa kamu tidak akan mengizinkan? Dia bapakku loh, Mas."Mas Toro tersenyum sinis, "Apa k
Bab 12"Mana tua bangka sialan itu? Kamu sembunyikan di mana dia? Beraninya dia menipuku!"Mendidih rasanya mendengar wanita itu lagi-lagi menyebut Bapak dengan sebutan itu, "Jangan sebut bapakku seperti itu! Apa kamu tidak sadar kalau dirimu juga sudah nenek peot? Makin tua bukannya tambah ibadah malah jadi germo!"Aku tahu dari Bapak kalau rumah itu benar sudah dijadikan tempat pelacuran, tentu saja Nenek Lampir itu sebagai germonya. Makanya Bapak ingin cepat pergi dari tempat itu dan tidak peduli sekalipun rumah itu sudah bukan jadi miliknya. "Jaga mulutmu, ya! Kamu pikir ...,""Pergi dari sini!" usirku tidak ingin mendengar apapun lagi darinya. "Mana tua bangka sialan itu?! Aku harus menemuinya!" teriak Nenek Lampir tak mau menyerah. "PERGI!" Kudorong tubuh tua yang masih sintal itu keras sampai keluar dari rumahku. Sampai di luar aku justru membelalak kaget, mendapatkan kejutan yang tak pernah kubayangkan. Mas Toro dan seorang wanita yang tak lain adalah Zeni sedang mengobrol
Aku terduduk lemas di depan cermin besar yang menampilkan bayangan diri. Air mataku mengalir deras mengingat talak yang begitu ringannya Mas Toro ucapkan, tanpa beban apalagi penyesalan. Resmi sudah diriku menyandang status janda secara agama, lelaki yang telah berubah status itu berjanji akan secepatnya mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. "Kamu boleh tinggal di sini sampai masa iddahmu selesai," ujarnya tanpa menatapku, lanjutnya lagi kemudian, "begitu masa iddahmu selesai, segera angkat kaki dari sini tanpa membawa apapun, tidak ada harta gono gini untukmu, semua hasil jerih payahku. Jadi, kamu tidak ada hak sama sekali!"Aku hanya tertawa mendengarnya. Sebegitu takutnyakah kalau aku akan membawa kabur semua hartanya? Tidak ada hakku dia bilang? Apa mendampinginya selama belasan tahun tetap tidak memberikanku hak untuk mendapatkan sedikit saja hartanya? Bullsh*t! Ambillah semua harta yang telah menjadikanmu lupa diri itu, lelaki br*ngs*k! Hartamu itu tidak ada seujung kuk
Bab 14"Ngapain pulang, Ma, kan tinggal sebulan lagi juga bakal liburan panjang, Dita nggak papa, kok, Ma, Dita nggak sendirian di sini, Ma, Dita punya temen yang masih mau temenan sama Dita meski yang lain pada ngejauhin Dita," cerita Dita dari sebrang sana. "Oh, ya?" Aku sedikit lega mendengar cerita itu, "siapa dia, Nak?""Namanya Lala, Ma, dia itu baiiiik banget, sampai uangku abis aja dia mau minjemin...,""O ya, Nak, Mama Minta maaf, ya, telat ngirimin kamu bulan ini, Mama beneran lupa, Mama sedang kalut, Sayang," ucapku memotong Dita yang belum selesai bercerita. "Iya, Ma, Dita ngerti, kok," jawabnya tanpa marah. "Jadi, temen kamu yang namanya Lala itu yang udah minjemin kamu u*ng?“ ulangku memastikan. " Iya, Ma.""Ya sudah, Mama udah kirim bulanan untuk kamu, terus u*ngnya Lala kamu balikin. Sebagai tanda terima kasih, balikinnya dikasih lebihan, ya!" perintahku. "Oke, Ma," jawab Dita riang.Selesai berbincang-bincang dengan anak perempuanku satu-satunya itu, aku menyimpa
Bab 41"Aku ... aku ...," Ana tergagap, tiba-tiba dia memegang tanganku dan memohon, "Tante, tolongin aku, Tante! Aku terpaksa melakukan ini, tapi aku takut."Wajah Ana hampir menangis. "Memangnya kamu ngapain, An?" tanyaku penasaran dan kasihan. "Aku butuh uang, Tante, Mama sakit—"Cerita Ana harus terpotong karena seorang lelaki paruh baya datang menghampiri, "Ayo ke atas, Dek! Om udah selesai check in, nih!"Ana nampak ketakutan menatap lelaki yang mengajaknya pergi itu. "Maaf, Anda ini siapa, ya? Apa maksud Anda mengajak gadis ini check in? Anda mau melakukan asusila pada anak di bawah umur?" Aku maju mencoba melindungi Ana. "Saya sudah membayar gadis ini untuk semalam penuh, jadi terserah mau saya apain!" Lelaki itu menarik Ana dengan kasar.Ana diseret lelaki itu sambil menatapku berharap aku akan menolongnya, aku maju akan mengejar, tapi Mas Dwingga menahanku, melarangku untuk ikut campur. "Tapi, Mas...," protesku yang tak tega melihat wajah sembab Ana. "Biar Mas yang m
Bab 40"Ini, lihat sendiri saja!" Aku menyodorkan sebuah alat yang nampak dua garis biru. "Kamu hamil?" tanyanya kegirangan. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, "Iya, Mas, ini buah cinta kita.""Terima kasih ya, Sayang. Mulai sekarang aku akan tambah rajin cari uang demi masa depan buah cinta kita ini!" Mas Dwingga mencium perutku berkali-kali sampai aku geli sendiri, lalu dia lari ngibrit ke kamar mandi. Aku mengeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah lakunya. Bisa aja si crazy rich itu, mau nggak kerja selama setahun pun hartanya nggak akan habis sampai tujuh turunan. Setelah menikah, aku dan anak-anak diboyong tinggal di istana Mas Dwingga, sebagai istri solihah tentu saja aku manut apa kata suami, tak lupa Bapak juga ikut tinggal di sini bersama kami. Mak Inah dan Santi tetap tinggal di rumah lama dan ditugaskan untuk merawarnya, sedang Siyam pulang kampung dan tidak kembali lagi karena telah menikah dengan kekasihnya di sana. Sekarang rumahku hanya digunakan untuk berjua
Bab 39 "O ya, Hasna, saya mau ngomong sesuatu penting sama kamu.""Ya udah, ngomong aja!""Besok malam, apa kamu punya waktu luang?" "Ada, mau ngapain emang?""Besok, pukul tujuh malam saya jemput kamu sama Bapak kamu, aku datang kamu harus sudah siap!" perintahnya tanpa menerima penolakan. Aku hanya bisa mengiyakan dan menyimpan rasa penasaran pada omongan penting yang akan Mas Dwingga katakan, kenapa harus menunggu besok malam? Kenapa harus ngomong di luar? Kenapa nggak di rumah aja? Kenapa Bapak juga diajak? Memangnya mau ngomong apa, sih? Seharian Mas Dwingga menyiksaku dalam rasa penasaran. Hingga akhirnya, pukul tujuh malam yang dinanti telah tiba. Aku dan Bapak telah bersiap sesuai instruksi Mas Dwingga, begitu dia datang kami langsung masuk mobil, tentu saja Rio kuajak juga, kasihan kalau hanya ditinggal dengan para ART. Aku, Bapak, dan Rio naik mobil yang disopiri Mas Dwingga sendiri, sedang mobilku yang kemarin dikasih bos celana itu masih teronggok manis di halaman dep
Bab 38 Aku masuk ke dalam untuk menyembunyikan rona merah di pipi, juga mentralkan detak jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Baru juga digombali begituan, hatiku sudah jungkir balik tak karuan, apalagi kalau sudah sampai disahkan, eh. Daripada pikiranku berkelana ke mana-mana, mending aku membuat es sirup untuk para karyawanku, pasti mereka kelelahan setelah riwa-riwi mengangkuti lusinan celana ke dalam, apalagi cuaca panas gini, minum es sirup pasti segar. Aku membawa es sirup ke depan, kulihat tinggal Dian yang masih tertinggal membawa barang terakhir. "Sudah selesai, Di?" tanyaku pada Dian. "Ini yang terakhir, Mbak," jawabnya memperlihatkan barang yang dibawanya. "Habis ini ke sini lagi, ya, minum es sirup dulu! Ajak yang lain ke sini juga, o ya, jangan lupa suruh ambil gelas sendiri-sendiri di dapur, soalnya Mbak cuma bawa dua gelas aja ini" pesanku banyak-banyak. Dian mengiyakan sebelum menghilang ke dalam, tak lama kemudian keluar lagi bersama anak-anak l
Bab 37"Udah, si, Mah, pulang aja, yuk!" ajak Dita melihat sambutan Wulan yang tidak ramah sama sekali. "Nanggung, Nak, udah sampai sini," bisikku menolak. Aku mengajak anak-anakku mendekati Wulan, "Nggak nyuruh kami masuk, gitu? Kami tamu, loh!"Wulan mencebik, "Kalian itu tamu tak diundang!"Aku benar-benar sakit hati, kenapa Wulan memperlakukan kami seperti ini? Aku tahu aku hanyalah mantan istri Mas Toro, tapi Dita dan Rio tetaplah darah dagingnya, tidak ada istilah mantan anak. Apa dia lupa saat dia masih menjadi mantan istri Mas Toro, aku memperlakukan Ana seperti anakku sendiri, bukan cuma masalah materi, aku juga menyayangi Ana setulus hati. "Udah, Ma, ayo pulang, Ma! Mama nggak denger tadi Tante Wulan bilang apa? Kita ke sini bukan mau mengemis, Ma!" Dita menarik tanganku mengajak segera pergi. Namun, saat kami akan pergi sebuah mobil memasuki halaman. Mas Toro turun setelah memarkirkan mobilnya. "Mau apa kalian ke sini?" tanya Mas Toro saat melihatku dan anak-anak. "Ma
Bab 36Dwingga menghembuskan napas kasar. "Lala kenapa, Kek?" tanya sebuah suara yang membuat kami semua menoleh. "Lala!" seruku saat melihat gadis itu berdiri di di pintu rumahku. "Tante Zeni tinggal di sini karena Kakek takut dia bakal gangguin Lala?" tanya Lala lagi lebih perinci. Semua mata menatap Bapak, menanti orang tuaku itu bersuara. Bapak menghela napas berat sebelum menjawab, "Iya, La, Kakek takut kalau tantemu itu akan mengganggu kamu kalau dilarang tinggal di sini. Kamu pasti merindukan ibu kandungmu 'kan? Tante Zeni bilang akan memanfaatkan wajahnya yang sama persis dengan wajah ibumu untuk mempengaruhi kamu, Kakek takut kamu akan beneran terpengaruh.""Tapi Lala sudah besar, Kek. Lala tahu kalau Mama udah tiada, meski jujur Lala sangat merindukan Mama, tapi Lala nggak mau posisi Mama digantikan Tante Zeni, Lala tahu kok kelakuan Tante Zeni kayak apa, dia sering godain dan merayu Papa buat dijadikan istrinya, tapi Lala nggak setuju kalau punya Mama seperti Tante Zen
Bab 35"Jadi benar, Mbak Hasna telah menyembunyikan lelaki asing di rumah dan hanya berdua-duaan dengan lelaki tersebut?" "Siapa yang membuat fitnah ini?" Mas Dwingga maju ke depan, sikapnya tenang dan penuh wibawa. "Ini bukan fitnah, tapi fakta! Buktinya kamu ada di sini kan?" Zeni tersenyum licik. "Tapi kami tidak berdua saja, ada orang lain di rumah ini," sangkalku cepat supaya orang-orang tidak terpancing kembali dengan provokasi Zeni. "Mana buktinya? Tidak ada orang lain selain kalian, kok," kata sesebapak ngotot. "Ada saya." Nyai muncul dan bersuara lantang diikuti Gus Iqdam, "saya dan anak saya bersama mereka!"Zeni melotot kaget melihat ada orang lain selain diriku dan Mas Dwingga, gumamnya lirih, "Tapi, tadi ...,""Jadi sudah terbukti 'kan kalau kami tidak seperti yang wanita ini tuduhkan." Aku menunjuk Zeni yang menatap marah padaku. "Kalau begitu kami minta maaf atas keributan yang kami buat dan mengganggu waktu Mbak Hasna," ucap lelaki yang memimpin kerumunan itu. "
Bab 34Ya Allah, aku benar-benar tidak bisa bergerak. Sedetik lagi bibir menjijikan itu akan menyentuh bibirku. Namun, tiba-tiba... Sebuah tangan kekar menarik kerah kemeja lelaki brengsek itu dari belakang. Sebelum lelaki itu sadar, sebuah tinju telah mendarat di mukanya dengan keras. Bugh! Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bugh! Bugh! Bugh! Lelaki brengsek itu mencoba melawan, tapi berhasil dipatahkan. Sebuah tendangan melempar tubuh lelaki kurang ajar itu keluar rumah. "Brengsek!" umpat lelaki itu, tubuhnya pasti terasa remuk. Namun, dia pergi begitu saja tanpa berani kembali melawan. Zeni juga tidak mencegah kepergian teman bejatnya itu, justru dia berlari masuk ke rumah menghampiri orang yang baru saja menyelamatkanku. "Dwingga!" sapa Zeni senang. "Kamu nggak papa?" tanya orang yang baru menolongku itu yang tak lain adalah Pak Dwingga prihatin, dia tidak perduli dengan Zeni yang menyapanya. "Aku masih takut," jawabku lirih, tubuhku masih sedikit gemetar membayangkan
Bab 33 Siang hari, mataku membelalak kaget melihat tubuh renta Bapak nampak kewalahan menarik kasur dari kamar Zeni seorang diri. "Bapak!" pekikku marah, "apa yang sedang Bapak lakukan?" "Hasna, bisa tolong bantu Bapak?" tanya Bapak seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Aku menarik tubuh Bapak agar melepas kasur Zeni, "Kenapa Bapak lakukan ini?" Zeni menampakkan diri, tersenyum penuh kemenangan, "Lihat 'kan, aku masih bisa membuat Bapak menuruti semua perintahku." "Jangan kurang ajar kamu, Zeni! Kamu pasti ngancam Bapak supaya mau menuruti perintah konyolmu itu 'kan?" kataku marah. "O ya pasti, makanya jangan macam-macam sama aku kalau nggak ingin Bapak kamu kenapa-napa!" sentak Zeni padaku, lalu perintahnya pada Bapak, "buruan bawa kasurnya ke depan! Ntar panasnya keburu ilang lagi. Ingat ya, Pak, Bapak kesusahan seperti ini karena ulah anak Bapak sendiri. Makanya, Pak, suruh anak Bapak itu jangan banyak tingkah dan macam-macam sama aku!" Aku hanya bisa menangis meli